Are We Getting Married Yet?

By AnnyAnny225

20.5M 987K 35.1K

Sagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih s... More

01
02
03
04
05
06
07
08
09
Sekilas Info
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
PREVIEW
41
42
43
44
46
PREVIEW 2
47
48
49
50
52
53
54
55
56
57
58
59
60
INTERMEZZO
Extra Part - Lisa's Pregnant
Extra Part - Saga's Worried
Extra Part - Triplets!
Extra Part - Triplets Again (Part 1)
Extra Part - Triplets Again (Part 2)
Extra Part - Triplets Again (Part 3)

51

269K 14.7K 657
By AnnyAnny225

Setelah mendengar Yolan akan menikah, kontan saja suara tawa Marco langsung terdengar. Dari yang tadinya pelan, menjadi terbahak hingga air matanya keluar. Marco sedang menganggap Yolan saat ini sebagai pelawak. Pelawak payah.

"Hahahaha," tawa Marco begitu membahana di sepanjang lorong yang sepi. Yolan hanya diam dan memperhatikan sampai kapan pria ini akan berakting gila seperti ini.

"Menikah?" Marco mengulang pertanyaan disisa tawanya. "Menikah sama siapa? Sama Channing Tatum favorit Lo itu? Hahaha. Yolan, Yolan. Segitu pengennya Lo menghindar dari gue sampai harus berbohong seperti itu," ucap Marco dan menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Sumpah, baru kali ini gue ketawa sampai nangis,"

Yolan tersenyum. Senyum lembut yang membuat Marco lemah seketika.

"Nanti, kalo gue undang, datang ya?" Ucap Yolan yang membuat Marco sakit hati seketika.

"Maksud Lo apa ngarang cerita kayak gini?" Rahang Marco mengeras, tangannya terkepal hingga terlihat berwarna putih. "Lo ha-" Marco mengentikan kalimatnya, memilih mengembuskan napas kasar. "Lo nggak bisa menghindar dari gue, Lan. Nggak akan bisa," lanjutnya.

Karena Lo mengandung darah daging gue, kita lebih tepatnya

"Marco," panggil Yolan lembut hingga membuat pria itu sungguh terkejut. Kedua kalinya, Yolan kembali menyebut namanya. "Gue udah memutuskan untuk memilih pria lain. Gue harap, Lo juga bisa mendapatkan wanita yang baik, karena nggak ada kita di masa depan. Berhenti kejar-kejar gue, karena semuanya sia-sia. Lo nggak akan mendapatkan gue, atau apa pun selain kita akan saling menyakiti diri sendiri. Percaya, jika bersama yang ada hanya luka. Gue akan selalu ingat pengkhianatan Lo, karena memorinya begitu berbekas di hati dan pikiran gue. Setiap kali gue, liat Lo, betapa baiknya Lo sama gue, gue nggak bakalan lupa apa yang sudah Lo perbuat sama gue dan akhirnya kebencian gue semakin bertambah,"

Yolan menghela napas pelan. "It's very awful and make me have a nightmare every single night. Gue merasa nggak akan bisa memaafkan lo-" Isak tangis Marco mengentikan kalimat Yolan. Dia terpana, kali ini, pertama kalinya, dia melihat Marco menangis seperti anak kecil. Wajahnya penuh air mata, sesekali diusap Marco dengan punggung tangannya. Yolan merasa sedih, tapi, ini jalan terbaik.

"Marco," panggil Yolan dengan nada iba.

"Gu-gue nggak apa-apa," ucap Marco sesenggukan, mencoba menghentikan air matanya. Tapi, tangisannya semakin menjadi. "Gu-gue.. emang brengsek. Selama ini, gue egois, nggak pernah mikirin perasaan Lo. Ternyata gue cuma jadi beban Lo. Gue pikir Lo bakal luluh sama usaha gue selama ini. Tapi, luka yang gue torehkan terlalu dalam sampai nggak akan bisa sembuh. Gue terlalu sayang sama Lo, sampai menutup mata sama perasan Lo sendiri. Maafin gue Lan, gue cinta banget sama Lo. Tapi, gue nggak bisa jauh dari Lo. Gue, lebih baik mati," Marco tergugu dengan tangisannya, hingga dia tak bisa berkata apapun, selain menutup wajah dengan telapak tangannya. Setelah sekian lama, akhirnya dia mengerti, kenapa Yolan begitu benci pada dirinya. Apa yang dilakukannya dulu sangatlah buruk.

