Loose Cannon

By Bellazmr

3.3M 451K 154K

Alia yang baru saja diselingkuhi oleh pacarnya bertemu dengan Bastian yang tiba-tiba mengajaknya menikah. Di... More

Catatan Loose Cannon
1. Batas Hati
2. Berawal dari Rasa Ingin Tahu
3. Cerita dan Luka
4. Dua Pilihan
5. Arti Sebuah Pertemuan
6. Dont Touch Her, I Will Kill You
7. Langkah Bersama
8. Satu Langkah
9. Posesif Husband, Ew What?
10. Presepsi yang Berubah
12. Pillow Talk
13. Filosofi Bubur Ayam
14. Bahasa Udara
15. Obrolan Lambe
16. Tiga Fase Tangan
17. Manis
18. Ada Apa dengan Kita?
19. Celah antara Kita
20. Kenalin, Suaminya Alia
21. Siapa yang Mimpi?
22. Batas yang Tak Boleh Dilewati
23. Kemungkinan untuk Jatuh
24. Solo
25. Datang Kembali
26. Antara Kemungkinan dan Ketidakmungkinan
27. Pergi Saja
28. Gerimis Panas
29. Berlalu tanpa Pamit
30. Tentang Kebohongan
31. Gardu Pandang
32. Alarm Bahaya
33. Perjalanan Menuju Kematian
34. I Dont Wanna Be You Anymore
35. Saya Cinta Kamu
36. Good Bye
37. Love The Way You Lie
38. Kesempatan Kedua
39. Sampah
40. Seorang Pengecut
41. Selamat Tinggal
42. Kukatakan dengan Indah
43. Pilihan Masa Lalu
44. Konsep Matahari
45. Menentukan Akhir
46. Pertemuan Kita (TAMAT)
EXTRA PART-AVENIR RAWIDYA (1)
EXTRA PART-AVENIR RAWIDYA (2)

11. Penerbangan Harapan Pertama

76.3K 9.9K 3.3K
By Bellazmr

BAGIAN SEBELAS

"Aku berada dalam fase takut kehilangan sesuatu
yang bahkan belum pernah aku dapatkan... kamu."


___

SELALU ada sebuah jawaban untuk sebuah perasaan, yaitu pengakuan.

Dan selalu ada sebuah jawaban untuk sebuah rindu, yaitu pertemuan.

Memakai snelli, keributan di IGD, mendengarkan keluh kesah pasien. Semua hal yang dirindukan oleh Alia. Dan hari ini, ia kembali berjumpa dengan kerinduan itu. Senyum Alia bahkan tak berkurang secuil pun ketika dirinya melangkah menuju IGD Rumah Sakit Kasih Bunda.

"Ah! Tiga minggu nggak bekerja aja serindu ini. Padahal dulu, sering banget ngeluh kalau kecapekan kerja," gumam Alia. "Memang rindu itu selalu datang belakangan."

Langkah Alia berhenti ketika mendengar suara perempuan melengking, sedang memanggil namanya. Alia menoleh dan menemukan Dokter Santi yang melangkah dari arah berlawanan, tak lupa melambaikan tangan kepadanya.

Alia sontak memperlebar senyumnya.

Santi melangkah cepat menuju Alia dan langsung memeluk dokter seniornya itu, "Ya ampun Dokter Alia, selamat atas pernikahannya."

Bibir Alia yang tadi tersenyum mendadak turun, Ah... ia sudah mempersiapkan hal ini. Semua penghuni rumah sakit yang mengenalnya pasti tidak akan melepaskannya dengan mudah hari ini, mereka pasti menuntut sebuah cerita.

"Makasih banyak ya, San."

Santi mengurai pelukannya, meskipun tangannya masih menggenggam tangan Alia. "Mbak Al ini penuh kejutan sekali, Santi pikir Dokter Al benaran batal nikah. Rupanya... calonnya yang berubah."

Alia tertawa, tawa yang seperti dibuat-buat.

"Kejutan."

Santi mendesah. "Tapi, kita semua dokter rada kecewa. Tidak diundang ke nikahan Mbak Al, padahal kan kita mau banget tuh datang. Apalagi suami Mbak Al..." Santi menahan ucapannya sebentar. "Argh, Mbak. Kenal gimana sih sama suami mbak itu? Santi bahkan kaget setengah mati loh pas lihat mbak nongol di TV."

Kenalnya di rumah sakit ini, gara-gara mau bunuh diri. Kalau mau coba, tuh silakan loncat dari rooftop rumah sakit. Batin Alia bersuara, sayang saja suara batin itu tidak bisa didengar oleh Santi.

Hari ini, pekerjaan Alia cukup berat. Tak hanya melayani pasien BPJS di IGD saja, melainkan harus meladeni dokter, perawat bahkan petugas kebersihan yang kepo atau sekadar mengucapkan selamat atas pernikahannya.

Lalu sejenak, Alia terhenyak ketika ia baru saja selesai meladeni guyonan perawat yang tadi menitipkan laporan pasien kepadanya. Satu hal yang menyangkut di pikiran Alia saat itu, "Kalau nanti ia berpisah dengan Bastian. Itu berarti semua orang juga akan tahukan?" Alia menggeleng. "Gila, status janda gue entar terkenal di mana-mana."

"Dok," sapaan itu berhasil mengembalikan kesadaran Alia dari lamunannya tadi.

Seorang laki-laki yang cukup berumur, terbaring di ranjang periksa yang berada di ruangannya.

"Oh iya, Pak. Maaf-maaf." Alia lantas mulai melakukan pekerjaannya. Ia melingkarkan manset di sekeliling lengan kiri atas laki-laki bernama Sapardi itu. Pasien BPJS itu mengeluh sakit kepala selama beberapa hari ini.

Alia melingkarkan manset itu dengan sangat teliti, ia bahkan sudah hafal jarak antara siku dan manset yang digunakan dalam pengecekan tensi darah itu. Alia memasang manset itu rapat tetapi tidak terlalu ketat hal ini berfungsi sebagai celah masuknya kepala stetoskop, yang nanti gunanya sebagai alat pendengar di telinganya.

Setelah semua beres, Alia menempelkan telunjuknya pada kepala stetoskop. Ia tidak menggunakan jari jempol, menurut dosen pengajarnya dulu, jempol memiliki pulsasi atau denyut nadi sendiri, sehingga nanti suara yang didapatkan tidak hanya berasal dari denyut nadi pasien yang diperiksa saja melainkan juga dari jempol petugas.

Meteran yang nantinya menunjukkan tekanan darah sudah Alia taruh di posisi paling strategis, tangan kanannya memegang pemompa karet yang tutup kelpnya sudah ditutup. Sebelum Alia memompa, ia sudah memastikan bahwa tutup klep itu ditutup hal ini berguna agar tidak ada udara yang keluar saat dipompa.

Alia langsung menjalankan tugasnya, ia memompa pemompa dengan cepat hingga jarum meteran mencapai 180 mmHg. Tekanan pada manset akan menutup jalannya arteri besar pada otot lengan atas, sehingga menghentikan aliran darah sementara. Setelah cukup, Alia membuka klep seraya memastikan angka pada meteran. Alia juga mencoba mendengar lebih jelas tekanan darah sistolik untuk mendengar bunyi denyutan pertama yang nanti akan dicocokkan dengan tekanan pada meteran.

Semua berlangsung sesuai prosedur, sampai akhirnya Alia mulai melepas alat dan membuka masien pada lengan Pak Sapardi. "Hampir menyentuh 140/90 mmHG. Apa bapak beberapa hari ini sering mengonsumsi daging atau kafein?"

Pak Sapardi mengingat, seraya bangkit dari ranjang dan menuju kursi yang berada di hadapan Alia. Dokter perempuan itu sedang menuliskan sesuatu di kertas.

"Ada acara hajatan, keponakan saya nikahan. Beberapa hari ini saya mengonsumsi daging kambing, sapi."

Alia menganggukkan kepalanya, "Bapak mungkin hipertensi, makanya kepala bapak sakit," jelas Alia. Perempuan itu terus tersenyum saat menjelaskan sesuatu kepada pasiennya. Dokter memang harus bersikap ramah, itu yang harus dilakukan agar pasien merasa betah. "Saya catatkan resep ya, Pak. Terus selain obatnya diminum, usahakan agar bapak banyak minum air putih, hindari minum-minuman yang terlalu manis, konsumsi daging boleh tapi jangan terlalu berlebihan."

