Are We Getting Married Yet?

By AnnyAnny225

20.5M 987K 35.1K

Sagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih s... More

01
02
03
04
05
06
07
08
09
Sekilas Info
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
PREVIEW
41
42
43
44
46
PREVIEW 2
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
INTERMEZZO
Extra Part - Lisa's Pregnant
Extra Part - Triplets!
Extra Part - Triplets Again (Part 1)
Extra Part - Triplets Again (Part 2)
Extra Part - Triplets Again (Part 3)

Extra Part - Saga's Worried

279K 14.2K 433
By AnnyAnny225

Lalisa POV

"Lisa?" Suara Marly kembali menarik kesadaranku Ket tempat semula.

"I-iya?" Ucapku gugup. Aku tersadar dari kegamanganku. Selam penjelasan Marly yang panjang lebar, tidak ada yang bisa aku tangkap selain kata pre eklampsia. Momok mengerikan bagi ibu hamil.

"Lo masih bisa ngikutin penjelasan gue?" Tanya Marly khawatir. Aku menggeleng. Jujur saja aku sudah tidak sanggup mendengarkan karena aku ingin berbaring. Kepalaku semakin berdenyut cepat dan menyakitkan.

"Oke, nanti biar gue yang jelasin ke Saga. Lo istirahat aja dulu ya?"

Aku mengangguk sekali lagi dan berdiri, keluar dari ruangan yang menyesakkan. Aku berjalan pelan dengan diantar Marly yang membukakan pintu. Diluar, Saga yang tengah duduk langsung berdiri dan menghampiriku. Sebisa mungkin aku tersenyum padanya agar dia tidak khawatir meski rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya ketika tatapan kami bertemu. Aku tidak mau menambah beban pikirannya.

"Lisa harus istirahat," ucap Marly singkat. Saga hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih tanpa bertanya apa-apa lagi. Seperti telah mengerti. Sambil melingkarkan tangannya di pinggangku, Saga menuntunku menuju parkiran. Aku hanya bisa berjalan pelan karena pinggangku rasanya seperti akan patah. Jika dalam keadaan normal, perjalanan ke tempat parkir rasanya tidak akan sejauh ini.

"Aku mengalami pre eklampsia," ucapku memecah keheningan yang terjadi sedari tadi. "Aku mengalami tiga dari empat gejala utama,"

Saga masih menatap ke depan. Dia diam. Karena dia sudah tahu.

"Kamu sudah tahu," ucapku dengan pasti. Sekali lagi Saga hanya diam. "Semua ibu hamil beresiko mengalami pre eklampsia. Karena aku hamil triplets, resikonya lebih tinggi,"

Aku masih menunggu reaksi Saga. Dia masih tidak mau menatapku. Aku tahu, dia pura-pura berkonsentrasi menyetir. Dia masih mendengarkanku dengan baik.

"Tekanan darah tinggi, nyeri berlebihan, ada protein di hasil urin tadi. Aku didiagnosa pre eklampsia oleh Marly," aku juga ikut menatap ke depan, ikut berpikir. Rasanya baru kemarin aku begitu bahagia dengan kehamilan ini. Dalam semalam, duniaku jungkir balik. Aku ketakutan setengah mati. Tapi aku tidak ingin menunjukkannya pada Saga.

"Pre eklampsia sangat berbahaya jika tidak ditangani dengan tepat, hingga dapat menyebabkan kematian," aku berpaling dan tidak sengaja mendapati Saga menyeka matanya dengan kasar menggunakan punggung tangan. "Aku mungkin bisa dijadwalkan operasi lebih awal di minggu tiga puluh dua, dari perkiraan Marly sebelumnya di minggu tiga puluh enam," aku menghela napas pelan karena dadaku terasa sakit. Bagaimana keadaan anakku di umur tiga puluh dua minggu? Aku tidak sanggup harus melihat tubuh ringkih kecil itu keluar melihat dunia sebelum waktunya.

Saga masih saja diam dan menatap ke depan. Sesekali tangannya masih mengusap matanya lagi. Apa dia menangis? Aku tidak bisa melihat karena keadaan dalam mobil yang gelap.

Ini akan menjadi cobaan berat bagi kami berdua sebagai calon orang tua baru.

"Aku takut," lirihku pelan.

"Jangan takut," suara Saga tercekat. "Kamu dan bayi kita akan selamat. Saya jamin,"

Aku tertawa hambar "Kamu bukan Tuhan Ga. Kamu hanya Sagara, manusia biasa. Kamu nggak bisa menjamin hidup mati seseorang, termasuk aku,"

"Jangan drama, ini hanya pre eklampsia. Nggak usah ngomong hidup dan mati sama saya. Ada ibu hamil yang keadaannya lebih parah dari kamu yang sudah saya selamatkan dan masih hidup sehat bersama anaknya sampai sekarang. Kamu juga akan seperti dia," untuk pertama kalinya, aku merasakan amarah Saga dalam kalimatnya tadi. Dia, yang tidak pernah angkuh, terdengar bukan seperti Sagara yang aku kenal.

"Kita harus siap, apa pun yang terjadi sayang," aku mencoba mengingatkan dalam kekalutan. 

"Lisa lebih baik kamu diam," setelah ucapan tajam Saga aku memilih diam. Dia sedang marah, dan aku tidak mau membuatnya semakin marah.

"Maaf," sesal Saga dengan lirih beberapa menit kemudian. Namun masih belum mau berpaling padaku.

"Aku juga minta maaf. Aku berlebihan," ucapku lembut dan menatapnya. Pria itu masih terpaku dengan jalan di depannya.

"Semua akan baik-baik saja," balas Saga dan menepuk pelan tangan milikku yang tengah bertaut di atas pangkuanku tanpa menoleh, apalagi melirik.

"Hmmm," jawabku singkat. Selebihnya kami memilih diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing di sisa perjalanan menuju rumah. Hingga kami tiba di rumah pun, Saga tetap tak mengucapkan sepatah kata. Begitu dia turun dari mobil untuk menutup pagar rumah, aku juga ikut turun dan bersandar sebentar di badan mobil sambil menunggu Saga.

Aku menoleh ke samping ketika Saga berdiri di sana. Jarak kami tidak terlalu jauh, hanya beberapa langkah.

Kami hanya saling melihat dari masing-masing tempat kami berdiri dalam diam dikeheningan malam. Ekspresinya tidak bisa dibaca. Entah dia sedang sedih atau masih marah padaku.

"Ada apa?" Tanyaku ketika dia tidak juga bicara meski dari matanya aku tahu, ingin mengatakan sesuatu.

"Pre eklampsia tidak akan merubah apapun. Kita tetap orang tua bahagia yang sedang menunggu kelahiran anaknya," ucap Saga dan tersenyum.

Tangisku pecah seketika. Aku terisak hebat hingga napasku agak sesak. Pria itu mengambil langkah lebar dan memerangkap tubuhku dalam hangatnya pelukan Saga yang menenangkan. Pelukan yang selalu berhasil membuatku bisa merasa aman, cinta dan kasih sayangnya.

"Kita akan menghadapi ini bersama-sama seperti biasa. Kamu nggak akan sendirian, jadi jangan takut. Kita pernah menghadapi masalah yang berat, tapi kita berhasil melalui dengan baik," ucapnya lagi.

"Aku takut," hanya itu yang bisa aku ucapkan.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu punya Tuhan yang akan selalu membantu kamu, kamu punya saya, kamu punya keluarga, kamu punya sahabat, kamu punya dokter kandungan yang hebat. Kami semua akan selalu mendukung dan membantu kamu,"

"Terima kasih," aku terisak di dada Saga. Pelukan kami terelai dan saling menatap. Jarinya bergerak menghapus air mata yang masih saja mengalir.

"Kamu harus tetap optimis. Bayangkan saja bagaimana kehidupan kita bersama ketiga anak kita. Pasti sangat membahagiakan," Saga mengecup kedua mataku pelan. Aku mengangguk, bisa tersenyum kali ini. Tidak ada yang perlu aku takutkan jika ada Saga. Suamiku.

