ADAM DAN MADA

Από VikaAmania

30.9K 999 50

Jihad lelaki bernama Adam yang berusaha keras kembali ke kodratnya sebagai laki-laki setelah ibunya meninggal... Περισσότερα

Chapter 1-Keinginan yang lama terpendam
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
PArt 16
PArt 17
Part 18
Part 19
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29

Part 20

624 42 5
Από VikaAmania

Sore itu, Annisa gelisah. Pikirannya tidak fokus. Tiba-tiba suara gelas jatuh memecah kesunyian. Gelas berisi teh panas yang sedianya akan dia suguhkan kepada Adam berderai mengenai kakinya.

"Astaghfirullahaladzim, Nis." Adam mendatangi istrinya yang tengah meringis kesakitan sembari memunguti pecahan kaca. Beberapa serpihannya bahkan mengenai kakinya.

"Sudah, Nis. Biar Mas saja yang bersihkan." Adam memapah Annisa menuju kursi makan.

"Aw!" Namun, Annisa tak kuat menahan sakit, lalu terjatuh lagi. Tiba-tiba, Adam mengangkat tubuh Annisa begitu saja. Sontak, Nisa kaget lalu melingkarkan tangannya ke leher Adam seraya memandang wajahnya.

"Kamu duduk dulu, jangan bergeraknya, Nis."

Dengan sigap, Adam mengambil washlap beserta air panas yang ada di termos lalu menuangkannya ke dalam baskom, dan mencampurnya dengan air dari kucuran wastafel sehingga sedikit hangat. Setelah itu, Adam bergegas mengambil perban dan obat merah di kotak obat yang tergantung di dinding dekat dapur.

Adam mendatangi Annisa, lalu jongkok di hadapannya, "Tahan ya, Nis. Mungkin agak sedikit perih," ucapnya seraya mendongak ke arah istrinya.

Beberapa kali Annisa meringis menahan sakit ketika Adam mencabut serpihan kaca, dan membersihkannya dengan air.

Annisa sedikit menyentakkan kakinya ketika Adam menempelkan kapas yang sudah diberi alkohol.

"Sakit, ya?"

Annisa mengangguk.

"Sabar ya, lukamu harus dibersihkan dulu, supaya tidak infeksi.

Dengan cekatan, Adam memberikan obat merah di luka Annisa, lalu membalutnya dengan perban.

"Nah, sudah selesai," ucapnya. Namun, dia melihat wajah Annisa yang basah karena air mata.

"Loh, kok malah nangis." Adam berdiri dan menarik tubuh Annisa dalam pelukannya. Dia tidak tahu, Annisa menangis bukan karena luka yang ada di kakinya. Tetapi karena tak kuasa marah menanyakan hubungan Adam dengan pria yang tadi pagi ke rumah. Sekarang, perasaan kehilangan lebih dominan daripada marah.

Annisa memeluk Adam erat. "Nggak apa-apa kok, Mas. Nisa cuma takut kehilangan, Mas."

Adam terkekeh. Seketika Nisa melepaskan pelukannya, "Kok malah ketawa sih?"

"Lah emang nggak boleh ya ketawa? Dari pada marah-marah?"

"Ih!" Nisa melipat tangannya di depan dada sembari cemberut. Sejak menikah, entah mengapa istrinya menjadi lebih manja.

Adam lalu jongkok di samping kursi Annisa, "Mas mau kasih tahu sesuatu," bisiknya.

"Apa?"

Tidak lama kemudian Adam bangkit lalu mengangkat tubuh Annisa ala bridal style ke dalam kamar.

***

Trrt...trrt...

Getaran ponsel milik Adam mengagetkan Annisa di tempat tidur. Nisa mengerjapkan mata, tangannya meraba-raba mencari asal suara.

[Hai, Dam. It's me. Jason.]

Hanya itu pesan yang baru saja masuk di whatsapp suaminya. Annisa mengernyitkan dahi.

"Ngapain pria itu WA, Mas Adam?"

Annisa kaget, seketika meletakkan ponsel ke tempat semula, saat tiba-tiba Adam keluar dari kamar mandi.

"Mandi dulu, Nis. Habis itu kita salat ashar berjamaah, sebentar lagi maghrib lho."

"Iya, Mas." Nisa bangkit, masih menggunakan daster berbahan dasar katun rayon kesukaannya. Annisa memang senang sekali menggunakan daster lengan panjang di rumah. Jika ada tamu, dia tidak perlu repot mengganti baju, tinggal mengenakan hijab lalu keluar menemui tamu. Begitu juga setelah berjima', Annisa tidak pernah telanjang penuh, sebagian tubuh dia tutupi dengan selimut. Pakaian yang dia gunakan tidak pernah sepenuhnya terlepas.

Nisa khawatir, saat berjima'setan juga turut menyaksikan keindahan tubuhnya. Begitu pun saat mandi, Nisa selalu melingkarkan kain untuk menutupi sebagian tubuh, sebelum membasahinya dengan air

Manik mata Adam tiba-tiba tertuju pada ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur, Adam mengernyit setelah mengambil ponsel itu.

