PRIVILEGE [On-going]

Від Depth_etc

684 453 1K

⚠️ Update tiap minggu ⚠️ Privilege atau Hak Istimewa merupakan hak yang diberikan oleh sistem pada kalangan t... Більше

Privilege || 01
Privilege || 02
Privilege || 03
Privilege || 04
Privilege || 05
Privilege || 06
Privilege || 07
Privilege || 08
Privilege || 10

Privilege || 09

9 5 7
Від Depth_etc

Hak Istimewa | Chapter 09
Jumlah kata: 1370 kata

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Proses penyampaian visi dan misi ketua OSIS berjalan lancar, terutama bagi Arthur. Semua itu tak lepas 'terima kasih' pada Xeevara atas bakatnya dalam public speaking. Padahal Arthur baru memberi naskah pidato beberapa menit yang lalu dan Xeevara berhasil menguasainya di menit terakhir sebelum dirinya dipanggil tampil. Terkadang Arthur dibuat salut olehnya. Tidak salah julukan duta bahasa jatuh pada gadis itu.

"Arthur~!"

Decakan keras keluar dari sang pemilik nama, di saat seperti ini, hanya Tuhan yang mengerti bagaimana berkecamuknya perasaan Arthur ketika ia mendengar suara cempreng itu. Bukan, bukan Xeevara. Lebih parah lagi, ini Audrey.

Audrey berlari kecil ke arah Arthur dengan kedua tangan dibuka lebar, seakan—ralat, memang Audrey mencoba mendekap lelaki berjulukan murid teladan itu di depan umum. Untung saja, insting Arthur langsung berbunyi ketika merasakan ada bahaya datang. Kedua tangan Arthur refleks menahan lengan Audrey, tepat sebelum perempuan itu sempat menyentuhnya.

"Anjir! Lo keren bingo pas di depan! Positif, gue jamin lo menang, Thur!" pekik Audrey, "Aaaa~! Makin ganteng aja kalau pake jas ketos!" Bukannya merasa ditolak dengan respon Arthur, Audrey justru menganggap perlakuan Arthur sebagai bentuk pengontrolan hawa napsu. Seorang Audrey pun tahu kalau Arthur gengsian. Yah, gadis itu tak salah menyebutnya gengsian.

Lelaki berjas itu tersenyum tipis mengangguk pelan, bagaimanapun juga ia harus bertindak sopan pada kakak kelas, tak peduli meski Arthur benci—ralat, tidak menghargai keberadaan perempuan ini. "Makasih kak Audrey." Pegangan lelaki itu mulai melemah. "Mohon maaf Kak, saya diarahkan untuk segera menduduki kursi para calon." Arthur memasang wajah berwibawa.

Meski rasanya agak sulit bertindak cool di hadapan murid seperti Audrey, tapi Arthur terus memaksakan diri. Perkataan Audrey sedikit—uhm, genit. "Calon? Calon suami?" Entah bercanda atau serius, tapi senyum miring tertampang di wajahnya. "Ngapain ke sana, Thur? Mabal sekali aja gak bakal ngaruh apa-apa ke kasta lo. Ngikut gue, kuy! Kita ke kantin, gue bakal kasih apapun yang lo mau, oke~?" tawar Audrey antusias. Cewek itu meronta mendekatkan diri hingga Arthur terpaksa menguatkan pegangannya.

Koreksi Arthur sebatas dalam batin. Audrey pikir, menjadi murid teladan itu hanya sebatas julukan? Tidak. Arthur bisa langsung di cap nakal, meski sekali. Jangankan berpikir mabal, seorang murid teladan berinteraksi layak teman dengan murid berandal pun menurunkan derajat. Murid teladan melaporkan tindakan mereka, bukan berteman dengan mereka!

Terakhir kali Arthur berinteraksi dengan murid blazer—ia Raven. Tak separah Audrey, tapi karena ia siswa pertama yang mendapat blazer di angkatan, otomatis ia menjadi pemimpin pengguna blazer yang akan datang. Ah, lupakan Raven, Audrey di hadapannya. Khusus Audrey, satu sekolah tahu senior ini posesif pada murid teladan. Andai Arthur tak dekat cewek—ralat, kalau tak ada cewek sok manis di hadapannya, Audrey tak perlu labrak mereka satu-satu, hingga timbul laporan pembulian Audrey.

"Sekali lagi, maaf. Saya harus hadir di pembukaan sampai penutupan acara," balas Arthur sopan. Cengkraman kuat, tetapi tidak menyakitkan perlahan memudar dari pergelangan tangan Audrey. Tak ada lirikan sekilas, sang murid teladan membalikkan tubuh tanpa memedulikan gadis itu.

