Forbidden

By lucemiran

169K 10.1K 2.2K

Brother Sister Complex Rating 18+ untuk tema Kematian sang ibu menyebabkan sepasang kembar Kevin dan Kiran la... More

[Short Review, Warning & Blurb]
Prolog
1 - The Chosen One
2 - Friends
3 - Heart Connection
4 - Relationship
5 - Mawar
6 - Love Birds
7 - The Most Important Thing
8 - Moving Out
9 - The Covenant
10 - Main Course
[ Character Data Page - Kevin ]
11 - Trapped
12 - Preparation
13 - Home Sweet Home
14 - Uncertainty
15 - Reunion
16 - Time To Breath
17 - The Wish
18 - Innocence
19 - Family
20 - The Reason
21 - Decision
22 - Friendship Between Us
23 - Living Doll
24 - The Help
25 - Embracing Hopes
26 - Horror Film And Pink Lips
27 - New Family
28 - Identical Twins
29 - Self Defense
30 - Apologize
31 - Jealousy
32 - A New Storm
33 - BFF
34 - Good Girl Turned Bad
35 - Silent Scream
36 - Honesty
37 - The Fear
38 - Welcome To Masqueride!
39 - Another Secret
40 - Drown
41 - Disorientation
42 - His Feeling, Her Voice
43 - Let's Dance, Shall We?
44 - Nameless Emotion
45 - Promise
46 - "I will win this for you, so .... "
Side Story: For This Year And Forever
48 - Distrust
49 - To Hurt and To Protect
50 - White Lies
51 - Small Chances
52 - My One And Only
Special Valentine Side Story : Melt
53 - Pride or Existence
54 - Treason
55 - Confession
56 - Unbreakable
57 - Cold Laugh
58 - relief / regrets
59 - (not) a sad story
60 - Nothing Could Be Worse
61 - Atonement
[Pemberitahuan]
[Terima Kasih Banyak!]

47 - The Payback

982 105 32
By lucemiran

Budayakan votes dan komentar yaa :D

Ada alur mundur di bab ini. Jadi jangan sampai dibuat bingung 😃

Happy reading~!

Empat hari setelah peristiwa pagi yang memuakkan di Puncak Bintang.

Angin terasa kencang menerpa wajah Kiran di jendela tanpa bingkai lantai delapan Ballroom. Udara terasa basah, sama seperti kedua telapak tangannya yang mengepal saat melihat pemandangan tak biasa di bawah sana. Bukannya berkumpul di dalam gedung yang mereka anggap sebagai markas, bermain kartu atau pun minum-minum, kali ini para Masked Rider justru berkumpul di luar. Menonton dua orang dari petinggi mereka yang kini tengah berduel.

Raven dan Killer Clown. Matt dan Galang.

Kiran menggigit bibir. Disaksikannya kedua lelaki itu saling adu jotos. Menendang, memiting, meninju. Apa pun yang bisa dilakukan untuk membuat salah satunya tumbang dan angkat tangan. 'Ini bodoh,' batinnya. Ketika Kevin baru saja menyelesaikan hari pertama di KRAPSI, di sinilah ia berada. Jika bisa memilih Kiran lebih ingin menonton perlombaan yang Kevin ikuti daripada memenuhi panggilan Angela agar ia menonton perkelahian barbar semacam ini.

Ditambah lagi, ia juga secara tidak langsung terlibat dalam perkelahian itu.

"Kamu seharusnya ada di bawah sana, Ran-Ran." Angela yang berdiri tak jauh di salah satu jendela berujar. "Raven itu sedang memperjuangkanmu, lho."

"Dia hanya enggak suka seseorang mengingkari kata-katanya." Kiran berucap datar. "Aku juga enggak meminta dia melakukan apa pun."

"Tapi kamu senang, kan? Si Galang itu sudah sembarangan menyentuhmu," celetuk Angela. "Bukan berarti aku protes, sih," lanjutnya tersenyum miring.

"White Wolf, tolong suruh Raven berhenti!"

Kiran dan Angela menoleh. Seorang gadis berambut tembaga pendek dan bertubuh kurus muncul di belakang mereka, wajahnya diwarnai ekspresi cemas. Angela mendekat pada Kiran dan berbisik,

"Salah satu mainan Galang yang terlalu bodoh karena malah menyukainya."

Kiran menelan saliva, mengarahkan pandangannya satu kali lagi pada perkelahian di bawah sana. Langkah Galang sudah terlihat sempoyongan, sementara Raven masih berdiri tegak dengan kepalan tangan siap melayang. Gadis itu memohon padanya berkali-kali, mengatakan kalau Kiran pasti bisa membuat Raven berhenti.

Lagipula, perkelahian ini memang dilakukan demi dirinya. Taruhan kepemilikan atas dirinya yang sudah diklaim sebagai 'hadiah' untuk Raven, yang mana diterima oleh Killer Clown karena dia juga bernafsu untuk mencicipi anak anjing Panglima Perang. Atau itulah drama picisan yang terbayang di otak semua anggota Masqueride.

Sayangnya, bayangan soal Galang yang nyaris merenggut kehormatannya terasa lebih menyakitkan ketimbang permohonan gadis di hadapannya ini. Malam itu takkan pernah ia lupakan dan akan menjadi dendam yang ia sendiri tak bisa membalaskannya.

"Dia memang pantas dihajar," bisik Kiran dingin, disambut oleh senyuman puas Angela dan mata membelalak si gadis berambut pendek.

Gadis bermanik biru gelap itu berjalan sambil lalu, tak peduli meski si gadis berambut tembaga memanggil-manggil namanya. Kiran menuruni tangga demi tangga Ballroom yang gelap, kedatangannya sontak diberi jalan oleh kerumunan Masked Rider. Akhirnya Kiran melihat semua dari jarak dekat. Killer Clown yang sudah tertelungkup di tanah, juga Raven yang dengan penuh nafsu menendangi kawan sekaligus lawannya tanpa ampun.

Ia takkan berhenti sampai lawannya mengaku kalah.

"S-Stop..., stop..., aku menyerah!" Galang mengangkat tangannya, dengan terpaksa mengakui kekalahannya ketimbang harus masuk rumah sakit. Atau mungkin dia sudah harus dibawa ke rumah sakit melihat kondisinya sekarang.

"Cih." Raven meludah. Ia berbalik, melemparkan tatapan maut pada para Masked Rider yang sejak tadi mengelilingi mereka. Sebagian menonton dengan antusias, sebagian lagi kecewa ini harus terjadi antarsesama anggota. Termasuk sang Raja yang dengan konyolnya kelihatan sangat terhibur.

Dengan lantang pemuda itu berkata,

"Aku ingin kalian semua camkan bahwa ini bukan hanya tentang White Wolf. Semua kata-kataku, selama itu berada di bawah persetujuan Yang Mulia, jangan pernah sekali pun ada yang melanggarnya. Atau," Raven mengedikkan kepalanya pada Galang yang masih meringis kesakitan di tanah, "kalian akan mengalami yang lebih menyakitkan dari dia."

Matt menjauhi kerumunan tanpa peduli pada mereka yang mulai berkasak-kusuk menatap kepergiannya, atau pun Kiran yang saat ini berdiri di antara mereka semua. Gadis itu menunduk. Mendengarkan gunjingan demi gunjingan yang tanpa ragu diucapkan meski ia jelas-jelas berada di sana.

"Ini enggak adil."

"Semua anggota cewek boleh dipakai siapa saja, kenapa dia enggak?"

"Memangnya dia pikir dia siapa?"

"Pfft. Pelacur pribadi Panglima Perang."

"Lubangnya sesempit itu ya sampai Raven enggak rela berbagi? Haha."

Telinga Kiran terasa panas. Tak tahan mendengarnya, ia mengejar Matt yang sudah menaiki motor, bersiap pergi dari area tersebut setelah semua keributan yang ia sebabkan. Kiran menarik napas. Apakah yang Matt lakukan cukup setimpal dengan apa yang akan mereka dapatkan?

"Tunggu!" panggilnya. "Kenapa kamu melakukan itu?" tanya Kiran.

"Sudah kubilang aku akan membalasnya," sahut Matt. "Aku enggak pernah main-main dengan kata-kataku."

"Kamu baru saja menjadikan aku bahan taruhan tanpa persetujuanku. Kamu tahu betapa berisikonya itu? Bagaimana kalau kamu kalah?" tuntut Kiran, tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika Galang menang.

"Satu-satunya persetujuan yang kubutuhkan cuma dari Raja. Lagipula, yang penting aku menang, kan?" balasnya arogan. "Aku enggak akan menantang orang yang enggak bisa kukalahkan."

"Tapi sekarang semua orang berpikir yang buruk-buruk tentang kita!"

"Semua orang yang ada di sini sama buruknya, White Wolf. Enggak ada gunanya kamu memikirkan yang seperti itu."

Kiran diam seribu bahasa.

"Sudahlah. Aku mau cari angin. Oh ya, satu hal lagi. Soal peringatanku tadi, itu juga berlaku untukmu. Jadi, jangan lupa."

Begitu Matt pergi meninggalkannya, seseorang merangkul Kiran dari belakang, membuatnya nyaris terperanjat. Angela menyeringai lebar di sampingnya. Sungguh raut wajah yang amat sangat Kiran benci.

"Yah, sejak awal juga semuanya sudah bisa menebak siapa yang bakal menang. Galang enggak ada tandingannya dengan Matt. Galang saja yang terlalu gengsi untuk menolak tantangannya." terang gadis ber-side ponytail tersebut.

"Kamu sebenarnya enggak senang dengan hasilnya, kan?" tuding Kiran. Angela melepaskan rangkulannya,

"Aww. Come on, segitu jahatnya kah aku di matamu?" tanyanya berlagak terluka. "Aku enggak peduli siapa yang menang. Mau Galang kek, mau Matt kek. Yang penting, malam ini aku melihat sosokmu yang sebenarnya."

Kiran mendengkus. Angela dan segala omong kosongnya.

"Aku enggak mengerti."

Dengan cepat Angela meraih tangan Kiran,

"Ran-Ran, aku suka tatapanmu saat cewek tadi memohon dan kamu enggak menggubrisnya. It was sooo cool!" Pujian yang sarkastik. "Dan lagi, kamu juga senang, kan, Galang babak belur? Kamu mungkin berharap hal yang lebih buruk lagi bakal menimpanya. Pasti memuaskan sekali, kan, kalau Matt menghajarnya sampai mati? Oh my God. My sweet innocent little Kiran hoped for someone else's suffering! Memikirkannya saja sudah bikin aku basah."

"... Shut up."

"Ini peran yang ingin kulihat darimu, sayang. Peran yang lebih cocok untukmu daripada gadis inosen yang sok enggak tahu apa-apa."

Kiran menarik kasar tangannya dari genggaman Angela. 'Dia pikir aku ini boneka?' pikirnya seraya beranjak meninggalkan gadis itu. Namun, apa yang Angela katakan tak sepenuhnya salah. Dia memang tak suka Matt menjadikannya bahan taruhan seperti itu, tapi melihat Galang dihajar habis-habisan hingga tak berdaya, Kiran merasa dendamnya seakan terbalaskan. Meski tentu saja, itu masih belum cukup.

Jika ada hal yang ingin Kiran sesali, mungkin ia tak seharusnya bersikap terlalu dingin pada gadis yang memohon padanya tadi. Gadis itu tak ada hubungannya. Malah dia pun bisa dikatakan sebagai korban dari ini semua. Dia bahkan tak ada saat mereka bermalam di Puncak Bintang.

'Dia seharusnya tahu betapa bejatnya Killer Clown,' batin Kiran, sempat terpikir untuk mengajak si gadis berambut pendek bicara, sekali pun ia yakin tak ada anggota yang tak tahu soal insiden gigit jari (dalam artian sebenarnya) di Puncak Bintang. Kiran meyakinkan hatinya untuk melakukan itu, yang mana langsung pudar tatkala si gadis berambut pendek memapah galang, berjalan melewatinya dan mendesis,

"You will pay for this."

Malam itu, Kiran merasa ratusan pasang mata tak henti-henti menatap ke arahnya.

***

"Kok bisa kamu enggak tahu kalau Kiran dioperasi?" Maya memprotes Kevin yang duduk di depan ruang Cardiovascular Care Unit, tak sabar menunggu jam besuk untuk Kiran yang tengah dirawat pasca implan pacemaker. Tepat setelah Upacara Penghormatan Pemenang selesai, Kevin menemui Airin dan Fazil yang ternyata datang bersama kabar soal Kiran yang kini berada di rumah sakit. Detik itu juga Kevin langsung izin pada coach-nya untuk meluncur ke sana.

Pemuda itu mengacak rambutnya yang beraroma klorin. Bukan cuma Maya, tapi Radi dan Fazil juga ada di sana, menemani Kevin yang sejak tadi menguarkan aura 'aku sudah gagal sebagai kakak' sementara Maya terus mengoceh soal ketidakpekaannya. Kiran itu seringkali terlihat kelelahan padahal mereka sedang tak ada pelajaran olahraga. Tertidur di kelas. Bahkan yang paling terakhir ketika gadis itu pingsan di kamar mandi dan lupa mengapa mereka ada di sana.

Lalu bagaimana bisa Kevin bilang Kiran selama ini tampak biasa-biasa saja?

"May, sudah cukup. Bukan salah Kevin Kiran sakit, kan?" sela Radi. Gadis itu melipat tangannya di dada,

"Aku cuma enggak habis pikir. Kalian tinggal satu rumah dan kamu enggak sadar kalau dia kenapa-napa?"

"Dari dulu tubuh Kiran itu memang lemah, kok. Ditambah lagi Kevin sibuk di klub renang, jadi wajar lah kalau dia enggak notice. Kamu pikir mereka dua puluh empat jam bersama kayak kembar siam?" Radi membelanya lagi. Ia menepuk pundak Kevin dan menenangkannya, "Vin, ini bukan salahmu. Yang penting Kiran sekarang sudah enggak apa-apa, kan? Dia mungkin bakal lebih sehat dari sebelumnya."

"Kak Radi benar, kak. Ini bukan salah Kak Kevin." Fazil membenarkan ucapan Radi. Di satu sisi pemuda berkacamata itu tampak sama menyesalnya seperti sang sepupu. "Maaf juga aku enggak bilang apa-apa sama Kakak. Kak Kiran sendiri yang minta. Dia ingin Kak Kevin tetap fokus latihan."

Radi menepuk bahunya lagi. "Kamu dengar itu? Dia cuma enggak mau mengusik pikiranmu. Sayang sekali timing-nya buruk."

Kevin tercenung. Kalau ia pikirkan lagi, memang ada satu hal yang aneh terjadi pada Kiran belakangan ini. Tidak, itu sudah terjadi semenjak mereka belum pindah. Gadis itu gampang sekali lupa. Kasarnya, benar-benar pikun. Kevin pikir itu bukanlah masalah besar, selama gadis itu bisa mengingatnya kembali. Siapa yang tahu kalau itu juga salah satu gejala gangguan jantung yang dideritanya?

Dia benar-benar bodoh.

"Keluarga Nona Kiran?" seorang perawat melongokkan kepalanya dari balik pintu CVCU. Sepertinya jam besuk sudah dimulai. Kevin sontak bangkit,

"Saya, Sus. Saya kakaknya."

Perawat itu tersenyum ramah,

"Silakan masuk, Mas. Mbak Kiran-nya sedang tidur, tapi enggak apa-apa. Asal jangan mengganggu saja."

Kevin masuk duluan dan mengenakan pakaian steril berwarna hijau mint. Perawat tadi menarik tirai pembatas untuk memberikannya privasi. Kevin menaruh tangannya di atas tangan Kiran yang tertutup selimut putih gading, menggenggam hati-hati. Kiran membuka mata, merespon sentuhan itu.

"Kevin?"

"Hey," sapanya lembut, "Gimana perasaanmu?"

"Hmm..., Lukanya sakit sekali."

Pemuda itu terkekeh pelan, sedikit air mata mulai membasahi pelupuknya.

"Maaf, ya," ucap keduanya di saat yang bersamaan. Kevin tertegun, sementara Kiran mengerjap tidak paham.

"Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya gadis itu. Kevin menatapnya lekat-lekat,

"Maaf, aku enggak sadar kalau selama ini kamu enggak sepenuhnya sehat," sesalnya parau. Mengusap matanya sebelum benar-benar basah. "Seharusnya aku lebih memperhatikanmu."

Kiran menggeleng, "Jangan bilang begitu. Aku senang kamu serius latihan."

"Aku bisa seperti sekarang ini karena kamu. Kalau aku sampai mengabaikanmu gara-gara sibuk dengan mimpiku sendiri, lebih baik aku enggak punya mimpi, Ran."

"Aku enggak mau mendengarmu bicara begitu ...."

"...."

"Salah satu hal yang paling membuatku bahagia itu melihat kamu mengejar mimpimu, Vin. Kamu tahu itu, kan?"

"Yah..., aku tahu." Kevin mengangguk.

"Jadi, bagaimana lombanya?" selidik Kiran. Kevin merogoh sakunya, mengeluarkan satu medali emas yang ia dapatkan. Bibirnya mengulum senyum.

"Ini cuma salah satunya. Masih ada dua lagi," ungkapnya, terdengar bangga sekaligus sedih. "Yang satu ini buat kamu."

"Vin." Tenggorokan Kiran mulai tercekat. "Sorry, aku enggak ada di sana buat mendukung kamu dan yang lain. Padahal aku sudah janji."

Kevin segera memajukan tubuhnya agar lebih dekat, menggenggam tangan Kiran lebih erat. "Aku sudah dengar dari Fazil dan Tante Airin, kok. Enggak apa-apa. Kamu bisa melihatku lain kali."

"Sorry, Vin. Aku benar-benar minta maaf."

Kevin tersenyum pada adik kembarnya. Bisa jadi ini karma karena dulu dialah yang tak datang ke perlombaan klubnya saat masih di Avicenna Memorial. Bukankah segala sesuatu selalu memiliki sebab akibat? Kevin tidak mempermasalahkannya jika memang itulah yang sedang terjadi.

Mengesampingkan egonya yang ingin menetap lebih lama bersama Kiran, ia tahu kedua temannya juga ingin menjenguk adiknya itu. Terutama Maya. Kiran juga pasti senang bisa bertemu kembali dengan sahabatnya, jadi Kevin pun memutuskan untuk mengakhiri kunjungannya dan keluar. Membiarkan Maya memborbardirnya karena ia sendiri terlalu khawatir jika harus melihat yang tidak-tidak.

Kevin duduk di samping Fazil yang masih diselimuti perasaan bersalah. Ia menepuk puncak kepala sepupu angkatnya itu, tersenyum setulus yang ia bisa,

"Thanks, man. Kamu sudah menjaga adikku dengan baik."

Beban di wajah Fazil seolah terangkat. Radi pun tampak puas melihatnya. Tak ada yang lebih menyenangkan untuk dilihat ketimbang hubungan persaudaraan yang akrab. Ketiganya mengobrol selagi menunggu giliran Maya membesuk selesai. Bergantian dengan Radi yang tidak memakan waktu terlalu lama untuk melihat keadaan Kiran.

"Sebenarnya aku masih betah dengan udara Bandung. Tapi apa boleh buat, kita harus segera pulang," ucap Radi setelah mereka berempat keluar dari lobi utama rumah sakit. Langit sudah berubah oranye saat mereka tiba di pekarangan.

"Haaah. Padahal aku masih ingin ngobrol banyak sama Kiran." Maya mendesah kecewa.

"Lewat telepon kan bisa," cetus Radi memutar bola matanya.

"Sensasinya enggak sama, tahu!"

Radi dan Maya mengucapkan salam perpisahan terakhir sebelum mereka menaiki mobil yang sudah dipesan untuk kembali ke Sampurna Sport Club. Sama seperti keduanya, Kevin dan Fazil juga harus pulang. Sembari bercakap-cakap mereka berjalan menuju mobil tempat Airin menunggu. Kevin tengah mendengarkan tanggapan Fazil soal perlombaan tadi siang saat sesosok pemuda yang turun dari sebuah mobil menarik perhatiannya. Ia mengernyit, memperhatikan pemuda dengan mata mengantuk beberapa meter di depannya dan berharap penglihatannya masih cukup baik untuk tidak salah mengenali seseorang.

'Itu kan ...,' Kevin meyakinkan dirinya sendiri.

"Kak?" panggil Fazil heran pada Kevin yang hanya berdiri terpaku.

"Zil, kamu dan Tante pulang duluan saja. Aku masih ada urusan lain!" kata Kevin tiba-tiba, kemudian berjalan cepat untuk memastikan kalau ia tidak akan melewatkan kesempatan ini.

"Eh? Memangnya kenapa, Kak?" tanya Fazil, mengeraskan suara karena Kevin semakin menjauh. Pertanyaannya dibiarkan menggantung oleh Kevin yang sudah terlalu fokus pada apa pun yang ingin ia lakukan.

Fazil menghela napasnya jengkel. Tidak adik tidak kakak sama saja. Sama-sama suka bertindak semena-mena agar ia melakukan apa yang mereka mau. 'Ya sudahlah.'. Berhubung dirasanya Kevin bisa menjaga diri sendiri, Fazil memutuskan untuk menuruti perintah sang kakak sepupu.

"Matias!" panggil Kevin pada sosok yang dikejarnya. Pemuda itu pun menoleh. Menampakkan tangan yang digips dan pelipis berbalut perban. Matanya yang sayu sama sekali tidak terkejut, seolah ia sudah tahu kalau Kevin memang mengikutinya sejak awal.

"Ya?"

Kevin menatapnya serius. "Aku perlu bicara denganmu."

Akhirnya Kevin berhadapan sama Matias 🤣

udah lama aku pengen nulis interaksi mereka berdua :D

btw, aku senang banget karena ada beberapa pembaca baru yang antusias banget saat aku ngePM mereka buat ngucapin makasih udah mampir. Ada juga reader lama yang ngePM aku. Kalian enggak akan tau betapa berharganya kata-kata dan dukungan kalian sebelum kalian sendiri nulis cerita dan jarang yang komen guys :')

jujur kalo lagi down aku suka baca-baca lagi komenan dari bab2 pertama. Itu ngasih aku semangat buat terus lanjutin, mengesampingkan ketidaksempurnaannya ^^

Terima kasih sudah membaca! See you in next chapter 😄😄😄

Continue Reading

You'll Also Like

128K 14.9K 24
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
650K 32.2K 44
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
927K 56.1K 44
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...
2.1M 238K 44
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...