[Ok. Aku simpan]

Adam membalas singkat pesan masuk dari Jason tadi. Namun, tak lama kemudian, Jason mengirim pesan lagi.

[Kapan kita bisa bertemu lagi, Dam?]

[Untuk saat ini aku masih banyak waktu luang, dengan senang hati jika kamu ingin belajar ilmu agama]

Lama. Sebelum akhirnya centang biru tertera pada pesan yang dikirim Adam. Ada getar yang berdesir di dada Adam. Namun, dia berusaha menepis itu semua.

[Weekend ini aku free, bagaimana jika kita bertemu, di cafe depan taman kota, agar lebih santai kita berbincang]

Tak lama kemudian, Annisa membuka pintu kamar mandi seraya mengusap handuk pada rambutnya yang basah.

Refleks, Adam segera meletakkan ponselnya di tempat tidur ketika Nisa menghampiri dan duduk di sampingnya. Nisa merasa Adam menyembunyikan sesuatu.

Nisa tahu Adam menyembunyikan sesuatu. Namun, ia memilih mengajak suaminya salat ashar terlebih dahulu baru membicarakannya pada Adam.

"Mas... aku ingin bicara padamu," ucap Nisa setelah selesai salat Ashar. Sebagai seorang istri, entah mengapa perasaannya mulai tidak enak setelah kedatangan Jason.

"Bicara apa, Sayang?" Adam menyentuh lembut pipi Annisa. Adam merasakan ada yang berbeda dari sikap istrinya setelah kedatangan Jason. Perasaan itu semakin kuat, ketika baru saja Nisa menyebut dirinya 'aku' ketika berbicara dengannya. Biasanya, dia menyebut dirinya 'Nisa' ketika berbicara dengan Adam.

"Boleh aku tahu, siapa yang tadi pagi datang ke rumah kita?"

Adam menarik napas panjang, "Dia itu Jason."

"Aku tahu namanya, Mas. Maksudku ... mengapa tadi dia bersimpuh di hadapanmu?" Nisa menghentikan bicaranya, "Maaf, tadi aku melihat kalian dari balik jendela. Aku tidak bermaksud lancang, aku pikir ... sebagai istrimu ... aku berhak tahu," ucapnya dengan perasaan tak keruan.

"Kamu tahu masa laluku kan, Nis? Kamu tahu kan, aku ingin melupakannya? Aku harap kamu mengerti, dan tidak lagi membahasnya."

"Mas, aku hanya ingin kamu ju...."

"Jason, mantan kekasihku." Adam langsung menyambar kata-katanya, sebelum Annisa menyelesaikan bicara. Napasnya naik turun menahan sesak, ada yang tertahan di dada, membuat Adam tak mampu mengucapkan semuanya. Namun, Nisa memaksanya, dan itu membuat Adam terpaksa membuka luka yang ingin dia sembuhkan.

"Aku ingin tahu semuanya, Mas. Dari mulutmu! Ceritakan!" titah Nisa, "Ceritakan semuanya, aku tidak mau ada yang disembunyikan," paksanya.

"Tolong, Nis. Tolong kamu mengerti posisiku. Aku ingin melupakan semuanya, jangan kamu paksa aku membuka kenangan lama yang ingin aku tinggalkan."

"Mas...." Nisa menatap Adam dengan nanar, "Pernikahan itu bukan hanya sebatas saling mencintai, tapi juga keterbukaan, kejujuran, komunikasi. Kalau kamu belum terbuka, berarti kamu tidak mempercayaiku sebagai istri."

"Bukan begitu maksudku. A-Aku hanya ingin membuka lembaran baru, aku juga tidak ingin menyakitimu, Nis."

"Apa kamu pikir, dengan melihat kalian tadi pagi, itu tidak membuat hatiku sakit?" Suaranya terlihat sedikit parau menahan tangis.

Adam hanya menggeleng. Ia tak sanggup berkata-kata. Nisa tak paham apa yang ia rasakan. Namun, tatapan Annisa yang mulai basah memaksanya untuk mulai bicara.

"Dia memintaku untuk kembali, Nis."

"Lalu?" tanya Nisa sinis.

"Kamu tahu aku, kan? Aku bertekad berubah, tidak mungkin aku kembali padanya."

"Tapi sorot matamu berkata lain, Mas."

Adam memegang kedua bahu Nisa dan menatapnya lekat-lekat, "Apa maksudmu, Nis?" Nisa memalingkan wajah, "Kamu tidak percaya padaku?"

"Apa yang kamu sembunyikan lagi?"

"Tidak ada, Nis."

"Bohong," jawabnya singkat seraya memalingkan tubuh, lalu melirik ponsel yang berada di dekat Adam, "Aku membaca pesan di whatsapp-nya tadi." Adam menelan ludah, " Bagaimana bisa dia punya nomormu, Mas?"

"Dia memintanya, tapi...."

"Lalu kenapa kamu berikan?" Kali ini bulir bening jatuh juga dari sudut matanya. Adam berusaha mengusap. Namun, tangan Nisa menepisnya, "Jelaskan dulu padaku."

"Dia bilang ingin berubah."

"Kamu percaya?"

"Aku berusaha husnudzon. Kamu tahu? Aku dulu merasakan bagaimana sulitnya berhijrah. Tidak ada yang mendukung, semuanya mencaci. Berat, kadang pernah terbersit keinginan untuk kembali. Kalau tidak ada Irwan dan Alea, mungkin aku tidak akan seperti sekarang, aku tidak pernah menyembunyikan apa pun darimu. Kamu juga kenal mereka, kan? Bagaimana mungkin sekarang ada orang yang berniat berubah, lalu aku mengabaikannya? Bagaimana jika aku nanti menjadi penyebab kegagalan orang lain berhijrah?

Apa yang harus aku katakan ketika Allah nanti bertanya padaku?"

"Mas, aku bisa melihat dari sorot matanya, bahwa lelaki itu tidak bersungguh-sungguh." Annisa menoleh ke arah Adam, dengan napas memburu menahan amarah.

"Bukan kita yang berhak menilai, Nis. Tapi Allah, sebagai makhluk-Nya, kita wajib saling mengingatkan."

"Kamu nggak ngerti perasaanku, Mas." Nisa menggeleng menahan tangis. Namun, air mata itu seakan tak mampu dia bendung.

"Aku tidak ingin kehilanganmu, Mas. Aku cemburu, aku takut kamu akan kembali seperti dulu."

Tiba-tiba ponsel Adam berdering, "Siapa?" tanya Nisa di sela-sela tangisnya.

Adam menunjukkan layar yang menyala itu kepada istrinya, terlihat nama Jason tertera di layar itu.

"Kalau kamu tidak mengizinkan, aku tidak akan mengangkatnya. Aku tidak ingin membuatmu marah, tapi satu hal yang perlu kamu tahu. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah kembali, aku hanya ingin membantunya. Itu saja."

"Tidak usah diangkat!" perintah Nisa seraya memalingkan wajah. Dia juga ingin tahu bagaimana reaksi Adam ketika Nisa melarangnya.

"Baik, aku mengerti. Tapi aku harap, suatu hari kamu bisa mendukungku agar lebih bermanfaat untuk orang lain. Aku merasa, ini pun tak cukup untuk menebus dosaku di masa lalu."

Nisa hanya diam tanpa ekspresi mendengar kata-kata Adam, di benaknya masih ada sedikit keraguan apakah suaminya bersungguh-sungguh atau tidak.

Adam menarik tubuh Annisa ke pelukanya, "Sudah, ya. Jangan dibahas lagi. Sebentar lagi maghrib, kita salat dulu, ya."

"Jangan sentuh aku."

Adam mengusap rambut Nisa, sampai akhirnya melepas pelukannya.

"Kenapa?"

Nisa mengusap pipinya yang basah, sambil merengut, "Aku tadi sudah wudhu, Mas. Jadi batal deh kamu pegang."

Adam menahan tawa.

"Kenapa? Lucu?"

Adam hanya menggeleng. Sebenarnya dia gemas dengan polah istrinya yang sedikit manja. Itu yang membuatnya ingin terus berubah lebih baik. Entah mengapa, Annisa membuatnya menjadi pria dewasa yang selalu ingin melindungi. Mungkin karena istrinya itu pandai memposisikan diri, sehingga dia bisa terus belajar tanpa harus merasa digurui.

"Enggak, ya udah. Wudhu dulu, gih!"

"Mas aja duluan."

Tanpa berkata apapun, Adam beranjak masuk ke kamar mandi.

Dia menyadari, waktu maghrib sebentar lagi datang. Adam harus bergegas. Semenjak berhijar, ia berusaha menjadi manusia terbaik, termasuk salat di awal waktu. Adam tidak mau membuang waktu begitu saja.

Annisa meraih ponsel Adam saat suaminya berwudhu. Lalu mengetik sebuah pesan balasan ke nomor whatsapp Jason.

[Oke, jam 3 aku ke sana]

Centang biru tertera di layar. Tandanya sudah terbaca. Dia segera menghapus pesan itu dengan menekan kalimat 'hapus untuk saya' lalu meletakkan ponsel itu kembali ke tempat tidur, sebelum Adam kembali masuk ke kamar.

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

219K 13.2K 41
FOLLOW TERLEBIH DAHULU!! SEBELUM BACA! 📌 Dilarang untuk plagiat karena sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. kisah ini menceritakan...
Harsa Husna Από ul

Πνευματική

61.5K 7K 28
[Spin off Hakim, bisa dibaca terpisah] Bahagia seperti apa yang diinginkan semua orang? Apa bahagia mereka sama seperti definisi bahagia yang Husna...
52K 2K 27
Serpihan cinta Gus Al dan Ning Syafa yang berakhir abadi🌹 Sebuah perjanjian yang membuat dua insan di persatu kan dalam ikatan suci pernikahan, yang...
340K 14.8K 70
Azizan dingin dan Alzena cuek. Azizan pintar dan Alzena lemot. Azizan ganteng dan Alzena cantik. Azizan lahir dari keluarga berada dan Alzena dari ke...