Abstrak 15 - Mulai Terbuka

6.2K 932 52
                                    

Maria tak ingin kecolongan lagi. Begitu jam bubar kantor, gadis itu langsung menarik Diandra menuju mobilnya. Tak memberikan kesempatan pada Diandra untuk lari dan berkelit. Jadi, di sinilah mereka. Setelah berkendara hampir tiga puluh menit, Maria dan Diandra terdampar di sebuah kafe yang tak pernah mereka datangi.

Meski bingung, tapi Diandra tetap menurut. Keduanya sudah duduk berhadapan dengan makanan yang sudah dipesan. Sebelum bicara, Diandra dan Maria memilih mengisi perut terlebih dahulu.

“Aku dan Pak Shaun, balikan.”

Maria tersedak jus mangga yang baru saja diminumnya. “Apa?” pekiknya. Tak hanya Diandra yang terkejut, tapi beberapa pengunjung pun.

“Ish, jangan teriak!” Diandra mengingatkan. “Aku sama Shaun sudah berbaikan.”

“Lo, gila, Diandra!” geram Maria. Tahu tak mungkin bisa memekik dan berteriak. “Maksud lo apa sih? Enggak kapok apa nangis, sakit hati. Dan dengan tololnya lo malah pacaran lagi sama playboy cap kambing itu?”

Diandra mengernyitkan dahinya. “Kok kamu gitu sih?”

“Lo terlalu bego apa gimana ya, Di? Heran gue!”

“Ini tuh cinta. Aku cinta sama Pak Shaun ...”

“Tolol!”

Diandra mengkeret di kursinya. Maria, walau seringnya gadis itu mengatai Diandra, tapi Diandra tahu itu hanya ungkapan sayang Maria terhadapnya. Tapi berbeda dengan saat ini. Saat Maria mengatainya, wajah gadis itu terlihat menyeramkan.

“Maria ...”

“Gue nggak ngerti lagi sama lo, Didi. Udah capek gue nasihatin lo tentang Om Shaun.”

“Ya nggak usah. Cukup dukung aku aja, ya?”

Hell! Dukung pala lo, meleduk!” lagi-lagi Maria mengeluarkan kemurkaannya. “Didi, enggak cuma karena kebiasaan Om Shaun doang yang bikin gue nggak setuju. Lo juga pasti tahu, jarak apa yang paling jauh terbentang antara lo sama Om Shaun.”

Diandra mengangguk. “Aku tahu.”

“Terus? Lo pikir cinta lo ke dia bisa bertahan gitu? Jangan norak, Didi. Dan jangan bikin gue muntah karena lo mau membuktikan kisah roman picisan favorit lo bisa jadi kenyataan di dunia ini.”

“Kenapa sih? Apa yang salah kalau aku cinta sama Shaun?”

“Enggak ada yang salah kalau kasusnya cinta monyet. Saat cintanya hilang. Tinggal monyetnya doang berkeliaran. Tapi gue tahu lo, Didi. Lo pasti cinta pakai mati sama dia. Dan lo pikir, semua bakal berhasil? Setelah lo pacaran sama dia, lalu apa? Lo membayangkan hidup happy ending dengan pernikahan sama Om Shaun? Jangan mimpi! Lo langkahin dulu mayat Papa dan dua Kakak lelaki lo yang sayangnya kadang kelewatan sama lo!”

Jika ada kompetisi menampar orang dengan kata-kata, mungkin Maria sudah menjadi juaranya. Setiap kata yang ia lemparkan pada Diandra mampu membuat gadis itu bungkam. Tapi apa yang disampaikan Maria membuat pikiran Diandra sedikit terbuka.

Memang, ia mencintai Shaun. Berharap bisa terus bersama. Jika selama ini Diandra berpikir jalani saja. Kali ini ia memang harus berpikir bagaimana selanjutnya. Saat rasa cintanya dan Shaun saling bertumbuh, lalu apa?
Pernikahan? Siapapun pasti mengharapkan pernikahan. Sampai kemarin Diandra tak ambil pusing perihal pernikahan. Tapi hari ini, ia memang harus memikirkannya. Kebahagiaan kedua orang tuanya saat Diandra menikah, tiba-tiba terbayang dalam benaknya. Tapi melihat kenyataan siapa pria yang dicintainya, maka bayangan indah kebahagian pernikahan tersebut pupus sedikit demi sedikit.
Orang tua mana yang akan mengizinkan putrinya menikah dengan pria yang rentang usianya terpaut jauh. Bahkan hanya berjarak hitungan tahun dengan Mamanya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang-orang jika Diandra dan Shaun nekat melangkah ke jenjang pernikahan.

Tiba-tiba saja Diandra seakan bisa melihat jurang luas yang memisahkan dirinya dan Shaun. Ke mana saja dirinya selaman ini. Asyik terlelap dalam mimpi indahnya bersama rasa cinta terhadap Shaun. Seketika Diandra menunduk. Menyembunyikan wajahnya pada lekukan lengan yang ditumpukan ke pinggiran meja.

“Di?” panggil Maria, mulai takut melihat keterpurukan sahabatnya.

“Aku harus gimana, Maria?” keluh Diandra.

“Berhenti.”

Diandra lantas menaikkan kepalanya. Menatap Maria dengan mata terkejut. “Maksudnya kamu?”

“Hentikan semua kegilaan dan omong kosong kamu tentang hidup happy ending. Karena itu nggak akan mungkin jika dengan Om Shaun.”

“Kenapa sih? Apa aku nggak boleh jatuh cinta sama Shaun?”

“Lo boleh jatuh cinta, Didi. Tapi bukan dengan Shaun. Lo pasti tahu itu.”

Diandra menghela napas. “Andai aku bisa pergi jauh dari sini. Biar nggak ada satu orang pun yang bakal ngomongin tentang cintaku.”

“Pergi aja.” Diandra kembali terperanjat dengan jawaban Maria. “Pergi sesuka lo kalau lo nggak mikirin soal Om dan Tante. Tinggalin keluarga lo. Pilihannya cuma itu kan?”

Seketika Diandra merasa marah akan perkataan Maria. Tak biasanya ia merasakan sahabatnya itu begitu keras padanya. Dan ia tak suka dengan Maria yang memojokkannya. Meski yang dikatakan gadis itu benar adanya.

“Didi, lo mau ke mana?” tanya Maria ketika Diandra sudah berdiri dan berjalan menjauhinya. “Didi!”

Teriakan Maria menggema. Membuat beberapa pengunjung menatap kedua gadis itu kembali. Ingin mengejar, tapi Maria masih harus menyelesaikan pembayaran. Akhirnya gadis itu hanya bisa menggerutu dalam hati. Bersumpah akan membuat perhitungan pada gadis keras kepala itu.

Diandra yang sudah berada di dalam taksi pun, kembali merenungkan sikapnya. Tak seharusnya ia kabur begitu saja dari Maria. Tapi ia benar-benar harus pergi. Tak ingin emosi gadis itu terpancing dan melampiaskannya pada Maria. Dalam perjalanan pulang, Diandra kembali memikirkan pembicaraan mereka tadi.

...

Ada yang berbeda dengan Diandra. Shaun tahu itu. Tapi ia belum memiliki waktu untuk bertanya pada Diandra. Tumpukan pekerjaan yang harus diselesaikan membuat mereka agak sulit untuk saling bertemu. Terlebih Diandra yang akan segera mengundurkan diri. Gadis itu hanya berfokus pada pekerjaannya.

Pikiran yang membebaninya membuat Diandra lebih menarik diri. Ia selalu berusaha menghindari Maria dan Shaun. Terutama Maria. Selama beberapa hari ini ia berhasil menghindari bicara berdua saja dengan sahabatnya. Meski ia tahu Maria sangat ingin menghajarnya karena sudah pergi seenaknya. Tapi sepertinya Tuhan sedang berbaik hati pada Diandra. Hingga ia selalu bisa menghindar dari Maria jika gadis itu ingin bicara empat mata saja dengannya.

Satu pesan masuk ke ponselnya membuat Diandra tertegun. Pesan dari Shaun yang memintanya untuk bertemu sore nanti setelah bekerja. Pria itu juga mengungkapkan rasa rindunya pada Diandra. Diandra pun merindukan Shaun. Tapi ia masih belum mampu untuk bertemu dengan pria itu. Dengan banyaknya beban pikiran di kepalanya.
Niatnya untuk menghindar sepertinya sia-sia. Karena Shaun berhasil mencegah Diandra melarikan diri. Seperti yang pernah terjadi, Shaun berhasil mencegah taksi yang membawa Diandra. Terpaksa, gadis itu keluar dari taksi dan masuk ke mobil Shaun. Agar tak menimbulkan kegaduhan di jalanan.

“Kenapa kamu menghindari saya?” tanya Shaun langsung.

“Aku lagi banyak pikiran.”

