Tentang Kita

By Elsamhra

195K 10.4K 650

AWAS BAPER ⚠️ "Berbeda itu indah. Namun tidak dengan cinta beda agama. Rumit." Segala pikiran yang ada. Semes... More

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36

BAB 37

2.7K 202 23
By Elsamhra

Assalamu'alaikum, sorry update ngaret tapi tetep happy kiyowoo!

Absen dong buka bab ini jam berapa?

Bisa gak ya dapat spam di part ini? Bantu spam ❤️ share dong Bucinnestar ^^

Bentar lagi tamat guys jadi siapin kata-kata perpisahan yaw.

****

"Tidak ada kisah sempurna di setiap bait cerita, begitu juga dengan cinta kita."

Bunyi mesin mobil yang bergesekan dengan jalanan mengisi keheningan dua sejoli, dan Ciko si anak aktif yang bertugas sebagai pembatas mereka. Rian tidak keberatan ada Ciko begitu pun Alsa, bahkan Gadis itu terlihat senang memangku Ciko yang berisik. Ciko sengaja berisik untuk mencari perhatian Alsa, namun Rian selalu mengajaknya bicara dan mengalihkan pembicaraan.

Ciko yang kesal dengan Rian karena selalu memotong pembicaraannya pun menangis karena tidak diberi kesempatan berbincang dengan Alsa. Mau tidak mau Rian harus memenangkan dengan bantuan gadis yang ada di sampingnya. Seharusnya tidak begitu, justru Rian yang kesal karena Alsa lebih perhatian pada Ciko.

"Hiks, Bang Rian nakal ..." Sudah lima menit Ciko menangis dan mengeluarkan kata-kata yang sama dari awal.

"Cup ... cup ... Ciko ganteng jangan nangis nanti gantengnya hilang." Dengan selembar tisu yang Alsa ambil dari tangan Rian, ia pun segera mengelap bulir air mata yang turun di pipi Ciko.

Tangis Ciko mereda mendengar pujian dari Alsa. Tampak menggemaskan tapi Rian tidak suka melihat Alsa memuji orang lain, bahkan anak kecil sekalipun.

"Gantengan juga aku." Ketua Vernski itu tak mau kalah dan ingin dipuji Alsa juga. Sementara gadis berhijab biru muda itu hanya menggelengkan kepala melihat dua lelaki yang sama-sama haus pujian dan saling mengiri.

Ciko mengerucutkan bibirnya yang mungil, ia cemberut tidak terima dengan yang Rian katakan. "Bang Rian jelek! Yang ganteng cuma Ciko. Iya, kan, Kakak cantik?" Ciko menatap ke arah Alsa, yang sekali lagi Ciko bilang cantik.

"Iya ... Ciko paling ganteng sampe Kak Rian aja kalah saing." Kata-kata itu Alsa lontarkan agar Ciko senang, sampai tidak peka kalau lelaki yang sedang menyetir mobil malah menggerutu dalam hati.

Ciko tampak kegirangan dan menatap sengit ke arah Rian yang memberikan tatapan tajam padanya. Begitulah anak kecil, ingin selalu menang.

Entah mengapa hari ini Rian merasa kesal dengan Ciko, padahal biasanya mereka teramat akrab sekali. Rian sesekali melirik ke samping dan melihat Alsa mencubit pipi Ciko dan membuatnya tertawa. Tawa Alsa menyamankan hati Rian yang gundah dengan keadaan, Rian suka mendengarnya. Rian ingin melihat Alsa tertawa setiap saat, seperti sekarang meski dengan orang lain.

"Ciko," panggil Rian dengan suara hangatnya.

Tawa Ciko terhenti. Dia menatap wajah Rian yang fokus menyetir mobil. "Apa?" Suara mereka berbeda, sudah tidak saling sengit, tidak seperti tadi terpendam kemarahan.

"Abang mau ngobrol sama Kakak cantik, Ciko diem bentar ya?" Rian sengaja meminta izin dulu supaya Ciko tidak mencari perhatian Alsa nantinya.