Dan sepanjang hari itu, Alia habiskan dengan memeriksa pasien. Jiwanya sebagai dokter terpanggil.

-Loose Cannon-

Ada dua lokasi yang digunakan Bendjaya Manufacturing Motor dalam pembuatan produknya. Satu berada di Bandung, lebih tepatnya di daerah Babarakan Ciparay. Pabrik yang berada di Bandung adalah pabrik yang menjadi tempat merangkai mesin yang nantinya digunakan untuk motor yang mereka produksi.

Sedangkan lokasi kedua berada Magelang, di sini tempat produksi jadi motor. Badan motor dan mesin motor akan disatukan di tempat ini hingga motor siap jual.

Beberapa hari kemarin, Bastian menginap di Bandung untuk melihat stock dan jalannya proses produksi mesin yang nanti digunakan untuk perangkaian dalam motor yang mereka rancang. Bastian tidak kembali ke rumah dan baru kembali hari ini.

Bastian tidak langsung pulang ke rumah, ia memilih untuk ke kantor lebih dahulu untuk menyelesaikan beberapa laporan penjualan untuk tutup tahun. Ya, mengingat sekarang sudah memasuki bulan Desember.

Selama membaca laporan, Kasim tampak setia menemani, dan beberapa kali mengingatkan Bastian untuk menandatangani laporan yang satu dan lainnya. Sampai tidak terasa bahwa jam hampir menunjukkan pukul tujuh.

Bastian harus menyelesaikan semua laporan yang menumpuk. Karena penjualan dari awal tahun sampai akhir tahun harus dilihat penjualannya, keuntungan, dan laba. Semua harus dipertanggung jawabkan, cukup berat, mengingat Bastian baru masuk ke perusahaan akhir Oktober kemarin.

"Kopi, Bas," ujar Kasim menyodorkan segelas minuman plastik yang tadi sempat Bastian beli dari perjalanan Bandung ke Jakarta.

Bastian mengangguk, tapi matanya tak lantas menuju ke arah kopi yang disodorkan Kasim tersebut.

Kebisuan hadir di ruangan kerja Bastian yang dulunya adalah tempat papanya bekerja, kebisuan itu baru pecah ketika Bastian melenguh dan merenggangkan ototnya yang terasa sangat lelah.

"Istirahat dulu, Bas," peringat Kasim. Jika melihat Bastian yang seperti ini, Kasim jadi berpikir bahwa Bastian ini benar-benar duplikat dari Benazir. Tuannya itu dulu mirip sekali tingkahnya seperti Bastian, kalau sedang bekerja maka tak ada yang bisa menginterupsi. Dan sedikit hal yang diketahui Kasim, dulu saat Benazir dan istrinya—ibu dari Bastian berpisah, salah satu penyebabnya adalah kesibukan Benazir.

Garis keturunan tidak akan mengkhianati. Mungkin itu yang membuat Bastian memilih Alia—perempuan yang tidak laki-laki itu cintai untuk dinikahi. Karena dulu Benazir sempat frustrasi ketika berpisah dengan Miarti.

Dan Kasim harap, itu tidak akan kejadian lagi di Bastian.

Ya, semoga.

"Oh ya, Bas." Kasim teringat sesuatu. "Saya dapat kabar dari sekretaris kamu, bahwa tadi siang Tante Dania ke kantor untuk mencari kamu."

Bastian mendongak tepat setelah ucapan itu terdengar di telinganya, alisnya berkerut tanda bahwa ia sedikit bingung. "Ada apa?"

Kasim menjawab, "Ada acara keluarga di puncak, akhir tahun nanti, Dania mengadakan acara privat perayaan tahun baru untuk keluarga besar Benzir. Dia mengundangmu dan Alia."

Bastian sempat terpaku, sebelum akhirnya kembali membaca laporan yang masih berada di genggamannya. "Saya tidak tertarik. Bilang saja, saya dan Alia ada acara lain."

