Abstrak 5 - Nyatanya Melakukan Tak Semudah Mengatakan

9.2K 1.2K 56
                                    

Diandra bisa saja mengatakan akan mencoba melupakan perasaannya terhadap Shaun. Tapi realisasi tetap tak akan semudah kala gadis itu mengatakannya. Buktinya Diandra tetap saja tak bisa mengalihkan tatapannya dari Shaun. Di manapun keduanya bertemu, Diandra akan selalu mencuri pandang ke arah pria itu. Hingga hatinya serasa meledak karena ia tak mampu menyingkirkan apa yang disebutnya sebagai cinta terhadap Shaun.

Dan imbasnya pada pekerjaan yang tak bisa Diandra kerjakan dengan baik. Ia sadar semua itu kesalahannya. Karena itu kini ia menghadap Lani di ruangannya. Bersiap menerima amukan atasannya.

“Kenapa laporan yang kamu buat berantakan, Diandra?”

Nah, benar kan apa yang Diandra pikirkan? Mana mungkin gadis itu bisa melenggang seenaknya setelah melakukan kesalahan. Meski pekerjaannya sudah diselesaikan Maria. Tapi tetap saja Diandra harus bertanggung jawab. Perusahaan ini bukan milik moyangnya hingga gadis itu bisa berlaku seenaknya. Dan Diandra siap menerima hukuman apapun. Sekalipun ia harus dipecat secara tak hormat.

“Maaf, Bu Lani. Tapi saya sedang banyak pikiran.” tak ada gunanya Diandra mengelak. Jadi gadis itu mengatakan apa yang bisa ia jadikan jawaban.

“Harusnya kamu tahu saat di kantor, fokusmu hanya untuk pekerjaan. Bukan yang lain!”

Diandra tahu betapa tegasnya Lani. Memang wanita itu akan sangat ramah di luar konteks pekerjaan. Tapi saat menjalankan tugasnya, tak akan ada yang namanya pandang bulu bagi Lani. Meski di kejadian yang lalu Diandra sudah berbaik hati membelanya. Tapi itu tak akan mengendurkan ketegasan Lani. Beruntung mereka berhasil mengatasi masalah yang lalu hingga Shaun tak perlu lagi memberi ancaman pada mereka. Tapi masalah kali ini jelas berbeda. Karena hanya melibatkan Diandra seccara personal.

“Saya siap menerima sanksi apapun dari Ibu.”

“Ini peringatan pertama, Diandra. Saya tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi. Beruntung Maria bisa membantu memperbaiki pekerjaan kamu. Mengerti?” Diandra hanya mengangguk pasrah. “Sekarang kamu boleh kembali bekerja.”

Diandra berpamitan pada Lani kemudian kembali ke meja kerjanya. Sudah ada Maria yang berwajah cemas menantinya. Sahabatnya itu sangat yakin Diandra pasti mendapatkan teguran keras dari Lani. Terlebih wajah Didi yang menunjukkan raut muram. Meski bukan karena Lani penyebabnya. Hanya saja Diandra enggan bercerita pada Maria.

“Lo baik-baik aja kan, Di? Enggak ada SP satu kan?” tanya Maria cemas.

Diandra mengangguk. “Tapi peringatan keras.”

“Huh, sama aja dong dengan SP juga.”

Diandra tak menjawab. Gadis itu kembali duduk di kursi kerjanya. Membuka lembar kerja di komputer yang sebenarnya sudah tak perlu lagi. Tapi Diandra butuh suatu pengalihan. Diliriknya arloji di pergelangan tangan. Beberapa menit lagi jam makan siang akan tiba. Namun Diandra sudah tak sabar untuk menyingkir dari ruang kerjanya. Hingga saat waktu menunjukkan pukul dua belas tepat gadis itu langsung berdiri. Tindakan Diandra jelas saja memancing keterkejutan seisi ruangan. Tapi seolah tak peduli, tanpa berpamitan pada Maria, Diandra bergegas pergi.

Toilet adalah tempat pertama yang ditujunya. Diandra butuh membasuh wajahnya sebelum siap menghadapi realita hidup lainnya. Sampai panggilan dari Maria masuk ke ponselnya. Gadis itu langsung menjawab.

Lo di mana?” tanya Maria to the point.

“Toilet.”

Lo kebelet, Di?

“Bukan. Aku butuh cuci muka.”

Gue tunggu di kantin ya? Mau gue pesanin sekalian?

Abstrak Where stories live. Discover now