The Name of The Game [TELAH T...

By adelinaayu

256K 24.9K 5.7K

[COMPLETED] Tentang seorang laki-laki beraroma vanilla yang takut kecoa tapi enggak pernah takut menjadi dir... More

Chapter 1 & 2: Welcome to The Jungle & Private Bubble
3: Vanilla Scent
4: Lucky Me
5: Plung!
6: The Book of Shadow
7: battement de coeur
8: Red Light
9: Secret Rival
10: Tin, tin, tin!
11: Smooth, Zio. Smooth...
12: Daryll!!!
13: Manusia Berlendir
14: Drama King
15: Boy friend?
16: Gentleman
17: Sing With Poldy
18: Hate You, Love You
19: Something Worth The Pain
20: Sheila on 7 VS Kylie Jenner
21: The Open Book
Bonus Chapter: Zio & Gio
Bonus Chapter: Daryll VS Shaien
Bonus Chapter: TA-WU-RAN!!!!
Bonus Chapter: The Mask We Live In
Bonus Chapter: Zio & Shaien
Bonus Chapter: Closure
Bonus Chapter: The Girl
Bonus Chapter: Sleepover at Daryll's
Bonus Chapter: Something Old and Something New
Bonus Chapter: Seorang Teman
Bonus Chapter: Daryll & Sharon
Bonus Chapter: Andra & Nadine
Bonus Chapter: Flo vs Red Bra
Bonus Chapter: Sleepover With Zio
SEQUEL OF THE NAME OF THE GAME
THE NAME OF THE GAME DITERBITKAN!
Bonus Chapter: Am I Gay...?

Bonus Chapter: Shailendra Snaps!

2.8K 319 48
By adelinaayu


Zio

"Ko, muka lo suntuk gitu sih, Ien? Bu Irma ngomong apa aja tadi sama lo?" Sehabis kelas tadi, Shaien langsung ditahan sama dosen kami, Bu Irma, katanya sih mau ngomongin tentang tugas maskalah yang dikumpulkan tadi. Wajah Bu Irma waktu memanggil nama Shaien bengis banget. Padahal biasanya, Shaien kan selalu jadi anak kesayangan dosen-dosen karena enggak pernah bikin masalah dan nilainya selalu bagus.

"Bu Irma tadi ngomel. Katanya makalah gue dangkal banget. Kaya dikerjain sama maba. Beliau juga bilang kalau gue enggak menguasai topiknya, jadi gue diminta untuk bikin satu makalah lagi dengan topik yang berbeda dan harus dikumpulin tiga hari lagi." Shaien menggulung makalahnya kesal, "Lo tahu kan Bu Irma itu maunya kaya ibu-ibu hamil? Enggak mungkin lah gue bisa ngerjain ini dalam tiga hari. Belum lagi kita juga punya tugas-tugas lain. Waktu gue nego perpanjangan waktu, beliau malah ngomel dan nuduh kalau gue enggak suka sama cara ngajar dia."

"Lagian, elo ada-ada aja sih, Ien! Kan, gue udah bilang, jangan ngide ngerjain pakai otak sendiri! Mending lo nyontek makalah alumni-alumni yang cumlaude kemarin. Bu Irma tuh pasti enggak akan nyadar walau lo nyontek setengah makalah sekalipun!"

"Gue enggak enak aja, Yo. Lagian, topik yang beliau kasih kemarin enggak terlalu susah. Gue juga ngerasa udah ngerjain sebaik mungkin ko. Tapi, enggak tahu kenapa Bu Irma malah enggak suka banget."

"Lo sok pinter sih, Ien! Baik buat lo kan belum tentu baik buat dia! Lihat sekarang, lo jadi ngerjain tugas dua kali kan?" Aneh banget ini orang. Dikasih jalan pintas yang gampang malah enggak mau, sekarang malah jadi repot sendiri kan! "Makanya, Ien, kalau gue kasih tahu tuh dengerin! Kan, sekarang lo jadi repot sendiri."

"Yaudah sih, Yo! Shaiennya aja enggak ngeluh, kenapa jadi lo yang heboh!" Sharon menabok bahu gue, "Kasihan tahu Shaien. Lagi bete habis kena semprot Bu Irma eh ditambah-tambahin lagi sama lo. Kalau enggak bisa menghibur, mendingan lo diem."

"Apa sih lo, Ron? Gue enggak nyemprot Shaien! Gue cuma ngasih tahu biar dia enggak usah sotoy ngerjain tugas sendiri!"

"Tuh, pemilihan kata lo tuh resek banget tahu enggak! Sok pinter lah, sotoy lah! Kalau Shaien mau ngerjain tugas sendiri emang kenapa? Bagus dong! Emang elo, kerjanya nyontek doang!"

"Eh, enggak usah sok bener lo! Lo sendiri minta contekan sama gue!"

"Kenapa jadi pada berantem sih?" Desah Shaien pusing. Nambah lagi peer dia dengan harus misahin duo serigala lagi berantem, "Gue mau ke kantin. Ada yang mau ikut enggak?"

Gue berdecak, "Ke kantin tepat di jam makan siang gini? Lo mikir enggak sih kalau kita udah pasti enggak bakal dapat tempat, Ien?!"

"ZIO!"

"It's okay, Ron." Shaien menepuk-nepuk bahu Sharon yang udah siap mencabik-cabik gue, "Yaudah, yaudah. Kita makan di kafe AHA! aja. Pasti di sana lebih sepi."

Gue menjulurkan lidah ke Sharon sebelum mengikuti langkah Shaien ke kafe AHA!

Ko, gue resek banget ya sama Shaien hari ini? Habis, gue gedek sih! Shaien tuh sering banget bikin dirinya kena sial karena sifat enggak enakannya dia. Pikirin diri sendiri bentar kenapa sih? Dia kan enggak bisa selamanya merasa enggak enak mulu sama orang. Kalau nanti dimasa depan dia diinjak-injak sama orang dan enggak ada gue yang belain gimana?

Sesampainya di kafe, Shaien langsung sibuk membuka-buka kembali makalahnya. Memeriksa kembali apa yang salah, kemudian menstabilo bagian-bagian penting yang harus ia revisi. Padahal, ngapain direvisi, orang udah salah semua! Mending sekalian langsung bikin baru! "Lo ngapain sih masih buka-buka makalah lama lo, Ien? Buang-buang waktu lagi. Mending sekarang lo browsing-browsing data lain buat topik baru lo!"

"YAUDAH SIH ENGGAK USAH PROTES EMANG ELO YANG NGERJAIN!" Sharon yang menyahut. Cewek itu menutup telinga Shaien supaya cowok itu enggak bisa mendengar komentar-komentar beracun gue, "Daripada protes mulu mending lo pesen makanan duluan deh."

Shaien senyum-senyum aja. Cowok itu melepaskan tangan Sharon dari telinganya lalu kembali fokus sama makalah. Dasar orang gila. Diprotes malah senyum, diomelin malah ketawa. Jangan-jangan kalau cowok ini dirampok, dia malah bilang makasih lagi ke rampoknya.

Kafe AHA! Memasang sebuah lagu jazz untuk menghangatkan suasana kafe. Paling malas deh gue dengar lagu-lagu kaya gini. Bikin ngantuk, "Duh, ini lagunya siapa sih? Sok elit banget. Bikin ngantuk tahu enggak!"

"Frank Sinatra enggak sok elit. Dia penyanyi legendaris sedunia." Shaien berkomentar pelan dari balik makalahnya, "Hanya karena lo enggak tahu tentang dia, bukan berarti lo bisa asal ngejudge musiknya-"

Gue memutar bola mata, "Ya, ya, whatever. Eh, besok kan enggak ada kelas. Kita ciao bella ke Dufan yuk! Mumpung weekdays, jadi pasti sepi deh. Gue pingin banget naik kora-kora sama halilintar nih. Lagi pingin teriak-teriak."

"Alah, lo kan tiap hari teriak-teriak, Yo. Enggak usah sampai jauh-jauh ke Dufan kaleeee." Sharon mencibir, tapi setelah itu mengangguk juga, "Tapi, boleh deh. Yuk, ke Dufan! Udah lama juga gue enggak main ke sana."

"Gue enggak bisa kalau besok. Kan, harus ngerjain makalah." Shaien menunjuk makalahnya yang sekarang udah lecek karena keseringan bolak-balik dibuka, "Tapi, kalau minggu depan mungkin bisa. Hari rabu kan tanggal merah, kita perginya hari itu aja."

"Apaan sih lo, Ien? Justru gue tuh ngajakin pergi besok karena weekdays, jadi enggak sepi. Kalau perginya pas tanggal merah mah sama aja kaya pergi pas weekend. Rame!" Mungkin karena kebanyakan senyum-senyum kerja otak cowok ini jadi lamban, "Lagian lo sih! Pakai dapat tugas nulis ulang makalah segala! Kalau enggak kan kita bisa main ke dufan!"

"Enggak usah pakai urat kenapa sih, Yo? Capek tahu dengar lo ngomel-ngomel mulu. Bikin umur gue memendek aja." Sharon memijit-mijit kening lalu memanggil pelayan supaya kami bisa memesan.

Shaien yang ngajakin kami ke kafe, tapi bukannya memesan makanan, cowok itu malah hanya memesan es kopi, "Ih, gimana sih, Ien? Lo yang ngajakin ke tempat makan tapi lo cuma mesan minuman!"

"Terus, kalau Shaien ngajakin ke Pizza Hut tapi dia malah pesan pasta, lo mau marah juga, Yo?" Si Sharon apaan sih? Sejak kapan dia jadi malaikat pelindungnya Shaien gini? "Bisa enggak sih lo enggak usah protes sama apa yang Shaien lakuin? Gue aja yang lihatnya bete, apalagi jadi Shaien!"

"Makanya gue ngomong sama Shaien, bukan sama lo!" Asli deh, mau lo numpahin kemeja putih Shaien pakai kopi pun, kemungkinan cowok itu bakal merah tuh kecil banget.

Setelah pesanan kami makan, gue baru sadar kalau belum cuci tangan. Mana tiba-tiba kebelet pipis lagi, "Duh, jadi pingin kencing deh. Toilet bersih dekat sini dimana ya?"

"Pakai toilet staff aja, Yo. Pasti boleh deh-"

"Kan, gue bilang toilet bersih, Ien! Emang toilet staff di sini bersih apa? Tempatnya aja dekat danau gini. Jangan tolol deh!"

Shailendra sontak membanting makalahnya ke atas meja keras-keras. Sangking kerasnya, gelas es kopinya sampai bergetar, "Iya, gue emang tolol. Kalau lo enggak suka, yaudah. Karena terus terang, Yo, gue udah capek sama sikap kasar lo!"

Gue dan Sharon terpaku sangking kagetnya. Sharon sih yang paling parah. Cewek itu sampai bolak-balik melihat gue dan Shaien bergantian tapi enggak kunjung mengeluarkan suara karena enggak berani. Gue juga. Ini pertama kalinya gue melihat Shaien marah bahkan sampai banting barang segala. Enam tahun gue mengenalnya dan enggak pernah sekalipun cowok itu meninggikan nada bicaranya terhadap apa pun. Sementara tadi, Shailendra baru aja meledakan emosinya pertama kali sama...... gue.

Shaien masih menatap gue marah, sementara gue enggak berani mengeluarkan sepatah katapun. Cowok itu enggak pernah menatap orang lain seperti itu sebelumnya. Kalaupun iya, seharusnya tatapan seperti itu diberikan buat orang jahat. Orang-orang kaya si Tara tuh misalnya. Bukan gue. Gue kan sahabatnya. Gue kan dekat banget sama dia. Gue kan.....

Mungkin karena Sharon dan gue enggak bereaksi, Shaien malah jadi bingung. Dalam sekali kerjap, amarah dimatanya menghilang. Digantikan dengan perasaan bersalah dan bingung yang sering hinggap di sana. Kalau udah begitu, biasanya Shaien akan langsung pura-pura sibuk menekuni hal yang ia lakukan sebelumnya, tapi entah apa yang salah kali ini, hingga cowok itu membereskan barang-barangnya dan pergi meninggalkan kafe.

"What the fuck just happened?!" Sharon celingukan. Cewek itu menatap bangku Shaien yang sekarang kosong, lalu menoleh ke arah cowok itu pergi, "Yo, lo ngapain sih sampai Shaien marah kaya gitu? Keterlaluan lo! Kan, udah gue bilang tadi, kalau enggak bisa menghibur tuh mendingan diem! Sekarang kalau dia udah marah kaya gini, kita harus gimana?!"

Gue enggak menjawab dan malah mereka ulang kejadian tadi di kepala. Membandingkan ekspresi tenang Shaien dengan ledakan amarahnya yang baru aja terjadi. Gue enggak pernah mengira kalau akan melihat tatapan itu sebelumnya. Gue bahkan enggak tahu kalau tatapan seperti itu 'bisa' ada di sana. Di mata seorang Shailendra.

Perasaan kaget dan bingung lama-lama digantikan dengan badai panik yang menghantam tubuh gue. Mampus. Mampus. Mampus. MAMPUS. Shaien bahkan enggak marah waktu sekelompok tugas sama Tara. Tahu kan si Tara reseknya kaya apa? Kalau Shaien sampai marah sama gue, apa sekarang gue lebih buruk dari Tara dimatanya? Kalau Shaien sampai marah seumur hidup gimana ya? Kalau Shaien enggak mau ketemu gue lagi gimana ya? Kalau Shaien memecat gue jadi sahabatnya gimana ?

Oh....

My....

God...

Mati gue.

MATI

GUE.

"ASTAGA!" Sharon tiba-tiba menutup mulutnya.

"Kenapa?! Kenapa?!" langsung panik gue. Mampus. Kalau Shaien balik lagi untuk mendeklarasikan putusnya hubungan pertemenan kami, gue bakal lompat ke danau UI.

"Itu!" Cewek itu menunjuk ke arah pintu masuk. Ke seorang cowok dengan langkah petantang-petenteng yang memakai kaus santai dan berjalan mendekat waktu melihat gue. Daryll.

"Oh My God, mau ngapain gembel bau itu ke sini?!" Sebelum cowok itu membuka mulut untuk nyapa, gue udah jerit duluan. "PERGI SANAAAA PERGI PERGI PERGIIIIIIIIIII YANG JAUHHHHHHH JANGAN BALIK-BALIK LAGIIIIIIII!"

"Apa sih, Yo? Gue kan nyapa doang." Cowok itu duduk di bangku Shaien, lalu menyereput asal es kopi yang tertinggal di sana, "Ini punya Shaien ya? Mana orangnya? Ko, enggak kelihatan?"

Mendengar nama Shaien bikin gue tambah frustasi. Duh, lo dimana sekarang, Ien? Kenapa gue enggak langsung ngejar lo dan minta maaf ya?

"Shaien lagi marahan sama Zio." celetuk Sharon. Dasar pengkhianat. Cewek itu pasti akan menghalalkan segala cara supaya bisa ngobrol lebih lama sama Daryll, "Tadi si Zio resek banget, Ryll. Shaien lagi bete malah diprotes mulu. Akhirnya dia kesel terus pergi dari sini. Pakai acara banting buku segala loh."

Good Job, Sharon, Good Job!!!! Enggak sekalian tuh lo bikin reka adegan biar idola lo itu bisa tahu lebih jelas tentang kejadian tadi?!

"Shaien marah? SHAIEN?!" Daryll kesedak es kopi, "Wah, parah abis lo, Yo! Lo ngomong apaan sampai Shaien semarah itu? Keterlaluan lo!"

Gue menyalak, "Sotoy lo, Nyet! Lo, kan, enggak ada di sini!"

"Emang enggak, tapi kalau judulnya aja 'Shaien marah' itu pasti karena kesalahan lawan bicaranya, bukan dia!" seru Daryll. Jarang-jarang cowok ini sampai senafsu ini ngegosip. Biasanya dia kan paling malas ngomongin orang lain yang irrelevant di hidupnya, "Yo, dosa banget lo udah bikin Shaien marah! Kalau gue ya, si Shaien yang salah pun pasti gue yang minta maaf. Lo udah minta maaf belum?"

Minta maaf? "Be-belum, soalnya tadi dia langsung pergi. Gue jadi-"

"Wah, parah. Kacau ini. Kacau!" Daryll geleng-geleng kepala. Dasar tayi. Gue enggak bisa membedakan apa cowok ini benar-benar bersimpati atau cuma pingin bikin gue panik, "Lagian lo ada-ada aja sih! Orang yang enggak pernah marah bukan berarti enggak bisa marah. Sama aja kaya gue."

"Idih! Apanya yang kaya lo! Lo kan kerjanya marah-marah mulu, bencong!"

"Maksudnya, gue tuh kebalikannya Shaien! Gue marah-marah mulu, tapi bukan berarti gue enggak bisa kalem. Gitu loh, setan!"

"Tuh, baru bilang bisa kalem tapi belum apa-apa udah marah lagi!"

"Habisan lo kerjanya bikin orang emosi sih! Pantas aja Shaien sampai marah sama lo!"

"Enggak usah bawa-bawa Shaien seakan lo sedekat itu sama dia!"

"HEY KENAPA JADI KALIAN YANG BERANTEM SIH!" Lerai Sharon, "Yang sekarang harus dipikirin tuh, Shaien. Jangan malah bikin masalah lagi dong."

Daryll menjulurkan lidah, "Tahu lo, Yo, bukannya ngurusin Shaien malah bikin masalah lagi! Pantesan Shaien marah sama lo!"

"DIEM LO!"

"ZIO!" Sharon mengemplang kepala gue, "Jangan emosian kenapa sih?! Dariada lo marah-marah, mending lo pikirin gimana caranya minta maaf sama Shaien deh. Because fighting with your best friend is so much worse than any break up."

-

Shailendra

Fabrizio: Gue di lobby apartemen lo.

Gue menghela nafas. Kapan sih lo ngerti sama yang namanya read between the lines, Yo? Apa semua maksud gue harus gue omongin langsung di depan lo biar lo ngerti kalau gue lagi pingin sendiri?

Gue enggak ingat kapan terakhir kali gue meledak kaya tadi. Atau jangan-jangan, gue enggak pernah melakukannya. Hari ini adalah kali pertama gue membiarkan emosi mengambil alih reaksi gue. Dan rasanya sangat aneh. Enggak enak. Bukannya merasa lega, gue malah merasa bersalah. Seharusnya gue membiarkan Zio dan Sharon berpikir sendiri bagaimana caranya mengambil hati gue lagi, tapi malah gue yang jadi enggak enak karena udah bersikap kasar sama mereka. Seharusnya gue enggak perlu pakai banting buku dan cabut segala karena masalah tadi. Toh, gue tahu benar kalau mulut Zio emang remes dan cowok itu pasti enggak sungguh-sungguh mengucapkannya.

Zio dan Sharon enggak pernah mengenal gue sebagai sosok seperti tadi. Kejadian tadi siang pasti bikin mereka kaget. Gue jadi enggak enak kalau kami jadi awkward hanya karena urat kesabaran gue putus.

Gue mengambil kunci kartu apartemen, lalu turun ke bawah untuk menjemput Zio. Cowok itu sedang duduk sendirian di sofa lobby dengan wajah tertunduk. Satu tangannya membawa paper bag besar. Waktu gue sapa kaya biasa, dia kelihatan kaget, tapi mencoba sok tenang dan mengangguk pas gue ajak main ke atas. Pas sampai di lift pun cowok remes ini masih belum mengatakan apa-apa. Diamnya membuat perjalanan dari lobby ke lantai dua puluh empat terasa menyesakan.

Baru waktu sampai di dalam unit apartemen dan gue menanyakan dia mau minum apa, Zio membuka suara, "Ien, sori ya yang tadi. Gue enggak tahu kalau omongan gue bikin lo jadi marah...." Jari-jari kakinya mengais karpet bulu ruang tamu, "Sori...."

Di kafe tadi, gue pingin banget melempar tayi kebo ke wajahnya. Sekarang, melihat wajahnya melas begini, gue jadi pingin ketawa, "Enggak apa-apa, Yo. Sori juga ya tadi gue kasar. Lo sama Sharon pasti jadi kaget."

Anehnya, bukannya bernafas lega karena udah gue maafin dan mendengar kata maaf dari gue juga, Zio malah menatap gue seakan gue orang paling bodoh di dunia, "Ko, lo jadi ikutan minta maaf sih, Ien? Jelas-jelas yang salah gue. Kenapa lo ikutan minta maaf?"

"Karena gue udah marah sama lo tadi. Seharusnya gue enggak perlu-"

"Lo enggak perlu minta maaf karena marah, Ien. I was being a ultra bitch today and it's wasn't your fault! Harusnya lo enggak lempar makalah itu di meja. Lempar aja sekalian ke muka gue. Kalau gue jadi lo, gue pasti udah lempar meja kali sangking kesalnya. Tapi, lo cuma lempar makalah kemeja dan akhirnya malah MINTA MAAF LAGI. Lo gimana sih, Ien? Lo enggak boleh kaya gini terus. Kalau nanti lo diinjek-injek orang gimana? Man, you're just too pure for this filthy world!" Melihat cowok itu mengacak-acak rambutnya frustasi, gue malah pingin ketawa, "Eh, ko lo malah ketawa sih, Cong? Marah dong! Pukul gue kalau perlu. Gue jauh lebih lega lihat lo meledak kaya gitu, asalkan lo berhenti mendem dan nyembunyiin emosi lo cuma karena takut nyakitin perasaan orang!"

Gue ketawa sampai puas, lalu geleng-geleng kepala melihat cowok ini semangat banget pingin ditonjok, "Lo mau gue tonjok, Yo?"

"Mau! Ayo tonjok gue sekarang kalau hal itu bikin lo lega!" Zio menaruh paperbag-nya di atas meja. Siap dipukuli kapan aja.

Gue tersenyum lalu mengangkat bahu, "Mungkin ini yang bikin gue beda sama lo, Yo. Gue bukan lo. Gue bukan orang yang bisa mengeluarkan emosi sedetik setelah merasakannya. Dan kalau disuruh pilih, gue akan tetap pilih jadi diri gue."

Zio menatap gue enggak mengerti. Sebagai seseorang yang selalu berani mengeluarkan pendapatnya, dia pasti enggak ngerti apa enaknya jadi orang yang selalu memendam perasaan. Tapi walau begitu, gue senang dia enggak berusaha menarik gue untuk berubah menjadi dia, dan malah berusaha memahami, "Gue enggak ngerti sama lo, Ien. Benar-benar enggak ngerti. Tapi, kalau lo punya emosi level tabung gas tiga kilo kaya gue, kayanya kita enggak akan temenan deh. Yang ada malah berantem mulu karena saling ngegas!" Cowok itu ketawa, "Mungkin kalau lo bukan lo yang sekarang, gue enggak akan ketemu sama sahabat gue."

"Nah, itu lo pinter." Gue senyum, lalu menunjuk paperbag yang daritadi dia bawa-bawa, "Lo bawa apaan sih, Yo?"

"Oh, ini....." Cowok itu mengeluarkan beberapa Tupperware dari sana, "Ini masakan-masakan bunda kesukaan lo. Gue bawain sebagai permintaan maaf."

"Yaelah, Yo! Lo beneran setakut itu gue marah apa? Enggak usah sampai segitunya kali!"

"Lo harus lihat muka lo sendiri kalau lagi marah, Ien. Gue yakin lo bakalan jadi lebai kaya gue!" Zio bergidik, "Duh, enggak lagi-lagi deh gue macam-macam sama lo. Mending diomelin Daryll daripada lihat lo marah!" serunya, "Tapi sekarang kita clear kan, Ien? Lo maafin gue kan?"

Gue mengangkat bahu lalu memasang ekspresi abu-abu. Iseng ingin mengerjainya lebih lama lagi.

"Jadi lo enggak mau maafin gue, Ien?!" Seru Zio drama. Wajah melasnya tadi entah udah hilang kemana, "Ien, dengerin ya. Tuhan bahkan memaafkan seorang pelacur yang memberikan sepiring susu pada seekor anjing!"

Gue langsung ngakak, "SEMANGKUK SUSU KALEEEEEEE. EMANG LO MAU MAKAN NASI PADANG APA MAKANYA PAKAI PIRING!"

"NASI PADANG ITU MAKANNYA DIBUNGKUS BUKAN DI PIRING!"

"TERSERAAAAHHH LO YOOOO TERSERAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHH!"

-

QOTD: Lebih pilih dimarahin Daryll atau Shaien nih? :-o

Oh, iya. Aku  mau kasih tahu kalau jam sembilan malam nanti, Zio akan hadir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian. Jadi, jangan lupa follow Instagram-nya Golden Trio ya. Siapa tahu besok-besok Shaien atau Daryll yang akan muncul. Sampai ketemu di sana!

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.9M 233K 29
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

516K 24.1K 48
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 115K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
6.2M 121K 30
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...