Alsa terlihat gugup. Dia juga bingung mengapa Rian harus meminta izin pada Ciko, toh mereka hanya sekedar mengobrol saja.

"Tapi Abang tadi nakal sama Ciko." Anak laki-laki itu melipat kedua tangannya di depan dada, sengaja membuang muka saat Rian menatapnya.

Beruntung mereka berhenti di lampu merah yang baru saja mulai, jadi Rian bisa membujuk Ciko lebih lama dengan memberikannya coklat yang ada di laci mobil

"Nih, Abang minta maafnya pake cokelat. Ciko mau gak maafin Abang?" Rian sengaja mendekatkan cokelat itu pada Ciko yang tampak sudah mulai tergiur dengan tawarannya.

Ciko hendak mengambilnya namun dengan cepat Rian menarik kembali cokelat itu, sebab belum ada kata diterimanya maaf dari Ciko sendiri. Bisa rugi dan harus mencari cara lain jika Rian memberikan cokelat secara cuma-cuma tanpa sepertujuan.

"Mau gak?" Tawar Rian lagi. Ia juga tidak sabar karena sebentar lagi lampu berubah hijau, itu artinya Rian harus mengendarai mobilnya kembali.

"Ya udah Ciko mau." Tanpa pikir lagi Ciko akhirnya memaafkan Rian. Kapan lagi mendapat gratisan apalagi coklat kesukaannya.

"Nah, gitu dong daritadi." Rian tersenyum atas keberhasilan caranya membujuk Ciko yang sudah berani mengambil perhatian Alsa. Jika diingat lagi Ciko belum memakan coklat sejak empat bulan lalu. Terakhir Ciko makan coklat pada saat ulang tahun sang Mama itupun cuma sedikit.

Ciko tersenyum mendapatkan cokelat gratis, jika bersama Abangnya––Fahri–– mana bisa Ciko menikmati cokelat. "Makasih Abang." Ciko mengambil cokelatnya dari tangan Rian.

"Sama-sama Ciko ganteng."

Rian melirik Alsa yang menyuruh Ciko untuk tidak memakan cokelatnya sekarang. Tahu sendiri anak kecil kalau makan belepotan kemana-mana. Rian tersenyum simpul, kemudian mengemudikan mobilnya kembali.

"Sa," panggil Rian namun tidak menatap Alsa, tatapannya lurus ke depan melihat jalanan.

Merasa terpanggil Alsa justru menatap Rian yang fokus menyetir. "Kenapa Kak?"

Mendengar suaranya saja Rian sudah jatuh cinta. "Kita kaya keluarga bahagia yang mau piknik." Rian terkekeh sementara Alsa menundukkan kepalanya. "Habis ke pesta kita ajak Ciko jalan-jalan ya Sa?"

Alsa mengangguk. "Terserah Kak Rian aja." Topik pembicaraan Rian sudah terlalu jauh, sangat. Alsa bingung mengenai respon yang harus dia berikan untuk menjawab pertanyaan Rian.

"Kalo terserah aku nanti kamu, aku ajak ke KUA." Rian tertawa melihat wajah Alsa yang tidak ada senyum-senyumnya.

"Belum waktunya ya?" Lelaki berkemeja hitam itu pun melontarkan pertanyaan.

"Kalo aku masuk Islam gimana, Sa?"

Alsa tidak bisa mengontrol degup jantung dengan rasa gugup, sementara Rian tampak biasa-biasa saja setelah menanyakan hal itu. Hal yang kalau dipaksakan menjadi dosa. Rian tidak mungkin masuk Islam tanpa ada niat dalam diri namun, jika itu terjadi maka Alsa ikut senang. Alsa juga tidak memaksa, jika Rian jodohnya maka tidak akan tertukar.

****

Setelah menghadiri pesta pernikahan Disya dan Andostil, Rian berinisiatif mengajak Alsa serta Ciko pergi menuju taman bermain. Ciko pasti senang ke sana apalagi ditemani Alsa juga. Rian menyuruh anggota Vernski yang lain untuk kembali ke basecamp. Rian tidak ingin suasana jalan-jalannya dibuntuti satu tongkrongan.

Sebelum pergi Rian juga sudah meminta izin pada Fahri untuk mengajak Ciko main, dan itu diizinkan. Fahri percaya pada Rian, begitupun sebaliknya. Ciko sudah Rian anggap adik sendiri meskipun kadang menyebalkan jika sudah merebut perhatian Alsa darinya.

"Kita ke Timezone mau?" Rian menoleh ke arah Alsa membuat pandangan mereka saling bertubrukan. "Aku udah izin sama Abi, Umi, barusan. Mereka izinin aku bawa anak gadisnya main."

Mendengar itu Alsa sedikit kaget dengan sikap orang tuanya terhadap Rian. Mereka seperti sudah mengenal lama, dan Rian juga cepat sekali mengambil hati orang tuanya.

"Iya, Kak." Jujur Alsa malu sekali.

Rian tersenyum mendengar jawaban Gadis di sampingnya.

Sekarang mereka berada di Timezone dimana banyak permainan yang harus dicoba. Banyak anak kecil juga di sana membuat Alsa senang melihatnya. Alsa menyukai anak kecil, selain ingin menjadi Ibu, Alsa juga bercita-cita punya sek

"Wah ... Ciko mau main itu Kakak cantik," ujar Ciko sambil menunjuk ke area permainan mandi bola.

"Apaan bola semua," celetuk Rian tanpa sadar.

"Biarin, kan, Ciko yang mau main." Ciko menarik tangan Alsa dan meninggalkan Rian sendiri.

Mereka menuju area tiket dan membeli dua tiket sekaligus. Ciko ingin ditemani Alsa, alhasil Alsa harus ikut masuk dengan membayar tiket sebesar 15.000 ribu/tiket. Rian tidak tinggal diam melihat Alsa dan Ciko sudah berada di dalam area mandi bola. Dia juga ikut membeli tiket dan masa bodoh dengan pengunjung lain yang melihatnya masuk ke area permainan anak kecil.

Rian mendekati Alsa yang berdiri dipinggiran tempat mandi bola. Gadis itu fokus sekali melihat Ciko yang bermain di setumpukan bola warna-warni.

"Kenapa enggak nungguin aku?" tanya Rian dengan ekspresi kesal yang  disengaja.

Alsa menatap Rian dan tidak menyangka lelaki itu mau masuk ke area permainan anak kecil seperti ini. "Aku kira Kak Rian enggak mau ikut main."

"Maulah, kan, ada kamu."

Alsa bingung membalas perkataan lelaki di sampingnya, alhasil Rian kembali mencari topik karena kepekaan yang tinggi.

"Ngomong-ngomong kapan pengumuman juara olimpiade, Sa?"

"Satu atau dua minggu lagi, kenapa Kak?"

"Nanya aja." Rian spontan melirik ke arah jam tangan. "Sebentar lagi waktu sholat Dzuhur," ujar Rian mengingatkan Alsa akan kewajibannya.

Alsa tidak langsung membalas, dia mengontrol degup jantungnya yang berdetak kencang. "Iya Kak," balas Alsa sedikit tersenyum tipis.

Tiba-tiba ponsel Rian berdering dan dia sedikit menjauh dari Alsa untuk mengangkat telepon, sementara Alsa  menghampiri Ciko yang terus memanggilnya untuk ditemani.

****

Rian menggendong Ciko sampai ke parkiran sementara Alsa membawa plastik belanjaan yang berisi cemilan milik Ciko. Mereka bertiga sudah seperti keluarga cemara yang sedang menikmati waktu luang. Rian sedang membayangkan itu semua sambil menatap Alsa yang hendak membukakan pintu mobil.

"Ciko biar tidur di kursi belakang aja, Sa."

Alsa langsung menatap Rian sambil menggelengkan kepalanya. "Nanti dia jatuh Kak. Ciko sama aku aja biar dipangku."

"Nanti capek."

"Enggak Kak."

"Ya udah."

