Di saat kita sudah sama-sama membuka hati, kesempatan itu tiba-tiba hilang. Tidak tahu apa penyebabnya, tiba-tiba saja kita sudah berjarak.
***
"Itu lukisan lo? Jelek amat," celetuk Late tiba-tiba. Membuat suasana canggung di sana seketika lenyap. "Vanila udah jelek, jadi makin jelek di gambar itu. Buahahaha."
"Hih! Lo kenapa sih selalu ngajakin gue perang!" Vanila langsung menyerang Late, menjepit leher cowok itu dengan ketiaknya. "Noh, untung gue udah mandi kan jadinya wangi."
Late tidak hanya diam saja. Ia melakukan perlawanan. Ditarik lengan Vanila lalu dipelintir ke belakang. Dalam sekali sentakan, sepasang tangan gadis itu sudah berada dalam cekalannya.
"Gue udah belajar beladiri dikit-dikit sama Bang Heksa. Jangan main-main lo." Late berkata bangga, dadanya dibusungkan.
Entah kebanggaannya itu ditujukan untuk sendiri atau kepada Heksa yang menjadi sosok idolanya.
Bola mata Brilian seketika menatap nanar. Bukan tertuju ke arah kedua remaja itu, melainkan menyorot pada selembar kertas yang terjatuh ke lantai. Bahkan ujung kertasnya sedikit terinjak sepatu Vanila.
"Lo cari mati ya, Lat?" tanya Vanila dengan nada mengintimidasi. "Lepasin buruan atau kalau nggak..."
"Kalo gue tetep nggak mau nglepasin?" Bukannya takut, Late malah meracau. Ada makna tersirat dari pertanyaannya.
Kerongkongan Vanila tercekat. Berkali-kali ia meneguk ludah, terlihat gugup. Saat tatapannya terlempar ke sudut lain, ia buru-buru mengangkat kakinya, menjaga jarak dari Late.
"Eh, eh... Ya ampun sorry Bri, gue nggak lihat kertasnya jatuh." Vanila memungut kertas di bawahnya dengan wajah bersalah. "Yah, jadi agak kotor."
"Makin kumel dah tu muka lo. Persis kek aslinya," ucap Late cekikikan.
"Ini gara-gara lo, sih! Buruan bersihin." Disodorkan kertas itu ke hadapan Late.
Namun gerak refleks cowok itu lebih cepat. Ia menyingkir menghindari Vanila yang mendekat. "Hih, ogah. Sepatu lo kan sering dibuat jalan di yang becek-becek, juga di tempat kotor."
Belum cukup menghamkimi Vanila, bola mata Late kembali melebar. "Jangan-jangan pernah lo bawa nyungsep juga di selokan, ya?"
Mendengar itu, Vanila maju selangkah lantas menonyor jidat Late. "Lo pikir gue anak batita yang baru belajar jalan? Sampe bisa nyungsep di selokan?"
"Ya kan lo itu takut banget sama anjing. Bisa aja lo pernah dikejar anjing terus lari kenceng sampe nggak liat jalan. Eh ternyata di depan ada selokan," komentar Late memberi alasan yang lebih masuk akal.
Brilian terdiam, meresapi setiap kalimat yang meluncur dari bibir Late. Mendung menggelayuti wajahnya.
Baru saja Vanila hendak melayangkan pukulan ke lengan Late, ponsel di saku gadis itu berdering.
"Kak Hansamu ngapain telepon gue, ya?" tanya Vanila pada Brilian yang merespon dengan mengedikkan bahu.
Usai berbincang beberapa menit, gadis itu menghampiri Brilian yang baru saja kembali berbaring di ranjangnya.
"Lo ada janji sama dia, kan? Kayaknya dia mau ngasih formulir buat event running Minggu depan," ucap Brilian secara detail.
"Lah, kok lo tahu?" Vanila heran sendiri. Brilian seperti menjiplak kalimat yang baru saja disampaikan Hansamu. Sama persis.
"Kan dari dulu kalo lo punya jadwal, gue yang jadi remindernya." Brilian berkata dengan bangga sembari mengerling Late yang terlihat mati kutu.
Melihat Vanila yang dilanda kebimbangan, Brilian berujar lembut. "Sana buruan, Van."
"Gue tinggal nggak papa?" tanya Vanila ragu-ragu, menatap Brilian penuh harap.
"Iya, Van." Brilian mengangguk pelan. Diusap-usap kepala Vanila sebelum gadis itu beranjak.
"Kayak Kocheng Oren aja, pake acara dielus-elus kepalanya." Late terlihat sewot.
Bibirnya maju lima centi, mirip emak-emak yang lagi ghibah berjamaah di tukang sayur.
Vanila melengos tak peduli. Disampirkan ranselnya lalu berkaca untuk merapikan rambut seadanya. Saat melewati Late, gadis itu spontan menghentikan langkah.
"Apa?" tanya Late begitu mendapati Vanila menatapnya memelas. "Lo mau apa, ha?"
"Daripada gue pesen ojek online nih, lo kan lagi nganggur ya," walau Vanila masih basa-basi, Late seolah bisa menangkap arah pembicaraan gadis itu, "mending lo anterin gue aja ketemu Kak Hansamu."
Late mendecih, tatapannya dibuang ke arah lain. "Lo lari aja dari sini sampe sekolah. Biasanya juga gitu."
"Ya tapi nggak sejauh ini juga keles," sembur Vanila lalu menarik kasar kerah belakang seragam Late. "Buruan sih, Lat. Sekalian gue pinjem power bank."
"Hih, Van.. seragam gue kusut nanti
Iya..iyaaa. Gue anterin asal bensinnya diganti," jawab Late.
Niatnya becanda, tapi malah membuatnya hampir kena timpuk dari Vanila.
Daripada membuat moodnya buruk, Brilian mengutak-atik ponselnya. Mengirim beberapa chat untuk Helen sebelum Vanila berteriak pamit dari ambang pintu sembari melambaikan tangan. Ia baru sadar kalau dari tadi pacarnya tidak kelihatan.
Helen ke mana ya?
***
"Lo boongin gue, ya?"
Baru lima menit Vanila masuk mobil Late, suasana perang sudah membara.
Late baru saja menyalakan mesin mobilnya. Ia lantas mengerling ke arah Vanila yang sedang menatapnya gusar.
"Apa sih, Van? Bisa nggak, kalo toa di dalem tenggorokan lo itu dimuntahin dulu? Lama-lama gue harus konsul sama dokter THT, dah. Kuping gue sakit." Late menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kesabarannya.
"Power bank lo nggak ada isinya," sembur Vanila sembari mencoba menekan-nekan salah satu tombol yang tetap saja tidak menyala. "Katanya mau minjemin? Ikhlas nggak, sih?"
Jeda sejenak, Late hanya menoleh lalu menatapnya dalam diam. Atmosfer di dalam mobil seketika berubah hangat. Meskipun AC juga dinyalakan, Vanila merasa pipinya tiba-tiba memanas.
"Lo tetep bisa nge-charge kok, Van. Tuh, di bawah tape ada colokannya."
Suara Late terdengar lebih lunak dari biasanya. Bukan karena ingin bersikap lembut pada Vanila, tapi jika sedang bersiap mengemudi, ia ingin situasi di dalam mobil lebih tenang.
Vanila menatap ragu lalu memajukan badannya untuk menancapkan kabel charge.
"Oh, iya ternyata bisa. Hehe. Maapin katrok," tukas Vanila sambil meringis. Ia hendak bersandar ke kursi lagi, namun tangan Late yang terulur di belakang kepalanya menghadang.
"Sabuk pengaman lo," ucap Late. Tangannya terangkat, menggenggam sabuk pengaman di kursi Vanila.
Gadis itu tersenyum kikuk. Tubuhnya mematung melihat ruang kosong di bawah tangan Late yang terangkat. Itu artinya kepala Vanila harus menerebos dulu sebelum ia benar-benar bisa kembali ke posisi duduk.
Dan anehnya, kenapa Late seperti sedang menunggu memasangkan sabuk pengaman untuknya?
Dia kemasukan malaikat dari mana, sih? Tiba-tiba jadi baik gitu.
"Buruan, Van." Late sudah mulai pegal. Tapi jujur saja, ia berharap Vanila tidak memberi penolakan.
Bulir-bulir keringat dingin mulai membasahi dahi Vanila. Rasanya gerah. Padahal jelas-jelas AC di dalam mobil mewah Late berfungsi baik.
"Nanti kalo sampe gue kena cegatan polisi gara-gara lo nggak pake sabuk pengalaman, sekalian aja gue jadiin lo jaminan ya." Late berkata dengan santainya sembari mendorong pelan bahu gadis itu.
Diamnya Vanila seolah menunjukan jika secara tidak langsung, penawaran Late diterima. Jarak wajah kedua remaja itu benar-benar hanya tinggal satu jengkal, ketika Late berhasil membujuk Vanila duduk tenang di kursinya sendiri.
"Kalo bisa kalem gini, lo manis juga kayak kucing persia peliharaan crazy rich pipel." Late mengulas senyum ketika dua pasang mata itu saling memandang intens.
Klik!
Vanila mengerjap-ngerjap begitu mendengar sabuk pengamannya sudah terkunci. Sadar jika Late masih ada di hadapannya, spontan didorong kasar tubuh cowok itu sampai membentur kaca mobil.
"Astagaaa, dasar beringas! Nggak jadi kucing persia dah. Udah bener bar-bar lo emang mirip kocheng oren," tukas Late sembari mengusap-usap lengannya yang terhantam kaca mobil. "Dasar nggak tahu terima kasih!"
"Lat, Lalat sorry ya... Gue nggak sengaja," ucap Vanila yang merasa bersalah melihat Late kesakitan.
"Bodoh amaaat, gue turunin lo di pinggir jalan biar digondol Wewe gombel." Late mengerutkan bibirnya lalu mulai menjalankan mobilnya.
"Emang siang-siang ada Wewe gombel?" tanya Vanila menahan tawa.
"Oh, gue tahu harus bawa lo ke mana." Late menoleh sekilas. Matanya menyorot jahil. "Ke pet shop atau ke tempat penitipan anjing. Sekalian gue titipin lo ke sana. Buahahahhaa."
Vanila tak menggubris. Ingin melesatkan perlawanan, namun ia tahu tak akan ada habisnya kalo sudah beradu argumen dengan Late.
Cowok banyak omong itu tidak pernah bisa tenang. Ada saja kalimat-kalimat provokasi yang ditembakkan untuk memancing amarah Vanila.
"Tidur aja kalo ngantuk, ntar gue bangunin." Late melihat Vanila yang menguap berkali-kali.
"Yaelah, lima belas menit doang masa suruh tidur?" Vanila berdecak. "Eh tapi kalo lo yang nyetir, bisa-bisa setengah jam sih."
Setelah komat-kamit mengomentari cara mengemudi Late, ia akhirnya lelah sendiri. Giliran Late yang bercerita. Walau sesekali Vanila tetap menimpali dengan nada sarkas, cowok itu masih saja melanjutkan ceritanya.
Sampai tanpa disadari, lamanya perjalanan seolah tenggelam di antara obrolan seru kedua remaja itu.
"Nggak usah parkir di dalem dong, Lat. Kita kan tadi bolos." Vanila buru-buru meminta Late berhenti di area luar sekolah. "Gue janjian sama Kak Hansamu di deket penjual cilok legendaris itu tuh, Mas Dio."
"Yaudah buruan sana, gue tunggu di sini." Late membuka kunci mobilnya agar Vanila bisa cepat ke luar dari sana.
Saat ia hendak mengganti playlist dari tape mobilnya, tatapan Late bergeser ke sebuah benda yang ada di dekatnya.
"Van, hp lo!" teriak Late tepat ketika Vanila menutup pintu mobil. Alhasil, suaranya tidak terdengar. "Ah, yaudah biarin di sini dulu lah. Ntar lagi juga balik."
Baru sedetik ponsel Vanila diletakkan, terdengar suara panggilan masuk dari seseorang.
"Brilian?" Late mengeja nama yang berpendar di layar ponsel itu. "Kirain nama kontaknya bakalan alay. Entah Lianku, Brilian My Love, atau..."
Late mengibas-ngibaskan kepalanya. Menghalau imajinasi liar yang berkeliaran. Lalu setelah memantapkan hati, disapa Brilian dengan suara lantang.
"Kenapa, Bri?" Merasa menang, Late tersenyum picik.
"Vanila mana? Obat sakit perutnya ketinggalan," tanya Brilian sinis. Mendadak bad mood begitu mengetahui Late yang menjawab panggilannya.
"Lagi di luar, nemuin Bang Hansamu. Ya udahlah ntar tinggal gue beliin lagi." Late menjawab enteng. "Lagian dia juga udah nggak mules-mules kok."
"Ck, bisa aja mulesnya kambuh lagi. Atau bahkan lebih parah," ucap Brilian ambigu. Membuat Late seketika mengernyit.
Bola mata Late seketika melebae. "Maksud lo apaan? Kok lo malah doain yang buruk-buruk ke dia?"
Sadar berhasil memancing mangsanya, Brilian semakin semangat. "Bukannya doain yang buruk-buruk, tapi emang gitu kenyataannya. Selama Vanila ada di deket lo, dia bisa aja celaka sewaktu-waktu."
Pegangan Late di ponsel Vanila mengencang. Ia sengaja tetap diam, penasaran dengan maksud ucapan Brilian.
"Kejadian Vanila terlambat sampe nyaris manjat gerbang sekolah. Terus beberapa waktu lalu dia juga sempet kejebak di dalem lift, kan?"
Late bungkam, tak bisa menimpali.
"dan juga tadi siang, dia sakit perut tiba-tiba padahal baru makan dua suap. Lo pikir itu kebetulan?"
Semakin didiamkan, Brilian semakin bebas memojokkan Late.
"Terus maksud lo, semua kesialan yang dialami Vanila itu, penyebabnya gue?" tanya Late dengan suara parau.
Kalimat-kalimat yang dilontarkan Brilian terasa menusuk hingga membuat telinganya terasa sakit.
***
Welcome to the 1600 kataaaaa. Kalo boleh milih, senengan 800 kata, 1000 atau 1600+?
Jangan jawab ILY 3000 kata, ntar gue mabok. Wkwkw. Special Malem Minggu, gue banyakin dah katanya. Biar para sobat jomblo nggak gabut-gabut banget.
Kalian yakin nggak kalo VaniLate someday bisa diterbitin? Gue yakin dan percaya kalo adik-adik kelas Pijar Heksa ini bisa dipeluk versi cetaknya. Ucapan kan doa, ya? Aamiinin
Salam sayang untuk sobat ambyarku,
Rismami_sunflorist