Wanna Be In Love ~ Part Eleven

1.5K 200 13
                                    

Happy reading 

*
*

*

Keesokan paginya aku terbangun saat telingaku tanpa sengaja menangkap suara gemeresik di sekitar. Seraya menggeliat, aku meregangkan otot, mendesah pelan saat suara-suara itu terdengar semakin jelas. Pelan kubuka mata, sinar matahari sudah bersinar cerah.

Jam berapa ini? Aku baru memutar kepalaku mencari jam ketika melihat seorang wanita berkulit cokelat dengan seragam pelayan ada di dalam kamar. Usianya mungkin tidak jauh dariku.

"Maaf, Miss. Saya tidak bermaksud membangunkan Anda," ucapnya dengan aksen Meksiko yang kental. Tangannya membawa baki makanan.

Aku berdeham sebelum bertanya dengan alis berkerut. "Tak apa. Jam berapa ini?"

"Jam tujuh pagi." Tujuh? Biarkan aku tidur lagi kalau begitu, astaga!

"Mister Quinton mengatakan mungkin Anda ingin menikmati pemandangan pagi," ucapnya lagi. Mungkin melihat wajahku yang berubah masam. "Sarapan di tempat tidur, Miss?" Senyum hangat tak lepas dari bibirnya yang kecoklatan.

Astaga, tidak. "Letakkan saja di sana," gumamku sambil mengangguk ke arah meja. Dengan satu anggukan ia berbalik, menaruh makanan yang ia bawa ke meja di dekat jendela.

Aku duduk, mengusap mata yang masih terasa berat dengan punggung tangan. Lalu mengikat rambut asal-asalan menjadi satu gulungan besar di puncak kepala. Meski enggan, aku berjalan menuju sofa, menatap kopi panas, jus jeruk, pancake dengan madu dan stroberi segar, bacon, dan beberapa sandwich berukuran kecil.

"Anda tidak akan menyesal. Pagi ini cuaca sangat cerah. Udaranya segar sekali."

Aku tersenyum malu-malu. "Terima kasih."

Aku menghabiskan sarapan dengan cepat, tidak lagi menghiraukan apa yang dilakukan wanita itu di kamar mandi. Lalu berjalan menuju balkon.

Benar saja. Aku tidak akan pernah menyesal bangun pagi jika pemandangan yang disuguhkan seluar biasa ini. Menghirup dalam udara segar, aku menyerap sebanyak mungkin sinar matahari pagi Los Angeles yang hangat dan bersih. Kupandang kota Los Angeles di bawah sinar matahari sambil memeluk diri sendiri.

"Air hangat Anda sudah siap, Miss."

Aku menatapnya dengan tatapan kosong. Ini kali pertama bagiku seseorang menyiapkan air mandi untukku di usiaku yang dewasa ini. "Terima kasih—" Aku tidak tahu namanya. Mengapa mereka tidak mengenakan tag nama sekalian saja di dada? Siapa namanya?

"Maria. Nama saya Maria."

"Terima kasih, Maria. Lain kali kau tidak perlu melakukan hal itu untukku."

Ia tersenyum malu-malu. "Sudah kewajiban saya, Miss."

"Dan tolong panggil aku Alex."

"Oh. Saya tidak bisa melakukan itu." Ia menggeleng. Lalu buru-buru pamit.

Terserahlah dengan 'miss' atau 'ma'am' atau pula pelayanan yang kudapat. Setidaknya aku hanya akan berada di sini satu minggu.

Seperti yang dikatakan Dean kemarin, nikmati semuanya selagi ada. Jadi aku berniat seperti itu.  

Di kamar mandi, aku terkikik melihat sederet koleksi bath and body milik Hermes. Miliuner! 

Sejak bekerja di Quinton Chase sudah menjadi rutinitasku setiap pagi untuk meyakinkan diri sendiri sebelum berangkat ke kantor. Sekali lagi aku melafalkan mantra.

CRAZY IN LOVE (REPUBLISHED)Where stories live. Discover now