-Loose Cannon-

Alia tidak tahu apa yang merasuki Bastian, tapi tiba-tiba saja laki-laki itu membolehkannya untuk bekerja lagi dan yah... juga memberikan Alia fasilitas mobil yang bisa Alia gunakan untuk bekerja.

Ada satu lagi kerinduan Alia selain bekerja di rumah sakit, yaitu siomay langganannya yang berada di stasiun kota. Siomay Abang Bonar. Selain siomay, abang Bonar juga mengambil jalur peminatan dengan menjual sate.

Jadi sekalian saja, Alia membeli sate untuk Bastian, mungkin. Karena seingat Alia, setelah kejadian memasak beberapa waktu itu. Bude Ratna bilang bahwa Bastian paling suka dengan sate Madura. Yah kebetulan sekali kan.

Abang Bonar, orang Medan, selain jual siomay juga jualan sate Madura, minuman dingin. Tapi nggak jual, harapan palsu.

"Woilah, kukira siapa kau ini. Lagak sekali pakai mobil, biasa juga pakai motor butut," ledek Abang Bonar ketika melihat Alia turun dari mobil dan melangkah dengan senyum merekah.

Alia terbahak, tangannya menepuk bahu Abang Bonar. Laki-laki yang usianya mungkin di atas Alia sepuluh tahun itu ikut terbahak. "Makmur sekali ya hidup kau, dapat laki berduit, ganteng pula. Enak kali hidup kau di dunia ini, Alia. Mantap kalilah!" gaya bicara Bang Bonar yang asli Medan, tidak bisa dihilangkan.

Alia menjawab, "Wajar dong Bang suaminya ganteng, kan aku juga cantik."

Bang Bonar menggelengkan kepala, "Kau ini masih pede juga rupanya," ledek Bang Bonar. Kupikir kau nikahnya sama Haris, tiap minggu nge-date makan siomayku. Pas tahu nikahnya sama orang lain."

Alia sebenarnya merasa sedikit miris mendengar guyonan itu, tapi ia mencoba menutupi dengan tertawa.

"Ya kadang jodoh siapa yang tahu, Bang ya." Eh bentar, Alia nggak maksud ngomong gini untuk mengatakan Bastian jodohnya. Nggak. Amit-amit deh punya suami yang kepalanya keras kayak batok kelapa itu.

"Kapanlah kau ajak suamimu makan di sini, aku kasih potongan hargalah," kata Bang Bonar lagi. Dari jaman Alia kuliah kedokteran, ia memang sudah kenal dan berlangganan dengan Bang Bonar. Jadi tak perlu ditanyakan lagi, mengapa mereka cukup dekat.

Alia menganggukkan kepala, kali ini ia memilih duduk. "Iyalah, Bang. Kapan-kapan, maklum, suamikan sibuk," kekeh Alia. Seolah hubungannya dan Bastian memang benar-benar suami istri sewajarnya. "Aku pesan siomay dua porsi ya, Bang. Satenya sembilan porsi," pinta Alia.

"Bah! Banyak kali kau pesan. Gaya sekali ya hidupmu sekarang. Dulu pesan sate seporsi saja, minta lontongnya dibanyakin," olok Bang Bonar. "Lancar jaya sekali suamimu ngasih nafkah."

Alia membalas olokan itu dengan tertawa, ia memang sengaja memesan banyak tidak hanya untuk dirinya saja, ia juga membelikan semua pekerja di rumahnya. Bibi Wan, Bude Ratna, Bude Ceu, Bude Tar, Pak Hasan, Pak Husin, dan Kasim. Semua harus mencicipi sate terenak se-Jakarta versi Alia ini.

Sepanjang malam di warung kecil, sebelah Stasiun Kota itu Alia menghabiskan harinya dengan meladeni segala bacotan Abang Bonar yang mungkin menjadi salah satu alasan, kenapa ia terus berlangganan dengan penjual siomay sate Madura yang sayangnya orang Medan itu. Entahlah, kadang memang cara penjual melayani, mengalahkan rasa.

Alia sering mencoba membeli di penjual lain, yang rasanya kadang lebih enak dari pada yang dijual Abang Bonar. Tapi nyatanya, rasa tak menjamin seseorang bisa berlangganan. Toh pada akhirnya, Alia kembali kepada Abang Bonar.

Dari jaman Alia masih bersama Haris. Alia masih setia menjadi langganan Bang Bonar. Meskipun kini, orang yang dulu sering menemani Alia untuk makan di warung Bang Bonar tidak bersamanya lagi.

Ya, kadang hidup tak semanis senyuman mantan.

-Loose Cannon-

Sudah pukul sepuluh malam, tapi Bastian tidak kunjung pulang.

Alia masih setia menunggu di ruang tengah, ia berbaring di sofa depan televisi. Sinetron Orang Ketiga yang sebenarnya tidak terlalu Alia pahami maksud ceritanya apa tayang di hadapannya.

Karena tidak terlalu paham mengenai jalan cerita, Alia ngantuk sendiri. Dan pada akhirnya ia jatuh tertidur dengan sebelah tangan yang menggenggam dua bungkus sate yang belum dimakan, sebenarnya masih ada dua lagi yang belum. Punya Husin dan Kasim, tapi sengaja Alia titipkan itu di Bibi Wan.

Satu jam kemudian ketika layar televisi sudah berganti siaran menjadi FTV tengah malam dan Alia yang sudah sangat tertidur pulas. Pintu depan terbuka, Bastian baru kembali hampir jam sebelas malam. Laki-laki itu melangkah masuk duluan, sedangkan Kasim sepertinya lebih memilih untuk bersama Husin.

Sebenarnya tujuan Bastian adalah ingin langsung ke kamar, mandi air panas, dan tidur. Mengingat tubuhnya benar-benar kelelahan. Namun, gerakan kakinya berhenti tepat ketika ia memasuki ruangan tengah dan mendengar suara dengkuran halus berserta televisi yang masih hidup.

Bastian mengernyitkan alis, langkah kakinya menapak menuju sofa.

Ia terpaku selama beberapa detik ketika melihat Alia tertidur di sana.

"Kok dia tidur di sini sih?" pikir Bastian. Ia lalu berjalan memutari sofa hingga akhirnya bisa berdiri di sebelah tubuh Alia. "Alia," panggil Bastian.

Untung saja, Alia tidak sekebo Bastian. Perempuan itu terbiasa tidur maling-malingan seperti saat dulu ia internship, mendengar suara sedikit saja. Ia mudah terbangun. Sehingga, hanya dengan suara panggilan pelan tadi saja. Alia sudah terbangun.

Alia menguap lebar, tangannya mengucek mata sebentar, lalu ia sempat kaget melihat Bastian di hadapannya. "Bas?"

"Kamu kenapa tidur di sini?"

Spontan Alia menjawab, perempuan itu memang tidak terbiasa berpikir dulu dalam menjawab pertanyaan remeh seperti tadi. "Ya, nunggu kamulah."

"Nunggu saya?"

Alia juga malah untuk bersandiwara, jadi ia langsung mengangkat bungkus plastik yang selalu ia genggam. Seolah ia takut, tikus-tikus yang berada di rumah tersebut mencuri satenya. Meskipun hal tersebut, tampaknya mustahil.

"Iya, mau makan sate," kata Alia. "Yuk..." Lalu Alia berjalan mendahului Bastian yang masih tercengang, laki-laki itu sedang berpikir mengenai tingkah Alia yang sering sekali mengejutkannya.

Bastian pikir, Alia itu seperti ciki cinta—ada hadiah di dalamnya yang tidak terduga. Sial, kenapa otak Bastian jadi sereceh Alia.

Tapi tak ayal, akhirnya Bastian berjalan mengikuti Alia. Bastian duduk tenang di meja makan, selagi Alia mengambil piring dan minuman.

Selagi Alia pergi, Bastian terus mencoba melucuti perasaan aneh yang tiba-tiba mengalir di relung dadanya ketika melihat Alia menunggunya pulang bekerja, membelikannya sate, sampai mengajaknya untuk makan tengah malam seperti ini.

"Ayo dimakan," kata Alia sambil menyodorkan piring dengan sate dan lontong, makanan yang paling Bastian rindukan dari Indonesia.

Bastian belum menyentuh satenya, ia memilih untuk menatap Alia yang memulai makan lebih dahulu. Perempuan itu terlihat sangat lapar. "Kamu belum makan?" tanya Bastian.

Meskipun sambil mengunyah satenya, Alia tetap menjawab pertanyaan Bastian itu. "Beyomm llahh, khan nhunggu kammu," jawab Alia terdengar tidak jelas karena mulutnya masih penuh.

Bastian berdecak, seraya mendorong gelas minuman yang tadi Alia siapkan. "Makan dulu baru ngomong, kebiasaan."

Alia mengambil gelas yang disodorkan oleh Bastian, ia meneguk air minumnya dengan cepat. Kemudian bicara lagi, "Itu dimakan."

"Apa?"

"Apanya?"

"Ini apa?"

Alia berdecak panjang. "Ya, satelah. Masa daging anjing sama sayur kol."

Bastian mendengus, bukan itu maksudnya. Bukan menanyakan makanan yang dibawa Alia, melainkan apa yang membuat Alia melakukan hal ini. Itu maksudnya, ah dasar!

"Maksudnya semua ini, kamu ada maksud tertentu?" Bastian yakin sekali, kalau Alia sedang baik seperti ini pasti ada maksudnya.

Alia menahan gerakannya yang ingin mengambil tusuk sate, matanya mendongak hingga segaris lurus dengan manik mata Bastian. Lantas tangannya terulur untuk mengusap dadanya sendiri. "Ya ampun, Mas suami. Nggak boleh suudzon sama mbak istri," tuturnya dengan suara halus.

"Kamu nggak biasanya baik," sahut Bastian.

"Ya Allah, Ya Rabb. Ampunilah suami hamba yang selalu berpikiran negatif mengenai hamba," doa Alia sambil menengadahkan tangan dan mengangkat kepala. Lalu ia kembali menatap Bastian, kantuknya benar-benar hilang semenjak Bastian datang. "Nggak ada. Saya beliin kamu sate, nunggu kamu pulang, makan bareng kayak gini. Ya, anggap saja karena kamu sudah baik bolehin saya kerja."

"Benar ya?"

"Iya benarlah. Hitung-hitung imbalan karena kamu baik," sambar Alia.

"Nggak ada tagihan sesuatu kan setelah makan?" pasti Bastian.

"Nggak ada, Paijo! Udah makan aja." Geram sekali, Alia sama Bastianjing satu ini.

Ampun, Alia meladeni makhluk seperti Bastian ini, sifatnya itu loh. Sulit sekali percaya kepada orang lain. Yah daripada pusing mikirin Bastian, Alia melanjutkan makannya.

Dan perlahan ketika Alia mulai menyantap kembali makanannya, naluri lapar Bastian tergoda. Ia mulai menyentuh tusuk sate yang berada di piringnya dan perlahan memakan sate tersebut.

Sambil makan, manik mata Bastian tidak lepas dari Alia. Boleh Bastian akui sekarang? Alia itu sebenarnya sangat cantik, tanpa make up saja Alia tetaplah cantik. Karena terlalu lama menetap di Rusia, mungkin penilaian cantik Bastian terhadap perempuan sedikit berubah. Bagi Bastian standar kecantikan perempuan itu ada ketika perempuan itu tampil di hadapannya tanpa balutan make up apa pun. Dan lihat apa yang dikenakan Alia saat ini? Daster, yang bahkan Bastian tebak harganya sama dengan yang Bibi Wan miliki.

Tapi Alia, tetap cantik.

Bastian tidak akan berbohong mengenai satu fakta itu.

Alia yang sedari tadi merasa dirinya terus diperhatikan, segera menoleh kepada Bastian. Kedua keningnya berkerut kebingungan. "Kok ngelihatin saya begitu banget? Ada yang salah."

Bastian dengan tenang menjawab, "Itu ada belek di mata kamu."

"Hah, masa?" Alia melepas tusuk sate yang ia pegang dan dengan cepat mengusap-usap kedua matanya. Demi Tuhan, sudah tidak pakai make up, berdaster, ditambah belekan juga. Alia yakin, Bastian mungkin akan jijik kepadanya setelah ini.

Bastian tersenyum—tidak, ia tidak tertawa. Rasanya akan ada puting beliung hari itu kalau mendengar Bastian tertawa. Apalagi tawa ikhlas karena kelucuan.

"Bercanda," kekehnya.

Gerakan mengusap mata yang Alia lakukan tertahan, ia menatap Bastian lagi.

"Yaelah!" Alia melempar Bastian dengan bekas tusuk sate.

Untung saja tusuk sate itu tidak mengenai Bastian.

"Kamu cantik," ungkap Bastian di tengah serangan lempar tusuk sate yang dilakukan Alia.

Tangan Alia spontan berhenti, kedua matanya melebar mendengar ucapan Bastian yang hanya dua kata itu. "Apa kamu bilang?"

"Nggak ada pengulangan."

"Ih ulangin!" pinta Alia. Telinganya tidak salah dengarkan tadi, demi apa pun?

Alia ingin tertawa saat ini juga, namun tawanya berhenti tepat ketika... "Aduh!" Alia mengaduh kesakitan, bersamaan dengan tubuhnya yang baru saja terjatuh dari sofa. Alia terdiam selama beberapa detik dan mencoba mencerna keadaan. "Jadi tadi?"

Cekatan, Alia mengacak rambutnya sendiri, sial. Kenapa ia memimpikan sesuatu yang najis seperti tadi. SubhanAllah. Alia menggelengkan kepalanya berulang kali, matanya jatuh pada sate yang masih setia berada di atas meja. Sebelum kepalanya terangkat melirik jam berukiran jati yang tergantung dengan gagah di dinding tak jauh dari beberapa kaligrafi arab.

Jarum pendek menyentuh angka dua. Itu berarti sudah hampir empat jam ia tertidur di sofa dan Bastian belum juga pulang.

Alia mendesah, matanya menatap kecewa kantung plastik berisi sate yang belum ia dan Bastian makan. Dan daripada berujung basi, Alia memilih untuk memakan satenya dan Bastian itu sendiri. Lagi pula, Alia pikir Bastian tidak akan pulang lagi jika sudah selarut ini.

Padahal semenjak pulang dari rumah sakit, Bastian langsung ke Bandung.

Dan Kasim bilang, Bastian pulangnya hari ini.

Tapi apa? Bastian tidak pulang. Padahal Alia cukup tahu diri, untuk mengucapkan terima kasih pasca surat dan izin yang diberikan Bastian untuknya kembali kerja.

Sayangnya, Bastian malah tidak datang dan mengecewakannya.

Alia mengunyah sate yang seharusnya milik Bastian dengan kunyahan kasar. Perempuan itu merutuk setelahnya.

"Dia ke mana sih?" Rutuk Alia. "Nggak lagi-lagi deh, gue manis begini sama dia. Ngeselin."

Bersambung

1.       Apa perasan kalian setelah membaca bab ini?

2.       BTW JAWABAN TERBAIK, AKU FOLLBACK WATTPAD YA. Menurrut kalian, siapa yang bakalan naksir duluan. Alia atau Bastian? Dan apa alasannya.

3.       Mau tahu dong, menurut kalian karakter Alia dan Bastian itu cocok nggak? Kalau cocok, karena apasih?

4.       Siap sama orang ketiga di antara keduanya? Hahaha. Kira-kira dari sebelah siapa ya?

5.       Lanjut bab 12, yay or nay?

Salam, Bantal!

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 170K 44
Nadiya mengenal Galang seumur hidupnya, sebagai tetangga dan juga mengisi peran kakak dalam hidupnya, begitu juga Galang yang selalu menganggap Nadiy...
234K 24.8K 32
Saat Jehan setuju menikah dengan lelaki pilihan ibunya, Eghan, cinta pertama Jehan yang sudah menduda, tiba-tiba hadir kembali dan ingin membuka lemb...
1.2M 192K 53
Dinar, seorang caregiver di sebuah daycare suatu hari diminta mendampingi Oca, seorang anak yang punya trauma besar karena ibunya. Kesabaran Dinar me...
1.7M 192K 44
Lilyoka Judistia merasa segala hal sudah dia milikinya, kecuali pernikahan. Ia sungguh tidak menyangka papinya hari itu akan membawa Arsanggah Narasa...