Aku dan Sang Pemusnah Masal

By aileum

109K 20.5K 2.7K

Revel merencanakan kematiannya tiga minggu dari sekarang. Ada lima hal yang ingin dia lakukan sebelum mati. 1... More

Surat Wasiat
Tupai Boncel
Pulang!
Keinginan
Daftar
Penolakan
Sayang Anak
Nomor Tiga
Cucu Kesayangan Oma
Kopi Darat
Acara UKM
Kelima
Adik Ketemu Gede
Setan Kecil
Horor
Ancaman
Kereta Jogja
Setan Kecil yang Hampir Menangis
Bukan Ini yang Kami Inginkan
Awal yang Sepele
Lari
Lebih Mudah
Jatuh
Terperosok
Tidak Sadar (1/2)
Tidak Sadar (2/2)
Tetap Hidup
Terserah
Kita Berdua
Hari Baik (1/2)
Hari Baik (2/2)
Sebelum Kamu Pergi
Setelah Kamu Pergi
Sudah Saatnya

Sang Pemusnah Massal

8.6K 985 131
By aileum

▪️21 Hari lagi

Untitled milik Simple Plan sedang berputar di menit pertama ketika Revel membaca suratnya. Tulisan yang dirangkai beberapa menit lalu itu membuat matanya menyipit. Kian menghimpit. Terus menyempit.

Lama-lama ia merasa jengkel. Cowok kurus itu lantas merobek halaman bukunya. Meremas dengan penuh nafsu. Menjejalkan ke dalam saku jaket.

Suratnya jelek! Makinya dalam hati. Ia semakin mengubur gulungan kertas itu ke dalam saku, memastikan tidak bisa keluar lagi. Sambil mendengus, ia memijat-mijat pelipis. Tepat pada saat itu, lirik "i just wanna scream how could this happen to me" berdengung di kuping.

"Lihat, betapa bodohnya dirimu! Untuk menulis surat saja masih salah-salah. Sebenarnya apa yang bisa kamu lakukan selain menyusahkan orang lain?"

Walau memakai earphone, Revel bisa merasakan 'sesuatu' membisikinya demikian. 'Sesuatu' yang Revel panggil sebagai sang Pemusnah Massal. Makhluk itu tak kasat mata. Mengerikan. Buas. Dalam satu detik, setidaknya satu orang terbunuh karenanya. Kurt Cobain, Chester Bennington, Robins William, Kim Jonghyun, Choi Jinri, mereka adalah sebagian korban keganasan sang Pemusnah Massal.

Entah sejak kapan sang Pemusnah Massal mulai mengintai Revel. Seingatnya, makhluk sialan ini tidak ada ketika Revel masih kecil. Dan lagi, julukan sang Pemusnah Massal ini muncul begitu saja di pikiran Revel.

Sang Pemusnah Massal awalnya berukuran kecil. Namun, semakin bertambah usia Revel, semakin membesar pula dia. Sang Pemusnah Massal selalu menggiring Revel pada lumpur kedukaan. Tentang memori buruk. Angan yang tidak pernah tercapai. Hingga kecemasan yang belum terjadi. Semuanya tampak kelam jika sang Pemusnah Massal yang menggerakkan katrol di benak Revel.

Jika sang Pemusnah Massal muncul, bernapaspun menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Seperti sekarang. Revel merasa pelipisnya berdenyut. Dadanya sesak. Sekujur badannya mendadak kaku.

Revel berusaha melawan dengan cara bernapas tanpa jeda. Hidu, embuskan. Hirup, buang. Begitu seterusnya. Lima detik berlalu, Revel mulai bisa menguasai diri. Ia kembali ditarik pada kenyataan, bahwa segalanya memang normal. Tidak ada yang salah. Tidak ada sang Pemusnah Massal.

Merasa lebih tenang, Revel meraih kembali gulungan kertas di saku jaket. Membuka sedikit lalu menatapnya tanpa ekspresi.

Surat ini ... Ah, sial! Batinnya. Surat ini biarlah menjadi persoalan nanti. Tenggat waktunya masih lama. Lagi pula, tidak menuliskan surat juga tidak masalah. Oma tetap akan menangis ketika menyadari cucunya mati.

Karena bunuh diri.

Revel menelan ludah dengan gusar. Di satu sisi, ia merasa keputusannya sudah tepat. Namun di sudut lain, ia masih belum percaya bahwa inilah pilihannya. Ia akan mati. Melawan takdir Tuhan.

Revel menjejalkan kembali gumpalan kertas ke saku jaket. Bersamaan dengan itu, dalam hati ia terus mengulangi, Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja.

Revel menutup buku catatannya, melepas earphone di kuping, kemudian memandang sekeliling. Ia tersadar telah keasyikan. Ternyata sejak tadi ia abai terhadap sekitar.

Ia sedang berada di laboratorium Aljabar Boolean, yang kebetulan penghuninya bukan ia seorang. Ruangan yang biasa dipakai praktikum untuk mahasiswa semester tiga ini sedang dihuni enam orang. Tiga cowok, yang merupakan adik angkatannya, sedang ribut memainkan komputer admin. Letaknya berdiagonal dengan Revel.

Dua yang lain, sedang bisik-bisik. Mungkin curhat (sebab dua ini kaum hawa). Mereka juga adik tingkatnya. Lalu sisanya Revel sendiri, duduk paling ujung sambil pura-pura membaca draft skripsi padahal tengah menulis surat wasiat.

Jumat sore begini, jadwal praktikum tidak ada. Sehingga laboratorium bisa dijadikan tempat alternatif bagi asprak (asisten praktikum) yang sedang membunuh waktu. Mereka bisa mengerjakan tugas kuliah, main game dan nonton YouTube——asal tidak ketahuan, atau mungkin tidur.

Revel sendiri diam di lab karena jam lima nanti ia akan menemui dosen pembimbing. Jadwal setor bab tiga. Kebetulan ruangan dosennya hanya beda lantai dengan lab ini. Daripada menunggu di kosan, lebih baik ngadem di lab. Seperti itu ia mempertimbangkan keputusannya setelah kelas Jaringan Nirkabel sejam lalu.

"Lemah amat sih jadi orang. Gitu aja nekat bunuh diri."

Revel mendengar suara di arah diagonal, tepatnya di komputer admin. Ternyata tiga mahasiswa sedang mendiskusikan sesuatu.

"Waduh, fansnya juga lebay amat, ya." Lagi-lagi seruan pendapat keluar dari sumber yang sama. Si Bacot Tomvi. Begitulah Revel memanggilnya. "Ngapain coba orang kayak gitu ditangisi? Bener-bener suram anjir."

Revel diam menyimak. Menahan diri untuk tidak menanggapi komentar yang dikemukakan Tomvi.

"Pada ngomongin apa, sih? Seru banget kayak nonton ikkeh-ikkeh kimochi."

"Language-nya tolong, Wen."

Kali ini, dua adik tingkat yang sedari tadi saling bisik, ikut bersuara.

"Ini, Wen, Sel, kaleidoskop daftar artis yang bunuh diri."

Wen (kependekan Wendy, yang bicara soal ikkeh-ikkeh kimochi) dan Sel (kependekan Gisel, yang menegur dengan kata language), menghampiri komputer admin. Dua gadis itu berdiri bersebelahan. Tepatnya di belakang kursi Tomvi yang menghadap komputer.

Tayangan video memang menampilkan kaleidoskop kasus bunuh diri. Detik ini, ditampilkan seorang bintang yang mati dengan cara membakar briket di tempat tinggalnya. Diceritakan kalau penyanyi pria itu memang sudah lama menderita depresi. Dijelaskan pula bahwa setelah kematiannya, beberapa fans nekat menyusul mendiang dengan membunuh diri.

Tayangan berlanjut. Kali ini menampilkan artis perempuan asal Korea Selatan. Penyanyi yang punya bakat akting. Masih begitu muda. Cantik. Kaya.

"Kasihan loh dia ini," komentar Gisel. "Abis keluar dari girlband, karirnya mulai merosot."

"Katanya dia ini suka difoto tanpa beha, ya, Sel?" tanya Wendy.

Tomvi dan dua cowok di depan komputer menahan tawa. Biasa, cowok. Mendengar kata beha langsung senang. Ibaratnya, minuman soda. Dikasih 'susu' langsung gembira. Yeah, soda gembira. Belum pernah coba atau merasa tidak mengerti dengan lelucon ini? Kasihan sekali kalian.

"Hooh." Gisel mengangguk. "Selain itu, kayaknya apa-apa yang dilakuin salah terus di mata netizen. Pacaran sama rapper, dibilang kegatelan. Pas putus, dituduh udah nggak perawan. Tiap posting sesuatu, pasti komentarnya dipenuhi caci maki."