Yolan bergerak maju, memeluk Marco erat, seperti tidak akan bertemu lagi.

"Gue yakin, Lo pasti bisa hidup tanpa gue, sama seperti gue," Yolan mengambil langkah mundur. Wajah Marco masih basah karena air mata, tapi tangisnya mulai mereda.

"Keep healthy and happy. Gue... Udah maafin Lo. Jadi, jangan hidup dalam rasa bersalah lagi," Yolan tersenyum lalu berbalik, berjalan menjauhi Marco yang masih meneteskan air mata.

"Lan!" Teriak Marco. "Bunuh gue sebelum Lo pergi! Gue nggak akan sanggup hidup dari sekarang,"

Yolan terus berjalan tanpa mau menoleh ke belakang, apalagi menanggapi permintaan gila Marco. Suara Marco yang terdengar meraung, terus memanggilnya tidak juga menghentikan langkah Yolan.

Begitu menghilang di belokan, Yolan berjalan sambil bersandar pada tembok. Kakinya terasa lemas. Pada akhirnya, air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya tumpah.

"Sorry... I'm so sorry,"

***
Saga membuka matanya saat mendengar dengkuran halus dari tepi ranjang yang berhasil menganggu tidurnya. Seseorang tidur dalam posisi duduk, namun kepalanya dan setengah badannya beristirahat dengan nyaman di pinggir ranjang.

"Ibu?" Tukas Saga masih tidak percaya. Ibunya ada disini? Sejak kapan? Lebih tepatnya, ibunya tahu dari mana jika dia sedang dirawat?

Mendengar namanya dipanggil, Ibu segera terbangun. Senyuman segera terbit diwajah keriputnya.

"Kamu sudah bangun?" Tanya Ibu dan berdiri dari kursinya. Memeluk Saga yang sekarang sedang terduduk di ranjangnya. Segenap rasa rindunya dia curahkan dalam pelukan erat untuk anak semata wayangnya.

"Ibu dari jam berapa di sini?" Saga merapikan anak rambut Ibu yang sedikit mencuat. Ibunya tetaplah cantik, sama seperti pertama kali Saga melihat dunia.

"Ibu dari jam 2 di sini. Kenapa kamu nggak info Ibu kalau lagi sakit? Pantas beberapa hari ini perasaan Ibu nggak enak. Ternyata kamu lagi dirawat," tampak jelas rasa khawatir dalam ekspresi Ibu. Saga mengambil satu tangan Ibu dan menggenggam erat.

"Saya hanya kurang istirahat Bu. Tapi sekarang sudah sehat. Kalau saya mau, hari ini sudah bisa pulang,"

"Benarkah? Kalau begitu kita pulang ke rumah, ya? Biar Ibu rawat kamu aja sendiri,"

"Jangan Bu, biar saya pulang ke rumah. Ada Lisa-" Saga tidak lagi meneruskan kalimatnya ketika mengingat sesuatu. Mengingat bahwa, ketika dia pulang, tidak ada Lisa yang menunggunya. Sudah hampir 2 Minggu dia tidak pulang dan lebih memilih di apartemen saja. Rasanya rumah itu hanya sekedar rumah sekarang. Bahkan, Saga sudah melelang rumahnya sejak beberapa hari yang lalu. Terlalu banyak kenangan yang tidak mau Saga ingat kembali.

"Ada apa dengan Lisa? Kamu lagi nggak ada masalah sama dia, kan?" Terka Ibu hingga Saga sedikit kelabakan.

"Kami baik-baik saja," jawab Saga berbohong.