Mau tidak mau Rian memberikan Ciko pada Alsa untuk duduk dipangkuan gadis itu. Rian cemburu, harusnya tidak perlu mengajak Ciko kalau jadinya begini.

Rian pun menyetir mobil dengan santai. Tidak mungkin Rian mengajak Alsa kebut-kebutan di kondisi dia menyayangi gadis itu. Cukup saat sendirian saja Rian mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi, kalau bersama orang lain jangan.

"Mau sholat dimana?" Rian menoleh sekilas ke arah Alsa.

"Di Masjid terdekat aja."

Rian mengangguk.

Lalu mencari Masjid terdekat dipinggir jalanan kota. Tidak sampai lima menit mereka menemukan Masjid megah berwarna emas. Rian langsung memarkirkan mobilnya di bawah pohon rindang yang kebetulan khusus tempat parkir.

Rian keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Alsa yang sibuk memangku Ciko.

"Ciko biar sama aku." Rian merebut Ciko dari Alsa dengan hati-hati dan menjaga jarak.

Alsa keluar dari dalam mobil dengan mata terpesona dengan keindahan Masjid nan megah di depannya. Banyak orang yang berdatangan membuat Alsa senang melihat itu semua.

Sembari menggendong Ciko yang masih tertidur, Rian mengikuti langkah Alsa sampai ke depan batas suci Masjid. Rian berhenti, Alsa pun begitu. Mereka saling pandang lalu Rian mengembangkan senyum untuk menghilangkan rasa canggung.

"A–-aku masuk dulu ya Kak." Alsa tidak mungkin memaksa lelaki berkalung salib itu masuk ke dalam Masjid.

Rian mengangguk. "Jangan lupa doain aku, Sa."

Buru-buru Alsa membuka sepatu sembari mengontrol degup jantung tak karuan. Hal itu ternyata diketahui Rian yang memiliki kepekaan tinggi terhadap Alsa. 

"Sekalian aku mau titip doa," ujar Rian membuat Alsa menoleh ke arahnya.

"Doa apa?"

"Semoga kita berjodoh."

Alsa terdiam selama beberapa detik. Otaknya berusaha mencerna perkataan Rian, namun logika berkata itu tidak mungkin.

"Kalo kita takdirnya enggak berjodoh gimana Kak?" Pertanyaan itu lolos secara spontan dari bibir Alsa.

"Yang penting kita pernah sama-sama." Rian tersenyum dengan hati yang terluka. Pura-pura tegar padahal itu bohong.

Begitu juga dengan Alsa yang entah mengapa hatinya sakit mendengar perkataan Rian barusan. Seolah-olah menyerah dengan keadaan. Rian menyukai Alsa, begitupun sebaliknya. Tapi mereka tidak bisa pacaran apalagi sampai menikah.

****

Rian kembali menyetir mobil setelah Alsa selesai melaksanakan sholat Dzuhur. Sementara Ciko, anak itu sudah bangun dan sekarang duduk di kursi belakang sambil memakan cemilan.

"Mungkin udah waktunya aku nyerah Sa," ujar Rian tiba-tiba tanpa menoleh ke arah Alsa.

"Maksudnya apa Kak?"

"Aku nyerah perjuangin kamu. Aku takut semua sia-sia."

Deg. Harusnya Alsa tidak kaget mendengar itu, namun mengapa hatinya bisa sesakit ini. Padahal sudah dari awal semua yang terjadi salah tapi tetap saja berharap lebih.

"Bentar lagi ujian sekolah, habis itu kita pisah. Aku gak akan ganggu kamu lagi." Rian tampak begitu serius mengatakannya.

Alsa menatap Rian yang sedang menyetir mobil. "Kak Rian mau lanjut ke mana setelah lulus?" Tidak ada salahnya menanyakan itu, Alsa juga ingin tahu tentang Rian.

"Belum kepikiran."

"Yang penting jangan tinggalin ibadah Kak." Alsa tersenyum dengan perasaan tulus.

"Pasti Sa." Kali ini Rian yang menatap gadis di sampingnya.

