Abstrak 6 - Tak Bisa Berhenti

8.6K 1.1K 70
                                    

Hampir satu jam Diandra dan Shaun berada di toko buku. Gadis itu berusaha menahan dirinya di depan Shaun. Meski hanya bisa mengekori langkah Shaun, tapi Diandra merasa senang bukan main. Bahkan ia tak masalah hanya dianggap laksana bayangan pria itu. Begitu saja sudah lebih dari cukup bagi Diandra.

Hingga akhirnya tak ada lagi yang ingin mereka cari di sana, keduanya beranjak ke kasir. Menyerahkan buku-buku untuk segera di bayar. Lagi-lagi Shaun mengambil alih dengan membayarkan tagihan untuk buku-buku milik Diandra. Membuat gadis itu merasa tak enak hati.

"Nanti saya akan ganti tagihan buku saya, Pak," ucap Diandra saat Shaun menyerahkan kantong plastik milik Diandra.

"Kamu bermaksud merendahkan saya?" nada suara Shaun dibuat setegas mungkin. Hingga Diandra merasa takut.

"Bukan begitu, tapi..."

"Kamu mau ke mana lagi setelah ini?" Shaun memotong ucapan gadis itu.

"Jemput Bi Harti yang saya tinggal di gerai es krim itu." Diandra menunjuk salah satu gerai es krim yang berjarak beberapa meter dari toko buku.

Tanpa bicara, Shaun berjalan lebih dulu menuju gerai es krim yang disebutkan Diandra. Sedang gadis itu hanya terperangah sejenak. Kemudian menyusul Shaun yang bertindak sesukanya sendiri. Gadis itu kemudian mendahului Shaun masuk ke gerai dan menghampiri bi Harti.

"Mbak Didi sudah selesai belanja bukunya?" tanya bi Harti saat melihat Diandra.

"Sudah, bi. Kita pulang ya."

Kali ini Diandra memutar tubuhnya mengarah pada Shaun. Pria itu berdiri tepat di belakang Diandra tadinya.

"Terima kasih untuk bukunya, Pak. Kalau begitu saya permisi."

"Kamu mau ke mana?" Shaun mencekal pergelangan Diandra hingga gadis itu tertahan langkahnya.

"Pulang?"

"Maksud saya pulang dengan apa?" tanya Shaun lagi.

"Taksi."

"Biar saya antar kamu dan Bibi pulang."

Tanpa melepaskan cekalan tangannya pada Diandra, Shaun membawa gadis itu berjalan bersamanya. Bi Harti di belakang mereka hanya bisa mengikuti dengan berbagai pikiran di dalam kepalanya. Ia bertanya-tanya siapa pria yang saat ini sedang memegang tanga Diandra. Tapi sadar akan posisinya wanita itu hanya membungkam rapat bibirnya.

Selama perjalanan tak ada yang bersuara. Diandra sendiri juga tak tahu harus bicara apa. Terlebih dengan adanya bi Harti bersama mereka. Sepertinya gadis itu harus memikirkan cara agar sang bibi tidak buka mulut pada orang rumah.

"Terima kasih untuk tumpangannya, Pak," ucap Diandra ketika mobil Shaun sudah berhenti di depan rumah keluarga Diandra. Pria itu sendiri hanya menggumam sambil menganggukkkan kepala.

Merasa tak akan mendapat jawaban lebih, Diandra bergegas keluar dari mobil Shaun. Disusul bi Harti. Bahkan tanpa sapaan apapun Shaun menyalakan mobilnya menjauhi kediaman keluarga Diandra. Membuat gadis itu menggerutu dalam hati. Harus sekaku itukah Shaun terhadap dirinya. Padahal di toko buku tadi pria itu terlihat tak masalah berdekatan dengan Diandra.

"Itu tadi siapa, Mbak?" akhirnya bi Harti berani buka suara.

"Atasan di kantor, Bi. Nggak sengaja tadi ketemu di toko buku."

Bi Harti mengangguk, kemudian bergumam. "Ganteng ya, biar sudah berumur begitu."

"Iya," desah Diandra yang seketika tersadar apa yang dikatakannya. "Eh, ayo masuk, Bi."

Tanpa menunggu bi Harti bicara hal macam-macam, Diandra segera berlari ke dalam rumah. Kedua orangtuanya belum kembali dari acara karena mobil milik papanya belum ada di carport. Dah Diandra bergegas masuk ke kamarnya. Tapi baru saja gadis itu membaringkan tubuh, ia sudah kembali berdiri. Dengan cepat mengambil ponselnya dan menghubungi satu nama.

"Ha..."

"Aku minta nomor handphone, Pak Shaun!"

"Apa!" teriak Maria di ujung sana. Belum lagi ia menyelesaikan kata halo dalam suaranya tadi, Diandra sudah memberondongnya dengan permintaan tak masuk akal.

"Maria, kamu nggak tuli. Aku bilang kasih aku minta nomor handphone Pak Shaun!"

"Iya gue nggak tuli. Tapi elo yang gila!" Maria kembali berteriak. "Mau ngapain lo minta nomor Om Shaun, coba?"

Diandra menggigit bibirnya. Ia sendiri bingung dengan dirinya saat ini. Tak mengerti mengapa ia bisa bertindak impulsif seperti ini. Tapi Diandra juga sadar, ia tidak bisa lagi. Setelah sekian waktu berpikir, mensugesti dirinya sendiri bahwa Shaun bukan orang yang baik untuknya. Tapi lagi-lagi Diandra kalah dengan perasaannya. Bukannya memudar, rasa itu malah makin menggebu. Membuat dadanya sakit karena terlalu lama menahan perasaan.

"Didi, lo masih di sana kan?" tanya Maria lagi.

"Maria, i can't..." lirih Diandra.

"Enggak bisa kenapa?"

Di tempatnya berdiri Maria juga tengah harap-harap cemas menantikan jawaban sahabatnya. Ia tahu benar tabiat Diandra. Dan sekarang pun ia juga takut Diandra akan memilih apa yang membuatnya kalah. Sudah sebisa mungkin Maria mencegah agar rasa cinta Diandra menghilang terhadap Shaun. Tapi sepertinya hal itu sia-sia. Lihat saja bagaimana tiba-tiba Diandra malah meminta nomor ponsel pria itu.

"Aku rasa... aku nggak bisa nahan lagi."

Maria menggeretakkan giginya. Pegangannya pada ponselnya pun mengencang. Inilah yang selalu ia takutkan. Diandra si anak polos ini tak akan segan mencurahkan segala perasaannya. Maria masih ingat saat pertama kali Diandra jatuh cinta. Si bodoh itu begitu mengagungkan cinta monyetnya. Dan kala sang pujaan hati mengkhianatinya, Diandra malah menangis berhari-hari. Dan Diandra memang semenyedihkan itu perihal kisah cintanya.

Tapi saat ini bukan lagi perihal cinta monyet bagi Diandra. Terlebih pria yang membuatnya jatuh cinta bukanlah pria yang bisa dikategorikan sebagai pria baik. Shaun terlalu berbahaya bagi Diandra. Pria itu punya hidup yang seratus depalan puluh derajat berbeda dari dunia Diandra selama ini. Dan Maria tak ingin sahabatnya itu terjebak dalam dunia Shaun yang tak biasa.

"Didi! Jangan..." ancam Maria.

"Aku nyerah, Maria. Aku nggak bisa berhenti jatuh cinta sama Pak Shaun."

"Diandra, Hei! Dengar gue, lo bisa. Cukup tanam dalam kepala lo kalau Om Shaun itu berbahaya. Om Shaun itu nggak cocok buat lo. Terlebih... halo, Didi! Om Shaun itu sudah berumur ya ampun, Di..." Maria memekik di seberang sana. "Dia itu mungkin seumuran sama Tante, masa iya lo mau pacaran sama Om-Om. Jangan gila, Didi!"

Diandra mulai terisak membuat Maria makin panik. Andai saat ini ia tak berada di luar kota sudah pasti ia akan menghampiri Diandra. Dan menceburkan gadis keras kepala itu ke kolam agar Diandra sadar bahwa semua perasaannya itu salah. Mungkin Maria sedikit keterlaluan, tak ada yang salah dalam cinta. Tapi hanya saja keadaan antara Diandra dan Shaun yang salah. Mereka tidak akan bisa bersama. Dan Diandra harus disadarkan akan kenyataan itu.

"Memang benar ya, jatuh cinta bikin orang jadi goblok!" umpat Maria kesal. Mau tak mau membuat Diandra tertawa disela isakannya.

Sejujurnya Diandra menangis bukan karena rasa cintanya pada Shaun yang jelas akan ditentang oleh semua orang. Tapi ia menangisi dirinya yang terlampau bodoh karena tak bisa mengendalikan hatinya. Dan benar kata Maria, jatuh cinta membuatnya menjadi manusia paling bodoh di dunia. Karena tak sadar akan kenyataan yang tak mungkin bisa menyatukan dirinya dan Shaun.

...

Kembali ke rutinitas mereka di kantor, membuat Diandra dan Maria sejenak melupakan perdebatan mereka yang lalu. Diandra bahkan seolah melupakan tingkah bodohnya yang meminta nomor ponsel Shaun pada Maria. Jelas saja Maria tetap tak memberikan pada sahabatnya itu. Ia masih berniat menjauhkan Diandra dan rasa cintanya itu dari Shaun.

Meski begitu bukan berarti Diandra menyerah. Ia memang tak memaksa Maria lagi untuk memberikan nomor ponsel Shaun padanya. Tapi gadis itu punya rencana yang ia telah susun sendiri. Dan sore itu juga Diandra menjalankan aksinya.

Ia sengaja menolak di antar pulang oleh Maria. Diandra beralasan dirinya akan pergi ke mal dulu karena ada barang yang harus dibelinya. Setelah Maria pergi, Diandra tak buang waktu untuk menjalankan rencananya. Ia berencana akan membuntuti Shaun untuk mencari tahu di mana pria itu tinggal. Jika Maria tak mengizinkannya, maka biarkan Diandra berusaha sendiri.

Tepat setelah melihat mobil Shaun meninggalkan kantor, Diandra langsung memasuki taksi yang kebetulan berkeliaran di sekitar kantornya. Memberi instruksi pada sang sopir untuk membuntuti mobil Shaun yang berada tepat di depan mereka. Sambil berharap agar aksinya ini tak diketahui oleh Shaun. Hingga mobil Shaun tiba di sebuah gedung apartemen.

"Hah? Jadi dia tinggal di sini?" gumam Diandra sambil matanya mengamati bangunan tinggi tersebut.

"Mau turun di sini atau gimana, Mbak?" tanya sang sopir yang cukup heran pada penumpangnya satu itu.

"Sa..."

Belum sempat Diandra menjawab sebuah ketukan terdengar dari arah pintu penumpang. Diandra dan sang sopir sama-sama menoleh dan mendapati wajah kaku Shaun di luar sana. Gadis itu menggigit bibir, cemas. Tak menyangka bahwa dirinya akan tertangkap basah oleh Shaun semudah itu. Terlebih saat Shaun membuka pintu dengan mudahnya dan melayangkan tatapan tajam pada Diandra.

"Keluar!" perintahnya.

Meski dengan tubuh gemetar, Diandra menuruti perintah Shaun. Gadis itu keluar dari dalam taksi. Dan saat berniat membayar biaya, Shaun lebih dulu menyerahkan dua lembar uang yang bahkan lebih dari cukup untuk membayar argo taksi Diandra. Setelahnya pria itu mengucapkan terima kasih dan menutup pintu taksi.

Tinggallah kini Shaun dan Diandra berhadapan. Gadis itu menunduk seraya memainkan jemarinnya yang saling terkait. Postur Diandra saat ini persis seperti anak sekolah yang ketahuan membolos oleh gurunya. Gadis itu tak berani mengangkat kepalanya. Tapi ia berani bertaruh bahwa Shaun saat ini masih menatap tajam padanya.

Shaun sendiri tak habis pikir pada gadis muda ini. Bisa-bisanya ia membuntuti Shaun hingga ke tempat tinggalnya. Andai Diandra tahu betapa kerasnya usaha Shaun untuk menjauhi gadis itu. Tapi sepertinya usaha Shaun menjadi sia-sia karena ternyata sang domba polos sendiri yang mengumpankan diri pada sang serigala.

Tanpa bisa dicegah, Shaun meraih jemari Diandra membuat gadis itu tersentak dan mengangkat kepalanya. Diandra menatap bingung padanya. Tapi Shaun seperti tak ingin menjelaskan apapun. Pria itu hanya mengajak Diandra untuk masuk ke apartemennya. Petugas keamanan tampak terkejut kala melihat Shaun berjalan bersama seorang gadis muda. Karena biasanya wanita yang datang bersama Shaun pasti berusia dewasa. Tapi seperti biasa, tak ada yang perlu membuka mulut perihal apapun yang dilakukan para penghuni apartemen tersebut. Mereka digaji hanya untuk menjaga keamanan bukan mencampuri kehidupan pribadi penghuninya.

Lift yang ditumpangi Diandra dan Shaun membawa mereka ke lantai tiga belas. Setelah lift membuka, Shaun kembali menarik Diandra bersamanya. Gadis itu sedikit kesusahan mengimbangi langkah panjang Shaun. Tapi Diandra tak bisa menyuarakannya. Hanya menggerutu di dalam hati.

"Masuk," perintah Shaun lagi kala pintu di depan mereka sudah terbuka.

Karena terlalu fokus menggerutu, Diandra bahkan tak sadar bahwa mereka sudah tiba di unit milik Shaun. Dengan langkah canggung gadis itu masuk ke dalam tempat tinggal Shaun. Mata gadis itu menjejah seisi ruangan yang didominasi warna putih dan gading. Kembali saat terlalu asyik mengamati, Diandra tak sadar bahwa Shaun sudah berdiri di belakangnya. Seketika gadis itu meremang. Tapi tak bisa menggerakkan tubuhnya.

Tak berbeda dengan Diandra, Shaun pun hampir tak bisa mengendalikan dirinya kala berdekatan dengan gadis itu. Sosok Diandra yang berada dalam jangkauannya membuat seluruh saraf dalam dirinya menggila. Ingin ia memeluk Diandra begitu erat. Memerangkap gadis itu dalam kuasanya. Dan bahkan hal lebih gila lainnya bercokol dalam otaknya. Membuat Shaun mati-matian menahan diri.

"Kenapa kamu membuntuti saya?"

Abstrak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang