CRAZY IN LOVE (REPUBLISHED)

By ndudee

30.5K 2.9K 223

Ini versi revisi CRAZY IN LOVE yang saya ganti judulnya jadi WANNA BE IN LOVE ~~~//~~~ Photo by Efes on Pixa... More

Halo halo ...
Blurb
Wanna be in Love ~ Part One
Wanna be in Love ~ Part Two
Wanna be in Love ~ Part Three
Wanna be in Love ~ Part Four
Wanna be in Love ~ Part Five
Wanna be in Love ~ Part Six
Wanna be in Love ~ Part Seven
Wanna Be In Love ~ Part Eight
Wanna Be In Love ~ Part Nine
Wanna Be In Love ~ Part Eleven
Wanna be in Love ~ Part Twelve
Wanna be in Love ~ Part Thirteen

Wanna Be In Love ~ Part Ten

1.4K 197 9
By ndudee

Happy reading 

*
*
*


"Elizabeth, perkenalkan ini Alexandra Hilton." Ia melambaikan ke arahku. "Sekarang ia menggantikan Barbara dalam mendampingi Erica bekerja."

Aku mengangkat kepala ketika kudengar Dean menyebut namaku. Menyunggingkan senyum profesional yang sudah kulatih.

Oh. Mata biru dan tatapan tajam itu. Serupa dengan milik pria yang ada di sebelahnya. Dengan rambut tembaga yang berkilau memesona di balik punggung, wanita cantik ini tampak seperti Dean dalam versi wanita.

Wanita ini adiknya! Elizabeth Quinton. Yang memilih berkarier sebagai fashion stylist daripada harus memegang jabatan tinggi di perusahaan milik keluarga. Rasa lega yang tidak masuk akal tiba-tiba menjalari diriku hingga aku terkejut.

Mengingat bagaimana arogansi Dean selama ini, diam-diam aku berdoa semoga wanita ini tidak sama menyeramkannya seperti saudara laki-lakinya. Ketika ia mengulurkan tangannya yang berjari lentik dan terawat seraya tersenyum ramah, ketakutan itu menguap sirna. Aku menjabat tangannya.

"Apa kabar?" sapa kami bersamaan. Aku tersenyum canggung. Semoga wajahku tidak memerah tapi dia terus saja memperhatikanku.

Apa aku kelihatan aneh? Karena rasanya aku sekarang ini berubah menjadi papan iklan yang menjadi pusat perhatian. Tapi demi kesialan hidupku, aku bisa melihat sorot penasaran yang bercampur dengan rasa geli ketika tatapannya beralih dari Dean yang tak acuh sebelum menatapku lagi.

"Ayo masuk," ucap Elizabeth, menggamit lengan Dean.

Dean berhenti sejenak. Menengok ke belakang, menatapku dengan tajam. "Aku sudah pernah mengatakan kepadamu untuk tidak berjalan di belakangku, Alex," ucapnya dengan nada datar dan dingin.

Aku tersentak, secara naluriah aku mengambil langkah lebar dengan setengah melompat demi berdiri di sisinya. Elizabeth tertawa tertahan. Ugh! Pasti dia sekarang tahu bagaimana penderitaanku demi mengikuti keinginan kakaknya yang brengsek.

Aku berjalan mengikuti keduanya ke ruang duduk. Dean duduk di satu-satunya kursi bersandaran tinggi yang ada di sana, menatapku. "Kau ingin makan atau minum sesuatu?"

Aku menatap Arthur yang berdiri tidak jauh dari kami. "Air putih jika tidak merepotkan."

"Robert Mondavi dingin untukku, Arthur," ucap Dean, lalu menatap dengan bertanya pada Elizabeth.

"Tidak, terima kasih," jawab Elizabeth dengan kesopanan yang hanya bisa didapatkan dari sekolah asrama terbaik di Inggris dengan harga yang pastinya bisa membuatku mencekik leher.

Tak lama kemudian, seorang pelayan wanita datang membawa minuman untuk kami.

Dean menyesap minumannya perlahan. "Kau akan menginap di sini?" tanya Dean pada Elizabeth.

Elizabeth mengangguk. "Tadinya aku memang akan menginap di penthouse, karena nyatanya barang-barangku sudah dikirim ke sana lebih dulu beberapa hari yang lalu. Tapi karena Richard juga baru akan datang besok malam, aku ingin memanfaatkan waktuku sebisa mungkin untuk berkumpul dengan kalian. Terlebih ada Alexandra di sini." Elizabeth menatapku, senyum lebar menari-nari di bibirnya yang sensual.

Keningku berkerut samar. Limbung mendengar nada antusias dalam suara Elizabeth. Tidak mengerti mengapa ia harus sesenang itu.

"Bagus," jawab Dean singkat.

"Lagipula ada yang harus kulakukan di sini." Entah mengapa, Dean menatap memperingatkan. Tapi Elizabeth mengacuhkannya. "Berapa lama kalian akan berada di sini?"

"Sekitar satu minggu atau lebih."

'Lebih'? Tidak ada kata 'lebih' saat ia memintaku berangkat sore tadi. Mulutku rasanya sudah gatal ingin melayangkan protes. Tapi aku hanya bisa merengut kesal melihat tatapan mata Dean yang sudah lebih dulu memberiku peringatan. Dalam satu tegukan aku menghabiskan minumanku.

"Tergantung bagaimana pekerjaan kami di sini," tambahnya. Matanya menantangku untuk membantah.

Dasar bajingan egois!

"Baiklah, aku sedikit kelelahan setelah perjalanan panjang, lebih baik aku tidur cepat."

Aku menatap Dean, meminta izinnya untuk beristirahat. Rasa lelah dan kantuk ditambah alkohol membuat kepalaku mulai terasa berat, mungkin aku bisa tertidur di sini kapan saja.

Rasanya lega luar biasa saat Dean mengangguk. "Kau juga bisa beristirahat, Alex."

"Kau sudah tahu di mana kamarmu?" tanya Elizabeth.

Belum sempat aku menjawab saat Dean sudah lebih dulu berkata, "Alex akan tidur di kamar putih lantai dua, dekat kamarmu."

"Bagus. Aku sudah ingin menyarankan hal itu." Elizabeth tersenyum padaku. "Ayo."

Aku berdiri. Menatap Dean yang juga ikut berdiri layaknya gentleman sejati. "Selamat malam."

Dean mengangguk. "Selamat malam." Aku baru menaiki beberapa anak tangga ketika Dean kembali memanggilku. "Alex."

Aku berbalik, hampir terpelanting karena terkejut tiba-tiba saja ia sudah ada tepat di hadapanku dengan jarak yang sangat dekat. Dan dengan aku yang berada satu anak tangga lebih tinggi ditambah sepatu yang kugunakan, mata kami sejajar.

Jantungku seketika berdebar dengan sangat kencang. Dan aku bisa memastikan wajahku merah padam merasakan panas menjalari ditatap dengan jarak yang begitu dekat. Mataku terkunci, tidak bisa memalingkan pandangan darinya.

Terlalu meremehkan rasanya saat kukatakan bahwa mata Dean indah, karena nyatanya indah tidak cukup untuk menggambarkan. Mata itu menakjubkan. Dan seandainya aku tidak cukup memiliki akal sehat saat ini, aku pasti sudah melemparkan diriku ke dalam pelukannya.

"Y-ya?" Aku tergagap. Secara naluri aku menggeser tubuhku karena rasanya sebentar lagi aku terbakar akibat berdiri terlalu dekat dengan api.

"Datang ke ruang kerjaku jam sembilan pagi besok," ucapnya. Lalu menaiki tangga dengan setengah berlari meninggalkan kami berdua di belakang.

Elizabeth berdeham menarik perhatianku. "Kalian sudah lama saling kenal?"

Aku menyembunyikan rasa heranku dengan pilihan kata-katanya. "Aku bekerja di Quinton Chase belum lama. Baru sekitar satu bulan ini."

"Bagaimana kau bisa bekerja di sana?"

Aku terdiam lama yang disalahartikan oleh Elizabeth.

"Oh, maaf." Elizabeth merasa tidak enak. Tersenyum minta maaf dengan cara memesona yang aku yakin bisa membuat banyak pria mengikuti kemauannya. "Aku tidak bermaksud ingin tahu urusan kalian. Tapi memang penasaran." Kemudian ia terkikik. Bagaimana ia bisa terlihat berkelas sekaligus bersemangat.

Aku menggeleng, tersenyum. "Tidak apa." Menarik napas panjang sebelum bicara. "Sebenarnya aku bekerja di Quinton Chase karena ayahku."

"Oh. Jadi ayahmu adalah rekan Dean?"

Aku sempat mempertanyakan bagaimana hubungan di antara Dad dan Dean dapat terjalin. Aku menduga mereka mungkin bekerja sama dalam perusahaan jasa berbasis aplikasi milik Dad dulu. Tapi perusahaan itu sudah bangkrut bertahun-tahun lalu, tak lama setelah Mom meninggal. Tapi kurasa sekarang mereka tidak lagi dapat disebut sebagai rekan. Jadi aku menggeleng.

"Ceritanya panjang. Yang pasti bukan rekan. Dan versi yang lebih buruk." Aku mendesah. Kemudian melanjutkan lagi ketika Elizabeth terlihat masih menunggu aku bercerita. "Ayahku ... dia sedikit ceroboh. Dia meminjam mobil Dean dan kemudian menabrakkannya." Aku tidak menyinggung soal uang yang ia pinjam. Tidak punya muka lagi untuk itu.

Kudengar Elizabeth terkesiap. "Tapi ayahmu tidak apa-apa, kan?" Betapa baik dirinya. Bukannya marah, malah menanyakan kondisi ayahku.

Aku tersenyum masam. "Sangat baik. Karena kenyataannya saat ini ia sedang berlibur ke Thailand bersama istri barunya. Aku sendiri tidak pernah melihat seberapa kerusakan yang terjadi, tapi aku di Quinton Chase untuk mempertanggungjawabkan perbuatan ayahku. Dean begitu murah hati karena bukannya menjebloskan ayahku ke penjara tapi malah memberi kesempatan untukku belajar di perusahaannya."

Kening Elizabeth berkerut dalam. "Tunggu. Mengapa kau yang bertanggung jawab? Memangnya Dean tidak mengajukan klaim pada pihak asuransi?"

Aku membayangkan betapa puasnya jika aku dapat memutar bola mata untuk menanggapi pertanyaan tersebut. Bukankah sudah jelas jawabannya? Yang menabrak adalah ayahku, jadi mau tidak mau aku harus ikut bertanggung jawab. Dan tidakkah dia mengenal kakaknya? Bajingan egois. Sampai saat ini aku juga masih tidak mengerti mengapa ia mau repot seperti itu.

Namun sebagai jawaban aku hanya mengangguk. "Dean memang tidak meminta pertanggungjawaban dalam bentuk finansial padaku karena mobilnya memang sudah diurus pihak asuransi."

Keningnya berkerut semakin dalam. Alisnya yang seperti diukir bertaut indah. "Aku masih tidak mengerti. Itu tidak seperti dirinya," gumam Elizabeth yang tidak kumengerti artinya. Jadi aku tidak mengacuhkannya. Ia melanjutkan, "Tapi kuharap kau bisa tahan dengan kakakku, Alex."

Aku tersenyum masam. Sedang kucoba.

"Dean sebenarnya bisa menjadi orang yang hangat. Hanya saja, ia tidak biasa menunjukkan perasaannya secara terbuka. Kalau kau mau bersabar, kau pasti akan menyukainya." Elizabeth melantur.

"Kau pasti sudah tahu mengenai mantan istrinya. Wanita itu seperti penyihir. Kapan-kapan akan kuceritakan karena aku tahu Dean tidak akan bicara banyak tentang wanita itu. Dia seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan untuk kakakku." Elizabeth menghela napas panjang. "Sekarang istirahatlah dulu. Ini kamarmu." Ia menunjuk satu pintu di depan kami lalu menunjuk pintu di sebelahnya. "Dan itu kamarku. Kamar Dean ada di lantai atas. Kedua kamar ini adalah yang terbaik yang ada di lantai ini. Kau akan melihatnya sendiri nanti. Selamat beristirahat."

Tak kuhiraukan pikiran yang berkecamuk di dalam hati walau banyak pertanyaan dan protes ingin kulayangkan kepada wanita yang sedang tersenyum lebar itu. Aku hanya mengangguk, karena saat ini aku benar-benar sudah lelah dan mengantuk. Dan kakiku sudah sejak tadi memprotes. "Terima kasih."

Aku membuka pintu hanya untuk ternganga menatap kamar yang kutempati. Kantuk yang tadi menggelayut seketika menguap entah ke mana, bersemangat menikmati indahnya interior kamar. Menjelajah setiap sudut ruangan.

Feminin. Itu kesan yang kudapatkan dari ruangan ini.

Kamarnya luas, didesain mengikuti gaya Mediterania dengan langit-langit lengkung yang cantik, sesuai dengan konsep seluruh bangunan ini. Didominasi oleh warna putih, biru lembut, dan krem, sehingga memberi kesan hangat dan nyaman. Di depan pintu masuk ada ruang duduk mungil dengan sofa putih bulat di tengahnya, tepat di bawah lampu gantung yang indah.

Tempat tidurnya besar dari kayu yang dicat mengilap dengan empat tiang dan sutera putih menjuntai di tiap sudutnya. Kasurnya dilapisi seprai putih sutera dan selimut senada yang tampak lembut. Agak jauh di depan tempat tidur, sofa panjang ditata menghadap TV layar datar dengan pemanas ruangan elektrik di bawahnya. Satu kursi bersandaran tinggi yang terlihat angkuh diletakkan menyudut.

Tanganku mengusap pelapis tempat tidur dengan jemari saat berjalan mendekati jendela panjang yang terbuka. Dan sesuai dugaanku, lembut. Kutendang sepatu yang kukenakan dengan asal-asalan. Seluruh tulang dan ototku rasanya bersorak gembira ketika aku leluasa berjalan dengan bertelanjang kaki menuju balkon.

Senyum membelah dua wajahku melihat pemandangan yang disuguhkan dari sini. Tepat di bawahku, kolam renang tampak berkilau bagai berlian biru diterangi lampu sorot dari dalam. Di kejauhan lampu-lampu perumahan tampak seperti bintang yang berjajar rapi.

"Oh Tuhanku. Ini sangat cantik."

"Bukankah tadi kau bilang mengantuk?"

Aku memekik kaget. Jantungku seakan merosot ke kaki mendengar suara bariton Dean. Hampir saja aku menjatuhkan diri ke kolam renang di bawah, kalau bukan karena tanganku mencengkeram erat pagar, menopang tubuhku untuk tetap berdiri seimbang. Berbalik mencari sumber suara, namun tidak menemukan siapapun di kamar.

"Di atas."

Di sana, di atas kiri, Dean bersandar pada pagar hanya dengan mengenakan celana piama biru tua yang menggantung rendah di pinggul mempertontonkan garis V yang menuju ....

Holy shit! Apa yang ia lakukan di sana dengan bertelanjang dada?

Kudengar Dean mendengus geli. "Aku tidak terbiasa tidur dengan berpakaian lengkap."

Astaga. Apa aku baru saja mengatakan itu keras-keras? Rasa panas menjalari wajahku. Sial!

"Kau suka pemandangannya?" tanya Dean. Ia masih menunduk menatapku. Matanya membelaiku dengan intensitas yang mencengangkan.

Aku berdeham demi mendapatkan suaraku kembali. "Ini benar-benar indah. Terima kasih," kataku malu-malu. Di luar sikapnya yang dingin dan mengintimidasi, aku mulai menyadari kalau Dean adalah orang yang baik dan perhatian.

"Kau akan bisa menikmatinya lagi besok setelah sarapan."

Well, itu sama dengar artinya, Tidur sekarang juga kau, Alexandra!

"Selamat malam," kataku.

"Selamat malam." Dalam pendengaranku malam ini suaranya terdengar begitu lembut bagai beledu.

Perlahan aku menutup pintu balkon tanpa menarik tirai, membiarkan sinar lembut bulan masuk menerangi kamar. Kuraih koper yang diletakkan di dekat tempat tidur. Mengambil satu kaus longgar universitas dan celana pendek dari dalamnya. Desah napas lega tidak bisa kutahan lagi saat gaun pendek yang sedari tadi menyiksa, terlepas dari tubuh. Betapa nyamannya saat aku bisa menghempaskan tubuh yang terasa kaku karena terlalu menjaga sikap seharian. Takut bokongku tersingkap jika banyak bergerak, atau kakiku patah kalau berjalan terlalu cepat.

Ponselku berdering. Meski enggan, aku meraih ponsel dari dalam tas yang tadi kuletakkan di kursi yang ada di dekat balkon. Aro.

"Hai."

"Mengapa kau tidak juga meneleponku, Alexandra!" gelegar suara Aro membuatku berjengit kaget.

"Pelankan suaramu, Aro. Aku tidak tuli." Aku balas membentak. Rasa lelah yang luar biasa, membuat emosiku tersulut. Aku kembali melangkahkan kaki ke balkon. Tiba-tiba butuh udara segar untuk memulai perdebatan dengan Aro.

"Kalau kau memang tidak tuli, Sweet," Ia mengucapkan kata 'sweet' dengan nada sinis dan kesal. "Mengapa kau tidak juga menghubungiku? Bukankah kau sudah berjanji? Di mana kau sekarang? Mengapa tidak juga memberi kabar? Kau tahu, aku tidak bisa tidur karena sangat mencemaskanmu!"

Oh Aro. Ini akan menjadi perdebatan panjang kalau aku tidak juga mengalah. Terkadang ia memang bisa menjadi sangat menyebalkan dan brengsek.

"Aku minta maaf, oke?" kataku. Meski setengah kesal. "Aku baru saja tiba beberapa saat lalu. Tidak mungkin aku menghubungi hanya untuk bertengkar denganmu ketika bosku masih ada di sekitarku."

"Kau bisa mengirimiku pesan singkat. Setidaknya beritahu aku kalau kau masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja," ucapnya lagi. Masih tidak ingin menyerah untuk membuatku mengaku salah.

"Oke. Oke. Aku lupa, aku minta maaf." Aku yakin mendengar Aro menggeram seperti kucing anggora pemarah di sana. "Aku kelelahan dan mengantuk. Aku hanya ingin segera tidur dan baru akan mengabarimu besok."

"Tapi kau baik-baik saja, kan, Sweet?"

Aku memutar bola mata. "Aku pergi bekerja, Aro, bukan berperang. Jangan berlebihan."

"Tapi—"

"Aku baik-baik saja," tukasku sebal. "Tapi aku benar-benar kelelahan dan ingin segera beristirahat dengan tenang dan nyaman. Jadi simpan taring dan tandukmu lalu biarkan aku tidur. Besok aku akan mengabarimu lagi."

"Tapi berjanjilah kau tidak akan lupa untuk memberiku kabar lagi besok. Itu akan membuatku tenang di sini."

Aku menghela napas. "Aku janji."

"Oke. Selamat malam."

"Bye," balasku sebelum mematikan ponsel. Melemparkannya asal-asalan di ranjang. Kembali membanting tubuhku ke tempat tidur. Entah karena rasa lelah atau karena kehangatan dan kenyamanan yang kurasakan, hanya dalam hitungan detik aku segera terlelap.


*
*
*

05/11/2018


Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 153K 49
"You all must have heard that a ray of light is definitely visible in the darkness which takes us towards light. But what if instead of light the dev...
1.2M 65K 59
π’πœπžπ§π­ 𝐨𝐟 π‹π¨π―πžγ€’ππ² π₯𝐨𝐯𝐞 𝐭𝐑𝐞 𝐬𝐞𝐫𝐒𝐞𝐬 γ€ˆπ›π¨π¨π€ 1〉 π‘Άπ’‘π’‘π’π’”π’Šπ’•π’†π’” 𝒂𝒓𝒆 𝒇𝒂𝒕𝒆𝒅 𝒕𝒐 𝒂𝒕𝒕𝒓𝒂𝒄𝒕 ✰|| 𝑺𝒕𝒆𝒍𝒍𝒂 𝑴�...
376K 20.3K 59
"What do you want Xavier?" I said getting irritated. "For you to give me a chance to explain myself." "There's no need to explain anything to me, we...
1.4M 34.2K 46
When young Diovanna is framed for something she didn't do and is sent off to a "boarding school" she feels abandoned and betrayed. But one thing was...