Wanna be in Love ~ Part Six

1.5K 194 16
                                    

Happy reading gaesssss

~~~~~~~~~


Tidak kurang dari satu jam kemudian aku tiba di apartemen. Aku memutar kunci apartemen sekaligus melepas sepatu. Jari-jari kakiku meregang penuh syukur. 

"Oh. Kau sudah pulang." Aro memanjangkan lehernya untuk melihatku. "Bagaimana hari pertamamu bekerja?"

"Jangan tanya." Aku menjatuhkan sepatu di samping pintu dengan bunyi berisik. Berjalan gontai ke dapur, menuang air ke gelas, minum dalam satu tegukan besar.

"Oh ayolah, pasti tidak seburuk itu." 

Aku menjatuhkan diri di sampingnya dengan gaya dramatis. Duduk dengan gaya yang tidak bisa dianggap feminin. "Yah, setidaknya hari ini aku selamat. Ugh! Sepatu itu hampir membunuhku."

Aro menatapku dengan pandangan menghina. "Apa kata kalian tentang sepatu mematikan itu? Seksi?"

"Oh, diamlah." Aku memutar mata. Kesal dengan karena ia membalik ucapanku tempo hari tentang bagaimana sepatu berhak tinggi membuat kami para perempuan menjadi lebih percaya diri. "Coba saja kau pakai."

"Bukan aku yang mengatakannya." Aro mengangkat tangan seolah ditodong senjata. "Tapi ceritakan kepadaku. Apa Quinton memperhatikanmu?" Rupanya ia serius dengan kata-katanya kemarin.

"Tahan sebentar." Aku menahan semburan kalimat selanjutnya. "Aku perlu mengganti pakaianku." Sebelum ia sempat mengomel, aku meninggalkannya. Mengabaikan wajah kesalnya.

Tapi sebelum menutup pintu kamar, aku sempat mendengar ia menggumam, "Jalang itu."

"Aku bisa mendengarmu, Aro."

"Aku tidak mengatakan apa pun." Ia balas berteriak. Suaranya menahan tawa. Jadi, aku tersenyum.

Aku mengganti pakaian kerjaku dengan kaus longgar dan celana pendek. Menggulung rambutku di puncak kepala. Ketika keluar kamar, Aro sedang mengetik sesuatu di ponselnya.

Aku tidak memedulikannya ketika ia melirikku. Berjalan ke dapur, memeriksa kulkas. Isinya lebih menyedihkan dibandingkan saat aku hanya bekerja sebagai pelayan di bar. Tidak ada apa-apa selain sereal, jus jeruk, dan es krim. Aku sedang mempertimbangkan akan memesan pizza atau turun ke restoran Cina di seberang blok.

"Jangan mengulur-ulur waktu," ucap Aro. "Cepat duduk, dan ceritakan kepadaku. Pasti ada sesuatu. Iya, kan?"

Tampaknya kepala Aro perlu dipukul kuat-kuat dengan pemukul besi agar tidak terlalu sering berhalusinasi. Menjatuhkan diri di sofa, menekuk lutut, merebahkan diri menyamping menatap Aro.

"Lupakan saja." Aku mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Dia tidak akan pernah memerhatikan wanita lain. Pria itu sudah punya kekasih yang luar biasa cantik." Ingatanku terbang pada betapa cantik, seksi, dan menawan kekasihnya.

"Aku tahu." Ia menatapku dengan mata sombong siap melempar bom ke wajahku. "Sophia Biggins, putri semata wayang Russell Biggins, pengusaha di bidang properti di Australia. Nama ayahnya tercatat di Forbes sebagai pengusaha terkaya nomor tiga di sana." Rahangku jatuh. Memang sudah sewajarnya pria kaya bersama dengan wanita kaya juga. Lanjut Aro, "Tidak perlu terkejut seperti itu."

Aku mendengus. "Lalu mengapa kau masih bertanya tentang hal bodoh itu?" Melemparkan bantal ke wajahnya yang tertawa.

Ia memeluk bantal di dada. Pundaknya bersandar pada sandaran punggung. "Serius, Alex, bukankah ini aneh?"

Alisku bertaut. "Aneh?"

"Ia memintamu bekerja di Quinton Chase."

Menekan sakit hati dan marah karena ayahku lagi-lagi menjadikanku alat bayar, aku mengoreksi, "Bukan dia yang memintaku, tapi ayahku yang menjadikanku bayaran sebagai biaya ganti rugi. Kau pasti tahu ke mana arah semua ini akhirnya nanti. Paul hanya belum mengatakannya."

CRAZY IN LOVE (REPUBLISHED)Where stories live. Discover now