“Dengan menghindar?” sindir Shaun. Diandra hanya diam. “Kamu bisa bicara dengan saya kalau memang punya beban pikiran.”

Sepanjang perjalanan menuju apartemen Shaun, tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Hingga mobil berhenti di parkiran basement, keduanya masih tetap diam.

Shaun yang jengah dengan keadaan tersebut pun segera melepas seatbelt-nya. Kemudian menghadap sepenuhnya pada Diandra yang masih memandang ke depan.

“Diandra, apa yang mengganggu kamu?” tanya Shaun dengan lembut.

Perlahan Diandra mengarahkan pandangannya pada Shaun. “Kamu. Hubungan kita.”

“Ada apa dengan kita?”

Diandra turut melepas seatbelt yang mengukungnya. Kemudian menghadap pada Shaun. “Gimana kelanjutan hubungan kita nanti?”

Shaun diam. Ia akhirnya mengerti apa yang membebani pikiran Diandra. Namun ia sama sekali belum memiliki jawaban untuk pertanyaan Diandra.

“Maria tahu tentang kita. Dan seperti yang sudah-sudah, dia menentang keras. Bahkan dia minta aku untuk berhenti.”

“Dan kamu mau kita berhenti?” tanya Shaun dengan nada was-was. Ada ketakutan tersendiri baginya untuk kehilangan Diandra. Saat ia sudah menetapkan hatinya untuk gadis itu.

Diandra menggeleng. “Aku nggak mau. Tapi aku juga bingung. Apa ada akhir untuk hubungan kita?”

“Akhir yang seperti apa yang kamu maksud?” Shaun bertanya hati-hati.

“Pernikahan.”

Meski sudah menyiapkan diri untuk mendengar kata itu keluar dari bibir Diandra, tetap saja Shaun terkejut saat gadis itu menyebutkannya. Dengan lantang.

“Diandra, kamu tahu bagaimana kita. Saya sendiri masih punya banyak kenangan buruk dengan yang namanya pernikahan,” Shaun cepat-cepat mengoreksi saat melihat tatapan tak setuju dari mata Diandra. “Bukan berarti saya tidak ingin menikah dengan kamu. Saya berusaha, Diandra. Tapi ... kamu juga tahu, akan ada banyak drama jika kita menginginkan hal itu.”

Diandra tahu itu, tapi ... salahkah jika gadis itu berharap?

“Kalau gitu, cuma ada satu jalan, kan?”

Dahi Shaun mengernyit tak mengerti. “Maksud kamu?”

“Seperti yang tadi aku bilang. Berhenti.”

Dalam sekejap tubuh Diandra sudah berada dalam dekapan Shaun. Tidak, pria itu tak menginginkan mereka berpisah. Terlebih lagi berhenti. Shaun tidak akan membiarkan cinta yang baru saja mereka tumbuhkan harus mati seketika.

“Jangan katakan itu. Saya tidak akan pernah mengizinkan kamu untuk berhenti berjuang bersama saya.”

Diandra menekan perasaannya. Sekuat apapun ia ingin berjuang, jika dinding yang menghalangi mereka terlalu tinggi, bagaimana mereka bisa merobohkannya?

“Saya akan mencari jalan keluarnya, Diandra. Kita cari sama-sama,” ucap Shaun penuh tekad.

Pria itu mengurai pelukan mereka. Menyapu lembut wajah Diandra dengan sebelah tangannya. Menyingkirkan helaian rambut Diandra yang menghalangi wajah gadis itu. Pria itu mendekatkan wajahnya pada Diandra. Mengecup lembut bibir gadis itu. Membuat Diandra sejenak menahan napas karena kecupan lembut Shaun.

Gadis yang tengah jatuh cinta tersebut pun membalas ciuman Shaun. Seakan ingin menunjukkan ia pun memiliki rasa takut kehilangan yang sama. Sampai akhirnya ciuman itu mereka akhiri.

“Kita akan cari jalan keluarnya,” bisik Shaun yang diangguki Diandra.

Keduanya lantas keluar dari mobil. Berjalan beriringan dengan Shaun yang merangkul tubuh Diandra. Sesekali pria itu melayangkan kecupan ringan di puncak kepala Diandra. Yang gadis itu terima dengan senang hati. Tanpa keduanya sadari seseorang di belakang mereka tengah mengepal erat.

Semua terjadi dalam hitungan detik. Tubuh Shaun ditarik paksa. Dan tinjuan dilayangkan ke wajah pria itu.

