Abstrak 9 - Melewati Batas

8.5K 1K 44
                                    

Shaun masih mengunci tubuh Diandra dalam pelukannya. Pria itu kemudian membawa Diandra kembali ke ruang tamu apartemennya. Meski gadis itu berkali-kali berusaha meloloskan diri, tapi Shaun sama sekali tak terpengaruh dengan aksinya. Meski sudah berumur tetap saja kekuatan Shaun melebihi tenaga gadis itu. Beruntung juga Shaun tak pernah absen mengolah tubuhnya. Itulah sebabnya meski usianya sudah kepala empat, ia tetap bugar dan memiliki tubuh yang cukup proporsional.

“Lepasin saya!” teriak Diandra saat Shaun mendudukkan gadis itu di sofa. “Mau apa lagi?”

Diandra tidak akan mengalah. Gadis itu menunjukkan pemberontakannya. Ia terus berusaha untuk melarikan diri dari cengkeraman Shaun. Tapi tetap tak akan semudah itu kala Shaun sudah mengunci tubuh Diandra di sofa. Membuat Diandra diam tak berkutik.

“Saya tidak akan biarkan kamu pergi dengan keadaan emosi, Diandra!” desis Shaun. Gadis itu mengerjapkan mata kala hangat napas Shaun menerpa wajahnya.

“Tapi buat apa? Bukannya kamu nggak mau menerima saya? Untuk apa lagi saya di sini?”

Shaun tersentak. Ini pertama kalinya Diandra menyebut dirinya tanpa embel-embel Pak. Seolah Diandra lupa perbedaan umur mereka yang teramat jauh. Sepertinya gadis itu benar-benar menganggap Shaun adalah pria yang dicintainya. Tak peduli dengan status di kantor atau bahkan umur mereka yang terpaut jauh.

“Kamu itu benar-benar bisa bikin saya gila, Diandra.”

Dan sekali lagi tanpa Diandra duga, Shaun kembali menciumnya. Kali ini lebih dalam. Seolah pria itu benar-benar menyalurkan rasa frustrasinya. Diandra tak akan menjadi polos dan pemalu saat berhadapan dengan Shaun. Ia bahkan mencoba membalas ciuman menggebu Shaun. Meski ia bukanlah seorang pencium handal. Tapi cukup membuat Shaun kewalahan akibat ciuman gadis itu.

Shaun bahkan tak berhenti sampai situ saja. Bibirnya perlahan turun menjelajah leher jenjang Diandra. Membuat gadis yang tak pernah mendapatkan perlakuan intens seperti itu mendesah pelan. Kepala Diandra serasa berputar. Ia seperti akan meledak karena sensasi yang pertama kali ia dapatkan. Dan Shaun lah penyebabnya. Saat Diandra mulai terengah, Shaun akhirnya tersadar. Ia segera menjauhkan tubuhnya dari Diandra yang kini sudah berbaring di sofa dengan wajah berantakan.

Beruntung Shaun masih bisa menahan dirinya. Diandra benar-benar godaan terberat baginya. Saat matanya menyusuri tubuh Diandra yang sudah terbaring pasrah di sofa, Shaun memaki dalam hati. Bagaimana ia bisa hampir lepas kendali. Jika saja ia meneruskan, entah akan berakhir bagaimana mereka berdua.

Cepat-cepat Shaun berjalan menuju ke arah dapur. Meninggalkan Diandra yang masih terpaku di sofa Pria itu butuh menyadarkan diri dengan membasuh wajahnya. Shaun mengamati pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Kemudian mengusap kasar wajahnya. Ia harus segera keluar dan memberi penjelasan pada Diandra.

Sayangnya ketika Shaun kembali, Diandra sudah tak ada di tempatnya. Gadis itu pergi tanpa berpamitan pada Shaun. Bergegas pria itu mengejar Diandra ke lantai bawah. Berharap ia dapat menyusulnya. Namun sayang, menurut pengakuan dari petugas keamanan, Diandra sudah pergi dengan motornya. Yang bisa Shaun lakukan hanya semakin merutuki dirinya.

Sementara itu Diandra sudah dalam separuh perjalanan pulang ke rumahnya. Ia tahu tindakannya sangat tidak dewasa. Melarikan diri saat keduanya belum menyelesaikan masalah mereka. Tapi Diandra terlalu malu. Apa yang sudah dilakukannya dan Shaun tadi sudah di luar batas. Selama ini setiap berhubungan dengan pria, Diandra tak pernah kelewat batas seperti tadi. Jika hanya sekedar berciuman dan berpelukan, Diandra tak ingin munafik. Ia pernah melakukannya dengan kekasihnya terdahulu. Tapi untuk apa yang tadi ia dan Shaun lakukan, Diandra tak pernah membayangkan akan melakukannya.

Sampai di rumah, Diandra hanya menyapa penghuni rumah seadanya. Kemudian gadis itu segera melarikan diri ke kamarnya. Diandra mengunci rapat pintu kamar dan bersandar di daun pintu. Diandra memegangi dadanya yang masih berdebar kencang. Ia juga menyentuh sisi lehernya yang tadi sempat menjadi sasaran bibir panas Shaun. Seketika gadis itu menggelengkan kepala dan berlari ke kamar mandi.

“Di... sudah makan malam belum?” suara ibunya terdengar dari luar kala Diandra baru saja keluar dari kamar mandi. Gadis itu segera membuka pintu kamarnya.

“Sebentar lagi, Ma. Aku mau keringin rambut dulu.”

“Jangan lama-lama. Kamu kalau telat makan suka ngulah perutnya.”

Sepeninggal sang Mama, Diandra kembali menutup pintu. Gadis itu duduk di depan meja rias. Mengambil pengering rambut dan mulai mengeringkan rambut basahnya. Mata Diandra melebar kala mendapati setitik tanda merah di lehernya.

Sial! Rutuknya dalam hati. Bagaimana bisa ia tak melihat tanda itu saat bercermin tadi di kamar mandi? Sekarang bagaimana ia akan berhadapan dengan keluarganya. Mereka jelas akan curiga padaya. Diandra memutar otak, mencari cara untuk menutupi tanda tersebut. ditutupi dengan peralatan make up, belum tentu berhasil. Diandra memiliki kulit putih cenderung pucat yang membuatnya kadang kesal. Tak ada jalan lain, Diandra mengoleskan minyak angin ke bagian merah tadi. Dengan begitu mungkin saja keluarganya akan percaya jika lehernya digigit serangga.

Setelah menguatkan diri, Diandra turun ke ruang makan. Beruntung sudah tak ada anggota keluarganya yang lain. Mungkin mereka bersantai di ruang keluarga. Atau mungkin sudah masuk ke peraduan masing-masing. Itu artinya Diandra bisa makan dengan tenang.

“Kok bau minyak angin sih? Kamu kenapa? Masuk angin?”

Hampir saja Diandra menyemburkan nasi di mulutnya karena kedatangan Devan yang tiba-tiba. Gadis itu segera meneguk air putihnya. Kemudian memandang kesal sang kakak.

“Aku lagi makan loh, Mas. Jangan ngagetin gitu dong?” keluh Diandra.

“Lah, Mas kan cuma ngomong. Kenapa kamu bau minyak angin? Sakit? Apa kamu mandi segalon minyak?”

Bibir Diandra mencebik. “Kadang aku lupa kalau hidung Mas Devan itu lebih sensitif dari anjing pelacak.”

Devan mengacak puncak kepala adiknya sembari tertawa. Pria itu tak lagi mengganggu Diandra. Setelah mengambil beberapa makanan ringan, ia kembali ke kamarnya. Diandra pun akhirnya bisa bernapas lega. Ia segera menghabiskan makan malamnya. Mencuci piring bekasnya, lalu segera kembali ke kamar.

“Sudah mau tidur, Di?” sapa papanya yang melihat Diandra begitu terburu-buru menaiki tangga.

“Enggak. Ada laporan yang harus diperiksa, Pa. Aku ke kamar duluan ya?”

Diandra segera melarikan diri dari hadapan papanya. Gadis itu berbohong perihal tugas kantor. Nyatanya yang kini dilakukan Diandra adalah segera tidur. Agar kejadian hari ini bisa ia lupakan dan ia bisa menghadapi hari esok dengan baik.

...

Jika Diandra berpikir bisa menghadapi hari dengan baik, maka gadis itu hanya bermimpi. Karena tetap ketika jam kantor berakhir, Shaun justru sudah menyiapkan kejutannya untuk Diandra. Pria itu menghentikan Diandra tepat di tengah perjalanan. Mobil Shaun tiba-tiba menyalip hingga gadis itu harus berhenti mendadak. Beruntung Diandra tak membuat mobil mewah Shaun tergores karena aksinya yang berhenti mendadak. Kalaupun iya, maka Shaun lah yang pantas bertanggung jawab. Bukan Diandra.

Pria itu keluar dari mobilnya. Mata tajamnya menatap tepat pada Diandra. Membuat gadis itu tak berdaya. Dan hanya bisa pasrah kala Shaun menariknya turun dari atas motor.

“Motor saya gimana?” seru Diandra kala Shaun akan membawanya ke mobil pria itu.

Shaun berdecak. Tapi pria itu kemudian mengeluarkan ponselnya. Berbicara pada seseeorang di seberang sana. Setelah menutup telepon, Shaun menarik paksa Diandra dan mendudukkan gadis itu di kursi penumpang mobilnya. Tak berapa lama seorang dua orang pria yang mengendarai sebuah motor menghampiri Shaun.

“Simpan motor itu di kantor,” perintah Shaun pada salah seorang di antaranya.

Pria itu mengangguk patuh sembari menerima kunci motor yang diserahkan Shaun. Keduanya lantas pergi dari hadapan mereka. Menyisakan Shaun yang masih berdiri di samping mobilnya. Sedang Diandra yang berada di dalam sudah mengkeret ketakutan. Terlebih saat Shaun masuk ke mobil dengan tatapan dingin tak terbaca.

“Mana handphone kamu?” tanya Shaun membuat Diandra terbelalak.

“Bu... buat apa?” gadis itu berucap terbata.

“Hubungi orangtua kamu dan katakan kalau kamu akan pulang terlambat. Bilang saja kamu ada pekerjaan tambahan atau apa.”

Mata Diandra makin melebar. Apa Shaun ingin Diandra berbohong pada orangtuanya? Memang ia bukannya tidak pernah berbohong. Tapi jika berbohong untuk hal ini, Diandra tahu akan sulit. Mengingat orangtuanya bisa saja menghubungi Maria.

“Enggak akan bisa. Nanti gimana kalau Mama telepon Maria?”

Shaun menatap tajam Diandra, yang makin membuat gadis itu ketar-ketir. “Maria biar jadi urusan saya.”

Melihat wajah keras tak ingin dibantah Shaun, Diandra akhirnya menyerah. Terpaksa gadis itu menghubungi Mamanya. Mengatakan bahwa ia akan pulang agak terlambat. Tapi bukan karena pekerjaan kantor. Melainkan karena gadis itu ingin menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan di mal. Seperti biasa, kala Diandra mengucapkan kebohongannya, gadis itu mengaitkan telunjuk dan jari tengahnya membentuk simpul. Hal itu tak lepas dari pengamatan Shaun.

“Apa setiap kali kamu berbohong, kamu selalu begitu?” tanya Shaun ingin tahu.

“Hah? Begitu, bagaimana?” Diandra balik bertanya.

Shaun pun membentuk simpul dengan jarinya seperti yang Diandra lakukan tadi. Tanpa sadar tawa Diandra pecah. Gadis itu benar-benar tak bisa menahannya. Dan kembali Shaun dibuat terpesona akan tawa gadis itu.

“Itu kebiasaan. Mas Darryl pernah bilang kalau saya mau bohong, jarinya harus dikaitkan seperti itu. Seperti permintaan maaf karena sudah berbohong. Agar kebohongan saya tidak dianggap dosa. Itu memang doktrin aneh masa kecil saya, tapi sampai saat ini saya nggak bisa berhenti. Dan akhirnya jadi sebuah kebiasaan.”

Shaun mendengkus kecil. “Memangnya ada berbohong bukan dosa?” cibirnya.

Senyum Diandra kembali merekah. Ia tak menyangka sosok Shaun ternyata bukanlah pria dewasa seperti yang ia pikirkan selama ini. Umur tak akan menjamin seseorang akan selalu berlaku dewasa selayaknya. Buktinya Shaun yang sudah berusia matang tetap bisa mencibir layaknya anak muda.

“Mengapa kamu terus senyum?” tanya Shaun kemudian. Tapi Diandra hanya menggeleng kecil.

“Sekarang, apa mau Pak Shaun? Mengapa Bapak menghentikan dan menculik saya?”

Alis Shaun terangkat sebelah. “Menculik?”

“Em, bukannya ini namanya menculik?”

“Tidak ada perempuan yang senang diculik seperti kamu.”

Diandra kembali tertawa. Tapi Shaun tak ingin terjerat lagi pada tawa gadis itu. Ia memilih melajukan kendaraannya. Hingga keduanya tiba di kediaman Shaun. Pemandangan Shaun bersama Diandra sudah tak lagi membuat para petugas penasraran. Mereka cukup sering melihat gadis itu muda itu ada di sana.

Selama perjalanan menuju unit tempat tinggal Shaun, tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Diandra hanya diam mengikuti langkah Shaun. Hingga ketika mereka hampir mencapai pintu unitnya, keduanya dibuat terkejut dengan kehadiran seorang wanita yang tampaknya sudah menunggu kedatangan Shaun di depan pintunya. Adanya wanita itu kembali mengusik ketenangan hati Diandra. Bahkan kaki Diandra siap untuk berlari sejauhnya jika saja Shaun tak mengenggam jemarinya.

“Hai?” sapa wanita itu. Matanya tak lepas pada jemari yang saling menggenggam tersebut.

“Ada apa?” tanya Shaun tanpa basa-basi. Sedang Diandra sudah menggigiti bibirnya, gugup.

“Aku hanya mampir. Tadinya mau ajak kamu pergi. Tapi sepertinya waktunya nggak tepat ya?”

Shaun tak menjawab. Membuat wanita tersebut hanya mengulum senyum. Tak ada yang salah di mata wanita bernama Erina atas apa yang ia lihat pada diri Shaun. Erina sadar ia dan Shaun hanya partner bersenang-senang. Tak mesti ada perasaan. Meski wanita itu jelas menyimpan rasa pada Shaun. Tapi tidak dengan pria itu. Dan Erina juga tak bisa berharap lebih.

“Kalau begitu aku pamit ya, kamu sedang sibuk kayaknya.”

Tanpa diduga, Erina mengecup cepat bibir Shaun. Pria itu tak sempat mengelak. Ia hanya bisa menatap tajam pada Erina yang tersenyum simpul. Diandra sendiri hanya bisa menundukkan wajahnya. Tapi jelas hatinya bergemuruh menyaksikan bagaimana wanita itu mencium Shaun dengan entengnya.

Terlalu sibuk meredakan gejolak di hatinya membuat Diandra tak sadar jika Shaun sudah menarik gadis itu masuk. Tepat saat keduanya berada di ruang tamu, Diandra menyentak pergelangannya hingga terlepas dari cengkeraman Shaun. Pria itu tahu Diandra tengah marah. Tapi ia hanya menatap Diandra tanpa ingin menjelakan apapun. Karena lagipula apa yang harus Shaun jelaskan jika Diandra sangat tahu kehidupannya seperti apa.

“Apa begitu mudah bagi Bapak menerima ciuman dari perempuan?” tanya Diandra dengan nada tajam.

“Ya.” hanya satu kata tapi mampu membuat gemuruh di dada Diandra membesar.

“Oh, jadi kalau saya cium, Bapak juga nggak akan nolak?”

Shaun ingin tertawa, tapi ia menahan diri sebisa mungkin. Memang gadis di hadapannya ini tak bisa diprediksi. Kenekatannya selalu mampu membuat Shaun terkesan.

“Memang kamu berani?” tantang pria itu.

Diandra tahu ia adalah domba kecil yang berlagak menjadi singa. Tapi ia ingin menunjukkan pada Shaun betapa ia mampu melakukan apapun agar Shaun bisa melihat kesungguhan perasaannya.

Dengan mengumpulkan keberaniannya, Diandra bergerak mendekati Shaun. Menarik leher pria itu agar sejajar dengan wajahnya. Kemudian mencium bibir pria itu. Hanya sekejap, karena Diandra sudah melepaskan belitan tangannya dari leher Shaun.

Pria itu menatap Diandra dengan senyum sumirnya. “Manis. Tapi sayangnya itu bukan ciuman. Hanya bibir yang saling menempel bagi saya.”

Mata Diandra melebar sempurna. Tak menyangka Shaun akan mencelanya seperti itu. Ia akui Diandra bukanlah gadis yang pintar berciuman. Tapi mendapat cemoohan dari pria yang dicintainya membuat harga diri Diandra meradang. Ia tak suka. Namun belum lagi ia menyuarakan protesnya, Shaun sudah menarik gadis itu. Menciumnya dengan cara terakhir kali Diandra rasakan. Membuat gadis itu hampir kehabisan napas karena Shaun tak memberinya cela untuk bernapas. Kemudian Shaun melepaskannya dengan wajah Diandra yang sudah memerah.

“Seperti itu yang namanya ciuman bagi saya,” ucap Shaun sembari jemarinya mengusap lembut bibir Diandra yang tampak membengkak. “Kamu lapar?”

Diandra masih begitu terkejut efek ciuman Shaun tadi. Tapi saat pria itu bertanya apa ia lapar, tanpa sadar Diandra mengangguk.

“Kalau begitu, ayo masak.”

Diandra kembali menjadi kelinci penurut kala Shaun menariknya menuju dapur. Pria itu mendudukkannya di salah satu kursi. Memintanya menunggu sementara pria itu mulai sibuk mencari bahan makanan yang bisa mereka oleh untuk makan malam. Melihat Shaun bekerja dengan cukup cekatan di dapur membuat Diandra mengulas senyum. Sekali lagi, gadis itu dibuat jatuh cinta pada sosok Rashaun.

...

Note : maaf baru bisa update. Aku malas, hahaha. Jadi harap maklum aja sama penulis ecek-ecek kayak aku ini ya. selamat membaca. Silakan berkomen sesukanya tentang Shaun dan Diandra, wkwkwkwk

Ps : Makasih koreksi typo dan lainnya.

Pss : untuk visualisasi Diandra dan om Shaun, sampai sekarang aku masih bingung. Belum ada yang sreg banget. Mungkin ada yang bilang, ah, jarang-jarang ada laki-laki umur 40an masih bisa kelihatan cakep dan bugar. Jangan bicara hollywood, karena visualisasiku nggak akan sampai ke sana, hahaha. Tapi kemarin aku baru ingat ada artis asia yang usia 40an tahun tapi masih tetap cakep, hawt dan kece badai. Mana single daddy lagi. kalian bisa tebak gak siapa?

Rumah, 11/19/02

Abstrak Where stories live. Discover now