Abstrak 17 - Mencari Jalan Keluar

4.6K 769 17
                                    

Udara dingin yang menerpa punggung terbukanya membuat Shaun membuka mata perlahan. Sesaat pria itu mengalami disorientasi. Tak ingat di mana saat ini ia berada. Sampai perlahan-lahan ingatannya mulai terkumpul.

Semalam, Shaun lepas kendali. Ia membiarkan dirinya minum melebihi batas toleransinya. Hingga yang ia ingat, dirinya yang dalam keadaan mabuk dibopong oleh seseorang. Seseorang yang masih samar-samar dalam ingatannya.
Sampai ketika seseorang keluar dari kamar mandi berbalut bathrope. Mata Shaun melebar ketika mendapati Rinka tengah mengeringkan rambutnya. Wanita itu tersenyum melihat Shaun yang tampak terkejut dengan kemunculannya.

“Sudah bangun?” tanya Rinka tanpa sedikit pun merasa terganggu dengan tatapan tajam Shaun.

“Kamu? Kenapa aku bisa ada di sini?”

Tentu saja Shaun tak bisa menyenbunyikan kepanikannya. Bagaimana bisa saat terbangun ia mendapati dirinya berada di sebuah di kamar bersama Rinka. Yang lebih membuatnya panik karena keadaan tubuhnya yang tanpa busana. Hanya berbalut celana dalam. Di balik selimut yang membungkus tubuhnya. Rasanya Shaun ingin menghajar dirinya sendiri karena melakukan hal tolol lainnya. Mabuk dan berakhir dalam kamar yang sama bersama wanita lain. Entah bagaimana ia akan mampu menghadapi Diandra. Jika kenyataannya lagi-lagi ia melakukan kesalahan yang sama.

“Kamu mabuk ...”

“Aku tahu itu, Rinka. Tapi ...” Shaun mengusap wajahnya kasar. Menggeram dalam kemarahannya sendiri.

Rinka seperti dapat menangkap kepanikan dalam diri Shaun. Selama ini ia merasa dirinya sangat mengenal Shaun. Tapi melihat Shaun saat ini, Rinka harus menarik kembali anggapannya. Ternyata ia tak cukup mengenal Shaun. Atau memang pria itu yang telah banyak berubah sejak kebersamaan mereka terakhir kali.
Wanita itu dapat menebak jika segala perubahan yang terjadi dalam diri Shaun tak lepas dari kehadiran gadis muda yang pernah bertemu muka dengannya. Lihat saja betapa paniknya Shaun mendapati dirinya yang telanjang berada bersama dirinya. Dulu, Shaun bahkan tak peduli jika mereka berada seharian di ranjang tanpa busana. Pria itu benar-benar ingin berubah demi gadis kecil yang saat ini menjadi kekasih Shaun.

Semalam saja, tak pernah Rinka melihat Shaun sekacau itu. Mabuk dan meracau tentang kisah cintanya yang rumit. Sangat bukan khas seorang Rashaun yang Rinka kenal. Tapi dengan melihat sisi lain dari pria itu, Rinka tahu perasaan yang Shaun punya untuk gadis bernama Diandra tak main-main. Pria itu benar-benar jatuh cinta pada sang gadis kecil.

“Kamu nggak perlu khawatri.” Rinka akhirnya bersuara. Membuat Shaun langsung mengarahkan tatapan bingung padanya. “Tidak terjadi apapun semalam dengan kita.”

“Maksud kamu?”

“Kamu mabuk, meracau dan aku bawa kamu ke sini karena aku nggak sanggup menghadapi kamu yang mabuk berat untuk sampai ke apartemenmu.”

Shaun masih belum mampu mencerna semua. Oke, dia mabuk. Baik, dia meracau. Tapi satu hal yang masih menjadi pertanyaan dalam benak Shaun. Mengapa saat ini dirinya dalam keadaan tanpa busana?

“Kamu mau tanya kenapa pakaian kamu aku lepas? Kamu muntah!”

Wajah Shaun tampak tak percaya. Bahkan bukan hanya Shaun, Rinka saja yang mengenal Shaun cukup lama, tak percaya jika pria dewasa itu muntah karena mabuknya. Tak bisa dipercaya!

Seriously?” tanya Shaun masih tak percaya. Rinka menaikkan sebelah alisnya.

Saat keduanya akan kembali berdebat, suara ketukan di pintu menginterupsi. Rinka melambaikan tangannya ke arah pintu.

“Itu pasti petugas laundry yang mengantar pakaian kamu.”

Rinka segera menghampiri pintu kamar. Dan benar saja, yang datang rupanya adalah petugas yang mengantarkan pakaian milik Shaun. Setelah mengucapkan terima kasih, Rinka kembali menutup pintu kamar. Wanita itu kembali menemui Shaun yang masih terduduk di ranjang.

“Kamu mau sarapan di kamar atau kita ke restoran?”

“Restoran.”

