ADAM DAN MADA

Oleh VikaAmania

30.9K 999 50

Jihad lelaki bernama Adam yang berusaha keras kembali ke kodratnya sebagai laki-laki setelah ibunya meninggal... Lebih Banyak

Chapter 1-Keinginan yang lama terpendam
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
PArt 16
PArt 17
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29

Part 18

640 40 2
Oleh VikaAmania

Adam duduk di tepi ranjang memandang Annisa yang masih menunduk. Terlihat senyum simpul di bibir tipisnya, senyum yang membuat dada Adam semakin berdebar, jantungnya seolah ingin melompat keluar, hatinya berdesir.

'Ya Allah, aku merasakan betapa indahnya sebuah pernikahan.'

"Apa kamu siap, Nis?" tanya Adam semakin merapatkan diri ke tubuh Annisa.

Adam mengelus lembut pipi istrinya yang semulus batu pualam. Manik matanya melihat ke arah bibir Annisa sambil menyentuh leher jenjangnya.

"Mas...." Annisa menghentikan aksi Adam, menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Hmm?"

"Sepertinya akan lebih baik ... jika aku membersihkam make up ini dulu." Annisa beranjak dari duduknya. Namun, manik mata Adam tetap mengekor ke mana pun wanita itu pergi.

Wanita yang sudah resmi menjadi istri sahnya itu melepas hijab berwarna putih, rambut hitamnya yang panjang tergerai begitu indah. Tercium aroma harum yang menguar ke udara.

Adam semakin tidak sabar. Dia lalu berdiri dan mendekati Annisa dan memeluk pinggang rampingnya.

"Kamu wangi sekali, Nis," bisiknya ke telinga Annisa.

Annisa melepaskan pelukan Adam, lalu membalikkan tubuhnya. Sekarang mereka saling berhadapan.

"Sabar ya, Mas. Nisa bersihkan wajah dulu," ucap Annisa memegang kedua tangan Adam.

Annisa duduk di depan cermin, mengambil kapas lalu menuangkan sedikit toner dan menyapukannya ke wajah. Tidak begitu bersih, masih terlihat samar-samar bekas riasan pengantin di paras cantiknya.

Adam memperhatikan wajah istrinya yang terpantul di cermin. Annisa tersenyum dan membalikkan badan.

"Sudah selesai?" tanya Adam. Namun, hanya dibalas dengan senyum dan anggukan cepat.

"Mau ke mana?" Adam menahan tangan Annisa ketika akan pergi.

"Nisa mau ambil wudhu, kita salat dulu, ya."

Adam keluar dari kamar mandi yang berada di sudut kamar. Dia lihat Annisa yang sudah menggunakan mukena. Mereka melakukan salat sunah berjamaah dua rakaat. Setelah selesai, Annisa mencium tangan suaminya, lalu dibalas Adam dengan ciuman di kening.

Sebentar, Adam lalu menenggelamkan diri dalam zikir yang begitu khusyuk, begitu pula dengan Annisa. Dia bermunajat kepada Allah dalam batinnya, agar dikuatkan dalam menjalani pernikahan. Sebuah pernikahan yang didasari rasa cinta kepada-Nya. Mencintai suaminya secara utuh dengan kelebihan dan kekurangannya, serta mendoakan suaminya agar bisa membimbing Annisa menjadi istri salehah.

Selepas salat, Annisa melipat mukena dan menyimpannya ke dalam lemari. Namun, tidak dengan Adam. Dia masih memakai sarung lalu duduk di tepi ranjang menunggu Annisa.

Wanita itu menghampiri suaminya.

"Sudah siap?" tanya Adam.

Annisa menunduk malu. Terlihat rona kemerahan di wajah manisnya.

"Kita berdoa dulu, ya!" ajak Adam.

"Bismillah Allahumma Jannibnis Syaithan Wa Jannibis Syaithan Ma Razaqtana"

Annisa terlihat merapikan baju ke dalam koper saat Adam keluar dari kamar mandi dengan rambut basah.

"Kamu lagi ngapain, Nis?"

"Ini, Mas. Nyicil packing untuk besok, mana aja baju yang mau kita bawa."

"Kamu sudah siap ikut, Mas?" Adam duduk di bibir kasur melihat Annisa yang masih sibuk memindahkan beberapa pakaian dari lemari ke dalam koper.

Annisa tersenyum, "Nisa siap, Mas. Bukankah lebih baik jika seorang istri itu ikut suaminya?"

"Tapi ... Mas nggak tega ninggalin Abah di sini sendirian."

"Mas ...." Annisa duduk di samping Adam, "Rumah ibu kan dekat dengan rumah Abah. Lagi pula Abah pernah berpesan sama Nisa...."

"Berpesan apa, Nis?" tanya Adam penasaran. Namun, hanya dibalas senyuman oleh Nisa.

"Berpesan apa, ya?" goda Nisa sambil menahan tawanya.

"Nis, Mas serius nih."

"Iya deh ... iya. lagian Mas ini kalau ada pesan dari Abah kok langsung mukanya berubah jadi serius gitu."

"Nis...." tangan Adam sudah mulai bersiap menggelitik. Nisa paling tidak suka jika digelitik.

"Oke ...oke," sergah Nisa, "Abah pesan ... jika Nisa sudah menikah, Nisa harus siap ikut kemanapun suami Nisa tinggal." Senyum manis mengembang dari bibir Nisa, "kata Abah, suami istri itu tidak baik berpisah, baiknya tinggal bersama apa pun kondisinya, karena ujian bisa datang kapan saja, dan itu akan lebih nikmat jika dihadapi bersama-sama."

"Kamu benar-benar sudah siap ikut Mas ke rumah Ibu?"

"Mas ... Nisa tahu perasaan Mas Adam. Rumah itu peninggalan terakhir Ibu, dan Mas tidak ingin menghapus kenangan bersama Ibu begitu saja. Ya, kan?"

"Makasih ya, Nis. Sudah mengerti kondisi, Mas. Mas bersyukur memiliki istri seperti kamu." Adam menarik Nisa ke pelukannya, dan mengusap kepalanya dengan lembut.

Azan subuh berkumandang, mereka berdua bersiap untuk salat subuh berjamaah di masjid.

Abah duduk di depan televisi terlihat berzikir sembari menunggu Adam dan Annisa keluar kamar.

"Abah...."

"Ayo kita berangkat subuh bersama-sama. Hari ini mubalighnya Ustadz Syamsudin Nur," kata Abah yang sudah mengenakan peci dan memegang sajadah lalu beranjak dari duduknya. Abah beserta Adam dan Annisa berjalan beriringan.

"Abah menjadwalkan beliau untuk ceramah subuh hari ini?" tanya Nisa antusias sembari mengunci pintu rumahnya, "Kok bisa, sih? Padahal beliau sibuk sekali lho."

"Kamu ini, Nis. Masjid Mubalighnya itu-itu saja, kamu protes. Abah mengundang beliau kamu tidak percaya."

"Bukan gitu, Mas. Nisa nggak nyangka aja, Ustadz Syam mau ceramah di sini. Waktu Subuh lagi."

"Allah itu menguji sebuah pernikahan dengan tiga hal, yang pertama, bagi mereka yang sudah menikah tapi belum mendapatkan pekerjaan. Sabar ... dalam Az zumar ayat 10, dijelaskan, Innamaa yuwaffasshoobiruuna aj'rohum bighoiri khisaab. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan rezekinya tanpa batas. Jadi, untuk yang baru menikah, atau yang sudah menikah lama. Sabar, itu kuncinya."

Ceramah Ustadz Syam membuat Adam tersadar bahwa saat ini dia belum memiliki pekerjaan. Dia mulai terbersit sebuah rencana membuka sebuah usaha, yaitu berdagang. Bukankah sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada di berdagang?

Adam tak mau rezeki yang kelak ia gunakan untuk menafkahi istrinya adalah rezeki yang haram. Sudah cukup dia melakukan kesalahan di masa lalu. Kini, Adam benar-benar ingin berubah, berhijrah ke jalan Allah dari segala aspek.

"Ujian pernikahan yang kedua justru datang dari orang yang paling kita sayang. Yaitu istri...." lanjut Ustadz Syam Lho kok bisa istri? Ada yang tahu?" tanya ustadz Syam ke seluruh jamaah yang hadir pada pagi hari itu. Namun, semua bergeming, tidak ada yang bisa menjawab, beberapa diantaranya berbisik satu sama lain. Ingin menjawab tapi akut salah. Subuh ini lebih ramai dari biasanya.

"Ketika kita sudah memutuskan untuk menikahi seorang wanita, maka kita bertanggungjawab sepenuhnya kepada istri, mulai dari memperbaiki akhkaknya, sampai mencukupi kebutuhannya. Mendidik istri ini susah atau mudah?"

Jamaah tersenyum, sesekali ada terdengar celetukkan dari beberapa diantaranya.

"Susah ya? apalagi jika tidak diiringi dengan ilmu. Caranya gimana, Ustadz? Di dalam surat At tahrim ayat 6 sudah dijelaskan. Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganga malaikat-malaikat yabg kasar dan keras, tidak durhaka kepada Allah atas apa yang Dia perintahkan, dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."

Mendengar kalimat itu, Adam lalu bermuhasabah diri. Sudah cukup baikkah akhlaknya untuk memberi contoh dan mendidik Annisa sebagai istrinya?

"Artinya apa? artinya, bahwa sebagai kepala keluarga, kita diperintahkan untuk mengajarkan agama kepada anak dan istri kita. Dengan cara yang baik. Ini ada beberapa pertanyaan dari jamaah yang ada di sini. Sebentar, saya bacakan." Ustadz Syam membuka kerta daftar pertanyaan.

"Ustadz, saya sendiri masih lemah ilmu agamanya, lalu bagaimana cara mendidik istri saya? Ada yang tanya begitu. Ya ayo ajak ke majelis ilmu, ke pengajian, itu juga bagian dari mendidik istri."

Seketika dada Adam bergemuruh.

'Ya Allah apakah aku bisa mengajak keluargaku ke jannah-Mu, sementara aku sendiri tidak lebih baik dari mereka.'

"Nah ini yang terakhir, ketika kita sudah menikah malah disibukkan dengan urusan duniawi. Sering, ya seperti itu? Hati-hati ya bapak-bapak dan ibu-ibu, jangan sampai nanti ketika punya anak, lalu kita terlalu lelah mengurusnya, malah lupa mendekatkan diri pada Allah. Contohnya gimana? Selesai salat tidak berzikir atau berdoa, tidak pernah tadarus alquran, ini untuk istri ya khususnya. Apalagi untuk ibu-ibu yang anaknya masih kecil, tidak punya pembantu pula. Untuk suami gimana? Karena kebutuhannya semakin banyak, bekerja sampai tak kenal waktu, kadang melewatkan waktu salat. Naudzubillah, jangan sampai ya, Pak. Allah memberikan anak itu agar kita semakin bersyukur kok, bukan malah menjauh."

Annisa yang dari tadi fokus mendengarkan ceramah tiba-tiba senyum-senyum sendiri.

"Kapan, ya Allah menganugerahiku keturunan. Ah semoga saja tak lama," batinnya.

Aku pasrahkan semua pada Allah, jika memang Allah merasa aku mampu dan sudah siap, pasti segera memberikan amanah itu. Aku tidak ingin menundanya."

Tausiyah kali ini benar-benar sesuai dengan apa yang Nisa rasakan saat ini. Ujian pernikahan memang belum tampak, tapi melihat Adam yang belum berpenghasilan membuat wanita berparas teduh itu berniat membicarakan dengan suaminya. Annisa ingin mereka hidup mandiri dan tak merepotkan siapa pun. Walau Abah pasti bersedia membantu, tapi Nisa tak mau membebani Abah yang memang sudah waktunya menikmati masa tua dengan tenang.

Annisa melipat sajadahnya dan melangkah keluar masjid setelah pengajian itu selesai. Di depan masjid, dia menunggu Abah dan suaminya keluar.

"Menarik sekali ya, Mas tausiyahnya?"

Adam terlihat murung. Dia hanya membalas dengan anggukan ringan seraya tersenyum.

***

"Mas, kok diem aja daritadi?" Annisa memperhatikan suaminya, ada yang aneh sejak dia pulang dari masjid.

"Nggak... nggak apa-apa kok, Sayang," elaknya seraya mengelus kepala Annisa.

"Sini, deh. Duduk sama aku." Annisa melingkarkan tangannya ke lengan Adam, lalu menariknya lembut ke sisi ranjang, "Mas itu nggak pinter berbohong, jadi ... nggak usah repot-repot menutupi sesuatu dari aku."

"Kok bisa? Emang aku bohong apa?" Adam mengernyitkan keningnya.

"Hmm... tadi waktu Mas bilang 'nggak apa-apa' itu lubang hidung Mas kembang kempis lho."

Adam tertawa kecil, "Kamu ini, bisa aja. Emang kalau kembang kempis kenapa?"

"Ya aku kan hapal sama, Mas. Tiap Mas bohong sama aku, pasti deh hidungnya kembang kempis."

"Kamu ini." Adam mencubit lembut hidung Annisa.

"Kita kan udah nikah. Sudah saatnya suka duka kita bagi bersama. Kenapa sih, Mas...?" Annisa memegang tangan suaminya dengan lembut.

Adam menunduk seraya mendesah panjang, "Mas cuma kepikiran aja sama ceramah Ustadz Syam tadi. Mas sekarang sudah menikah, sudah bertanggung jawab atas kamu sepenuhnya. Tetapi, Mas sendiri belum punya penghasilan. Apa yang Mas mau berikan untuk menafkahi kamu?"

Annisa tersenyum, "Lalu rencana, Mas apa?" pancing Nisa. Dia ingin memberikan kesempatan pada suaminya untuk memimpin rumah tangga dengan tidak mendikte suaminya. Walaupun di pikirannya, terbersit banyak rencana untuk kehidupan finansial mereka selanjutnya.

"Mas ingin buka usaha, Nis. Tapi yang Mas paham hanya fashion dan kecantikan. Masa iya Mas buka salon seperti dulu lagi?"

Annisa menutup mulutnya menahan tawa.

"Kok kamu malah ketawa sih, Nis? Katanya suruh sharing, kamu malah ketawa," sungutnya.

"Maaf ... maaf. Ya nggak apa-apa kalau mau bisnis di bidang fashion, kan nggak harus buka salon."

"Maksud kamu?" Alis Adam bertemu.

"Fashion dan kecantikan itu kan luas, Mas. Secara syar'i kita masih bisa menjalankannya. Mas bisa desain baju, kan? Kita bikin aja butik khusus muslim."

"Benar juga ya kata kamu. Duh, Mas kok jadi nggak kepikiran itu sih?"

"Berarti ada gunanya, kan, kita sharing?"

Adan tersenyum seraya mencubit lembut pipi Nisa, "Kamu ini, bisa aja bikin Mas tenang."

Annisa menyadari, ini baru langkah awal memulihkan kepercayaan diri suaminya. Pasti tidaklah mudah berhijrah secara total untuk lebih mendekatkan diri pada Allah, tapi demi rumah tangga kecilnya, ia rela melakukan apa pun agar suaminya menjadi imam yang baik bagi diri dan anaknya kelak.

Annisa bangga memiliki suami seperti Adam. Lelaki itu berhati lembut, bahkan tidak pernah sekali pun berkata kasar padanya. Nisa masih ingat bagaimana Adam mempersiapkan pernikahan sendiri tanpa bantuan siapa pun, hampir tiap hari dia tidak tidur merancang baju pengantin untuknya, bolak-balik ke KUA untuk mengurus berkas pernikahan mereka. Bahkan tak jarang, Annisa kesal karena tak pernah ada waktu untuk bertemu, setiap hari mereka hanya berkomunikasi melalui telepon, padahal rumah mereka dekat.

Namun, dengan sabar Adam mencoba memahaminya dan memberikan pengertian, hingga akhirnya Annisa luluh karena kelembutan dan kesabarannya. Sejak saat itu Annisa berjanji, akan menerima Adam apa adanya, berproses menjadi lebih baik, menjalani semuanya bersama, dalam suka dan duka ketika dia menjadi istri nantinya. 

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

4.6M 279K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
333K 28.8K 35
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
339K 14.7K 70
Azizan dingin dan Alzena cuek. Azizan pintar dan Alzena lemot. Azizan ganteng dan Alzena cantik. Azizan lahir dari keluarga berada dan Alzena dari ke...
63.9K 7.7K 38
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...