Wanna be in Love ~ Part Five

1.4K 176 9
                                    


Tidak ada yang salah dengan pakaianku, aku meyakinkan diri sendiri. Tidak ada yang salah dengan pakaianku. Aku merapalnya seperti mantra.

Aku tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Membuatku gugup hingga perutku terasa kejang dan mulas. Dua kali tersandung kaki sendiri hingga hampir terjatuh, aku berusaha berjalan seelegan mungkin dengan stiletto hitam setinggi dua belas sentimeter. 

Mengenakan rok pensil hitam dipadu blus merah muda, membuatku seperti hewan sirkus dengan empat lampu sorot yang mengarah ke wajahku. 

Sesampainya di Quinton Tower, seperti kemarin aku melapor pada gadis yang duduk di balik meja resepsionis. Bibirnya masih semerah stroberi. Setelah menelepon, ia tidak lagi meminta identitasku melainkan langsung menyuruhku naik—dengan wajah cemberut. Ia bahkan tidak mengatakan apa pun setelahnya.

"Terima kasih," ucapku kaku melihat si bibir stroberi yang kini menatapku sebal. 

Selamat datang di neraka! Belum apa-apa aku sudah membuat orang lain membenciku. Dan aku harus berada di dalam situasi yang hanya Dean Quinton dan Tuhan yang tahu akan berlangsung sampai kapan. 

Tapi terserah apa kata mereka, aku di sini juga untuk bekerja, sama seperti mereka.

Sesampainya di lantai empat puluh sembilan, aku disambut dengan tatapan sinis dari kedua resepsionis yang kemarin masih menunjukkan profesionalitas mereka kepadaku. Bahkan salah satu dari mereka—yang lebih tua—tidak lagi ragu-ragu untuk melayangkan komentar pedasnya kepadaku. 

Dengan nada mencela, wanita yang lebih muda mempersilakanku untuk langsung masuk menuju ke mejaku.

"Aku tidak percaya ini," ucap salah satu dari mereka. "Tiba-tiba dia datang. Lalu hari ini ia sudah bekerja di sini, sebagai asisten pribadi Mister Quinton. Kau tahu artinya, kan? Lihat saja pakaiannya. Dasar jalang!" Aku tak tahan lagi. Aku mempercepat langkah kakiku. Berhenti sejenak di ujung lorong mengatur perasaan yang tidak menentu sebelum menghampiri Mrs. Bails. 

"Selamat siang, Ma'am." Aku menyapa ragu-ragu. Erica yang tampak serius menatap layar komputer dan lembaran kertas yang ada di hadapannya, mengangkat kepala. 

Apakah di sini aku juga akan mendapatkan serangan? 

Tapi ketika aku melihat senyum ramah nan tulus pertama yang kudapatkan hari ini di sini, aku sedikit yakin kalau hari-hariku selama di sini tidak akan seburuk yang kukira sebelumnya.

Erica bangkit dari duduknya, menghampiri, dan menjabat tanganku mantap. "Akhirnya kau datang, Alex," katanya ramah. Kini ia menatapku tanpa malu-malu, dari kepala sampai ujung kaki. Tidakkah dia malu menatapku sedemikian rupa? "Dan kau kelihatan cantik sekali dengan penampilan seperti ini."

Aku mengabaikan pujiannya. Sepertinya Erica adalah tipe orang yang akan memuji kau cantik dengan tulus walau wajahmu seperti pantat monyet.

"Ini mejamu. Kau bisa menyimpan tasmu di laci," katanya sambil menunjuk meja kayu yang berada tepat di hadapan meja yang tadi ia duduki, yang sudah ditata mengapit pintu ganda ruangan Dean Quinton. "Jika ada yang kau butuhkan , katakan saja kepadaku." 

Aku menyimpan tas hadiah-masuk-kerja dari Aro yang menurutnya super keren ke dalam laci yang tadi ditunjukkan Erica. 

"Sebelum aku menjelaskan apa saja tugas-tugasmu, Mister Quinton ingin bertemu denganmu terlebih dulu."

"Baik, Ma'am." 

Erica cemberut. Hidungnya berkerut tidak setuju. "Tolong, panggil aku Erica. Aku belum setua itu untuk kau panggil Ma'am.

CRAZY IN LOVE (REPUBLISHED)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum