Wanna be in Love ~ Part One

3.6K 232 11
                                    


Aku melangkah mundur seraya menghela napas panjang. Menelengkan kepala dengan kedua tangan berada di pinggang, mengamati ruangan yang baru saja selesai kubersihkan. Bangku-bangku terangkat seluruhnya ke atas meja-meja kayu gelap dicat mengilap yang juga sudah dilap sebelumnya. Lantaipun sudah dibersihkan dari sisa makanan dan tumpahan minuman. 

Akhirnya, dengan sisa-sisa tenagaku yang hampir habis aku berhasil membersihkan dan merapikan restoran dengan kedua temanku, Trent, dan Ashlee yang malam ini hanya bertugas membereskan meja bar. 

Aku menepis helai rambut yang menjuntai di wajah. Lalu kembali menghela napas panjang.

Ini Jumat malam. Saat perempuan seusiaku memilih berkencan ataupun hanya sekadar minum bir dengan teman-teman perempuannya, aku malah sibuk berkutat dengan lap dan cairan pembersih. Bahkan Becca, teman sekaligus anak dari pemilik restoran, tidak ada di sini malam ini. Jam tujuh tadi ia dijemput Brad, pria yang sudah tiga bulan ini mendekatinya.

Tapi saat mataku menangkap sosok Ashlee yang tengah meringis sambil mengelus perutnya yang membuncit, napasku tercekat sekaligus lega di saat yang bersamaan. Demi Tuhan, Ashlee bahkan dua tahun lebih muda dari aku yang akan menginjak dua puluh dua tahun beberapa bulan lagi. Dan laki-laki yang seharusnya menjadi ayah dari bayi perempuan yang sedang dikandung Ashlee malah menghilang entah ke mana. Menjadikan hidupku terasa lebih beruntung.

Lalu mengapa terus mengeluh dan meratapi nasib?

Aku kembali menegakkan bahu yang untuk sesaat tadi merosot lemah. Melirik jam tangan kulit milik mendiang ibuku. Jam sebelas lewat dua puluh tujuh menit. Sudah hampir tengah malam. Bergegas aku mendorong ember dan pel. Lalu dengan tangan yang bebas aku menyambar kain lap yang tergeletak di kaki kursi serta memasukkan botol cairan pembersih kaca ke dalam kantung apron hitam dengan logo nama restoran yang melingkar di pinggang. Menaruhnya kembali ke dalam gudang penyimpanan.

"Kau juga sudah selesai?" tanyaku dari balik bahu saat Ashlee masuk ke dalam ruangan berukuran dua kali lima meter yang difungsikan sebagai ruang ganti karyawan, dengan susah payah. Melempar apron asal-asalan ke dalam lemari. 

"Ya," sahut Ashlee lesu. Meringis saat membungkuk mengambil tasnya.

"Ada apa?" tanyaku cemas. "Kau terlihat kesakitan."

"Yah," jawab Ashlee terengah, seraya menggeleng. Tapi tak bisa dimungkiri, senyum yang tersungging di bibirnya menunjukkan rasa bahagia juga takjub. Membelai perutnya penuh kasih sayang. "Bayiku terus menerus menendang. Aku jadi ragu dia perempuan. Bagaimana bisa tenaganya sekuat ini?"

"Mungkin dia lapar," jawabku. Tersenyum mengingat apa saja yang sudah masuk ke dalam perut Ashlee selama tiga jam terakhir ini.

"Oh, Tuhan. Rasanya aku muak hanya dengan mendengar kata lapar. Tapi tak bisa dimungkiri aku memang ingin makan sesuatu."

"Nah." Senyumku makin lebar, aku merogoh tas yang menggelantung di bahu. Menyodorkan sebungkus energy bar rasa cokelat simpananku pada Ashlee. "Kau pasti suka, kan, Baby Girl?" bertanya kepada bayi di dalam perut Ashlee.

"Trims."

"Ayo pulang." 

Aku menahan pintu agar Ashlee keluar lebih dulu. "Kami sudah selesai," ucapku setengah berteriak pada John yang tengah sibuk di meja kasir dengan tumpukan kertas-kertas yang berantakan.

John Phillips, pemilik restoran ini, pria dengan rambut kelabu yang mulai menipis di puncak kepala, mendongak dari tumpukan nota hari ini yang sedari tadi sibuk ia bolak balik, menatap kami berdua yang berdiri tak jauh darinya. Tangan yang menggenggam pena membetulkan letak kacamata yang melorot ke ujung hidungnya yang besar.

CRAZY IN LOVE (REPUBLISHED)Where stories live. Discover now