Bibirnya Audrey mengecut beberapa senti, kedua tangannya ia simpan di pinggang. Matanya menatap sinis kepergian lelaki itu. "Yeuu! Palingan lo gak sabar ketemu cewek lo itu, dasar sok ratu!" Sebutan itu tak didengar, tak aneh karena Audrey terbiasa diperlakukan seperti ini.

Mata Audrey tak sengaja menangkap banner. Banner itu bertuliskan hal-hal istimewa mengenai proses pemilu, katanya adil, bebas, dan umum yang membuat mata Audrey sakit. 'Ha! Pencitraan!' tukas Audrey. 'Males banget di tempat beginian, terlalu banyak pencitraan!' Dengan begitu, Audrey berlari menuju pintu keluar, ia sadar tempatnya bukan di sini. Lagipula, murid blazer tak diberi kesempatan memilih. Perlu dipertanyakan isi banner itu.

Bagai barang keluaran terbaru disimpan di museum, Audrey tak berharga. Maka, jangan salahkan gadis itu bila ia memilih toko—lebih menghargainya. Harga tiap orang berbeda, tergantung di lingkungan mana ia berada.

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

"Oy!"

Otomatis Nessa menoleh, ia dihadapkan dengan seorang lelaki blazer yang sebelah celananya dilipat, memperlihatkan cairan merah pekat melekat di sana, perlahan menuruni betis lelaki itu. "Hih!" Nessa langsung mengalihkan kepalanya, ia tak mau melihat dua hal yang ia takutkan sekaligus. Raven dan darah. Nessa tak menyukai rasa sakit yang dibawa darah.

Lelaki itu melangkah masuk sambil menyelidiki keadaan sekitar. "Mana nih yang jaga UKS?" tanyanya sambil mengangkat dagu. Bodo amat dengan ekspresi horor Nessa. Gapapa, ini bukan pertama kalinya ia bertemu cewek lemah darah, padahal mereka hidup berkat darah.

Raquel langsung kembali untuk memeriksa Nessa, gadis itu tertegun ketika matanya menangkap sosok lain di ruangan. "Ini masih pagi dan lo udah terlibat perkelahian lagi?" tanya Raquel spontan, ia jadi teringat dengan Adrian, teman kelasnya yang sekali tawuran pasti dibawa ke UKS.

Belum apa-apa sudah dituduh, mata Raven membulat tidak terima sekilas sebelum berdecih. "Udahlah. Lakuin aja kerjaan lo, jangan banyak tanya. Gue masih suci." Raven melangkahkan kakinya menuju kursi seakan-akan lukanya itu tidak ada. Diam-diam ia melirik gadis yang terbaring di nakas. Mata elang Raven menatap luka kakinya. Tiba-tiba tersenyum miris mengingat alasan ia jatuh dari motor. Masa iya, Raven jatuh di tikungan saat on the way menuju sekolah tercinta. Hanya supaya tidak kesiangan.

Bleh.

Pada akhirnya, Raven telat juga. Plus, ia dihukum lari selesai upacara karena celananya yang sobek juga atributnya yang entah ke mana, Raven lupa. Seingatnya ia menyimpan dasi dan topi di kolong bangku, sial sekali kedua benda itu hilang saat dibutuhkan. Luck -100

"Pakai alkohol, taburin betadine, terus lo perban."

Semua benda yang disebut diperlihatkan di depan Raven, apa ini sejenis eksperimen? Raven mana mau belajar. "Hah?" Raven bengong. "Lah? Lo pikir gue ke sini buat belajar jadi PMR? Terus apa gunanya penjaga UKS?"

"Sabar, astaga!" desis Raquel melotot. Kenapa lelaki ini harus 'kecelakaan' di saat yang salah? Dengan pasrah, Raquel menmbuka botol alkohol dan meneteskannya pada kapas. "Ini bakal sakit, ya. Tapi, jangan sampai teriak," tegur Raquel, tak berpikir dua kali mengatakan kalimat tersebut.

'Anjir, dikira gue apaan? Banci—Aw' Raven bisa membalas lewat batin, karena saat ini, lelaki itu mencoba menahan mulutnya yang ingin merintih akibat alkohol mengenai luka basah di kakinya. Demi harga diri, sekedar berdeham pun Raven ogah. "Lo niat jadi PMR? Kalau gue jadi pasien rumah sakit, pasti udah mati sekarang." Raven melihat Raquel menekan-nekan lukanya.

Kenapa kita harus merasa sakitnya berobat sebelum sembuh?

Bukannya berterima kasih, malah ngebacot. Raquel semakin menekankan kapas berisi alkohol itu ke luka Raven, ini demi menutup mulut lelaki bawel itu. "Niat, kok. Ya maaf karena gue sedang dalam tahap belajar. Iya kok, tau, masih banyak kekurangan. Makasih, bacotan Anda sukses didengar,"

"Sama-sama."

Raven memejamkan mata. Dilihat dari ekspresinya, sudah jelas lelaki itu menahan rasa perih yang seakan menggerogoti daging basah. Padahal Raven tidak merintih, meringis, apalagi berteriak. Tapi, diamnya lelaki itu justru membuat Raquel sedikit khawatir. Mungkin memang benar pepatah yang mengatakan, diam adalah teriakan paling keras. Sorot mata Raven perlahan terbuka, menampilkan ketajamannya kembali. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit putih UKS.

"Masih kuat jalan ke aula utama, kan?"

"Jangankan aula, ke kantin aja gue mampu."

Lah? Sekarang kan jadwal pemilihan OSIS. Raquel menoleh, menemukan lelaki itu tengah menginjak-injak lantai, mungkin berpikir apakah kakinya sudah tidak lag lagi saat digunakan. Tanpa sepatah kata lagi, pemilik blazer itu melangkah pergi dengan perasaan sumringah. Sakit, tapi sudah tak ada darahnya. Raquel melotot, merasa tidak bersalah sekali lelaki itu.

"Hey!" Raquel melotot, menunjuk lelaki itu dan sempat menghentikkan di ambang pintu. "Ke mana lo? Gue ngobatin luka lo dengan fasilitas sekolah, dan lo ngebalasnya dengan cara engga ikutan program sekolah?"

Tawa kecil keluar lewat deheman Raven. Sepertinya perempuan itu tidak mengerti mengenai ucapannya barusan. Raven melayangkan tangannya di udara seakan melambaikan selamat tinggal ke arah Raquel. "Bye, cantik." Salam sudah, tinggal kabur.

"Zavi—" Raquel menghembuskan napas panjang, tak ada gunanya memanggil lelaki itu. Toh! Ia yakin meskipun panggilannya didengar, tapi tak akan dihiraukan oleh pemilik nama. Memang tak ada gunanya memanggil, tapi masih adakah kemungkinan bila mengejar?

BRUK!

Tangan lain menahan pergelangan Raquel. Gadis blonde menatap tajam ke arah Raquel. "Lo ngapain manggil murid begituan? Biarin ajalah, mereka emang pada gak tahu diri! Bukannya bilang makasih udah diobatin, malah pergi gitu aja, dasar emang manusia kualitas rendah!" gerutu Nessa, menatap sinis kepergian lelaki itu. Sejak awal memang sudah sebal karena Raven sok menjadi raja dengan menuntut diobati, lalu lari sebagaimana kriminal tak tanggung jawab.

"Jangan mau deket-deket kasta begituan!"

Oh, benar. Raquel lupa mereka beda kasta.

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Author's note:

Update bareng sama cerita sebelah, kalian bisa cek ke sebelah juga yaa ^^ si Raven kecelakaan motor masih biasa aja, padahal dulu aku pas kecelakaan sampe trauma megang motor wkwkwk, segitu aku engga luka sama sekali, harusnya kalo gak ada luka ya gak ada trauma juga T_T pengen latihan motor lagi soalnya bakal kepake buat pulang-pergi kuliah, cuman duh gakuat T_T kalian kalau ngadepin hal yang bikin kalian tremor suka ngapain?

Cerita-cerita~! Siapa tau jadi referensi hehee

Makasihh udah sempatin baca sampai sini~ semoga kita bisa ketemu lagi di chapter akhir.

See you on the next chapter~!

Продовжити читання

Вам також сподобається

35.5K 864 28
─────── you got me down on my knees it's getting harder to breathe out . . . ──────────────── 𝑰𝑵 𝑾𝑯𝑰𝑪𝑯 . . . 𝐜𝐡𝐫𝐢𝐬 𝐬𝐭𝐮𝐫𝐧𝐢𝐨𝐥𝐨 ha...
Fate Від Mani

Сучасна проза

359K 18.5K 96
fate : be destined to happen, turn out, or act in a particular way. Often people try to navigate through life with their own plans and wonder why thi...
66.4K 3.3K 157
Mo Chen traveled to the Collapse World and obtained a character strategy simulator. In simulation after simulation, he conquered the conquerable char...
68.8K 3.4K 45
A girl got isekaid into her favourite webtoon called Lookism.She tries to help her favourite characters by disgusing herself as a guy so she can figh...