Shaun menarik selimut yang menutupi tubuhnya saat beranjak dari ranjang. Membuat Rinka hanya menggeleng pelan ketika pria itu berakhir di kamar mandi. Setelah keberadaan Shaun tak terlihat lagi, wanita itu pun segera merapikan dirinya.

Keduanya keluar dari kamar untuk sarapan di restoran hotel saat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Sudah terlalu terlambat bagi Shaun untuk datang ke kantor. Karenanya pria itu memutuskan untuk mengambil izin tak datang ke kantor. Lagi pula ia juga memiliki rencana sendiri yang ingin dilakukannya.

“Kamu benar-benar kacau semalam. Apa karena gadis itu?” tanya Rinka saat keduanya tengah menikmati sarapan.

“Apa saja yang kuracaukan?” Shaun balas bertanya.

“Banyak. Tapi inti dari semuanya hanya Diandra. Kamu bilang kamu cinta dia dan nggak mau berpisah dari dia.” Rinka menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. “Memangnya ada masalah apa?”

“Rumit.” Hanya satu kata tersebut keluar dari bibir Shaun.

“Ya memang rumit. Sejak awal kamu memutuskan untuk berpacaran dengan gadis muda itu harusnya kamu tahu itu.”

“Kakaknya memergoki kami dan memintaku menjauhi Diandra.”

Ingin sekali Rinka menertawai Shaun. Kapan lagi melihat pria itu sebegitu frustrasinya dalam berhubungan. Shaun yang terkenal sebagai petualang cinta, kini dibuat dilema kala merasakan jatuh cinta.

“Lalu gadis itu?”

Kepala pria itu menggeleng lemah. “Sejak kemarin aku tidak bisa menghubungi Diandra. Mungkin Kakaknya menutup semua akses komunikasi kami.”

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Kamu tahu semua nggak akan mudah, Shaun.”

I don’t know.”

Rinka dapat mendengar keputus asaan dalam suara Shaun. Untuk kali ini wanita itu merasa simpatik.

“Kamu benar-benar jatuh cinta sama dia, ya?”

Setelahnya hanya keheningan yang melanda kedua manusia tersebut. Shaun larut dalam pikirannya sendiri. Begitu pula dengan Rinka. Meski dalam hati Rinka ada yang terluka. Karena bagaimana pun wanita itu masih memiliki perasaa terhadap Shaun. Tapi ia juga tahu, Shaun yang sudah jatuh hati pada Diandra tak akan mungkin menerima Rinka. Bagi Shaun, Rinka hanya seseorang yang pernah berbagi kesenangan dengannya. Tak pernah ada cinta di hati Shaun untuk wanita itu. Sebab itulah Rinka pun tak pernah menuntut lebih.

...

Melihat putrinya yang lagi-lagi tak berangkat ke kantor, membuat Mama Diandra bertanya-tanya. Memang ia mengetahui jika Diandra sudah mengundurkan diri dari kantor. Tapi setahu sang Ibunda,  masih tersisa beberapa hari lagi bagi anak gadisnya itu untuk resmi keluar dari kantor lamanya.

Terlebih Diandra yang terlihat tak bersemangat dan memilih mengurung diri di kamarnya. Firasatnya sebagai seorang Ibu mengatakan bahwa putri bungsunya tengah menghadapi masalah. Karena itu wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda tersebut, berusaha mencari tahu apa yang dialami putrinya.

“Di, temani Mama ke mal yuk.”

Diandra menutup buku yang dibacanya. Matanya menatap sendu ke arah sang Mama. Jika biasanya gadis itu bersemangat untuk menemani sang Bunda, tapi tidak kali ini. Diandra hanya ingin mengurung diri di kamarnya. Sembari berpikir mencari jalan keluar untuk masalahnya.

“Lagi nggak pengin ke mana-mana, Ma.”

“Kamu ada masalah, Di?” tanya Mamanya kala sudah berhadapan dengan Diandra di atas ranjang gadis itu. Diandra menggeleng. “Di, kamu anak Mama. Dan seorang Ibu punya naluri yang nggak bisa dibohongi. Cerita sama Mama, ada masalah apa?”

Diandra menggigiti bibir bawahnya. Mana mungkin ia bisa menceritakan perihal masalahnya jika tak ingin keluarganya murka. Andai masalah yang Diandra hadapi tak sepelik itu, maka dengan senang hati gadis itu akan berkeluh kesah pada kedua orang tuanya.

“Aku baik-baik aja, Ma. Kalau Mama mau ditemani ke mal, ayo.”

“Didi ... jujur sama Mama, Nak.”

Diandra makin gundah. Tiba-tiba ia berdiri dari posisi duduknya di kasur. “Ma, mau ikut ke satu tempat?” tanya Didi mengalihkan pembicaraan.

“Di ...”

“Tempatnya bagus, Ma. Aku yakin Mama pasti suka.”

Ibunya tak bisa menolak keinginan Diandra. Keduanya berkendara menuju tempat yang ingin Diandra tuju. Afika florist dan kafe. Diandra merasa tempat itu bisa menjernihkan pikirannya sejenak. Tentu saja, kepergian Diandra ke tempat itu tak lepas dari laporan yang harus dilakukannya terhadap Devan. Beruntung Devan mengizinkan karena Diandra ditemani Ibu mereka.

