Asbtrak 20 - Menyerah Pada Hati

6K 824 41
                                    

Tak ada pembicaraan lagi perihal Diandra dan kekasih hatinya. Selama seminggu ini, keadaan rumah berlangsung aman terkendali. Mereka seperti memiliki kesepakatan tak tertulis bahwa tak akan lagi berbicara perihal kisah cinta si bungsu. Semua itu demi menjaga kesehatan papanya. Jika bukan karena papanya, mungkin Devan masih akan melakukan penghakiman bagi Diandra.

Meski tak lagi mengungkit hal tersebut, bukan berarti Devan melonggarkan pengawasan pada Diandra. Bahkan mama dan papanya pun secara tak langsung sekarang ikut mengawasi ketat gadis itu. Terutama sang mama yang memang berada di rumah seharian bersama Diandra. Meski jengah diperlakukan bak pesakitan, tapi Diandra tak bisa membantah semuanya. Bahkan Darryl yang biasa memihaknya hanya bisa membesarkan hati adik kecilnya itu. Dengan dalih sampai mereka bisa bicara dengan tenang lagi.

Berbeda Diandra, berbeda pula dengan yang dialami Shaun. Pria yang sudah bisa berkaktivitas itu tampak sedang berpikir keras di ruang kerjanya. Shaun sudah memikirkan langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Seperti yang disarankan Adrian sebelumnya, Shaun harus melakukan tindakan. Tak lagi berkutat dengan urusan hubungan rahasia bersama Diandra. Ia harus memperjelas semua. Dan Shaun akan menghadapi keluarga Diandra. Meski dengan skenario terburuk sekali pun.

Namun sebelumnya, ia harus mencari tahu seperti apa keluarga Diandra. Ia hanya pernah berhadapan dengan Devan yang menurutnya temparental. Dan ia butuh tahu sosok seperti apa yang akan ia hadapi demi memperjuangkan gadisnya. Untuk itu ia hanya punya satu cara. Apalagi jika bukan mengorek informasi dari Maria. Keponakannya sekaligus sahabat Diandra.

“Bisa panggilkan Maria ke ruangan saya?” pinta Shaun pada Lani, selaku atasan Maria.

Beberapa saat kemudian Maria tiba di ruangan Shaun. Meski bingung, tapi gadis itu tetap masuk dan duduk di sofa seperti yang diperintahkan Shaun.

“Ada apa Pak Shaun memanggil saya?” tanya Maria basa-basi.

Cut the crap! Om memanggil kamu ke sini karena ada hal penting yang mau Om tanyakan pada kamu.”

“Didi?” tebak Maria langsung yang diangguki Shaun. “Apa yang mau Om tahu?”

“Seperti apa orang tua Diandra? Juga kedua kakak lelakinya.”

Maria  bersedekap sembari memandang Shaun. Seolah apa yang diinginkan oleh pria itu adalah hal yang tak masuk akal baginya.

“Buat apa Om tahu tentang keluarga Didi?”

Shaun menghela napas. Sejak awal memutuskan untuk bertanya pada Maria, ia tahu tak akan mudah baginya. Ia juga tahu bahwa Maria adalah salah satu yang menentang keras hubungan mereka. Tapi Shaun sangat membutuhkan informasi dari gadis itu. Karenanya ia bertekad untuk tak menyerah.

“Om tahu, kamu tidak akan pernah setuju. Tapi, Om benar-benar serius berhubungan dengan Diandra. Dan Om ingin menemui keluarganya.”

Mulut Maria separuh terbuka demi mendengar apa yang dikatakan Shaun. Sumpah demi apapun, Maria tak percaya. Ia pasti saat ini sedang bermimpi. Rashaun, si pria bebas dengan segudang stok wanita yang dengan mudahh menghangatkan ranjangnya, mengatakan ingin berhubungan serius. Benar-benar sulit dipercaya.

“Apa?” tanya Maria ragu. “Om bercanda kan?”

“Apa Om kelihatan sedang bercanda saat ini?” Shaun balas bertanya.

Maria berusaha menyelami raut wajah Shaun. Tak ada setitik pun candaan di wajah tegas pria itu. Tapi tetap saja, ini semua tak masuk akal.

“Om, jangan gila!” pekik Maria akhirnya. “Om dan Didi itu nggak akan pernah bisa bersama.”

“Kamu bukan Tuhan, Maria. Bukan kalian yang menentukan seperti apa masa depan kami.” Shaun berucap tegas. Membuat gadis itu kesulitan bereaksi.
Sejenak Maria terpaku. Gadis itu bahkan butuh mengalihkan pandangan untuk bisa bersikap selanjutnya.

“Gue emang bukan Tuhan, Om. Tapi Om harusnya tahu, enggak akan semudah seperti yang Om ucapkan. Dan kalau pun kalian ditakdirkan bersama, gue orang pertama yang akan menentang dan menghentikannya!”

Shaun menatap putus asa pada Maria. Mengapa semua seakan menentangnya. Mengapa dunia dan seisinya seolah tak berpihak pada perasaan yang Shaun dan Diandra rasakan. Apa salah jika kedua insan itu jatuh cinta dan menginginkan hidup bersama. Seolah masa lalu Shaun dan perbedaan usia mereka menjadi momok yang tak bisa dihindari. Bukankah cinta tak memandang usia. Di dunia ini tak hanya mereka yang merasakan jatuh cinta. Banyak manusia lainnya yang saling mencintai bahkan dengan perbedaan paling signifikan sekalipun.

“Maria ... Om tidak butuh kamu untuk menghakimi. Cukup bantu Om untuk tahu seperti apa keluarga Diandra. Terutama orang tuanya.”

Kali ini berganti Maria yang menatap putus asa pada Shaun. Sepertinya pria itu tak akan menyerah kali ini. Dengan berat hati akhirnya Maria terpaksa membuka mulutnya.

“Orang tua Didi itu adalah orang tua yang penyayang. Terutama kepada Didi yang memang adalah anak perempuan satu-satunya. Karena itu mereka sangat menjaga Didi. Meski begitu mereka juga bukan orang tua yang keras. Selama aku kenal Om dan Tante, mereka itu mendidik anak-anaknya untuk jadi anak yang baik dan lembut. Tapi bukan berarti mereka akan dengan mudah menyerahkan Didi pada laki-laki. Terutama yang seperti Om.”

“Kenapa kamu berpikir seperti itu? Seperti yang Om katakan tadi, jangan menghakimi. Kamu tidak akan pernah tahu apa yang benar-benar orang lain pikirkan.”

“Tapi apa Om coba berpikir, apa yang akan dirasakan orang tua Didi. Saat tahu anaknya mencintai pria yang jauh lebih tua darinya. Apa Om nggak mikir gimana perasaan orang tua Didi saat anaknya jadi cibiran banyak orang?” Maria kembali mendebat. “Kalau Om dan Didi cuma mikirin diri sendiri, silakan kalian pergi jauh dan jalani hidup yang kalian mau. Tapi, apa Om yakin Didi mau? Apa Om yakin cintanya sama Om bisa mengalahkan cinta Didi untuk keluarganya?”

Shaun membeku. Benar apa yang dikatakan Maria. Jika cinta hanya seputar dirinya dan Diandra, maka mereka tak akan perlu repot mengurusi apa yang orang lain katakan. Tapi mereka masih memiliki keluarga. Terlebih di sisi Diandra. Mana mungkin gadis itu sanggup berpisah dari keluarga yang membesarkannya. Yang memberikan kasih sayang berlimpah padanya hanya demi seorang pria.
Shaun terduduk dengan kepala tertunduk. Pria itu seolah tak menemukan jalan lain akan hubungannya dengan Diandra. Buntu.

Maria yang melihat hal itu hanya bisa bersimpati pada Shaun. Satu sisi hatinya mengiba pada sang paman yang akhirnya menemukan kembali sinar hidupnya berupa cinta. Tapi satu sisi ia juga tak ingin sahabatnya memiliki masalah jika berhubungan dengan pria seperti Shaun. Terutama dengan keluarganya. Yang bisa gadis itu lakukan hanya menghela napas lelah. Berharap Diandra dan Shaun menemukan jalan kebaikan untuk masing-masing. Tanpa menyakiti satu pihak pun.

...

Darryl merasa sudah saatnya ia bicara dari hati ke hati bersama adik kecilnya. Karena itu pria yang begitu menyayangi keluarganya itu mengajak Diandra untuk sekedar keluar. Menikmati angin malam sembari mereka berbincang. Awalnya Diandra merasa enggan. Tapi melihat wajah lembut Darryl membuatnya tak bisa mengabaikan keinginan kakak tertuanya.

Keduanya berkendara dengan mobil Darryl setelah berpamitan pada kedua orang tua mereka. Devan yang biasanya akan membatasi pergerakan Diandra kali ini tak mengekang gadis itu. Karena memang sang adik akan pergi bersama kakak lelaki mereka.

“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Diandra setelah hampir satu jam mereka masih berputar-putar.

“Ada sesuatu yang ingin kamu makan, Di?”

Diandra berpikir sejenak. “Roti bakar.”

“Oke, Mas. Tahu ada warung roti bakar yang enak banget.”

Jadilah Darryl mengendarai mobilnya ke sebuah warung roti bakar yang memang menjadi langganannya. Setelah sampai di tujuan, Darryl memarkirkan mobilnya di tempat yang tersedia.

“Mau ikut turun?” tawar Darryl.

“Aku tunggu di mobil saja ya, Mas.”

Darryl mengangguk. Ini yang Diandra sukai dari kakak sulungnya. Darryl begitu lembut dan tidak gampang terpancing emosi. Membuat Diandra lebih nyaman menghabiskan waktu bersama pria itu. Satu hal yang selalu membuat Diandra heran, di usia Darryl yang sudah cukup matang ini, pria itu sama sekali belum memiliki pendamping. Atau bahkan calon pendamping. Diandra tak pernah melihat Darryl dekat atau memperkenalkan seorang perempuan ke hadapan keluarga mereka. Pria itu masih betah dengan kesendiriannya. Padahal dari segi rupa dan finansial, Darryl pasti mudah saja menggaet perempuan untuk dijadikan pasangan. Atau memang kakaknya itu yang terlalu pemilih.

Baru saja Diandra berpikir akan pasangan untuk kakak lelakinya, pemandangan asing terlihat jelas di depan matanya. Di depan sana, Darryl tampak berbincang akrab dengan Bapak penjual roti bakar. Terlebih saat Diandra melihat interaksi Darryl bersama istri yang mungkin anak perempuan si bapak penjual. Ada yang berbeda dari cara Darryl berbincang dengan putri si penjual. Tatapan Darryl yang memang lembut namun memancarkan aura berbeda. Membuat Diandra tanpa sadar mengulum senyum.

“Ini pesanan kamu.” Darryl menyerahkan roti bakar pesanan Diandra setelah menunggu beberapa lama.

“Makasih, Mas.” Diandra menerima dengan senang hati.

“Mau makan di sini?” Diandra mengangguk.

Diandra mulai menikmati roti bakarnya. Dengan sesekali menyuapkan pada Darryl. Pria itu tersenyum karena perhatian yang diberikan adik kecilnya itu. Darryl menikmati kebersamaan mereka sembari mencari waktu yang tepat untuk mulai bicara pada Diandra.

“Mas Darryl kenal sama Bapak penjualnya?” tiba-tiba Diandra melontarkan pertanyaan tersebut.

“Cukup kenal. Memangnya kenapa, Di?”

“Sama anak perempuan si Bapak?” tanya Diandra lagi. Darryl cukup terkejut tapi pria itu berhasil mengembalikan mimik wajahnya ke semula.

“Lumayan.”

“Cara Mas mandang anak perempuan si Bapak, agak berbeda.” Darryl dibuat makin terkejut oleh ucapan adiknya. “Mas suka sama perempuan itu?”

Sejenak Darryl tertegun, namun akhirnya ia tertawa kecil seraya mengusap puncak kepala Diandra. “Kamu ini ...”

“Tapi kalau memang Mas Darryl suka, pasti nggak akan sulit kan.”

Darryl menyadari perubahan suara Diandra. Mungkin ini saatnya pria itu mulai bicara pada adiknya.

“Di ...”

“Aku tahu kenapa Mas ajak aku keluar. Mas pasti mau ngingetin aku kan?”

“Didi ...”

Lagi-lagi Diandra memotong ucapan Darryl. “Salah ya Mas, kalau aku cinta sama Shaun. Dan ingin hidup sama dia?”

Darryl menghela napas. Saatnya ia memberi pandangan dan pengertian untuk adiknya.

“Bagi Mas, cinta kamu nggak salah. Tapi, kamu juga tahu kan itu sulit. Terlebih ada Mama dan Papa yang harus jadi bahan pertimbangan kamu. Mas tahu, kamu ingin bahagia. Mama dan Papa juga ingin kamu bahagia. Tapi ... coba kamu posisikan sejenak menjadi mereka. Orang tua pasti akan merasa berat jika pilihan yang diambil anaknya akan menimbulkan sedikit kontroversi. Mungkin Mama dan Papa suatu waktu bisa menerima. Tapi gimana dengan keluarga besar kita, Di?”

“Yang akan hidup kita, kenapa harus selalu memikirkan pandangan orang lain?” elak Diandra.

“Karena kita masih hidup di masyarakat dengan pemikiran yang masih konservatif. Salah sedikit jadi guncingan. Menyimpang sedikit jadi cibiran. Itu nggak akan mudah, Di. Mama dan Papa ingin kamu bahagia, tapi mereka juga ingin kamu mendapatkan seseorang yang pantas untuk kamu. Paling tidak menurut mereka.”

Diandra hanya diam mendengar penuturan Darryl. Gadis itu ingin menentang keras. Tapi apa yang dikatakan Darryl adalah sebuah kenyataan yang tak mungkin bisa ia elakkan.

“Di, maaf kalau Mas nggak bisa memberi kamu jalan keluar terbaik. Tapi coba pikirkan lagi. Selami lagi. Saat kamu mengambil keputusan, itu nggak akan cuma berdampak di kamu, Dek. Tapi juga keluarga kita. Kamu boleh memperjuangkan cintamu. Tapi tolong, perjuangkan juga cinta Mama dan Papa yang tak akan pernah berkurang atau bahkan hilang untuk kamu. Saat kamu kehilangan cintamu, akan selalu ada keluarga yang siap menerimamu kembali.”

Diandra menunduk. Tangisnya perlahan keluar. Ia ingin menutup matanya dan hatinya. Ia ingin menggapai cintanya bersama Shaun. Tapi ketika ia mencoba melihat masa depannya dan Shaun, bayangan kekecewaan Mama dan Papa melintas seketika. Membuat gadis itu makin tak kuasa. Dalam tangis, ia berusaha menegarkan dirinya. Diandra tahu ini pilihan paling sulit baginya. Tapi sepertinya, ia sudah memiliki jawaban. Ia harus menyerah pada hatinya.

...

Note : Owlah ... akhirnya bisa update lagi di tengah kemageran yang melanda, hehehe. Enggak mau banyak cakap, cuma mau ngingetin, jangan berharap lebih untuk ending work ini ya, ahahaha. Like i said before, ini cuma work main-main doang. Terinspirasi dan termotivasi dari worknya edaku si RincelinaTamba (itu juga worknya sekarang ditelantarkan sama dia 😑😭😂) Jadi kalau nanti (beberapa part lagi bakal ending nih) endingnya begitu, ya harap dimaklumi saja ya. Terima kasih 😘

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Pss : kayaknya kukangen sama work telenovela 😂 kalau itu kupublish lagi, mau baca gak? Tapi ada kemungkinan bakal dirombak sih 😋

Rumah, 12/19/05

Abstrak Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα