Abstrak 18 - Mencari Kebenaran

4.4K 774 61
                                    

Diandra melirik pada jam dinding di ruang tamu. Sudah lewat setengah jam dari jam pulang Devan biasanya. Kesempatan itu tak ingin Diandra sia-sia kan. Setelah mengambil dompetnya, Diandra berpamitan pada Mamanya. Berujar bahwa ia ingin mencari camilan di sekitar komplek perumahan. Meski agak bingung dengan keinginan anaknya, sang ibu tetap memberikan izin pada Diandra. Lagipula gadis itu hanya berpamitan ke sekitar komplek.

Mendapat angin segar, Diandra bergegas keluar dari rumahnya. Namun baru saja ia berhasil menginjakkan kaki di luar gerbang, mobil Devan muncul. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan kesal. Jika sudah begini, mana mungkin ia bisa kabur.

“Mau ke mana?” tanya Devan yang langsung keluar dari mobilnya.

“Mau cari camilan di depan komplek.”
“Bukan mau kabur ketemu laki-laki tua itu, kan?” sindir Devan.

“Mas ... kenapa sih nggak percaya sama aku. Lagi pula mana mungkin aku keluar rumah dengan dandanan kucel begini?” Diandra menunjuk dirinya yang memang hanya mengenakan kaos rumahan dan celana kain berpotongan tiga perempat.

“Siapa yang tahu?”

“Mas Devan kenapa sih? Memang apa salahnya kalau aku jatuh cinta sama laki-laki yang lebih tua?” kembali pertanyaan itu Diandra lontarkan.

“Sangat salah.”

“Terserah Mas Devan. Aku capek!”

Diandra melenggang pergi. Namun Devan menahan pergelangan tangan adiknya itu. Membuat Diandra berusaha melepaskan cekalannya. Kakak beradik itu kembali terlibat perdebatan.

“Mas, lepasin!”

“Biar Mas antar.”

“Enggak perlu!” Diandra masih terus berusaha melepas cekalan tangan kakak keduanya.

“Didi! Devan! Kalian ngapain?”

Tiba-tiba dari arah berlawanan, Darryl muncul. Pria itu pun baru saja tiba di rumah. Melihat kedua adiknya yang saling berdebat di depan rumah, membuat Darryl memutuskan untuk keluar dari mobilnya.

“Mas Darryl!” Diandra langsung berlari ke arah Darryl begitu cekalan Devan di pergelangannya terlepas.

“Ada apa?” tanyanya pada adik bungsunya yang langsung menghambur memeluknya. Namun Diandra memilih diam. “Ada apa, Devan?” kini Darryl mengalihkan pertanyaan pada adik keduanya.

“Didi mau cari camilan di depan komplek. Aku tawarin tumpangan nggak mau,” jawab Devan santai.

“Kenapa nggak mau, Di?” tanya Darryl kemudian.

Tanpa diduga, Devan menarik Diandra dari rengkuhan Darryl. Membawa adiknya itu masuk ke mobilnya. Meski wajahnya menyiratkan ketidak sukaan, tapi Diandra tak mampu menyuarakan keberatannya. Gadis itu hanya bisa pasrah akan perlakuan Devan padanya. Sementara Darryl hanya menggeleng tak mengerti akan permasalahnlan yang terjadi pada kedua adiknya.

Sepanjang jalan, menuju depan komplek, Diandra berusaha menahan isak tangisnya. Ia merasa diperlakukan tak adil oleh kakak lelaki yang amat disayanginya. Jika saja Devan mau mengerti perasaannya. Diandra pasti tak akan sesedih itu.

“Enggak usah nangis, Di. Mas hanya melakukan apa yang harus kakak lelaki lakukan untuk melindungi adiknya dari jeratan laki-laki berengsek seperti pria itu.”

Diandra berusaha menyusut tangisnya. Ia menatap Devan dengan mata basahnya. “Dia bukan pria berengsek seperti yang Mas Devan tuduhkan. Mas Devan nggak kenal Shaun!”

Cih, nggak berengsek?” decih Devan. “Yakin kamu?”

Diandra makin menatap heran pada Devan. “Maksud Mas Devan apa?”

Devan menghentikan mobilnya di tepi jalan. Pria itu yang sejak kemarin berusaha menahan emosinya akhirnya tak tahan lagi. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Mengotak atik sebentar. Kemudian menyerahkan pada Diandra.

“Kenapa Mas Devan kasih handphone-nya ke aku?”

“Kamu bisa lihat sendiri bagaimana berengseknya pria itu!” Devan tak bisa menyembunyikan kemarahannya.

Meski bingung, tapi Diandra melihat juga apa yang ingin Devan tunjukkan di dalam ponselnya. Seketika napas Diandra tercekat. Ada rasa tak percaya kala ia melihat apa yang terpampang di layar ponsel Devan. Sosok Shaun bersama perempuan yang Diandra tahu adalah satu dari sekian wanita yang pernah ada dalam hidup Shaun. Keduanya tampak bergandengan masuk ke dalam sebuah hotel. Ada rasa tak percaya dalam diri Diandra. Tapi yang memberikan bukti nyata kali ini adalah Devan, kakaknya sendiri. Jadi mana mungkin Diandra bisa tak percaya.

“Sudah lihat?” tanya Devan tajam. Diandra masih bergeming dengan tangan yang mulai bergetar memegang ponsel. “Kamu pasti tahu apa yang dilakukan dua orang dewasa saat masuk ke dalam hotel kan, Di?”

Diandra ingin menjawab keras bahwa mungkin saja itu sebuah kesalah pahaman. Tapi lidahnya kelu.

“Da-dari mana Mas Devan bisa dapat foto ini?” Diandra justru bertanya hal itu.

“Kamu pikir Mas nggak akan mencari tahu tentang pria itu?”

“Mas ikutin dia?”

“Menurut kamu?”

Ada rasa marah yang menguar dalam diri Diandra. Tapi ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Devan atas sikapnya mengikuti Shaun. Pria itu hanya ingin melindungi dirinya.

Tanpa Devan duga, Diandra bergerak secepat kilat keluar dari mobilnya. Bahkan teriakan pria itu tak ia indahkan. Saat Devan bergerak untuk mengejar Diandra, adiknya itu sudah masuk ke dalam taksi yang secara kebetulan melintas. Entah memang itu keberuntungan bagi Diandra hingga ia bisa melepaskan diri dari pengawasan Devan. Sang kakak yang memang langsung dilanda panik dan emosi bergegas masuk ke mobilnya. Secepatnya menyusul taksi yang membawa Diandra. Aksi kejar-kejaran tak bisa dihindari. Dan kembali nasib baik menghampiri Diandra, karena mobil Devan terjebak traffic light, sementara taksi yang membawanya meluncur bebas menjauhi mobil sang kakak.

...

Diandra berlari ke gedung apartemen kediaman Shaun setelah membayar biaya taksi. Gadis itu tak peduli beberapa pasang mata mengamatinya. Terutama petugas keamanan yang memang beberapa kali melihat keberadaan di gedung hunian tersebut. Gadis itu hanya ingin segera tiba di kediaman Shaun. Ingin segera menanyakan kebenaran dari foto yang ditunjukkan Devan padanya.

Selama menunggu lift membawanya ke lantai di mana Shaun tinggal, Diandra berdoa dalam hati semoga apa yang terlihat di foto tersebut tak seperti yang ia pikirkan. Ia berharap Shaun bisa menjaga kepercayaannya. Tak lagi melakukan hal bodoh yang sempat membuat mereka terpisah. Meski saat ini pun hubungan mereka harus terhalang oleh tentangan Devan.

Diandra berlari menuju unit Shaun, menekan bel berkali-kali. Berharap pria itu segera muncul dan membuka pintu. Mungkin memang Tuhan menyanyanginya, karena tak berapa lama, Shaun muncul dari balik pintu dengan wajah terperangah.

“Diandra?” seru pria itu heran.

Detik itu juga Diandra menubruk tubuh Shaun. Menuntaskan rasa rindunya dua hari terakhir ini karena tak bisa bertemu dengan pria itu.

“Diandra?” tanya Shaun berusaha mengurai pelukan mereka.

Namun Diandra tak ingin lepas. Biarkan ia memeluk erat raga pria yang ada di hadapannya saat ini. Otak Diandra bekerja cepat. Ia mendorong Shaun ke dalam apartemen. Kemudian mendorong pintu di belakang mereka dengan kakinya hingga pintu tersebut otomatis terkunci karena kuatnya dorongan yang dilakukan kaki Diandra. Dengan begitu untuk sementara mereka akan aman dari gangguan Devan yang Diandra yakin akan datang sesaat lagi.

“Aku rindu kamu,” gumam Diandra di dada bidang Shaun.

Tersadar dari keterpakuannya, Shaun balas memeluk erat gadis itu. Turut melampiaskan rasa rindunya terhadap perempuan yang membuatnya seperti kehilangan separuh hatinya.

“Saya juga rindu kamu, Diandra!”

Cukup lama mereka berpelukan. Hingga saat rasa rindunya perlahan terobati, pelan Diandra menjauhkan tubuh Shaun darinya. Membuat Shaun heran. Terlebih saat menatap mata Diandra yang sedikit basah. Apa gadis itu menangis?

“Hei, kenapa kamu menangis?” tanya Shaun dengan jemarinya mengusap lembut wajah Diandra.

“Aku mau kamu jujur.”

Diandra menunjukkan ponsel Devan yang ada di tangannya. Mata Shaun melebar kala mendapati foto dirinya dan Rinka yang masuk ke sebuah hotel. Membuat pria itu dilanda kepanikan. Takut Diandra berpikir yang tidak-tidak tentangnya dan Rinka. Meski memang mereka berada di kamar hotel yang sama. Tapi ia dan wanita itu tak melakukan hal yang Diandra bisa pikirkan.

“Aku bisa jelaskan,” ucap Shaun menenangkan. “Tapi, darimana kamu dapat foto itu?”

“Mas Devan.”

Shaun membawa Diandra untuk duduk di sofa. Agar mereka bisa berbicara dengan lebih tenang. Shaun menggenggam tangannya dengan erat. Seolah menyalurkan kepercayaan dalam diri Diandra.

“Apa yang kamu lihat tidak seperti itu kenyataannya. Saya dan Rinka memang masuk ke hotel tersebut. Tapi tidak ada apapun yang terjadi antara kami.”

Diandra mencoba mencari kebohongan di wajah Shaun. Tapi tak ada apapun selain keseriusan di wajah pria itu.

“Saya mabuk berat, Di. Dan itu karena kamu. Saya lepas kendali. Dan kebetulan Rinka ada di sana. Dia membantu saya. Karena memang tidak sanggup harus membopong saya kembali ke aparteme, akhirnya Rinka mengambil keputusan untuk membawa saya ke hotel. Memang kami berada di dalam kamar yang sama ...”

“Apa?” potong Diandra. Wajah gadis itu sudah menunjukkan raut tak suka.

“Tapi saya berani bersumpah, tidak terjadi apapun, Diandra. Rinka hanya membantu saya yang muntah karena terlalu mabuk. Kamu bisa tanya Rinka. Dan saya jamin wanita itu akan bicara jujur.”

Ada ragu dalam diri Diandra. Tapi ia juga tak bisa mengindahkan keseriusan yang terpampang nyata di wajah Shaun. Untuk kali ini, Diandra ingin percaya pada pria itu. Gadis itu kembali memeluk erat tubuh Shaun.

“Jangan kecewakan aku lagi. Bahkan masalah kita saat ini belum ada jalan keluarnya,” ucap Diandra dengan suara tertahan.

“Saya janji, tidak akan megecewakan kamu. Dan kita pasti akan cari jalan keluarnya.”

Diandra mendongakkan kepalanya menatap wajah Shaun. Kedua mata mereka saling mengunci. Ada hasrat yang terpancar dari netra masing-masing. Hingga Shaun tak bisa lagi menahan dirinya. Pria itu mencium bibir gadis yang ada dalam pelukannya. Semua terasa benar baginya kala bibirnya dan bibir Diandra saling melekat.

Namun sayang, keintiman keduanya harus terusik. Suara bel yang berulang menghentikan keduanya. Sesaat Diandra dan Shaun saling terpaku. Dalam hati Diandra menebak jika orang yang berada di balik pintu tersebut adalah kakaknya.

“Siapa?” Shaun bergumam pada dirinya sendiri.

Pria itu beranjak dari duduknya. Bersiap membuka pintu dan melihat siapa tamunya. Tapi cekalan Diandra di pergelangan tangannya, menghentikan langkah Shaun. Wajah gadis itu menyiratkan permohonan agar Shaun tidak membuka pintunya.

“Kamu bisa menebak siapa yang datang?” tanya Shaun. Meski satu spekulasi muncul di kepalanya.

Diandra mengangguk. “Mungkin Mas Devan.”

Sepertinya apa yang dikatakan Diandra benar adanya. Terbukti dari bunyi bel dan gedoran tak sabar dari si pelaku pada pintu unit Shaun. Keduanya masih terpaku. Sedang Devan yang sudah kehabisan kesabaran terus menggedor pintu di luar sana. Bahkan pria itu berteriak melontarkan sumpah serapah pada pria yang berhasil menjerat adiknya.

“Keluar kamu, Shaun! Kalau tidak, akan saya dobrak pintu ini!” jerit Devan dengan emosi menggebu.

Pria itu tak peduli jika ia mengganggu ketenangan dan kenyamanan para penghuni lainnya. Yang ia inginkan saat ini hanya menghajar pria itu dan membawa adiknya pulang.

“Kita harus menemui Kakakmu, Diandra,” usul Shaun.

Tapi Diandra menggeleng dan menggenggam erat pergelangan tangan Shaun. “Nanti Mas Devan pasti ngamuk. Dia pasti marah banget.”

“Akan lebih rumit kalau sampai keluarga kamu tahu. Bahkan jika mereka sampai melibatkan pihak yang berwajib,” Shaun berusaha menenangkan gadis itu.
“Tapi aku nggak mau kamu dipukul lagi sama Mas Devan!”

Shaun tersenyum menenangkan. Pria itu menarik tubuh Diandra hingga bediri di hadapannya. Dengan segenap hati Shaun mencium dahi Diandra. Mencoba menyalurkan ketenangan pada gadisnya.

“Saya akan baik-baik saja.”

Meski berat, akhirnya Diandra mengizinkan Shaun membuka pintunya. Dan benar saja, detik itu juga, tinjuan Devan menghantam wajah Shaun. Hingga lagi-lagi pria itu tersungkur di lantai.

“Shaun!” pekik Diandra. Gadis itu berlari menghampiri Shaun yang masih terduduk di lantai.

Mata Devan menatap nyalang adiknya yang justru mengkhawatirkan pria itu. Andai Diandra adalah adik lelakinya, sudah pasti tinju Devan pun akan mendarat di wajah Diandra.

“Didi!” pekik Devan masih dengan emosi tak tertahan.

“Mas Devan ...” Diandra menatap kakak lelakinya dengan airmata berlinang. “Cukup ...” pintanya.

Devan masih berdiri dengan mata menyala memandang dua sejoli tersebut. Terlebih saat melihat adiknya berusaha membantu Shaun berdiri. Terlihat jelas bahwa Diandra pun ikut terluka atas apa yang Devan lakukan pada pria itu. Tapi Devan tak peduli. Jika dengan membuat pria ityu sekarat bisa menjauhkan Diandra dari Shaun, maka Devan tak keberatan. Bahkan jika harus berurusan dengan pihak kepolisian.

“Didi, ikut Mas pulang!” Devan menarik paksa Diandra.

Namun kali ini adiknya itu menolak perintahnya. Diandra melepas paksa cekalan Devan. Gadis itu kembali ke sisi Shaun. Membuat Devan menggeram dengan mengepalkan tangannya.

“Didi!”

“Aku nggak mau pulang. Aku mau di sini. Aku mau sama-sama Shaun!” bantah Diandra. Ia bahkan memeluk tubuh Shaun di hadapan Devan.

Emosi Devan memuncak. Ia mendorong Diandra menjauh dari pria itu. Dan melampiaskan kemarahannya pada Shaun dengan pukulan bertubi-tubi. Shaun yang tak siap hanya bisa pasrah menerima pukulan demi pukulan yang dilayangkan Devan padanya. Hingga pria itu ambruk kembali ke lantai dalam keadaan tak berdaya.

“Mas Devan!”

Kembali Diandra berteriak histeris. Ia tak bisa melihat dua pria yang dicintainya saling baku hantam. Terutama ia tak tega melihat Shaun yang terus menerus dihajar oleh Devan. Ia mendorong Devan menjauh dan bersimpuh di depan tubuh tak berdaya Shaun. Tangis histeris gadis itu tak bisa dibendung. Ia memeluk tubuh Shaun yang bahkan kesulitan untuk bergerak.

“Mas Devan, Jangan. Aku mohon ...” pinta Diandra dengan airmata menggenang.

“Tinggalkan pria itu kalau kamu nggak mau hal yang lebih brutal lagi Mas lakukan padanya!” ancam Devan.

Devan berjalan menuju sofa ruang tamu. Memberikan waktu bagi Diandra untuk dapat menangisi pria itu. Ia mengambil ponsel miliknya juga dompet Diandra yang gadis itu letakkan di atas meja. Kemudian ia mendekati Diandra yang masih terus menangis tergugu di depan tubuh sekarat Shaun. Devan menarik paksa tangan adiknya. Tak peduli dengan rontaan kasar Diandra. Ia terus menyeret adiknya untuk keluar dari kediaman pria itu. Meninggalkan Shaun seorang diri tanpa berniat menolongnya.

“Mas ...” ucap Diandra tergugu sambil berusaha melepas cengkeram Devan padanya. Tapi kakak lelakinya tak terpengaruh. Pria itu tetap mencengkeran erat dan menarik Diandra untuk pergi bersamanya.

Sedang Shaun yang tak berdaya hanya mampu menatap kepergian gadis yang dicintainya dengan pandangan sayu. Ia bahkan tak memiliki tenaga untuk sekedar bangun. Hanya bisa pasrah saat melihat Diandra yang menangis meronta minta dilepaskan untuk bisa bersamanya.

Sepeninggal kedua kakak beradik itu, Shaun menghela napas perlahan. Matanya menatap langit-langit ruangan. Dengan pikiran berkelana. Tak pernah terbayangkan olehnya ia akan mengalami kejadian seperti ini. Mencintai seorang gadis muda dan berakhir tak berdaya karena banyaknya rintangan yang menghalangi mereka.

...

Note : kayaknya bunuh diri ya kelarin work ini sebelum puasa, sedang puasa kemungkinan besar itu besok atau selasa, wkwkwk. Jadi cemana? Apa work ini dipending selama ramadhan atau tetap diupdate dengan jadwal update abis taraweh?

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 05/19/05

Catatan Ria :
Marhaban ya Ramadan. Minal aidin wal faidzin. Maafkan lahir dan batin. Selamat menyambut puasa ramadan buat teman-teman wattpad yang menjalaninya. Dan semoga bulan penuh berkah ini membawa keberkahan bagi seluruh umat. Saling berbagi dan saling menghormati bagi semua manusia meski kita berbeda keyakinan ya. jadikan bulan penuh berkah ini momen untuk kita lebih meningkatkan ketakwaan pada Allah SWT. Maaf jika selama saling mengenal di dunia orange ini ada sikap dan kata yang gak berkenan baik  sengaja atau tak disengaja. Semoga ke depannya kita, terutama saya jadi manusia yang lebih baik lagi. Aamiin!

Abstrak حيث تعيش القصص. اكتشف الآن