"Aku sayang kamu. Aku nggak akan takut, selama ada kamu di samping aku," aku tersenyum dan mengecup bibir Saga. Pria itu ikut tersenyum diantara ciuman kami. Ciuman kami terelai, kemudian saling tertawa ketika pandangan kami bertemu.

"Ayo kita masuk," Saga memeluk pinggangku erat sambil berjalan ke dalam rumah.
***
"Hei!" Marly memukul pundak Saga. Sengaja membuatnya kaget karena tatapan pria itu terlihat kosong. Saga tersentak sesaat, kemudian melanjutkan laporannya yang belum selesai.

"Ngelamun apa Lo?" Tanya Marly meski dia sudah tahu apa yang membuat pria itu resah beberapa hari ini.

"Nggak ada. Bukannya Lo ada jadwal SC?" Saga mencoba mengalihkan fokus Marly tentang dirinya.

"Udah selesai dari tadi malah. Lo aja yang banyak melamun. Pasti ini tentang Lisa dan pre eklampsianya,"

"Gue selalu bilang ke Lisa everything's fine, but, I'm the one who was worried," ujarnya terdengar mengalah dan tidak bisa menyimpan apa yang menjadi beban pikirannya seminggu ini. Lisa sudah mulai cuti lebih awal karena kondisinya. Berdiri dalam waktu lama saja dia kesulitan. Tidak mungkin dia bisa bekerja dengan normal.

"Nggak usah khawatir. Lo tahu persis apa yang harus Lo lakukan, Ga" ucap Marly mencoba menenangkan. Pria ini tidak berubah, pikir Marly. Selalu memikirkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Suka mengkhawatirkan sesuatu berlebihan.

"I know. Gue tahu tapi tetap aja gue nggak tenang. Perjalanan kehamilan Lisa masih panjang dan gue takut sesuatu terjadi sama dia dan anak gue," Saga menghela napas sesaat sebelum melanjutkan "Gue nggak akan memaafkan diri gue kalo sampai terjadi apa-apa sama Lisa dan ketiga anak gue. Itu semua salah gue karena nggak bisa menjaga mereka dengan baik,"

"Kalo Lo lemah kayak gini, gimana caranya Lo bisa menguatkan Lisa?" Ejek Marly dan tertawa. "Saga... Lo nggak berubah dari dulu. Nggak pernah percaya sama diri Lo untuk menjaga orang yang Lo sayang,"

Marly sekali lagi menepuk pundaknya dan berlalu dari ruang kerja Saga. Pria itu tertegun sesaat setelah mendengar kalimat Marly tadi. Apa itu salah satu penyebab Marly pergi darinya? Karena ketidakpercayaan dirinya? Itu tidak penting lagi sekarang. Jangan Samapi semua itu kembali terulang pada Lisa.

Saga memutuskan pulang ke rumah, lebih tepatnya rumah orang tua Lisa. Sudah seminggu Lisa tinggal di sana, sebagai kesepakatan mereka berdua, mengingat kondisi Lisa yang tidak memungkinkan jika tinggal sendirian di rumah. Saga akan lebih tenang jika istirnya ada yang menjaga. Ketika mobilnya memasuki pekarangan rumah, Lisa sedang duduk di teras, di atas sofa yang empuk. Sedang asyik memperhatikan papa dan Nares yang tengah mengurus taman.

Setelah menyapa papa dan Nares, dia berjalan ke teras. Di sana Lisa sudah tersenyum lebar, bahkan sampai berdiri ketika dia semakin dekat.

"Yeai, ayah pulang cepat," ujar Lisa dan memeluk Saga. Pria itu mengecup singkat puncak kepala Lisa. Harum apel seperti biasa, favoritnya. "Tumben?"

Saga tertawa dan mengacak poni istrinya "Tadi bunda minta ayah pulang cepat kan?"

"Iya ya?" Lisa bingung sendiri. Padahal dia hanya bercanda. Namun saat melihat mobil Saga dirinya senang bukan main.

"Kita masuk ke dalam ya? Nggak baik kamu terlalu banyak kena angin," Saga merangkul pinggang Lisa dengan mesra dan menuntunnya masuk ke dalam kamar.

"Kamu mau mandi? Aku siapin airnya dulu,"

"Nanti saja mandinya," jawab Saga dan menatap Lisa dengan penuh damba. Tangan Saga meraih pinggang Lisa agar mendekat padanya. Namun, keduanya tertawa serempak ketika tubuh mereka terbatasi oleh perut besar Lisa.

"Belum apa-apa, anak-anak sudah menjauhkan kita," Saga tertawa nyaring kemudian membalikkan tubuh Lisa. Memutuskan lebih nyaman memeluk istrinya dari belakang.

"Kamu kenapa sih? Pulang-pulang mesra gini. Jadi curiga, jangan-jangan ada sesuatu," Lisa menengok ke belakang, yang segera dihadiah kecupan Saga di bibirnya.

"Memangnya nggak boleh mesra sama istri sendiri? Bawaannya curiga terus?" Saga menggigit telinga Lisa lembut hingga istrinya terkikik geli.

"Boleh dong. Tapi kalo tiba-tiba kayak gini aku punya hak untuk curiga," Lisa masih menggoda suaminya.

"Terserah kamu mau berpikir apa," Saga membalikkan tubuh Lisa. Menangkup kedua pipi putih dan mulus itu. Menatap intens wajah istrinya yang akan selalu dia ingat dengan baik.

"Kenapa ngeliatnya kayak gitu? Aku tahu muka aku udah lebar kayak lapangan," Lisa pura-pura kesal dan memajukan bibirnya.

"It's okay. I still love you," Saga saling menggesekkan ujung hidung mereka berdua karena gemas.

"Meski badan aku nanti bakalan melar habis-habisan?" Tanya Lisa lagi. Saga mengangguk dan mengecup sudut bibir Lisa.

"Perut dan badan aku penuh stretch mark?" Wanita itu memastikan.

"Saya nggak cinta kamu karena badan atau wajah kamu. Sekalipun fisik kamu berubah saya tetap cinta. Kamu perlu ingat itu sayang," Saga mencoba menenangkan istrinya.

"Pembohong," desah Lisa saat bibir Saga telah turun ke lehernya. Saga tertawa pelan sambil membawa Lisa untuk berbaring di atas kasur.

"Apa kamu bosan di rumah terus? Kamu mau jalan-jalan?" Kini tangan Saga bergerak membantu Lisa melepaskan dasternya. Hanya berbalut bra dan underwear plus perut buncit, tidak ada yang lebih seksi dari istrinya.

"Aku nggak bosan sama sekali. Aku malah bersyukur bisa cuti lebih awal. Ternyata banyak momen yang aku lewatkan karena terlalu asyik bekerja. Aku melewatkan kebersamaan dengan papa, mama dan Nares selama ini. Aku menyesal Ga, terlalu terobsesi dengan jabatan. Bahkan aku hampir mengorbankan kamu,"

Lisa melenguh sebentar ketika Saga bermain di dadanya, kemudian berpindah menghujani perutnya dengan ciuman bertubi-tubi Saga.

"Aku nggak mau melakukan kesalahan kedua kalinya dengan melewatkan momen pertumbuhan anak-anak kita kelak," lanjutnya dan mengelus rambut Saga yang masih bermain di perutnya. "Aku sudah berpikir matang-matang seminggu ini. Aku akan mengajukan resign,"

Saga menghentikan aktivitasnya dan menengadah ke atas, menatap istirnya yang tersenyum. Dia kembali merangkak ke atas, menemukan bibir istrinya, mengulumnya mesra beberapa saat.

"Apa pun keputusan kamu, saya selalu mendukung,"

"Aku tahu, kamu akan selalu mendukung semua keputusan aku. Terima kasih ayah," Lisa memeluk leher Saga untuk memperdalam ciuman mereka.

"Aakh!" Lisa meringis tiba-tiba sambil memejamkan mata dengan erat. Tangan Lisa bergerak memegang perutnya.

Saga panik luar biasa "Kenapa? Ada apa sayang? Perut kamu sakit?" Saga ikut mengelus perut Lisa.

"Anak kamu," lirih Lisa dan tersenyum. "Udah mulai bisa nendang,"

"Maksud kamu?" Saga yang masih kaget belum mengerti maksud istrinya. Wanita itu gemas dan menarik tangan Saga, meletakkan dimana tangannya tadi berada.

Dug!

Saga merasa takjub ketika merasakan tendangan anaknya. Ini pertama kalinya dia merasakan hal seperti ini. Perasaan bahagia melanda, tidak ada kata yang mampu menggambarkan.

"Kamu nangis?" Lisa melihat mata Saga merah hingga air mata meluncur di pipinya. Saga menggeleng dan menyeka air mata dengan punggung tangan.

"You're a bad liar," goda Lisa dan merubah posisi menjadi berlutut, menyeka sisa air mata suaminya.

"I love you Lisa. I love you. Apa pun akan saya lakukan untuk menjaga kamu dan anak kita," isak Saga di pundak Lisa.

"Aku tahu," gumam Lisa dan membelai rambut Saga yang masih terisak. "Aku tahu kamu sebenarnya khawatir kondisi aku setelah tahu aku mengalami pre eklampsia. Aku tahu kamu ketakutan tapi kamu pura-pura kuat untuk aku. Aku tahu kamu selalu konsultasi sama Marly, selalu pantau keadaan aku ke mama. Aku tahu semuanya. Suami istri berbagi segalanya sayang, bukan hanya kebahagian. Tapi rasa sedih, takut, kehilangan dan hal lainnya. Aku harap kamu juga berbagi perasaan dan semuanya denganku,"

"Saya takut kehilangan kamu dan anak kita. Saya ingin mengatakan hal ini tapi rasanya nggak sanggup, apalagi waktu lihat kamu menangis malam itu. Saya nggak mau terlihat lemah, karena itu akan membuat kamu semakin takut Lisa," Saga menatap Lisa sendu.

"Jangan takut ayah, kami dan bunda kuat dan sanggup melewatinya. Ayah nggak usah khawatir. Kami dan bunda sayang ayah. Ayah harus semangattt. Kami udah nggak sabar mau ketemu ayah," Lisa berujar dengan suara anak kecil, cukup berhasil membuat Saga tersenyum. Sekali lagi Saga membawa Lisa dalam pelukannya. Setelah ini dia yakin semuanya akan baik-baik saja.

TBC
***
Hohoho aku muncullll.. banyak yang nebak Lisa pre eklampsia dan memang benar. Adakah teman2 disini  yang udah berkeluarga dan mengalami pre eklampsia pas hamil? Walau belum pernah mengalami tapi sepertinya berbahaya banget karena dapat menyebabkan kematian.

Segini dulu yeee ~

Nanti lahirannya dilanjut lagi dinext part. Mungkin part terakhir dari Lisa dan Saga juga. Harus move on yaaa gaess karena aku mau konsen ke cerita yang baru. Keep support me yaaaa. Loveeee

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 36.1K 34
#1- romance (2016) #9 - conflict (2017-2018) #1-conflict what nikah muda? diumur 20 tahun? dengan orang yang tak dikenal? BIG NO!!!! -bernice aprili...
6M 243K 52
"Ayo kita nikah." Agmi terdiam sejenak. Sepertinya ada yang salah dengan pendengarannya. Apa mungkin karena dia kelaperan banget otaknya jadi agak ge...
1M 48.5K 65
Let's follow my account first . Ketika sebuah surat wasiat mempertemukan kembali keduanya setelah sekian lama. Membuat mereka terikat oleh janji sehi...
175K 28.8K 54
"Move on itu pilihan. Gagal move on itu cobaan. Pura-pura move on itu pencitraan." Hani Aulia "Jika kamu melupakanku, aku mungkin kehilangan orang ya...