Aku dan Sang Pemusnah Masal

Galing kay aileum

109K 20.5K 2.7K

Revel merencanakan kematiannya tiga minggu dari sekarang. Ada lima hal yang ingin dia lakukan sebelum mati. 1... Higit pa

Surat Wasiat
Sang Pemusnah Massal
Tupai Boncel
Pulang!
Keinginan
Daftar
Penolakan
Sayang Anak
Nomor Tiga
Kopi Darat
Acara UKM
Kelima
Adik Ketemu Gede
Setan Kecil
Horor
Ancaman
Kereta Jogja
Setan Kecil yang Hampir Menangis
Bukan Ini yang Kami Inginkan
Awal yang Sepele
Lari
Lebih Mudah
Jatuh
Terperosok
Tidak Sadar (1/2)
Tidak Sadar (2/2)
Tetap Hidup
Terserah
Kita Berdua
Hari Baik (1/2)
Hari Baik (2/2)
Sebelum Kamu Pergi
Setelah Kamu Pergi
Sudah Saatnya

Cucu Kesayangan Oma

2.6K 587 48
Galing kay aileum

▪️16 Hari Lagi

Revel mengerang tertahan sambil memegang dada kiri. Pikirannya berkecamuk. Mengingat-ingat yang barusan. Sial! Makinya dalam hati. Sialan! Sialan! Sialan! Benarkah barusan ia mengatakan rindu, juga mengakui perasaannya pada Joy? Oh, sungguh tolol! Tidak punya otak! Buat apa, sih?!

Harusnya ia merasa lega, bukan? Tapi kenapa? Kenapa justru masih ada ketidaknyamanan yang menjejak di hati? Apa karena Revel menyesali yang dilakukannya? Atau, sang Pemusnah Massal yang menertawakannya? Atau, karena sadar bertepuk sebelah tangan? Tadi Joy tidak mengatakan apa-apa, kan? Dia tidak membalas rindu Revel, tidak pula mempunyai perasaan yang sama. Ah, sial!

Cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan. Namun, rindu sebelah tangan juga tidak kalah mengerikan. Setelah rindu itu dinyatakan, Tuhan ternyata tidak menyatukan. Sungguh memilukan, sekaligus memalukan.

Cinta monyet taik kotok! Revel menamai kisah SMA-nya dengan Joyce.

Sebagian orang pasti menuduhnya pengecut--tidak punya nyali untuk menyatakan perasaan sejak dulu. Memojokkan bahwa ini salahnya sendiri. Tapi Revel tidak peduli. Kalau dia memang pengecut, lantas kenapa? Masalah?

Revel bertekad, setelah ini, ia tidak mau lagi berurusan dengan Joy. Kisahnya sudah tutup buku. Tidak mungkin ada kelanjutan. Kalaupun ada sambungannya, sudah pasti tidak akan happy ending. Sebab bagaimanapun, ia akan menamatkan secara paksa kisahnya di tanggal 22 Februari.

"Mail." Panggilan Zufni membuyarkan renungan Revel. Nenek tua itu mengetuk pintu kamar kemudian berkata, "Saatnya makan."

Revel beringsut dari kasur. Sebelum keluar kamar, ia memandang ponselnya lamat-lamat. Sedikit berharap ada notifikasi dari Joy. Sepuluh detik. Empat puluh detik. Hingga satu menit berlalu, tidak ada tanda sama sekali. Huh, sial!

Revel keluar kamar tanpa membawa ponsel. Ia menghampiri neneknya yang sudah duduk manis di hadapan meja makan. Santap malam kali ini dihiasi kudapan lebih mewah. Ayam goreng, tumis kangkung, dan sambal korek. Ada kerupuk udang juga rupanya. Seketika perut Revel mengerut minta diisi.

"Makan yanga banyak. Mumpung di sini." Wanita tua di hadapan Revel menyinduk nasi dengan penuh semangat. "Ambil ayamnya dua, ya. Kangkungnya habiskan saja. Sambalnya sedikit, ya? Takut sakit perut. Kang ... "

"Biar saya ambil sendiri, Oma."