"Terus gara-gara itu, dia nekat bundir?" tanya Tomvi yang diangguki Gisel. "Lemah banget kalau kayak gitu."

Revel yang masih diam-diam menyimak, tersenyum hambar. Ia mencoba memposisikan diri sebagai Tomvi. Mulai dari terlahir melalui orangtua yang saling mencintai. Hidup bergelimang harta. Digandrungi para gadis. Kemampuan public speaking yang luar biasa. Punya pacar. Hmm, apa lagi yang kurang? Orang seperti Tomvi tidak akan mengerti. Hidupnya sudah penuh warna. Dan berksesan. Tidak aneh kalau ia bisa berkomentar seperti tadi.

"Kadang gue nggak ngerti sama pikiran orang yang nekat bunuh diri." Untuk kesekian kali, Tomvi menyerukan pendapat. "Kalau bukan kerena kurang iman, kayaknya emang lemah aja dia."

"Nggak usah sok tahu lo, Vi," Wendy menukas. "Kita nggak pernah tahu kemampuan dan posisi seseorang kayak gimana."

"Gini, ya, Wen." Tomvi membetulkan posisi duduk. "Di luar sana masih banyak yang punya masalah lebih gede. Lalu apakah mereka bunuh diri? Nggak, Wen. Mereka memilih bertahan."

"Tapi asal lo tahu, Vi. Kadang bukan masalah yang bikin orang jadi depresi. Tapi depresilah yang bikin segalanya jadi bermasalah."

Hening.

Lengang sejenak.

Tidak ada sahutan.

Revel merasa tidak percaya adik tingkatnya bisa bercakap demikian. Seingatnya, Wendy lebih sering nyap-nyap hal tidak penting. Barangkali empat orang itu merasakannya juga. Mereka takjub sebab tumben-tumbenan Wendy bicara serius.

"Bahagia itu pilihan. Tuhan kasih masalah, Tuhan juga yang kasih solusi. Ini gimana kita saja, mau atau nggak bangkit dari keterpurukan?" Tomvi menjelaskan panjang lebar. "Iya kan, Guys?"

Wendy hendak menukas, namun Gisel yang sempat melirik ke arah Revel, malah berkata, "Bang Vel, sini gabung."

"Iya. Sini, Bang." Wendy mengangguk-angguk. Seakan lupa barusan sedang berdebat. "Barusan gue ngomong yang berfaedah, loh. Traktir, dong."

Revel menggeleng kaku. Ia tidak berniat bergabung dalam obrolan mereka. Selain merasa tidak penting, ini sudah waktunya menemui Pak Toddy. Dosen pembimbingnya.

"Dih, udah beres-beres saja."

"Ditunggu Pak Toddy." Revel menyampirkan ransel lalu memeluk bab tiga yang sudah disiapkannya seminggu lalu. "Duluan, ya."

"Good luck, Bang." Tomvi dan dua rekannya menyemangati.

"Kalau acc, langsung joget tengah lapang, ya. Gue temenin nanti," seloroh Wendy.

"Traktir pringles, Bang," tambah Gisel.

Revel tidak bereaksi saat kalimat-kalimat itu terdengar. Ia memastikan lagi tidak ada barangnya yang tertinggal. Ponsel dan earphone sudah masuk saku jaket, bab tiga di tangan, tas juga oke.

Bersamaan dengan ia yang memeriksa barang, rupanya diskusi soal bunuh diri kembali terdengar. Revel tidak bisa lagi menyimak sebab ia sudah di luar lab.

-bersambung

4 Januari 2020

Continue Reading

You'll Also Like

372K 33K 53
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
Retrospeksi By cand

General Fiction

5.8K 972 6
tentang mengenang kembali hari-hari baik yang pernah dilewati.
Miss Rempong By UNI

General Fiction

3.8M 517K 57
Kinanti Wijaya atau orang-orang sering memanggilnya Kiwi merupakan mantan 3rd runner-up Miss Universe perwakilan dari Indonesia, semenjak menorehkan...
23.9K 3.7K 9
"Tahu apa yang paling nggak pasti di dunia ini?" "Perasaan manusia." • Ini kisah tentang aku; alunan musik blues dan ambisi yang meradang. Ini kisah...