Wanna be in Love ~ Part Twelve

1.8K 220 20
                                    

Setiap tambahan kilometer yang kami tempuh dengan berkendara, tubuhku semakin kaku. Tanganku dingin oleh keringat, isi perutku seperti diaduk. Dengan satu pemicu lagi, aku bisa muntah kapan saja.

Dalam pikiran, aku hanya bisa mengutuki Dean atas sikapnya yang arogan tanpa mau tahu keenggananku. Mengutuki Elizabeth yang sama menyebalkannya seperti kakaknya. Bertindak semaunya tanpa mau repot menanyakan pendapatku. Merasa bisa mengatur dan memerintahku seolah aku tidak memiliki hak apapun atas diriku sendiri. Seolah aku robot. Di mana aku harus bekerja, apa yang harus aku lakukan.

Mendampingi Dean pergi ke acara amal masih bisa kumaklumi, sama halnya seperti menemani pria itu pergi untuk urusan bisnis seperti yang telah beberapa kali kulakukan akhir-akhir ini. Tapi menjadi model pada acara amal adalah hal lain.

Bagaimana bisa Elizabeth menjadikan aku modelnya tanpa bertanya kesediaanku terlebih dulu? Mengapa ia memutuskan hal seperti ini secara sepihak? Memikirkan aku berada di atas panggung runway saja sudah berhasil membuat perutku mulas. Bagaimana aku harus menghadapi ini nanti? Mungkin aku akan segera mempermalukan diri sendiri pada detik pertama aku berada di atas panggung.

Tanpa benar-benar kusadari mobil yang kami tumpangi telah berhenti di dekat sederetan butik eksklusif di kawasan Rodeo Drive.

Rodeo Drive! Dalam mimpi pun aku tidak berani membayangkan bisa pergi ke tempat ini. Apalagi berbelanja.

Dean memarkir mobil tak jauh dari pusat perbelanjaan yang ramai. Menungguku di sisi mobil, berdiri diam bagai patung Yunani yang dipahat sempurna. Aku menahan keinginan untuk mengentakkan kaki layaknya anak kecil ketika berdiri di sebelahnya.

"Aku tidak bisa melakukan itu," suaraku mencicit. Aku nyaris memohon padanya. Mungkin aku akan melakukannya.

Tapi ia hanya mengabaikanku. Membungkamku dengan tatapannya. "Ayo."

Ia menyentuh punggungku singkat, aku tersentak kaget. Seolah ikut tersengat, Dean melepaskan tangannya. Berjalan di sampingnya, aku merasakan tubuhku terbakar oleh panas tubuhnya. Sesekali punggung tangannya tanpa sengaja menyentuh kulitku yang terbuka, aku seolah tersengat oleh muatan listrik di antara kami. Tubuhku gemetar, dengan alasan yang berbeda.

Bagaimana mungkin aku merasakan hal seperti ini sekarang? Aku mencoba untuk menghalau perasaan asing yang tiba-tiba muncul. Namun tanpa bisa kukendalikan, tubuhku meremang, bulu kudukku merinding. Wajahku merona. Aku meyakinkan diri itu karena udara panas Los Angeles bukannya ketertarikan pada bosku yang seksi.

Dean membawaku masuk ke salah satu toko dengan lima pilar tinggi bergaya Italia mengapit empat jendela besar yang memamerkan koleksi terbaru di tubuh maneken. Kebanyakan koleksi di sana adalah gaun mewah rancangan desainer terkenal.

Lantainya dilapisi karpet bulu abu-abu tebal. Maneken berbagai pose diletakkan di beberapa tempat strategis, memudahkan pengunjung untuk melihat gaun terbaik. Sofa-sofa elegan dan nyaman ditata apik diperuntukkan bagi siapapun yang mencari kenyamanan selagi menghabiskan uang mereka.

Dan ketakutanku kembali datang. Aku merasakan keringat dingin mengaliri punggungku. Aku memperhatikan Dean.

Seorang wanita cantik yang tadi kulihat hanya berdiri dengan wajah masam, berjalan menghampiri kami, atau lebih tepatnya Dean, dengan mata berbinar.

"Selamat siang, Mister Quinton."

Dia mengenalnya! Wanita itu mengangguk dengan sopan dan hormat ke arah Dean. "Suatu kehormatan bagi kami, Anda bersedia berkunjung ke sini. Saya Monica, akan melayani Anda siang ini. Ada yang bisa saya bantu, Sir?" Dan aku berani bersumpah ia baru saja mengedip dengan cara yang ganjil.

CRAZY IN LOVE (REPUBLISHED)Where stories live. Discover now