Aku dan Sang Pemusnah Masal

By aileum

109K 20.6K 2.7K

Revel merencanakan kematiannya tiga minggu dari sekarang. Ada lima hal yang ingin dia lakukan sebelum mati. 1... More

Surat Wasiat
Sang Pemusnah Massal
Tupai Boncel
Pulang!
Keinginan
Daftar
Penolakan
Sayang Anak
Cucu Kesayangan Oma
Kopi Darat
Acara UKM
Kelima
Adik Ketemu Gede
Setan Kecil
Horor
Ancaman
Kereta Jogja
Setan Kecil yang Hampir Menangis
Bukan Ini yang Kami Inginkan
Awal yang Sepele
Lari
Lebih Mudah
Jatuh
Terperosok
Tidak Sadar (1/2)
Tidak Sadar (2/2)
Tetap Hidup
Terserah
Kita Berdua
Hari Baik (1/2)
Hari Baik (2/2)
Sebelum Kamu Pergi
Setelah Kamu Pergi
Sudah Saatnya

Nomor Tiga

2.7K 611 55
By aileum

Masih di beberapa tahun lalu.

Revel tidak menyangka, keputusannya mengiyakan permintaan Joy bisa berdampak besar pada hari-hari berikutnya. Yang awalnya monokrom, berubah lebih berwarna. Yang tadinya datar, lama-lama mengasyikan juga.

Joy bukan saja satu-satunya teman yang berani mendekat duluan. Sikapnya pun membuat Revel nyaman. Gadis itu mengajak Revel agar lebih terbuka pada sekitar. Jangan cuma belajar. Joy juga mengenalkan Revel pada teman-teman nongkrongnya yang didominasi anak basket (Joy merupakan manager eskul basket di sekolah). Sehingga lama-lama, jumlah orang yang dikenal Revel semakin bertambah.

"Re, bulan depan anak-anak pada mau ke pantai. Ikut, ya?" bisik Joy.

Sore itu keduanya tengah belajar di perpustakaan. Well, pertemanan selalu menciptakan akulturasi. Revel yang biasanya hanya belajar, kini bisa merasakan nongkrong. Pun dengan Joy. Ia yang tidak pernah mengenal perpustakaan, mau tidak mau harus menginjakkan kaki di sana karena Revel.

"Nggak bisa."

"Kenapa?"

"Oma sendirian."

Joy tampak kecewa tapi ia memaklumi. Ah, gadis ini memang baik. Tidak pernah memaksa, tidak pernah menyudutkan. Berbeda dengan teman lainnya. Mereka terus membujuk Revel kendati cowok itu sudah menolak.

"Elah, kenapa, sih? Nggak seru lo!" sahut Jimmy. Revel kurang suka dengan cowok ini. Selain kelihatannya menaruh hati pada Joy, ia pun sering merendahkan orang dengan omongannya. "Ayolah, Pel. Kapan lagi coba?"

Meski Jimmy membujuk sebegitu gigih, Revel tahu sebenarnya ia tidak begitu ingin Revel ikut. Alasannya apa lagi kalau bukan ingin berduaan dengan Joy tanpa pengganggu. Kimbe!

"Ada janji," jawab Revel pendek.

Hanya pada Joy, Revel mengatakan alasan sesungguhnya. Di depan teman-teman, ia sedikit malu. Takut dijadikan sasaran lelucon; anak Oma, cucu kesayangan Oma, dan lain-lain.

"Jangan-jangan lo nggak bisa renang, Pel."

"Memang."

Jimmy tertawa. "Serius lo nggak bisa renang? Anjing saja bisa."

Revel melihat yang lain ikut tertawa. Hanya Joy yang tidak. Dan Revel sedikit terhibur mendapati kenyataan itu. Hatinya merasa lega ketika gadis itu diam saja terhadap guyonan Jimmy.

"Lo bisa renang, Jim?" tanya Joy setelah tawa-tawa itu mereda.

"Bisa, dong."

"Berarti lo nggak ada bedanya sama anjing."

Tawa orang-orang kembali membuncah. Kali ini lebih keras dari lelucon Jimmy. Revel tersenyum singkat ke arah Joy. Untuk kesekian kali, gadis ini membuatnya takjub.

Sekaligus takut.

Iya, Revel memang takut. Was-was hatinya lancang bersinggah. Ia cukup sadar. Siapa dirinya, siapa Joy.

Sebagai cewek supel nan menyenangkan, Joy menjadi incaran banyak cowok. Setiap kali mereka berjalan, mustahil Joy tidak disapa. Bahkan bukan hanya itu. Berulang kali Revel menyaksikan dengan mata kepala sendiri, beberapa orang menyatakan perasaan langsung.

Siapa yang tidak suka Joy? Cantik, supel, sopan, kaya, populer, aktif berorganisasi. Apa lagi yang kurang?

"Re, kok, gue bego banget, ya? Nggak ngerti-ngerti sama pelajaran hitungan."

Mungkin inilah kekurangan Joy. Tidak jago pelajaran yang berhubungan dengan banyak angka.

Tapi, keterbatasan dalam bidang akademik tidak bisa dikategorikan sebagai kekurangan. Jadi, ini jelas bukan kekurangan.

"Mana yang nggak ngerti?" tanya Revel sabar. Sudah tiga kali ia menjelaskan, tapi Joy masih saja kepusingan.

"Integral, Re. Pusing banget." Joy mengeluh. "Gimana mau masuk teknik kalau buta matematika?"

Revel tahu, Joy sebenarnya tidak berminat masuk jurusan teknik. Ayahnyalah yang mau sang putri terjun ke sana. Mengerikan memang, tapi Revel justru semakin takjub. Joy mau susah-susah belajar dan mencemplungkan diri pada hal yang tidak ia suka demi orangtuanya.

"Kuliah sesuai passion itu memang menyenangkan, tapi nggak ada salahnya bikin orangtua bahagia." Selalu itu yang diucapkan Joy kalau Revel bertanya.

Orangtua, katanya.

Revel tersenyum miris kalau ingat kata tersebut. Sebagai manusia yang terlahir dari keluarga cacat, keinginan membahagiakan orangtua cuma dianggap taik! Jangankan punya asa membahagiakan mereka, tidak dendam saja rasanya luar biasa.

Revel sering iri pada beberapa kawannya. Enak ya jadi mereka, punya orangtua yang masih lengkap. Makan bersama di meja makan. Ditanya gimana sekolahmu hari ini? Tertawa dan merencanakan liburan. Dirawat sepenuh hati kalau sakit. Dipandu saat kebingungan.

"Re," Joy memanggilnya.

"Hmm." Tanpa menoleh.

"Revel!"

Cowok itu mendongak. "Apa?"

"Tipe cewek yang lo suka kayak gimana, sih?"

"Hah?"

"Selama kita kenal, kayaknya nggak ada cewek yang bikin lo kepincut. Lo masih normal, kan?"

Revel diam sejenak. Alisnya terangkat sedikit.

"Kalau saya belok, kamu masih mau temenan sama saya, kan?"

"Jadi, lo beneran nggak doyan cewek?"

"Doyan."

Revel hanya tidak punya pikiran seperti teman cowoknya. Yang mana kisah romansa begitu wajib mewarnai masa remaja. Ada pepatah yang mengatakan bahwa asmara di masa SMA adalah bumbu paling nikmat dalam kehidupan. Dan jika tidak memiliki momen tersebut, maka akan terasa kurang.

Revel tidak peduli dengan pepatah bodoh tadi. Baginya, bagaimana mungkin cinta monyet dijadikan penentu kenikmatan hidup? Sungguh pikiran yang tolol!

Dan begitulah Revel menjalani masa SMA-nya. Tidak seperti kebanyakan remaja, ia abai terhadap romantika atau persetan apapun namanya itu. Fokus utamanya memang hanya belajar, belajar, dan belajar. Menginjak kelas dua belas, ia bahkan punya pikiran serius. Ia harus mulai mengurangi beban sang nenek. Dengan masuk perguruan tinggi negri, salah satunya. Maka dari itu, secara otomatis ia tidak terlalu mengenal kisah klasik bernama percintaan.

Memang sih, hormon dalam tubuhnya kadang tidak mendukung. Sesuatu dalam tubuhnya menginginkan Revel untuk tidak melupakan kodrat. Hampir setiap hari, ada saja yang membuat hormon itu merangkak. Teristimewa jika dihadapkan dengan lekuk-lekuk tubuh teman perempuannya. Atas, tengah, bawah. Semuanya bikin resah, kadang basah. Ditambah sikap menggoda, nada suara manja, dan naluri feminin para kaum hawa, lengkap sudah kenapa Revel percaya bahwa lelaki memikirkan seks lebih sering daripada wanita.

Joy juga sama. Kadang ia tidak menyadari, bahwa yang dilakukannya sering membikin Revel resah. Rengek manja saat tidak bisa mengerjakan soal fisika. Undangan ke rumahnya saat tidak ada siapapun. Rangkulan tiba-tiba di pundak. Haduh, ribet! Belum lagi soal paha yang berkibar-kibar. Payudara yang sedang montok-montoknya. Pinggang yang aduhai. Ah, sial! Revel tidak mau berpikir sekotor itu. Tapi kalau tidak dilihat, mubazir.

Teman perempuan yang betah di samping Revel memang hanya Joy. Tiga tahun satu kelas, tidak sekalipun mereka terpisahkan. Bahkan di kelas dua dan tiga, Joy menjadi teman sebangkunya. Setiap hari mereka lalui bersama. Jam pelajaran, istirahat, jam kosong, bahkan pulang. Oleh orang sekitar, keduanya bahkan dijuluki prangko dan amplop. Sebab di mana ada Revel, di situlah Joy hadir.

"Lo sama Joyce itu hubungannya kayak gimana, sih?"

...

"Lo melet si Joy, ya. Kok, bisa sedeket itu sama doi?"

...

"Ngaku lo, Vel. Sudah ngapain saja sama Joy? Kalian sering berduaan di rumahnya, kan?"

...

Revel sering mendengar tuduhan-tuduhan itu. Ada sedikit kebanggaan dalam dirinya ketika para cowok itu misuh-misuh. Padahal kebanyakan dari mereka punya status mentereng. Kapten tim basket, bendahara OSIS, koordinator remaja gereja, semuanya punya modal untuk unjuk gigi merayu Joy.

Pernah suatu hari, saat jam istirahat, Revel iseng bertanya, "Joy, kamu lesbi, ya?"

"Sembarang kalau ngomong!" tukas Joy sambil menggebuk pundak Revel. Kantin siang itu cukup ramai. Apa yang dilakukan Joy membuat beberapa kepala mendongak.

"Terus kenapa nggak terima mereka-mereka?" Revel menunjuk beberapa siswa dengan lidahnya. "Masak sih nggak ada yang srek di hati?"

Entah kenapa, saat mengucapkan kalimat terakhir, jantung Revel berdetak kencang. Ia sangat berharap temannya itu menjawab seperti biasa : mereka cuma teman. Setiap kali jawabannya itu, Revel merasa lega. Sangat lega.

Joy hendak membuka suara. Namun, terlebih dahulu ia menarik tissue di atas meja. Menyapukkannya pelan-pelan ke bibir Revel. "Makan yang bener, dong, Re. Cemong begini."

Revel mematung seketika. Dadanya mendobrak-dobrak seperti ada tsunami. Akhir-akhir ini, ia memang sering merenungkan perhatian kecil Joy. Apakah ini sesuatu yang normal di lingkup petermanan?

Joy selalu mengirim chat (bertanya apa sudah makan, gimana hari ini, lagi apa, jangan lupa besok jemput, dan kabari kalau sudah sampai rumah). Joy sering merapikan penampilan Revel ——mulai dari dasi hingga rambut. Joy senantiasa menyemangati Revel di pagi hari. Joy mau susah-susah membuatkan bekal makanan di hari Jumat. Joy rajin mengingatkan Revel untuk salat padahal Joy seorang kristiani.

"Ada satu yang bikin nyaman," ucap Joy menyadarkan Revel.

Cowok kurus itu resah setengah mati. Hatinya bertanya-tanya, siapakah orangnya? Lelaki mana yang bisa membuat Joy nyaman?

Kalau Revel lebih sadar, hubungannya dan Joy sebenarnya cukup spesial. Timbal balik mereka seirama. Revel tidak pernah keberatan mengantarjemput Joy. Revel bersedia menemani Joy jalan-jalan di taman komplek dengan anjingnya. Revel mau pasang badan ketika Joy pernah tidak sekolah sementara ada tugas. Revel tidak keberatan menunggu Joy saat ia eskul basket. Dan masih banyak lagi.

Revel hanya takut satu hal. Yakni, kegeeran. Selama ini tidak ada gadis yang memperlakukannya semanis Joy. Satu ruang di hatinya memang terasa hangat setiap kali Joy memberinya perhatian, tapi tetap saja ada kekhawatiran yang mencekam ulu hati.

Jika dilihat-lihat, Joy memang baik pada semua orang. Mungkin apa yang dilakukannya pada Revel tiada arti apapun untuknya. Ah, sial! Kalau memikirkan itu, Revel seperti ditampar bulak-balik. Sadar diri, Revel. Kau tidak sespesial itu!

"Siapa?" Revel memberanikan diri untuk bertanya.

"Dia nggak di sini. Jauh banget, Re."

Revel hanya mengangguk takzim. Ada sembilu yang mampir di hatinya. Selama ini, Joy tidak pernah menceritakan teman jauhnya itu. Apa sebenarnya kami memang tidak sedekat itu, ya? Pikir Revel gundah.

Sehari setelah obrolan itu, Joy bersikap aneh. Ia tidak mengajaknya istirahat bersama. Belajar harian. Pulang bareng. Atau apapun yang biasa mereka lakukan. Tidak sama sekali. Awalnya Revel pikir, mungkin hari itu Joy memang tidak mood. Tapi esoknya, esoknya lagi, esok-esok sampai seterusnya, Joy benar-benar tidak lagi seperti yang dulu.

Revel bertanya-tanya, apa ada sikapku yang salah? Tidak biasanya Joy begini. Ia lantas mencoba mencari tahu. Ia mengirim pesan, juga menelpon. Ia bahkan nekat datang ke rumahnya. Dan hasilnya? Joy selalu menjawab : tidak ada yang salah dengan dirinya.

Dan itu justru membuat Revel frustrasi.

Ada ruang di bagian hatinya yang merasa nyeri. Berdenyut keras manakala Joy tidak lagi menyapanya. Berkerut saat Joy punya teman belajar baru. Berkobar panas saat ternyata Joy datang ke sekolah sambil menggandeng seseorang, yang ia kenalkan sebagai pacar.

"Bang Jeje. Tetangga gue sebelum dia keterima di UGM. " Gadis itu mengenalkan. Tangannya yang memeluk lengan cowok kekar di sebelahnya membuat dada Revel berdenyut. "Bokap setuju gue daftar universitas yang sama. Ada Bang Jeje yang bakal jagain."

Terkejut? Sangat!

Kaget? Setengah mati malahan.

Merasa tolol? Oh, jangan ditanya.

Untuk suatu alasan, Revel seperti menjadi manusia paling goblok sedunia. Tidak berotak. Tidak bisa berpikir. Bahkan untuk mengucapkan sepatah hurufpun tidak kuasa.

*
*
*

"Ya, Revel?"

Saat mendengar jawaban dari seberang sana, jantung Revel berhenti sedetik. Segala memori yang diingatnya tentang Princessa Joyce hilang seketika.

"Hallo?" Suara di jaringan telpon terdengar lagi.

Ini jelas bukan suara Joy.

Melainkan laki-laki.

Jeje.

"Joy ada?" Revel memberanikan diri untuk bertanya.

"Ada. Mau ngomong sama dia?"

"Hm."

Suara Joy tidak langsung terdengar di kuping. Yang mampu koklea Revel tangkap hanya langkahan kaki. Lama-lama ada denting sendok dan mangkuk, juga minyak digoreng yang mematang di wajan.

"Ncess, ada yang nelpon."

Suara Jeje terdengar. Bisa Revel bayangkan cowok kekar itu tengah mengangsurkan ponsel pada seseorang yang dipanggilnya Ncess.

"Hallo?" Suara itu akhirnya mampir ke telinga Revel. Meremangkan tengkuk. Mendobrak jantung dengan degup kurang ajar. "Hallo, Revel?"

Revel mengerjap berat. Setelah bertahun-tahun terpisah, akhirnya ia bisa mendengar Joy mengucapkan namanya. Ternyata ia memang ada rasa pada gadis itu. Jauh di lubuk hati terdalam, ia menyimpan nama Joy baik-baik. Oh semesta, betapa terlambatnya perasaan ini!

"Joy," kata Revel gugup. Walaupun tahu dirinya terlambat, ia harap apa yang disampaikan nanti tidak membuatnya menyesal.

"Re, apa kabar?"

Revel tidak menjawab. Sang Pemusnah Massal mendadak muncul. Mendistrak pikiran Revel.

"Kau mau bilang apa, Manusia Tolol?" Bisiknya sambil menyeringai. "Soal perasaanmu? Jangan mimpi, Bung! Semuanya hanya akan sia-sia. Tidak ada yang berubah."

Revel menelan ludah kasar. Ia memukul-mukul dadanya. Suara Joy menginterupsi namun tidak jelas. Tidak mampu menghentikan Revel yang masih mendaratkan kepalan tangan di dada kiri.

"Segera tutup telponnya dan lupakan semua! Nikmatilah kebodohanmu di masa lalu. Kau menyukainya tapi menyia-nyiakannya. Wanita mana yang mau denganmu? Kau sudah terlambat."

"Re?"

"Ya, oke," sahut Revel seraya berhenti memukuli dada. "Semua oke. Kabar juga oke."

"Syukurlah," ujar Joy. "Sudah lama nggak nelpon. Lo sudah lulus, kan? Kerja di mana sekar ... "

"Joy," potong Revel setelah menindas gengsi. Harga diri sudah bukan lagi prioritas. "Saya kangen."

Sepi tidak ada jawaban. Revel meneguk ludah lagi. Kali ini kerongkongannya seperti diranggas sesuatu yang berduri. Nyeri sekaligus perih.

"Saya tahu ini terlambat," kata Revel dengan suara bergetar.

Ia mengingat-ngingat momennya bersama Joy. Perkenalan yang canggung. Disambung semakin dekat karena mereka belajar fisika. Yang mana di sana Joy sering pusing sendiri padahal hanya salah tulis angka.

Kemudian, mereka semakin akrab karena Joy selalu mengajak istirahat bareng, nongkrong dengan teman-temannya yang keren. Joy juga merupakan teman pertama yang menjenguknya ketika kecelakaan. Membuatkan catatan pelajaran, mengunjungi hampir setiap hari, dan menemani ketika neneknya Revel mengajar.

Ada jasa lain yang dilakukan gadis itu. Ini berhubungan dengan rencana bunuh diri yang pertama. Revel tidak tahu apa yang akan terjadi jika Joy tidak menelponnya hari itu. Ia sudah berniat melompat dari atap gedung rumah sakit saking frustrasinya. Tepat ketika hendak terjun, ponselnya berdering. Dan Joy mengatakan sesuatu yang membuatnya terpaksa kembali ke kamar inap, "Re, apa semua baik-baik saja? Sorry gue masih di jalan. Macet banget. Tunggu, ya."

Revel mengetatkan rahang. Tidak menyangka penyesalan bisa membuatnya sesesak ini. Seandainya ia seperti lelaki lain——punya sedikit keberanian, mungkin rasa ini tidak perlu ia cicipi. Dadanya bukan hanya nyeri, ia pun bisa merasakan kerongkongan dan pelipisnya kesakitan menahan emosi.

Iya, emosi.

Benci pada dirinya sendiri!

Ia akui, setelah berpisah dengan Joy, berkali-kali ia hendak menghubungi. Tapi seperti biasa, pikirannya berkecamuk. Ia tidak ingin hanya sebatas : hai, Joy lalu dibalas haiiiii revellllll, kemudian apa kabar? dan lalu gue baikkkkk, lo gimanaaaa? setelah itu baik juga. Dan berhentilah percakapan itu karena Revel tidak pandai menciptakan topik.

"Maaf baru bilang sekarang," kata Revel setelah menenangkan diri. "Saya suka ... nggak! maksudnya, saya naksir kamu. Sejak kita jadi teman."

Sudah cukup.

Revel langsung memutus panggilan. Suara terakhir yang ia dengar adalah kebingungan Joy, yang langsung tergantikan nada tutut-tutut.

-bersambung

29 Januari 2020

Continue Reading

You'll Also Like

37.9K 4.9K 35
(COMPLETED) Semarang dan orang-orang yang menguras perasaan. • vriendschap (Belanda) (n) per•sa•ha•bat•an Started : Dec 2018 Finished : Dec 2019 c...
2.8K 1.8K 31
⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ⚠️ ㅤㅤ [ BOOK TWO OF TWISTED FATE ] ㅤㅤ Semua orang menyukai Michael Davis. Ia pemuda yang ramah pada setiap orang yang ditem...
293K 35.6K 31
VERSI CETAK SUDAH DAPAT DIBELI DI SELURUH TOKO BUKU GRAMEDIA ATAU TOKO BUKU ONLINE🩵 Silakan cek instagram @PenerbitClover atau @tiyaaasps untuk pemb...
80.9K 4.4K 10
TERSEDIA DI GRAMEDIA SELURUH INDONESIA Mike selalu ingin membuat Kara terpesona pada keahliannya. Buku keren, musik bagus, hingga api yang ia ciptaka...