"Terus, kenapa Marly yang memberitahu Ibu kamu lagi sakit? Bukan Lisa?" Ibu terus mencecar hingga Saga harus berbohong lagi. Hal yang paling tidak disukainya, namun satu-satunya cara menyelematkan dirinya.

"Lisa lagi tugas luar, Bu. Dia sudah berangkat dari kemarin lusa. Saya baru sakit hari ini. Saya juga belum info ke Lisa lagi sakit. Kebetulan Marly kerja di sini juga,"

Terlihat Ibu menunjukkan ekspresi leganya. Pikiran buruk yang sempat dipikirkannya ternyata tidak terjadi.

"Iya, tadi dia yang jemput Ibu ke rumah. Kok, dia bisa kerja lagi di sini? Kamu nggak bakalan tergoda lagi, kan sama dia? Ingat, kamu sudah punya istri,"

Saga mengangguk pelan.

"Kamu udah cerita ke Lisa tentang siapa Marly bagi kamu dulu?"

Saga menggeleng.

"Kamu harus cerita sama Lisa. Dia harus tahu masa lalu kamu. Ibu nggak mau Lisa salah paham. Apalagi sampai dengar dari orang lain,"

Saga tersenyum. Terlihat sangat dipaksakan. "Iya. Nanti saya cerita sama Lisa,"

"Ya sudah. Ibu bereskan barang-barang kamu. Setelah itu kita pulang ke rumah,"

Ibu bergerak membereskan barang Saga yang tidak seberapa dengan gesit, sementara putra semata wayangnya asik memperhatikan. Saga tidak bisa membayangkan betapa kecewanya sang ibu jika tahu dia akan segera bercerai. Membuat ibu sedih adalah hal terakhir yang ingin Saga lakukan. Jika bisa, tidak ingin dia lakukan selamanya. Ibu, satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya. Tidak bisa Saga bayangkan jika suatu saat ibu juga akan meninggalkannya. Meski jarang bertemu, Saga selalu mengingat ibu sekalipun sekedar bertukar pesan singkat atau menelpon. Tanpa sadar, tubuhnya bergerak, turun dari ranjangnya, kemudian berjalan pelan. Berhenti tepat di belakang ibunya yang sibuk melipat baju kotornya.

Saga terhenyak melihat punggung ibunya. Tempat ternyaman di dunia, saat digendong ibunya dulu ketika masih kecil. Punggung kokoh yang selalu membuatnya merasa menjadi anak paling beruntung di dunia. Punggung yang tanpa kenal lelah mencari nafkah demi dirinya sejak Ayah meninggal. Kini, punggung ini sedikit bungkuk karena termakan usia.

Saga merentangkan tangannya, memeluk pinggang ibunya se-erat yang dia bisa. Meletakkan keningnya di bahu sang ibu.

"Ibu, kalau saya banyak salah selama ini, sering bikin ibu marah dan sedih, saya minta maaf,"

Ibu yang sempat kaget karena dipeluk dari belakang tiba-tiba, hanya tersenyum, mengacak rambut Saga dan meletakkan tangan keriputnya di atas tangan Saga yang melingkari perutnya.

"Kamu selalu jadi kebanggan Ibu dan ayah. Selama ibu membesarkan kamu, nggak pernah sekali pun kamu buat ibu sedih, apalagi marah. Kebahagiaan terbesar ibu adalah, waktu melihat kamu bersanding dengan wanita yang kamu cintai. Ibu juga suka Lisa. Ibu nggak perlu khawatir lagi kamu sendirian kalau suatu saat ibu meninggal,"

Ibu merasakan Saga memeluknya lebih erat.

"Jangan tinggalin saya Bu. Nggak ada yang mengerti saya selain ibu. Kalau ibu pergi, bagaimana dengan saya?" Saga bisa merasakan matanya memanas. Kematian adalah topik yang sangat sensitif baginya.

"Kan, ada Lisa. Dia akan menjadi pendamping kamu yang setia. Bahkan, jika ibu meninggal, kamu nggak akan terlalu sedih. Karena ada Lisa yang menghibur kamu,"

Meski tidak melihat wajah Saga, tapi ibu tahu jika anak kesayangannya sedang menangis. Bahunya terasa agak basah.

"Sudah, ah. Dari tadi bahas meninggal. Ibu masih disini, tenang saja. Ibu nggak akan pergi ke mana-mana sebelum istri kamu beranak!" Seru ibu diikut bahunya yang bergerak karena tawa Saga. Ibu melepaskan tangan Saga yang masih melingkar di perutnya, lalu memutar tubuhnya

"Kita pulang ke rumah ya? Ibu masakin sup ayam,"

"Iya Bu. Terima kasih. Saya sayang sama Ibu," Saga tersenyum diikuti Ibu yang menyeka sisa air matanya.

"Ibu lebih sayang sama kamu, nak,"
***

"Kamu istirahat dulu sambil ibu masak makan malam," ucap Ibu diambang pintu. Saga yang sedang merapikan barang-barangnya ke dalam lemari langsung berbalik mendengar suara Ibu. Mereka baru saja tiba di rumah sepuluh menit yang lalu.

"Perlu saya bantu?" Saga sudah berjalan keluar, namun Ibu mendorong tubuhnya agar tetap di dalam kamar.

"Nggak usah! Kamu istirahat aja. Masakan Ibu bisa selesai besok kalau kamu bantu," ucap Ibu dan membuat Saga sedikit cemberut. Ibu tahu, Saga akan lebih merepotkan dirinya jika dibantu.

"Ya sudah," kata Saga dengan nada kecewa dan kembali membereskan barangnya. Terdengar Ibu tertawa kecil sebelum menutup pintu saat melihat wajah cemberut Saga. Tidak berubah seperti saat dirinya masih kecil. Sangat imut, menurut Ibu.

Saga berdiri tegak, meluruskan punggungnya yang agak pegal setelah beberapa saat harus membungkuk saat memasukkan barangnya ke lemari. Saat itulah, matanya tidak sengaja menangkap sebuah foto dalam pigura kayu berukuran 4R di atas lemari yang hanya setinggi bahunya. Foto Ayah yang sedang duduk di teras depan, dengan Saga kecil di atas pangkuannya. Saat itu Saga baru berumur 9 bulan.

"Ayah," gumam Saga dengan jari menelusuri wajah Ayahnya di dalam foto. "Seandainya Ayah masih ada, tentu Ayah bisa memberikan solusi untuk masalah yang saya hadapi. Saya akan bercerai Ayah, dan, saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya ingin seperti Ayah. Menjadi suami dan Ayah yang hebat untuk seorang wanita selamanya. Tapi, saya gagal. Maafkan saya Ayah, yang tidak becus menjadi seorang pria,"

Lalu, fokusnya beralih ke sebuah pigura di atas meja belajarnya dari jaman SMA. Foto pernikahan Saga. Dia tidak ingat jika ada foto pernikahan selama ini di kamarnya. Mungkin Ibu yang meletakkannya di sana.

Dalam foto tersebut, mereka saling menggandeng tangan dengan gesture kaku di atas panggung. Lisa begitu cantik tersenyum lebar ke arah kamera sementara wajahnya terlihat aneh dengan senyuman gugup.

Pikirannya kembali melayang ke beberapa bulan lalu saat pernikahan berlangsung. Saga begitu gugup sampai mulutnya terasa kering selama acara berlangsung. Tapi, sekarang dia harus menghadapi kenyataan jika mereka akan berpisah selamanya.

Saga menghembuskan napas berusaha mengurangi perih di hatinya setiap kali mengingat Lisa. Mengingat jika dia tidak akan bisa melihat wanita itu ketika dia pulang, atau ketika dia merindukannya.

"Cantik," gumamnya mengagumi Lisa melalui foto tersebut. "The best I've ever had," ucap Saga dan tersenyum. "Kamu tahu? Saking rindunya, saya bermimpi kamu hari ini. Kamu datang menjenguk saya. Saat kamu akan pergi, saya berhasil menahan tangan kamu, agar kamu tidak meninggalkan saya. Setelahnya, saya tidak ingat. Rasanya seperti nyata, Lisa. Tapi, begitu saya membuka mata dan tidak ada kamu, saya begitu kecewa," setitik air mata yang belum sempat meluncur, hilang tak berbekas terseka tangan Saga sendiri. "I miss you so bad Lisa. Semoga saya bisa bertahan tanpa kamu. Entah kenapa, tubuh saya menjadi manja sekarang ini. Jauh dari kamu, dia jadi lemah. Apa karena kamu itu sistem imun saya? Ketika kamu pergi, saya menjadi lemah?"

Saga terkekeh pelan, merasa geli dengan kalimatnya sendiri.

"Semoga bahagia," ucap Saga dengan tulus pada Lisa dengan pandangan lurus pada foto tersebut. Tangannya bergerak meraih pegangan laci, hendak menyimpan foto tersebut, menyembunyikan Lisa jauh-jauh dari pikiran dan hatinya. Namun suara Ibu dari ruang makan menghentikan gerakannya.

"Ga! Makan malam udah siap!"

Saga memilih meninggalkan pigura tersebut di atas meja dan keluar dari kamar menuju ruang makan. Semua yang dimasak Ibu sudah tersaji rapi dan terlihat sangat lezat. Sup ayam masih mengepulkan asap, lengkap dengan tempe goreng, empal, sambal terasi serta kerupuk udang.

"Ayo duduk, kita makan malam," Ibu sudah duduk rapi di tempatnya. Saga memilih duduk di kursi yang berada di ujung meja. Kursi yang selalu ditempati sang Ayah selama hidup. Dengan cekatan Ibu menyiapkan piring Saga, mengisinya dengan nasi serta lauk, terakhir mengisi mangkuk dengan sup ayam favorit Saga.

"Makan yang banyak. Kamu kelihatan kurus sekarang," Saga mengangguk mendengar perkataan Ibu dan memakan dalam diam. Sudah lama mereka tidak makan malam bersama. Terakhir kapan juga Saga lupa karena terlalu sibuk.

"Minggu depan ajak Lisa makan disini ya? Sudah lama dia nggak main ke rumah," kata Ibu. Sendok yang hendak masuk ke dalamnya berhenti di depan mulutnya ketika mendengar ucapan Ibu.

"Kalau dia nggak sibuk, nanti saya ajak ke sini," ucap Saga sambil memaksakan diri tersenyum. Seakan ragu dengan ucapannya sendiri yang tidak akan terjadi.

"Suruhlah dia kosongin waktunya untuk Ibu. Masak dia nggak bisa?"

"Iya, nanti saya kasih tahu Lisa," Saga kembali makan dalam diam.

"Bu," Saga memecah keheningan saat menanggil Ibu yang langsung berhenti makan. Memilih memusatkan perhatiannya pada putra semata wayangnya."Setelah Ayaah meninggal, kenapa Ibu tidak menikah lagi?"

"Tumben kamu tanya?" Kening Ibu bekerut heran.

"Sebenarnya saya sudah penasaran dari lama. Tapi baru berani bertanya sekarang,"

"Sebenarnya Ibu pernah berpikir ke sana. Apalagi waktu Ibu berpikir tentang kamu yang masih kecil, butuh biaya untuk sekolah sedangkan Ibu tidak bekerja sama sekali. Bergantung sepenuhnya sama Ayah kamu," mata Ibu terlihat menerawang jauh, mengingat masa dulu. "Ibu berpikir ingin menikah lagi demi pendidikan kamu. Agar kamu hidup layak meski tanpa Ayah. Tapi pada akhirnya, Ibu memilih membanting tulang sendiri daripada menikah lagi,"

"Kenapa Bu?" Tanya Saga penasaran. Heran saja pada Ibunya lebih memilih menderita tanpa suami daripada memilih hidup enak bersama suami baru. Apalagi Ibunya masih muda dan cantik, tentu masih ada pria yang mau menikah dengannya.

"Ibu hanya cinta sama Ayah kamu. Dari awal menikah, Ibu sudah menetapkan kalau Ayah kamu adalah suami pertama dan terakhir Ibu apa pun yang terjadi. Ayah kamu pria terbaik yang Ibu pernah kenal seumur hidup. Pria yang berhasil membawa sebagian hati Ibu saat dia meninggal. Karena sebagiannya ada sama kamu, makanya Ibu bisa bertahan sampai sekarang," tangan Ibu bergerak mengelus kepala Saga. Pria itu meraih tangan Ibu yang berada di atas kepalanya, meletakkan di atas pipinya. Sesekali mencium telapak tangan keriput dan kasar itu. Menunjukkan betapa sayang Saga pada Ibunya.

"Tidak ada yang bisa menggantikan Ayah kamu, sekalipun pria itu lebih baik dari Ayah. Cinta Ibu seluruhnya untuk Ayah kamu. Jika dilahirkan kembali, Ibu tetap akan memilih Ayah kamu sebagai suami. Ayah juga sangat menyayangi Ibu dengan segala kekurangan Ibu. Kamu tahu? Dulu Ibu dijodohkan dengan Ayahmu sama Kakek kamu,"

"Jadi Ibu dijodohkan?" Tukas Saga setengah tidak percaya. Bagaimana bisa orang asing bisa mencintai begitu dalam seperti Ayah dan Ibunya. Saga selama ini berpikir jika Ayah dan Ibunya adalah sepasang kekasih sebelum menikah.

Ibu mengangguk dan menjawab "Iya, Ibu dan Ayah dijodohkan. Ayah kami berteman baik, jadi mereka menjodohkan kami dari kecil. Tapi karena mereka pindah ke Bandung waktu kami masih Balita, kami baru bertemu lagi saat Ibu berumur 23 tahun dan Ayah berumur 25 tahun,"

"Lalu? Ibu langsung mau menikah sama Ayah?" Saga sudah tidak tertarik dengan makanannya. Cerita Ibu lebih menarik untuk sekarang.

"Awalnya Ibu menolak karena waktu itu Ibu punya pacar," Ibu tertawa jika mengingat saat itu. "Waktu itu Ibu berencana kawin lari sama pacar Ibu. Tapi sehari sebelum rencana Ibu kabur, Ayah kamu diam-diam datang ke kampus dan mencari Ibu. Dia datang dan mengancam Ibu,"

"Ayah? Ancam Ibu?" Nada Saga sedikit meninggi karena terkejut. Tidak percaya mendengar apa yang dikatakan Ibu. Bukan tipikal Ayahnya yang lemah lembut untuk mengancam orang, apalagi seorang perempuan.

"Iya. Ayah waktu itu bilang, kalau sampai Ibu nggak datang ke pernikahan kami besok, Ayah mau bunuh pacar Ibu,"

Saga menelan ludahnya kasar. Ayahnya, ternyata pria yang nekat.

"Ibu takut, akhirnya terpaksa menikah sama Ayah kamu setelah memutuskan pacar Ibu. Singkat cerita, kami akhirnya menikah. Diawal pernikahan, Ibu lebih banyak menderita. Ayah kamu kasar, dingin, dan nggak peduli sama Ibu. Bahkan dibulan ketiga kami menikah, Ayah belum menyentuh Ibu sama sekali. Tidur saja terpisah,"

Lagi-lagi Saga tak habis dibuat terkejut oleh Ayahnya melalui penuturan Ibunya. Saga pikir, dari dulu Ayahnya adalah orang yang baik dan penyayang.

"Apa benar Ayah seperti itu, Bu?" Saga masih saja tidak percaya.

"Kenapa? Kamu nggak percaya Ayah seperti itu? Ayah yang kamu kenal, sudah jauh lebih baik dari awal kami menikah. Sampai akhirnya Ibu jenuh dan tidak tahan dengan perlakuan Ayah kamu. Ibu akhirnya memilih pergi dari rumah diam-diam. Pulang ke rumah Kakek, dan memilih bercerai. Ibu menyesal sekali saat itu, seharusnya nggak menerima pinangan Ayah kamu. Dan tetap memilih kabur sama pacar Ibu,"

Saga masih terdiam dan memilih mendengarkan kembali lanjutan cerita Ibunya yang belum selesai.

