Despacito [Terbit 28 Oktober...

By IndahHanaco

1.6M 170K 9.1K

Ranking : #1 Chicklit (4-6 Desember 2019) #2 Chicklit (29-30 November, 1-4 Desember 2019, 29-31 Maret 2020... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga [A]
Dua Puluh Tiga [B]
Dua Puluh Empat [A]
Dua Puluh Empat [B]
Dua Puluh Lima [A]
Dua Puluh Lima [B]
Dua Puluh Enam [A]
Dua Puluh Enam [B]
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan [A]
Dua Puluh Delapan [B]
Dua Puluh Sembilan [A]
Dua Puluh Sembilan [B]
Tiga Puluh
Special Order Despacito

Lima Belas

35.1K 4.9K 232
By IndahHanaco

Entah logis atau tidak, salah satu hal yang mencemaskan Febe saat memutuskan untuk menikah adalah mendapati bahwa Kennan mendengkur. Dia terbiasa dengan kamar tidur yang sepi dan tenang. Nyatanya, ketakutan Febe tidak terjadi. Lelaki yang sekarang menjadi suaminya itu tidak mendengkur.

Meski demikian, bukan berarti menyesuaikan diri dalam kehidupan rumah tangga menjadi lebih mudah. Pasalnya, semua serba mendadak. Kini, Febe harus terbiasa melihat Kennan di sekitarnya dalam banyak kesempatan.

Sejak awal, Febe menebak bahwa mereka mungkin akan menjadi pasangan anomali. Hal itu terbukti dengan segera. Tak tahu harus melakukan apa, hari pertama menjadi Nyonya Kennan Arkadia malah dihabiskan Febe dan suaminya di gym hotel.

Untungnya, malam pertama dan kedua mereka di hotel, cukup mulus. Akan tetapi, situasinya berbeda saat mereka pulang ke rumah dan tidur di kamar Febe. Beralasan tak mau Febe terjatuh karena menempati area tepi ranjang, Kennan malah memeluknya. Saat itu, Febe yang -boleh dibilang- tidak pernah dipeluk lawan jenis dengan kondisi seintim itu, sempat menahan napas entah berapa lama.

Jantung Febe seolah meluncur dari ketinggian. Dia benar-benar tak berani bergerak. Bahkan setelah kembali bernapas normal pun dia melakukannya dengan lamban dan hati-hati. Untungnya Kennan tertidur dengan cepat, dipastikan dengan suara napasnya yang teratur. Febe bisa merasakan embusan napas lelaki itu di rambutnya.

Kennan cuma memeluknya, bukan hal yang istimewa jika mengingat status mereka sebagai suami istri. Namun ternyata hal itu menyusahkan Febe. Dia berusaha memejamkan mata sekuat tenaga. Melakukan semua teori yang pernah dibacanya untuk memanggil kantuk. Gagal. Ketika dia beringsut pelan agar menjauh dari Kennan, lelaki itu malah mengetatkan pelukan.

Febe tidak tahu pukul berapa akhirnya dia terlelap. Yang pasti hal itu menjadi biang keladi hingga dia yang memang tak pernah bangun terlalu pagi, kesiangan. Ketika Febe membuka mata, hidungnya langsung mencium aroma kopi. Refleks, dia menoleh ke kanan. Namun, bukannya melihat nakas, dia justru mendapati Kennan sedang memiringkan tubuh sambil menatapnya.

"Kenapa kamu ngeliatin aku serius gitu?" Febe langsung bereaksi. Perempuan itu buru-buru menarik ujung selimut yang awalnya menutupi pinggulnya. Lalu, Febe menggunakan benda itu untuk menutupi mulutnya. Melihat apa yang dilakukan Febe, Kennan malah tertawa geli. Sepertinya, lelaki itu sudah mandi.

"Kamu ternyata sopan banget. Langsung nutup mulut karena nyadar baru bangun tidur dan belum sikat gigi." Kennan membenahi posisi bantalnya. Namun lelaki itu kembali menghadap ke arah Febe.

"Kamu belum jawab pertanyaanku," Febe mengingatkan.

"Soal kenapa ngeliatin kamu? Hmmm, aku nggak tau alasannya. Anggap aja gini, ngeliatin orang tidur ternyata asyik juga. Soalnya aku juga nggak tau mau ngapain di luar. Mbak Dila lagi sibuk masak, Ibu ada di kamarnya. Kalau aku bantuin masak, pasti diusir dari dapur." Kennan menunjuk ke arah nakas yang berada di belakangnya. "Aku udah bikinin teh tanpa gula buatmu, Fe. Atas rekomendasi Mbak Dila."

Rasa malu Febe berlipat ganda. "Aku nggak bisa bangun pagi, itu memang kebiasaan jelek. Tapi, walau kamu lagi nggak ada kerjaan sekalipun, nggak perlu bikinin teh buatku. Aku bisa bikin sendiri." Febe buru-buru duduk.

"Aku lagi baik hati aja," balas Kennan santai. Kini, lelaki itu menelentang. "Ternyata kayak gini rasanya bermalas-malasan di pagi hari. Nggak perlu mikirin kerjaan."

"Emangnya kamu nggak pernah malas-malasan gini?" Febe beranjak dari ranjang. Dia berjalan menuju meja rias untuk mengambil penjepit rambut.

"Hampir nggak pernah. Mama suka ngomel kalau aku berlama-lama di kamar pas hari libur. Pagi-pagi, kami terbiasa ngabisin waktu untuk nyiapin sarapan bareng-bareng, udahnya ngobrol di meja makan. Mbak Mieke dan Mbak Sacha juga biasanya datang ke rumah tiap hari Minggu."

Febe berbalik. "Jadi, kita juga harus tiap minggu ke rumahmu?" tanyanya cemas.

Kennan menyeringai. "Kenapa? Kamu takut di-bully sama ibu mertua, ya?"

Perempuan itu membenarkan, tapi tentunya cuma dalam hati. Saat mereka memberi tahu keputusan untuk menikah di depan ayah dan ibu Kennan, Febe sudah tahu bahwa restu dari Lydia tidak diberikan dengan sukarela. Jadi, mendatangi rumah keluarga mertuanya sesering mungkin bukanlah pilihan yang menggembirakan.

"Aku kan juga harus ngurusin Ibu, Ken. Lagi pula..." Febe menelan ludah. "Nanti aja deh bahasnya. Aku mau mandi dulu."

Febe baru saja hendak membuka pintu saat ucapan Kennan menghentikan langkahnya. "Kita nggak bakalan tiap minggu ke rumah Mama. Sekarang, aku kan juga punya keluarga. Dulu, Mbak Mieke juga jarang ke rumah waktu belum cerai. Nah, gantian. Biar dia dan Mbak Sacha yang tiap minggu nemenin Mama sama Papa."

Febe menoleh dari balik bahu kanannya. "Makasih," katanya pendek.

Ya, Febe memang berterima kasih dengan tulus untuk keputusan Kennan itu. Jika lelaki itu mengharuskan Febe menghadiri sarapan di rumah keluarganya setiap minggu, tentu akan ada adu argumen di antara mereka. Selain alasan Febe bahwa dia harus mengurus Rosita, perempuan itu juga tidak terlalu nyaman berada di antara anggota keluarga Kennan yang baru dikenalnya.

"Jangan cuma makasih doang. Tapi, minum dulu tehnya. Aku bikinnya kan pakai tenaga. Capek, tau!"

Febe mencebik ke arah Kennan, tapi dia menuruti keinginan laki-laki itu. Febe mendekat ke arah nakas, tempat suaminya meletakkan segelas teh yang masih hangat. Lalu, dia menghabiskan teh bikinian Kennan itu.

"Makasih, ya. Kerasa banget kamu bikinnya pakai tenaga dalam. Pas aku minum, bunyinya bukan 'glek' lagi. Tapi soundtrack film kungfu."

"Hah?" Sekedip kemudian, tawa Kennan membahana. "Ya ampun, kamu ternyata lucu banget ya, Fe. Kadang sinis tapi tetap bikin geli."

"Kuanggap itu pujian." Febe meninggalkan kamarnya yang kini terasa sesak hanya karena kehadiran Kennan. Namun, bukan jenis sesak yang membuat tidak betah. Apakah itu penilaian yang aneh?

Pagi itu, mereka sarapan bubur manado yang disiapkan Dila. Rosita yang lebih sering sarapan di kamarnya, memilih untuk bergabung di meja makan dengan pasangan pengantin baru itu. Meski tidak menyinggung tentang perubahan status Febe, dia bisa melihat jika ibunya tampak bahagia. Entah untuk alasan apa.

Sepanjang hari, Kennan mengekori Febe ke sana dan kemari, seolah lelaki itu tidak memiliki aktivitas apa pun untuk dilakukan. Febe tentu saja merasa risih. Apalagi saat dia harus mempersiapkan diri untuk melatih para kliennya.

"Kamu jangan nguntit aku melulu deh, Ken!" larangnya.

"Aku kan nggak melakukan hal-hal aneh. Lagian, aku pengin tau kamu ngapain aja sehari-hari," Kennan membela diri. "Kalau aku kelayapan, malah aneh. Gini-gini, kita ini pengantin baru lho, Fe. Walau nggak ada acara bulan madu. Masa kamu udah main ngusir aja?"

Febe memandang suaminya dengan tak berdaya. Tadinya dia berniat mengambil pakaian senam di dalam lemari. Kelasnya akan dimulai sekitar setengah jam lagi.

"Kamu jago banget bikin aku merasa jadi orang jahat."

"Sengaja, biar kadar kejudesanmu berkurang."

Mata Febe menyipit. Dia tidak mengira jika lelaki yang nyaris menjadi iparnya ini adalah jenis pria usil yang suka mengganggu. Dulu, dia selalu menganggap bahwa Kennan tipikal laki-laki serius.

"Anggap aja ini masa pengenalan, Fe. Dulu, aku kan nggak pernah lama kalau datang ke sini. Aku juga cuma pernah menginjak ruang tamu, ruang keluarga, dan kamar mandi. Jadi, sekarang harus kenal seluk-beluk rumah ini karena bakalan tinggal di sini."

Mendadak Febe merasa bersalah. "Ya udah, kamu bebas nguntit aku maksimal semingguan ini. Tapi, kamu nggak boleh ke studio pas aku lagi ada kelas. Takutnya klienku nggak nyaman."

"Itu aku juga tau, Fe. Tapi, kalau kelasnya udah bubar, aku boleh ke studio, kan? Tempatnya nyaman dan bikin betah."

Febe mustahil melarang Kennan ke studionya, kan? "Boleh," balasnya pendek.

Hari itu, Febe akan melatih kelas Mempelai untuk ketiga kalinya. Dua hari silam, dia terpaksa meliburkan kelas ini karena masih menginap di Romantic. Tidak ada yang tahu alasan sesungguhnya Febe membatalkan kelasnya kemarin dulu.

Semua anggota kelas Mempelai hadir tepat waktu. Setelah melakukan pemanasan yang cukup, Febe pun mencontohkan berbagai gerakan. Mulai dari bicep curl, side arm extension, overhead press, arm in and out, dan overhead tricep dip demi membentuk lengan. Dilanjutkan dengan gerakan-gerakan untuk mengencangkan area bokong. Meliputi sumo squat, single leg bridge, glute bridge, kneeling leg lift, serta hip raise. Lalu, seisi kelas mencontoh Febe melakukan toe touch, crunch clap, deadbug, dan scissors untuk area perut.

Seperti kelas baru pada umumnya, belum terdengar candaan bernada mesum. Para peserta kelas Mempelai masih menahan diri. Namun, berdasarkan pengalaman Febe, situasinya akan berubah seratus delapan puluh derajat setelah lewat dua minggu.

Di kelas Mempelai ini, Annika tampak menonjol karena dua alasan. Kesupelan dan pakaian senam dengan model unik. Perempuan itu juga menjadi orang yang pulang belakangan karena selalu mandi setelah kelas usai. Seperti saat latihan sebelumnya, Jonas selalu menjemput calon istrinya. Sambil menunggu Annika, lelaki itu biasanya memanfaatkan waktu mengobrol dengan Febe. Mereka duduk berhadapan. Hanya tersisa dua orang klien Febe selain Annika, sedang mengobrol serius entah membahas soal apa.

Sebenarnya, perempuan itu tidak nyaman berbincang dengan pasangan kliennya. Mengingat sejarah tak mengenakkan yang dilaluinya di masa lalu sehubungan dengan Jonas. Akan tetapi, tidak mungkin Febe mengusir calon suami Annika, bukan?

"Aku beneran nggak nyangka kalau kamu bisa selangsing sekarang lho, Fe." Itu sebenarnya kalimat ulangan yang sudah dilisankan Jonas berkali-kali. Hal familier lain yang segera dikenali Febe adalah tatapan yang diarahkan Jonas kepadanya, dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki.

"Kamu udah ngomong gitu belasan kali." Febe tersenyum tipis.

"Itu karena aku masih takjub aja. Kamu jadinya beda banget. Lebih cakep dan seksi."

Kepala Febe langsung berputar mendengar pujian yang disuarakan Jonas tanpa sungkan. Dia segera menyergah. "Jangan ngomong gitu! Kalau Annika dengar, nanti malah salah sangka."

"Kenapa harus salah sangka? Aku kan ngomong apa adanya. Annika udah terbiasa, kok. Kalau mengagumi seseorang, aku nggak pernah menyembunyikannya," arguman Jonas. Lelaki itu bersandar di kursi.

"Annika itu lebih cakep dan seksi," kata Febe, asal-asalan. "Ini kita kenapa bahas masalah nggak penting gini, sih?" Febe berdiri dari kursi tunggal yang didudukinya. "Kutinggal dulu ya, Jo. Ada yang harus kucek."

"Mau ngecek suamimu? Nggak usah sok cemas gitu, deh! Aku baik-baik aja, kok. Nih, aku bawain teh." Kennan mendadak muncul, lengkap dengan ekspresi tak bersalah dan senyum lebar yang membuat Febe melongo. Lalu, lelaki itu mengalihkan tatapannya ke arah Jonas sebelum mengulurkan tangan. "Hai, saya Kennan. Suaminya Febe."

Jonas menyalami Kennan sambil berdiri. "Saya Jonas, teman sekolahnya Febe." Laki-laki itu bicara pada Febe setelahnya. "Kamu nggak bilang kalau udah nikah, Fe."

Febe masih berdiri di tempatnya, terlalu bingung untuk merespons. Kennan menggeser kursi yang tadi diduduki Febe setelah meletakkan gelas teh di atas meja. Tanpa terduga, laki-laki itu menarik tangan kiri Febe dengan satu entakan lembut. Sang istri yang tidak memiliki persiapan apa pun, akhirnya malah terduduk di pangkuan Kennan. Sebelum sempat bergerak, Kennan sudah memeluk Febe hingga dada pria itu menempel di punggungnya.

"Febe kadang masih lupa kalau dia udah nikah."

"Oh. Nggak nyangka aja, sih." Wajah Jonas tampak hampa dan itu mengusik Febe. Mungkin bagi pria itu, mendapati Febe sudah menikah mirip keajaiban dunia kesembilan. Apa karena Jonas masih mengira bahwa Febe masih naksir padanya seperti saat SMA? Akhirnya, niat Febe untuk melepaskan diri dari pelukan Kennan pun musnah.

"Kenapa nggak nyangka? Kan kayak kamu bilang tadi, sekarang aku lebih cakep dan seksi. Masa cuma melajang doang? Ya mubazir dong, Jo."

Lagu : Nobody Wants to be Lonely (Ricky Martin & Christina Aguilera)

Continue Reading

You'll Also Like

168K 483 44
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...
1.3M 27.7K 15
Alicia adalah pendiri sekaligus ketua dari forum antifans dari penyanyi populer Ethan Reazxy. Kebenciannya pada pria itu sudah sampai ketingkatan pal...
312K 28.5K 163
Seorang wanita karier yang jatuh cinta kepada pria yang menurut keluarganya sangat tidak pantas di perjuangkan. "cari pria yang pantas untuk kamu jad...
129K 16.3K 15
SEKUEL OF DIAMANTA Selama tiga tahun dipisahkan, akhirnya surat-surat itu berdatangan. Awalnya hanya memuat deretan informasi untuk dipelajari, hing...