Abstrak

Por riapohan

211K 25.2K 1.4K

Jatuh cinta punya banyak rupa. Bahkan mungkin yang tak dapat dijelaskan bentuknya. Mais

Abstrak 1 - Detik Pertama Jatuh Cinta
Abstrak 2 - God, Help Me!
Abstrak 3 - Fall For Him
Abstrak 4 - Masa Lalu
Abstrak 6 - Tak Bisa Berhenti
Abstrak 7 - Sakit Hati Sepaket Dengan Jatuh Cinta
Abstrak 8 - Patah Sebelum Berkembang
Abstrak 9 - Melewati Batas
Abstrak 10 - Backstreet
Abstrak 11 - Kembali Patah
Abstrak 12 - Menenangkan Hati
Abstrak 13 - Jatuh di Lubang yang Sama
Abstrak 14 - Kesempatan Kedua
Abstrak 15 - Mulai Terbuka
Abstrak 16 - Dipaksa Menyerah
Abstrak 17 - Mencari Jalan Keluar
Abstrak 18 - Mencari Kebenaran
Abstrak 19 - Rahasia Yang Terungkap
Asbtrak 20 - Menyerah Pada Hati
Abstrak 21 - Keputusan Sulit
Abstrak 22 - Again
Abstrak 23 - Abstrak
Abstrak 24 - Lucky Ending

Abstrak 5 - Nyatanya Melakukan Tak Semudah Mengatakan

9.2K 1.2K 56
Por riapohan

Diandra bisa saja mengatakan akan mencoba melupakan perasaannya terhadap Shaun. Tapi realisasi tetap tak akan semudah kala gadis itu mengatakannya. Buktinya Diandra tetap saja tak bisa mengalihkan tatapannya dari Shaun. Di manapun keduanya bertemu, Diandra akan selalu mencuri pandang ke arah pria itu. Hingga hatinya serasa meledak karena ia tak mampu menyingkirkan apa yang disebutnya sebagai cinta terhadap Shaun.

Dan imbasnya pada pekerjaan yang tak bisa Diandra kerjakan dengan baik. Ia sadar semua itu kesalahannya. Karena itu kini ia menghadap Lani di ruangannya. Bersiap menerima amukan atasannya.

“Kenapa laporan yang kamu buat berantakan, Diandra?”

Nah, benar kan apa yang Diandra pikirkan? Mana mungkin gadis itu bisa melenggang seenaknya setelah melakukan kesalahan. Meski pekerjaannya sudah diselesaikan Maria. Tapi tetap saja Diandra harus bertanggung jawab. Perusahaan ini bukan milik moyangnya hingga gadis itu bisa berlaku seenaknya. Dan Diandra siap menerima hukuman apapun. Sekalipun ia harus dipecat secara tak hormat.

“Maaf, Bu Lani. Tapi saya sedang banyak pikiran.” tak ada gunanya Diandra mengelak. Jadi gadis itu mengatakan apa yang bisa ia jadikan jawaban.

“Harusnya kamu tahu saat di kantor, fokusmu hanya untuk pekerjaan. Bukan yang lain!”

Diandra tahu betapa tegasnya Lani. Memang wanita itu akan sangat ramah di luar konteks pekerjaan. Tapi saat menjalankan tugasnya, tak akan ada yang namanya pandang bulu bagi Lani. Meski di kejadian yang lalu Diandra sudah berbaik hati membelanya. Tapi itu tak akan mengendurkan ketegasan Lani. Beruntung mereka berhasil mengatasi masalah yang lalu hingga Shaun tak perlu lagi memberi ancaman pada mereka. Tapi masalah kali ini jelas berbeda. Karena hanya melibatkan Diandra seccara personal.

“Saya siap menerima sanksi apapun dari Ibu.”

“Ini peringatan pertama, Diandra. Saya tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi. Beruntung Maria bisa membantu memperbaiki pekerjaan kamu. Mengerti?” Diandra hanya mengangguk pasrah. “Sekarang kamu boleh kembali bekerja.”

Diandra berpamitan pada Lani kemudian kembali ke meja kerjanya. Sudah ada Maria yang berwajah cemas menantinya. Sahabatnya itu sangat yakin Diandra pasti mendapatkan teguran keras dari Lani. Terlebih wajah Didi yang menunjukkan raut muram. Meski bukan karena Lani penyebabnya. Hanya saja Diandra enggan bercerita pada Maria.

“Lo baik-baik aja kan, Di? Enggak ada SP satu kan?” tanya Maria cemas.

Diandra mengangguk. “Tapi peringatan keras.”

“Huh, sama aja dong dengan SP juga.”

Diandra tak menjawab. Gadis itu kembali duduk di kursi kerjanya. Membuka lembar kerja di komputer yang sebenarnya sudah tak perlu lagi. Tapi Diandra butuh suatu pengalihan. Diliriknya arloji di pergelangan tangan. Beberapa menit lagi jam makan siang akan tiba. Namun Diandra sudah tak sabar untuk menyingkir dari ruang kerjanya. Hingga saat waktu menunjukkan pukul dua belas tepat gadis itu langsung berdiri. Tindakan Diandra jelas saja memancing keterkejutan seisi ruangan. Tapi seolah tak peduli, tanpa berpamitan pada Maria, Diandra bergegas pergi.

Toilet adalah tempat pertama yang ditujunya. Diandra butuh membasuh wajahnya sebelum siap menghadapi realita hidup lainnya. Sampai panggilan dari Maria masuk ke ponselnya. Gadis itu langsung menjawab.

Lo di mana?” tanya Maria to the point.

“Toilet.”

Lo kebelet, Di?

“Bukan. Aku butuh cuci muka.”

Gue tunggu di kantin ya? Mau gue pesanin sekalian?

Diandra menggeleng. Sadar bahwa Maria tak akan melihat gerakannya, gadis itu menjawab bahwa hari ini ia ingin makan di luar kantor saja. Maria sudah pasti menyumpah serapah di sana. Tapi Diandra tak peduli. Ia butuh suasana baru. Terlebih ia butuh menghindari Shaun yang mungkin saja seperti biasa menghabiskan makan siangnya di kantin kantor.

Lo jangan kelayapan ya, Di?

“Maria, aku bukan anak kecil. Lagipula aku juga cuma cari makanan di sekitar kantor kok. Enggak jauh-jauh. Sudah ya, aku tutup.”

Tak ingin menyiakan waktu istirahatnya, Diandra segera bergegas ke luar kantor. Tujuannya adalah warung sate yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari gedung kantor mereka. Beruntung Diandra tak pernah mengenakan sepatu yang kelewat tinggi hingga ia bisa bergerak lebih cepat.

“Satenya satu porsi ya Pak. Daging sapi,” teriak Diandra begitu ia memasuki warung sate. Gadis itu langsung mengambil posisi duduk yang agak di ujung. Kemudian fokus pada ponselnya selagi menunggu pesanannya diantar.

Yang tak Diandra sadari adalah seseorang yang duduk tepat berhadapan dengan dirinya. Begitu suara Diandra menggema, Shaun langsung mengalihkan tatapan pada gadis itu. Terlebih saat tanpa sadar Diandra mengambil kursi tepat di depan Shaun. Membuat pria itu berhenti menyuapkan potongan sate ke mulutnya. Dan malah memerhatikan gadis di depannya yang asyik dengan handphone-nya.

“Ini satenya, Mbak.” Pemilik warung mengantarkan pesanan Diandra.

Gadis itu langsung berhenti fokus pada ponselnya. Diandra mengarahkan tatapan pada sang pemilik warung seraya mengucapkan terima kasih sebagai bentuk sopan santunnya. Sebelum makan terlebih dahulu gadis itu berdiam sejenak untuk berdoa. Kemudian mulai menikmati pesanannya.

Semua hal yang dilakukan Diandra tak luput dari pandangan Shaun. Pria itu tersenyum sumir karena Diandra yang hingga kini bahkan tak menyadari kehadiran dirinya. Betapa kasat matanya kehadiran Shaun di mata gadis itu. Padahal ia sendiri tak bisa mengenyahkan bayangan Diandra dari kepalanya.

Merasa ada yang memerhatikan, Diandra mengehentikan kunyahannya. Perlahan ia mengangkat kepala hingga tatapannya terpaut pada Shaun. Jika tersedak bisa membunuh seseorang, mungkin saja Diandra akan mengalaminya. Namun dengan sigap Shaun mengulurkan segelas air pada gadis itu yang langsung diteguk habis.

“Sudah?” tanya Shaun yang dijawab gadis itu dengan anggukan.

Diandra berusaha meredakan pernapasannya. Sekali lagi gadis itu meneguk segelas air yang membuat Shaun justru menggeleng kecil. Dalam hati Diandra menggerutu. Jika bukan karena Shaun, mana mungkin ia akan mengalami nasib sial begini. Hampir mati tersedak.

“Sudah lebih baik?” Shaun bertanya lagi. Kembali Diandra hanya mengangguk. “Kamu bisa habiskan makanan kamu.”

Sementara Shaun kembali menikmati hidangannya, Diandra bahkan tak bisa lagi menyuapkan potongan sate ke dalam mulutnya. Gadis itu hanya terpaku menatap Shaun. Menyebabkan yang ditatap akhirnya menghentikan kegiatan makannya. Dan ikut menatap Diandra juga.

“Kenapa kamu nggak makan?”

“Kenyang?”

Tawa Shaun terdengar nyaring. Jawaban gadis itu benar-benar tak masuk akal. Bahkan ia baru memasukkan tiga suapan ke mulutnya. Dan sekarang Diandra mengatakan ia kenyang?

“Kamu bahkan hanya makan beberapa suap.” Shaun kembali bicara.

“Saya kenyang ngelihatin wajah Bapak.”

Heh? Diandra tersentak. Gadis itu sadar ia baru saja bicara omong kosong. Terlebih tatapan Shaun yang sama terkejutnya kala mendengar ucapan gadis itu. Merasa sudah bertindak kelewat bodoh, Diandra berdiri tiba-tiba. Berlari meninggalkan warung sate untuk kembali ke kantor. Gadis itu benar-benar malu dengan sikapnya. Bahkan sang pemilik warung yang memanggilnya tak menghentikan langkah Diandra. Shaun pun akhirnya mengatakan pada pemilik warung akan bertanggung jawab membayar pesanan gadis yang baru saja melarikan diri tersebut.

“Itu tadi siapanya, Bapak?” tanya pemilik warung kala Shaun membayarkan tagihan mereka berdua.

“Oh, karyawan saya.”

“Aneh ya, Pak?”

Mau tak mau Shaun kembali tertawa. Tapi ia memang sependapat dengan penilaian sang pemilik warung. Diandra memang aneh. Tapi justru gadis aneh itulah yang berhasil menawan perhatian Shaun.

Sementara Diandra sendiri sudah kembali ke meja kerjanya. Gadis itu segera menyalakan komputer. Melakukan apa saja yang bisa ia lakukan. Berusaha melupakan tindakan gila yang baru saja ia lakukan. Mengingat kembali bagaimana wajah terkejut Shaun, membuat Diandra menggigit bibir bawahnya. Gadis itu menutup wajah dengan kedua tangannya. Merutuki dalam hati apa yang sudah ia lakukan hari ini. Entah bagaimana lagi ia akan berhadapan dengan Shaun nanti.

...

Akhir pekan biasanya dihabiskan Diandra dengan berwisata kuliner dengan salah satu kakak lelakinya. Tapi minggu ini keduanya memiliki acara masinh-masing. Jadilah Diandra hanya berdiam di rumah. Yang dilakukan gadis itu sejak membuka mata hanya duduk di depan televisi. Menggonta-ganti siaran tv sambil menikmati camilan.

Kelakuannya Diandra yang seperti itu mengundang gelengan kepala dari kedua orangtuanya. Bahkan papa Diandra yang biasanya tak pernah menegur gadis itu akhirnya buka suara. Menyarankan putri semata wayangnya itu untuk mencari kegiatan yang lebih berguna.

“Aku nggak tahu mesti ngapain, Pa.” Diandra memberi alasan.

“Jalan keluar sama Maria atau teman yang lain kan lebih baik, Di. Daripada kamu mendekam di rumah terus.” Papanya menyarankan.

“Maria sama keluarganya ke luar kota, Pa. Ada acara keluarga atau apalah. Yang lain juga punya acara sendiri.”

“Atau kamu ikut Papa sama Mama aja, Di. Ke resepsi nikahan anak teman Papa.” Mamanya menyarankan.

Diandra bergidik ngeri. Dari begitu banyak acara, pernikahan adalah satu yang paling ia hindarkan. Bukan karena Diandra tidak ingin bersosialisasi dengan orang lain. Tapi ia tak tahan berada di tempat ramai begitu terlalu lama.

“Enggak deh, Ma. Aku jalan sendiri aja mendingan,” tolak Diandra.

Maka siang itu hanya Diandra dan bi Harti yang tinggal di rumah. Setelah makan siang, gadis itu memutuskan untuk keluar rumah. Tak tega melihat bi Harti ditinggal sendiri di rumah, Diandra berinisiatif mengajak sang asisten ikut serta.

“Bibi tinggal di rumah saja. Mbak Didi saja yang pergi deh,” tolak bi Harti kala Diandra mengajaknya.

“Ih, Bibi mah. Ayo dong daripada sendirian di rumah. Nanti aku telepon Mama kasih tahu kalau Bibi ikut aku keluar. Kita nonton atau jalan-jalan aja. Ya?”

“Tapi, Mbak...”

“Duh, enggak ada tapi-tapian. Sekarang Bibi ganti pakaian. Aku tunggu di teras ya. Jangan lama-lama!” Diandra mendorong bi Harti ke arah kamarnya.

Selagi menunggu, Diandra memesan taksi online. Tak ada mobil yang tertinggal di carport. Ketiga mobil yang mereka punya sudah dipakai oleh masing-masing anggota keluarga. Diandra sendiri belum memiliki kendaraan sebenarnya. Hanya sebuah motor matic yang terparkir di sana. Kendaraan yang sempat menjadi andalan Diandra semasa sekolah. Tapi sudah jarang ia gunakan. Tak mungkin juga mengajak bi Harti berkendara dengan motor. Gadis itu tak tega jika bi Harti harus terus duduk tak nyaman di atas motor. Pilihan satu-satunya adalah taksi online.

Tak lama bi Harti muncul. Perempuan berusia separuh baya itu sudah tampil rapi dengan model baju kurung yang selalu menjadi andalannya jika bepergiian. Beruntung taksi pesanan Diandra tiba tak lama kemudian. Hingga keduanya bisa langsung segera berangkat.

“Kita mau ke mana, Mbak Didi?” tanya bi Harti saat taksi yang membawa mereka meluncur mulus di jalanan.

“Nonton mau ya? Film horor Bibi suka nggak?”

Bi Harti tertawa dengan pilihan anak majikannya itu. “Film apa saja Bibi suka kok. Asal jangan film cinta-cintaan. Bibi nggak ngerti.”

Diandra mengangguk paham. Satu hal yang Diandra pahami dari kisah hidup bi Harti adalah beliau dikhinati sang suami. Sang mantan suami menikah lagi dan meninggalkan bi Harti dengan kedua anak mereka. Tapi wanita luar biasa ini tak menyerah. Meski harus menitipkan kedua anak pada kerabat, tapi bi Harti bekerja keras untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Karena itulah kedua orangtua Diandra begitu salut dan mendukung keinginan bi Harti. Tak jarang mama dan papanya juga menitipkan beberapa barang kebutuhan untuk kedua anak bi Harti di kampung halamannya.

Begitu tiba di salah satu mal, Diandra langsung membawa sang bibi ke gedung bioskop. Mereka mengantri tiket dan membeli camilan untuk dinikmati saat menonton. Meski jarang keluar, bukan berarti bi Harti tak pernah merasakan yang namanya nonton di bioskop. Diandra dan kedua kakaknya sering mengajak bi Harti. Hanya saja wanita itu sering merasa enggan jika harus sering keluar bersama anak majikannya.

“Jangan takut kalau nanti hantunya keluar ya, Bi,” bisik Diandra. Keduanya sudah duduk tenang di kursi masing-masing. Menunggu film di putar.

“Bukannya Mbak Didi ya yang penakut?” ledek bi Harti.

Diandra cemberut. Ia akui memang dirinya adalah orang yang sangat takut dengan hal berbau mistis dan gaib. Tapi tentu saja Diandra tak akan menunjukkannya pada orang lain. Bisa-bisa ia habis diledek oleh kedua kakaknya dan Maria.

Hampir dua jam mereka habiskan di ruang teater. Dan sepanjang film, entah sudah berapa kali Diandra menutup matanya karena adegan yang menurutnya menyeramkan. Hal itu tentu saja mengundang decak tawa dari bi Harti. Hingga film berakhir, barulah Diandra bisa bernapas lega.

“Bibi jangan ketawa terus ih,” protes Diandra.

“Mbak Didi lucu. Ngajak nonton horor tapi sendirinya ketakutan.”

“Udah ah. Sekarang kita mau ke mana ini?” Diandra kembali bertanya. “Ke toko buku dulu ya? Atau kalau Bibi bosan, bisa tunggu Didi di gerai es krim yang biasa kita datangi, mau?”

“Terserah Mbak Didi saja. Bibi ikut saja.”

Akhirnya karena tak tega jika sang bibi harus ikut ke sana kemari dengannya, Diandra meminta i Harti untuk menunggunya saja digerai es krim. Dengan memesankan beberapa makanan untuk menemani bi Harti, Diandra kemudian berpamitan. Gadis itu bergerak menuju toko buku seperti yang ia katakan semula. Sudah lama Diandra tak melengkapi koleksi bacannya. Gadis penyuka novel itu tentu saja langsung bergerak ke rak karya fiksi.

Seakan takdir memang terus menciptakan jarak antara Diandra dan sang pujaan. Bahkan di tempat yang tak terduga seperti toko buku pun, gadis itu kembali dipertemukan dengan Shaun. Lama Diandra memerhatikan sosok Shaun yang tengah melihat-llihat di rak buku bisnis yang kebetulan berada tak jauh dari tempat Diandra berdiri. Seperti sadar ada yang memerhatikan, Shaun mengalihkan pandangan. Hingga kedua mata mereka bersirobok.

Detik itu harusnya Diandra bisa melangkahkan kakinya. Melarikan diri seperti terakhir kali mereka bertemu. Tapi kakinya seolah tertancap di lantai. Tak bisa digerakkan sesuai keinginan Diandra. Sampai Shaun tiba di hadapannya. Dalam hati Diandra berdoa agar ia bisa menghilang saja atau paling tidak pingsan di tempat.

“Kamu sedang apa?”

Pertanyaan bodoh. Shaun bahkan merutuk dalam hati. Seseorang berada di toko buku sudah jelas apa yang mereka lakukan. Terlebih masing-masing membawa buku dalam genggaman. Memang apalagi yang bisa dilakukan Diandra di tempat ini. Tidur?

“Halo, Pak?” sapa Diandra dengan suara bergetar.

Ia tetap berharap Shaun membalas sapaannya dan cepat berlalu dari hadapannya. Tapi harapan tinggal harapan, karena Shaun tetap berdiam di tempatnya.

“Pak Shaun cari buku apa?” tanya Diandra lagi. Kaku. Itulah interaksi keduanya.

“Cukup basa-basi kita. Kamu butuh bantuan?”

Diandra menggeleng. Ia hanya butuh agar Shaun segera menyingkir dari hadapannya. Atau ia yang segera pergi dari hadapan pria ini.

“Kalau begitu..”

“Silakan Pak. Saya juga masih mau cari buku lain,” sambung Diandra cepat. Padahal ia tak tahu apa yang ingin disampaikan Shaun.

“Kamu usir saya?”

“Bukan. Kan Bapak mau pamit?”

“Saya temani kamu cari buku lain. Kelihatannya kamu butuh bantuan dengan tumpukan buku itu. Ayo.”

Tanpa aba-aba Shaun malah mengambil tumpukan buku di tangan Diandra. Membuat gadis ituu mengerjap. Sungguh, memangnya ia butuh bantuan. Dan apa tadi katanya, Diandra butuh bantuan untuk tumpukan bukunya? Bahkan novel yan baru ia pilih hanya tiga buah. Tumpukan dari mana?

Tapi Diandra tak bisa menyuarakan protesnya. Gadis itu hanya mengekor di belakang Shaun seperti anak ayam. Sementara pria itu tampak tenang, dalam hati Diandra justru sedang gaduh karena sikap pria itu. Dalam hati gadis itu berdoa semoga ia tidak mengalami gagal jantung setelah ini.

...

Note : hei ho, ada yang menanti Didi dan Om Shaun the sheep. Ingat sekali lagi, inti cerita ini adalah romansa antara didi si anak bawang sama om-om hampir setengah abad ya. jadi jangan ngarep ini akan menjadi cerita super wah karena nyatanya ini receh adanya. Hahahha.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 25/19/01

Continuar a ler

Também vai Gostar

106K 20.3K 47
[Complete] [series keempat dari #mentalhealthseries by atyampela] What's the meaning of 'happily ever after' that almost told in every fairytale? Apa...
Garis Tanya Por Narasi Bahagia

Literatura feminina

24K 2.5K 28
"When did you fall in love with her? The one in front of you right now." Jika gue harus menjawab question quotes yang terpampang dalam satu sisi din...
69.1K 6.6K 31
Rai dan Setya pacaran hampir enam tahun. Karena hubungan mereka terbilang lama, temen-temennya udah pada menikah dan gendong anak, membuat Setya jadi...
3.3K 293 9
Lanjutan series 'orang ketiga' ### Menikah dengan pria yang begitu mencintainya, malah membuat Roosmita begitu terbebani alih-alih bahagia. Kepergian...