Zufni menggeleng. "Kalau ambil sendiri, pasti makannya kayak kucing. Sudah, kamu diam saja. Oma yang ambilin."

"Itu kebanyakan. Saya nggak akan bisa ngabisin."

Revel kenyang sendiri melihat makan malam yang dipilih neneknya. Kalau dihitung-hitung, porsi sebanyak ini untuk tiga kali makan. Waduh!

"Dulu waktu kamu masih suka main bola, makanmu sebanyak ini, Mail," ujar neneknya sambil mengangsurkan piring yang telah ditumpuki makanan. "Kenapa sekarang makanmu jadi sedikit?"

"Cuma tidak berselera," jawab Revel pendek.

"Makanlah semua yang kamu suka, Mail."

Tidak ada yang kusuka.

"Ayam goreng, soto, satai."

Lidahku sudah tidak bernafsu memakan semua itu.

"Besok mau dimasakin apa?"

Tidak ada.

"Bagaimana kalau sup ayam? Oma tahu, pasti kamu jarang makan sayur kan kalau di Bandung?"

Revel mengangguk lemah.

Kemudian keduanya terlibat dalam makan. Belum ada obrolan setelah itu. Revel tampak fokus makan dengan wajah menghadap piring, sementara Zufni memandanginya dengan sayang--tanpa Revel sadari.

Zufni adalah satu-satunya sanak yang Revel punya. Sejak orangtuanya bercerai, Revel langsung diboyong sang nenek. Meski hanya berprofesi sebagai guru honorer, Zufni selalu berusaha dalam pemenuhan kebutuhan Revel. Beruntungnya, Revel bukan cucu yang banyak tingkah. Tidak pernah membuat masalah di sekolah, sangat jarang minta dibelikan ini-itu.

Memang lima tahun terakhir ini perekonomian mereka lebih terasa mencekik. Uang semesteran Revel bisa dikategorikan sangat mahal. Ditambah lagi Revel belum juga lulus. Terpaksa Zufni menambah jalan lain untuk mengumpulkan dana. Dengan membuka les anak-anak komplek misalnya.

Zufni selalu yakin, setiap anak punya rezeki masing-masing. Dan untuk Revel, entah kenapa Zufni selalu punya jalan yang tidak disangka-sangka. Soal makan malam ini misalnya. Kalau bukan karena tetangga baru yang kebetulan sedang bagi-bagi ayam, mana mungkin Zufni bisa menyajikannya?

"Omong-omong, tadi kamu ke mana?"

Revel mengunyah sambil mendongak. Neneknya tidak tahu, tadi siang Revel mendatangi sang ayah. Dan ia harap, wanita ini tidak pernah tahu.

"Main."

"Ke mana?"

"Rumah teman."

"Di mana?"

Revel pura-pura tidak mendengar. Ia tahu, ada satu cara agar neneknya tidak bertanya lagi. Maka iapun berlagak lahap saat menikmati makan malamnya. Tangannya menyinduk nasi dan kangkung dengan cepat. Pipinya menggelembung bagaikan tupai. Giginya menggares apa-apa yang disodorkan sendok.

"Senangnya bisa lihat kamu makan sebanyak ini."

Ubun-ubun Revel dielus sayang.

*
*
*

▪️15 Hari Lagi

Keseharian Revel selama di Jakarta tidak jauh berbeda saat merantau. Rebahan. Rebahan. Rebahan. Neneknya tidak tahu cucunya setidakproduktif itu. Ketika dirinya pamit ke sekolah, Revel akan balik badan. Meluncur ke kamar. Mengendap di sana berjam-jam. Tidak makan, minum, dan ibadah. Pokoknya diam saja di kamar.

Beberapa kali dosennya menanyakan perihal ngentod (Revel menggunakan istilah yang dikatakan Wendy, karena ternyata lucu juga kalau dipakai). Tapi tidak satupun yang dibalas. Revel memang sudah tidak berminat dengan studinya. Semakin lama waktu bergulir, semakin ia sadar ada kehampaan yang menganga.

Revel tidak punya bayangan akan seperti apa masa depannya. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan setelah lulus (kalau memang ia bisa menyelesaikan kuliahnya). Mungkin normalnya bekerja. Tapi entahlah. Revel merasa belum siap. Ia tidak punya kemampuan mumpuni. Masa kuliahnya lama. Nilainya pas-pasan Kampusnya merupakan swasta. Nanti ia pasti dipandang seperempat mata.

Memikirkan itu membuat Revel frustrasi. Ia memang cemas, tapi ia tidak bisa melakukan banyak hal. Tidak minat. Segalanya terlihat gelap. Sepi. Hampa. Kosong. Sendirian.

Di depan neneknya, Revel menunjukkan sikap normal. Tidak mengumbar dirinya sedang putus asa. Tidak juga mengeluhkan sakit yang terus menghimpit dada. Sudah mau mati sebaiknya jangan banyak bicara. Belum tentu dengan mengadukan keluh kesah, semuanya menjadi lebih baik. Begitulah Revel mengingatkan diri.

"Mail, buku mana yang sudah kamu baca?"

Malam itu, ketika keduanya duduk di ruang tengah, Zufni bertanya. Cucu-nenek ini duduk di ruang tengah. Televisi menampilkan sinetron favorit Zufni. Revel yang selalu patuh pada sang nenek, terpaksa menemani saat wanita itu memintanya.

"Buku?" tanya Revel.

"Di etalase biasa, Mail. Ada beberapa yang baru."

Zufni tahu, cucunya suka membaca novel koleksinnya. Kebetulan ada beberapa tambahan baru, hadiah dari murid dan anak tetangga. Ia menerka, selama berdiam di rumah, cucunya pasti membaca seperti biasa.

"Mira W hebat, ya. Sampai sekarang terus ngeluarin buku. Ngikutin zaman."

"Iya."

"Di balik kabut amnesia keren. Takjub sekali Oma. Plot twist-nya bikin pusing sekaligus merinding."

Zufni pecinta novel zaman lampau. Mira W, V Lestari, Marga T, Titie Said, merupakan beberapa penulis favoritnya. Sebelum sang Pemusnah Massal tumbuh pesat, Revel juga kerap mengikuti jejak neneknya. Membaca buku-buku mereka.

Cerita dalam novel lama selalu sarat dengan amanat. Revel pasti terkesan setiap selesai membaca. Dari sekian banyak, novel Titie Said yang berjudul Lembah Duka yang menurutnya terbaik. Menceritakan sebuah keluarga sederhana yang memiliki satu anak penyakitan. Suami dan istri berjuang mengumpulkan uang agar si anak bisa cuci darah setiap minggu.

Konflik ceritanya terletak di mana keluarga tersebut sudah tidak punya uang lagi (berhutang, ambil gaji di awal bulan, dan sebagainya telah dilakukan). Di tengah-tengah keputusasaan, suami istri itu melakukan hal nekat yang tidak diketahui satu sama lain. Sang istri menjual diri, sementara sang suami berniat membunuh anak penyakitannya diam-diam. Titie Said merangkai peperangan batin di setiap tokoh dengan sangat baik. Pembaca akan digiring pada simpati mendalam, perspektif lain tentang pekerjaan 'kotor', dan nilai-nilai kehidupan lainnya.

Sampai detik ini Revel belum menemukan lagi novel semenakjubkan Lembah Duka milik Titie Said. Alasan pertama, ia tidak mengikuti tren novel zaman sekarang. Kedua, ia tidak berminat lagi.

Sang Pemusnah Massal telah merenggut banyak hal. Bukan saja minat, tetapi juga perasaan. Sekarang Revel tidak mudah terkesan, apalagi tersentuh. Nonton horor tidak membuatnya ngeri ketakutan. Kisah sedih tidak membikin hatinya sakit. Lelucon-lelucon di linimasa jarang sekali membuatnya tertawa. Ia benar-benar merasa hatinya kosong. Sang Pemusnah Massal sukses mengisap semua.