Sebenarnya ada kecanggungan pada perasaan Alsa sekarang tetapi dia ingin banyak mengobrol dengan Rian yang jarang dilakukanya.

"Kalo Alsa boleh tau, kenapa Kak Rian suka sama Alsa?" Alsa tidak peduli dengan perasaan malu yang memuncak, dia tetap ingin menanyakan itu.

"Kakak gak punya alasan."

"Kenapa?"

"Gak tau Alsa."

"Padahal Kak Rian tau kalo aku muslim."

"Jatuh cintanya gak tau tempat Sa." Rian terkekeh melihat ekspresi gadis di sampingnya.

"Makasih ya, Kak," ujar Alsa membuat Rian seketika bingung.

"Makasih buat apa?"

"Makasih untuk perhatiannya selama ini. Kak Rian udah baik banget sama Alsa."

Rian memamerkan wajah kocaknya dengan mulut yang di maju-maju kan. Alsa yang melihat pun jadi tertawa. Ini kali pertama Rian melihat Alsa tertawa karena dirinya. Iya karena Rian, Alsa tertawa. Tolong ... ini harus di apresiasi.

Wajah Rian berubah sendu saat pikiran buruk memenuhi kepalanya. Tiba-tiba Rian memikirkan orang yang nanti membuat Alsa tertawa selain dirinya kalau mereka memang tidak berjodoh. Baru memikirkannya saja sudah membuat Rian cemburu dan sakit kepala.

"Kakak juga mau makasih ke Alsa. Makasih untuk semua waktunya," ujar Rian. Lampu merah membuat Rian bisa menatap Alsa tanpa harus fokus menyetir mobil.

"Sama-sama Kak," balas Alsa sambil menganggukkan kepalanya.

Rian tersenyum. "Cemburu banget aku, Sa."

"Kok, cemburu?" Alsa jadi heran mendengar perkataan Rian.

"Nanti kamu dapat suami yang rajin ibadah ke Masjid."

"Iyalah Kak namanya juga ibadah sama Allah," balas Alsa. "Kakak juga pasti bakal dapat Istri yang rajin Ibadah ke Gereja," lanjut Alsa. Ternyata berbincang dengan Rian tidak seseram yang dibayangkan.

"Kamu gak cemburu?" tanya Rian.

"Enggak." Alsa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kata Zahra cemburu itu buat yang punya status menikah atau pacaran. Kita, kan, teman Kak," lanjut Alsa sambil menatap Rian.

"Kalo gitu kita pacaran aja."

"Dosa Kak."

"Ya udah kita nikah?"

"Belum waktunya. Kita juga beda agama."

Sial. Kalau sudah bawa-bawa keyakinan, Rian tidak bisa berkutik. Mau sejauh apa pun Rian berjuang kalau Tuhan bilang berhenti ya berhenti, tidak ada toleransi.

Si paling, si paling, paling friendzone.

****

SENENG ENGGAK AKU UPDATE???

Please, ini part panjang banget padahal udah mau ending.

BTW 3 PART LAGI TENTANG KITA TAMAT YAA!

Udah siapin salam perpisahan belum? ayo siapin ciahh.

Don't forget to follow my ig cuz aku promosi cerita di sana.

@kimelsxri

.
.
.

aku update pas readers-nya 200k ya! Love ya :)

makasssi banyak udah mau baca ceritaku!

Continue Reading

You'll Also Like

5.5M 476K 53
- Zona teka-teki 1 - Kalian baca cerita ini siap-siap jadi detektif - Terbit di Hesthetic official "Menikahlah dengan suamiku dan jaga baby Hamzah...
6.8M 483K 59
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
6.6M 573K 72
|| FiksiRemaja-Spiritual. || Rabelline Maheswari Pradipta. Wanita bar-bar, cuek dan terkadang manja yang terpaksa masuk pesantren sang kakek karena k...
65.5K 3.3K 24
Ayana tidak tahu tentang lelaki yang menikahinya. Saat khitbah dan akad terjadi, dirinya sedang mempersiapkan program pemberdayaan masyarakat di seki...