“Mas Devan!” pekik Diandra ketika tahu siapa yang sudah menghajar Shaun. Sementara Shaun berusaha bangkit dari posisi tersungkurnya.

Wajah Devan memerah, menunjukkan kemarahan atau bahkan murkanya. Tak menyangka jika akan menemukan pemandangan yang membuatnya tak mampu menahan diri. Bagaimana mungkin ia mampu menahan diri saat melihat Adik kesayangannya berada dalam rangkulan pria yang ... Devan bahkan tak sanggup mengatakannya.

“Did! Pulang!” bentak Devan. Pria itu menarik kasar pergelangan tangan Diandra.

“Mas, tapi ...” Diandra mengkeret karena tatapan tajam Devan. Tak berani melanjutkan kalimatnya.

Devan kembali melayangkan tatapan tajamnya pada Shaun yang sudah berhasil berdiri. Pria itu menyeka sudut bibirnya yang robek karena tinjuan tiba-tiba dari Devan. Tahu bahwa ia tak mungkin bisa menahan Diandra, Shaun hanya bisa diam menatap kepergian kedua bersaudara tersebut dari hadapannya.

Di mobilnya, Devan mencengkeram erat setir kemudinya. Emosinya belum mereda. Dan ia masih tak habis pikir, mengapa Diandra terlibat hubungan dengan pria seperti Shaun. Meski belum mengenal siapa Shaun. Tetap saja, ia tak akan sudi membiarkan adiknya terlibat hubungan dengan pria itu.

Diandra yang sejak tadi pun mencengkeram erat tali pengamannya. Ia masih takut akan kemarahan Devan. Terlebih Devan menyetir dengan kecepatan yang tak biasa. Jika dalam situasi biasa, Diandra bisa menegurnya, tapi tidak saat ini. Ketika emosi masih menyelimuti Devan.

Hingga tiba-tiba mobil berhenti. Diandra menatap sekeliling. Entah di mana mereka saat ini. Ia masih belum berani bertanya.

“Kamu tahu, Mas marah sama kamu, Didi!” suara Devan meski lirih namun terdengar sangat tajam di telinga Diandra.

“Mas ...” rengek Diandra pelan.

Tiba-tiba Devan menolehkan kepalanya, membuat Diandra terkejut. Gadis itu segera menundukkan kepalanya.

“Siapa laki-laki tadi?” tanya Devan kemudian. Diandra bungkam. Ia tak berani menjawab. “Jawab Didi!” bentakan Devan membuat jantung gadis itu hampir lepas dari rongganya.

“M-Mas ...” isakan Didi tertahan.

“Pacar kamu?” Diandra tak berani mengiakan. Gadis itu justru makin terisak. “Kamu sadar nggak sih, Di? Dia itu jauh lebih tua dari kamu!”

Jika Maria yang berteiak padanya, Diandra bisa berpura-pura tuli. Tapi saat Devan yang melakukannya, gadis itu tak tahan lagi. Isak tangisnya makin keras. Dengan kepala yang terus menunduk. Membuat Devan mendesah frustrasi.
Kenyataan macam apa yang saat ini ia hadapi? Adik kecilnya, Diandra-nya yang manis, berpacaran dengan pria yang bahkan pantas menjadi orang tua baginya.

“Putuskan hubungan kamu dengan dia.”

Kepala Diandra langsung terangkat. Mata basahnya langsung mengarah pada mata tajam Devan. “Mas ...”

“Lakukan sebelum Mas buka mulut. Kamu mau Papa, Mama dan Mas Darryl tahu?” Diandra menggeleng lemah. “Kalau begitu, kamu yang putuskan!”

Devan sudah memberi vonisnya. Sekuat apapun Diandra memohon, Kakak lelakinya itu jelas tak akan berpihak padanya. Tapi Diandra tak ingin mengakhiri kisah cintanya yang baru seumur jagung bersama Shaun. Dalam perjalanan pulang, gadis itu terus terisak. Bahkan hingga tiba di rumah, Diandra memilih berlari ke kamarnya. Tak peduli dengan tatapan heran orang-orang di rumahnya. Ia langsung mengurung diri di dalam kamar. Menumpahkan tangisnya sepanjang malam. Bahkan tak peduli dengan kondisi perutnya yang belum terisi makan malam. Diandra hanya ingin menangis.

...

Note : hayo Didi ... mulai ketahuan sama Mas Devan, hehehe. Gimana nasib Didi dan Om Shaun selanjutnya ya?

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 30/19/03

Abstrak Where stories live. Discover now