“Tempatnya bagus ya, Di,” puji Mamanya.

Diandra mengangguk setuju. “Iya. Florist-nya juga punya banyak bunga-bunga cantik. Apalagi desain kafe juga nggak lepas dari sentuhan bunga. Aku suka banget menghabiskan waktu di tempat ini, Ma.”

“Tahu darimana tempat ini, Di?” tanya sang Bunda.

“Enggak sengaja. Kebetulan pemilik tempat ini juga kenalan baru aku, Ma.”

Sang Mama tampak terkejut. Tapi selebihnya ia hanya memaklumi saja. Sampai mereka masuk ke dalam kafe dan mulai memesan, tak hentinya Ibu dan anak tersebut mengagumi apa yang disajikan di kafe tersebut.

“Diandra?” sapa seseorang ketika Diandra dan Ibunya berbincang ringan.

“Dewa?” Diandra balas menyapa.

Pria itu tersenyum ramah pada wanita yang ditebaknya adalah Ibu dari gadis yang dihampirinya. Mama Diandra sendiri tak lepas menatap pria muda di hadapan mereka.

“Siapa, Di?” tanyanya pada Diandra.
“Dewandaru, Ma. Pemilik kafe dan florist ini.” Diandra menjawab ringan.

“Halo, Tante. Saya Dewandaru.” Dewa memperkenalkan dirinya pada Ibu Diandra.

“Halo juga, Dewa.” Mama Diandra membalas uluran tangan Dewa. Dalam hati wanita itu mengagumi sosok Dewa yang menurutnya kaca mata penglihatannya adalah pria yang baik.

“Afika mana?” Diandra tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

“Anak itu masih main di ruangan saya,” jelas Dewa. “Sudah pesan?” tanya pria itu lagi.

“Sudah. Lagi nunggu pesanannya diantar.”

“Kalau begitu saya tinggal dulu boleh, Tante, Diandra? Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan.”

Dewa berpamitan pada kedua wanita tersebut. Sejenak pandangan Ibu dan anak tersebut terpaku pada Dewa. Hingga pria itu menghilang di balik pintu yang Diandra tahu menuju florist-nya barulah Diandra dan Mamanya mengalihkan tatapan pada satu sama lain.

“Afika itu siapa? Anaknya Dewa?” tanya Mama Diandra penasaran.

“Bukan. Keponakannya.”

Entah mengapa jawaban Diandra menimbulkan rona cerah di wajah Mamanya. Dalam angan wanita paruh baya itu sudah terbayang betapa pria seperti Dewa akan cocok bersanding dengan putri semata wayangnya. Lagi pula orang tua mana yang tak akan senang mendapatkan calon menantu seperti sosok Dewa. Dari kaca mata Mama Diandra saja, ia bisa menebak bahwa pria itu adalah lelaki pekerja keras dan mungkin bertanggung jawab. Terlihat bagaimana ia berada di tempat usaha miliknya untuk selalu memantau.

“Dia masih single kan, Di?”

Pertanyaan Mamanya membuat dahi Diandra mengernyit. “Hah? Maksudnya?”

“Siapa tahu kamu dan Dewa bisa ...”

“Ma ...” Diandra menyela.

“Loh, Mama kan cuma ngomong. Ya kalau kalian nggak berjodoh Mama juga nggak bisa apa-apa. Tapi selama dia single dan kamu juga single, apa salahnya mencoba. Itu juga kalau kalian sama-sama mau.”

Diandra mengamati wajah sang Ibu dengan raut serius. Ada keinginan bagi Diandra mengatakan pada ibunya bahwa ia sudah memiliki tambatan hati. Tapi ada keraguan besar juga yang membuatnya harus mengubur dalam-dalam keinginan itu.

“Saat ini aku nggak mau mikirin itu dulu deh, Ma.”

“Loh, kenapa? Mama nggak pernah lagi lihat kamu dekat sama cowok, Di. Bukan karena kamu masih ingat sama cinta pertama kamu itu kan? Siapa namanya?”

“Ya bukan, Mama. Aku cuma belum kepikiran aja. Nanti kalau memang aku sudah siap pasti aku kenalin ke Mama.”

Diandra menutup perdebatan. Secara kebetulan juga makanan yang mereka pesan tiba. Membuat gadis itu bisa mengembuskan napas lega karena bisa menghentikan perbincangan tersebut. Namun begitu dalam hati Diandra kembali bertanya-tanya. Benarkah ia sanggup mengenalkan pria yang dicintainya di hadapan sang Mama.

...

Note : segini dulu, sebenarnya masih panjang, tapi aku cut buat next chapter aja ya. maaf kalau selalu molor update, tapi segera, akan kuusahakan ini lapak kelar sebelum ramadhan. Yosh!

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Medan, 01/19/05

Abstrak Where stories live. Discover now