"Mail."

Zufni memanggil, Revel mendongak.

"Boleh Oma sisiri rambut kamu?"

"Eh?"

Zufni mengajak kepala Revel menunduk sedikit. Tangan wanita itu membelai-belai kulit kepala sang cucu.

Revel tidak melawan ketika neneknya mengusap kepalanya dengan jari-jari. Ada rasa nyaman ketika rambutnya dibelai-belai. Lalu seakan terbawa suasana, Revel menaruh kepalanya di pangkuan Zufni.

"Mail, kamu sudah punya pacar belum?"

Revel menaikkan satu alis.

"Yang dekati kamu pasti banyak, ya." Zufni masih memijati kulit kepala Revel. "Wajah kamu ganteng, Mail. Mustahil nggak ada yang naksir."

"Oma kenapa tiba-tiba ngomong begitu?"

"Mendadak kepikiran," jawab Zufni sambil mengusap kening Revel. "Kalau nanti kamu nikah, Oma bakal sendirian di rumah ini. Walaupun masih jauh, tapi saat itu pasti terjadi, kan?"

Revel tidak menjawab. Pertama, ia tidak pernah membayangkan sebuah pernikahan. Selain masih muda, ia pun punya kecemasan yang menggiringnya pada pikiran negatif soal pernikahan. Jangan-jangan nanti cerai. Jangan-jangan nanti berbalik saling membenci. Jangan-jangan seperti Papa dan Mama. Uh, Revel benci sekali membayangkannya.

Alasan kedua, Revel merasa umurnya tidak akan sampai ke sana. Ia hanya punya waktu tiga belas hari lagi. Jangankan nikah, urusan kuliah saja sudah Revel lupakan. Seperti tadi sore. Duo KenTod lagi-lagi menagih revisi bab tiga. Sengaja tidak ia balas pesan itu. Bodo amat soal skripsi. Goodbye, fucking bitch! Pikirnya.

Sebenarnya ada perasaan tidak enak ketika dirinya bersikap masa bodoh pada skripsi. Neneknya. Ia teringat neneknya. Wanita itu sudah banting tulang dengan kesusahan, tapi Revel justru menyia-nyiakannya.

Neneknya memang sering menjadi pertimbangan dirinya bertahan. Termasuk masalah sang Pemusnah Massal. Sebelum memutuskan mengakhiri ceritanya, Revel selalu mempertimbangkan sang nenek. Dialah alasan Revel bertahan bertahun-tahun lamanya.

Yah, tapi saat ini, Revel sudah tidak sekuat dulu. Dirinya benar-benar lelah. Siapapun tidak bisa mengobati capeknya, termasuk sang nenek. Maka ketika hari itu ia memikirkan rencana 22 Februari, keputusnya sudah benar-benar bulat.

"Oma, saya ngantuk." Revel berkata sambil menahan tangan neneknya yang masih mengusap kepala.

Ia lantas beringsut kemudian pamit.

-bersambung

1 Februari 2020

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

1K 118 12
Flora berhasil keluar dari lingkungan yang tidak menyenangkan dan masuk ke dalam lingkungan perkuliahan baru. Harapannya, dia bisa berhadil menyelesa...
1.8M 80.3K 14
[Sudah terbit] [SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS] Pemenang Wattys Award 2016 kategori "CERITA SOSIAL" "I just wanna feel wanted..." Bagi Gandana Wanudara...
904K 85.6K 24
BACA LENGKAP DI KBM APLIKASI / KARYAKARSA... Apa bedanya siluet dan bayang - bayang? Keduanya berupa objek gelap efek luminitas cahaya latar belakan...
3.8M 517K 57
Kinanti Wijaya atau orang-orang sering memanggilnya Kiwi merupakan mantan 3rd runner-up Miss Universe perwakilan dari Indonesia, semenjak menorehkan...