"Hari ketiga Ibu kabur, Ayah kamu muncul di rumah Kakek. Ibu ingat banget waktu itu lagi narik air dari sumur,"

Saga menahan tawanya setengah mati. Tidak keren sekali, didatangi suami untuk menyelesaikan masalah rumah tangga saat sedang menarik air di sumur.

"Dia ajak Ibu bicara berdua di bawah pohon Jamblang dekat sumur. Ayah kamu minta Ibu pulang. Kata Ayah, dia nggak mau cerai dari Ibu. Waktu itu Ibu bersikeras mau cerai, Ibu menangis dan memberitahu Ayah kamu kenapa Ibu minta cerai. Dari situlah Ibu akhirnya tahu, kenapa Ayah kamu bersikap begitu ke Ibu,"

"Kenapa? Kenapa Ayah bersikap dingin sama Ibu?"

Ibu menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya "Karena Ayah kamu bingung harus bersikap seperti apa pada Ibu. Saat itu kami menikah tanpa cinta, sama-sama buta satu sama lain. Ibu pun, masih mencintai pacar Ibu. Diam-diam, Ibu masih sering menangis dan Ayah-mu tahu. Dia bilang, meski sudah bersama Ayah, Ibu tetap saja terlihat kesepian. Saat itu, Ayah yakin bisa membuat Ibu bahagia. Tapi tetap saja hati Ibu masih pada pacar Ibu kala itu. Hal itu yang membuat Ayah menjadi dingin dan bersikap kasar pada Ibu,"

"Jadi..." Saga menggantung kalimatnya karena mata Ibu terlihat berkilat mengingat kenangan bersama Ayah.

"Jadi... Ayah-mu meminta maaf karena sudah membuat Ibu menderita. Kami saling mencurahkan isi hati. Terbuka satu sama lain, dan sepakat berteman dulu, sambil saling mengenal. Begitu tahu sifatnya yang sebenarnya, hanya dua minggu dan Ibu sudah tidak ingat dengan pacar Ibu lagi. Hati Ibu telah dipenuhi oleh cinta Ayah kamu,"

Saga tertawa geli melihat wajah Ibu yang bersemu merah. "Udah ceritanya. Makanannya jadi dingin. Ayo lanjut makan aja," sergah Ibu dan melanjutkan makannya yang tertunda.

Sementara Saga, sibuk dengan pikirannya sendiri. Kalau saja Ayahnya juga diam, menerima begitu saja ketika Ibu meminta cerai, tentu dirinya tidak akan ada di dunia ini. Tiba-tiba dia merasa malu dengan dirinya sendiri. Yang mengiyakan begitu saja permintaan Lisa untuk bercerai. Tanpa berusaha sedikit pun untuk merubah pikirannya.

"Saga, Ibu ingin kamu seperti Ayah kamu. Jika suatu saat Lisa meminta cerai, kamu harus berusaha agar dia berubah pikiran. Tidak boleh menerima begitu saja. Pernikahan ikatan sakral, tidak bisa dipisahkan oleh kemauan egois manusia," nasehat Ibu.

"Tapi Bu," Saga tertunduk tidak berani menatap mata Ibunya "Kalau dia bilang nggak bahagia bersama saya dan meminta berpisah, bagaimana?"

"Tentu saja jadi tugas dan tanggung jawab kamu untuk membuatnya berubah pikiran. Dan akhirnya mengatakan bahagia bersama kamu. Tidak mungkin kamu menyerah begitu saja. Almarhum Ayah kamu akan marah besar kalau tahu kamu nggak berusaha menahan istri kamu lebih lama untuk hidup bersama,"

"Iya Bu," hanya dua kata itu yang bisa keluar dari bibirnya. Pundaknya teras berat tiba-tiba setelah mendengar kalimat Ibu. Tapi, apakah dia sanggup melaksanakan yang ibu katakan? Saga sangsi pada dirinya sendiri.

Setelah selesai makan, lagi-lagi Ibu menolak bantuan Saga untuk membereskan meja dan menyuruh pria itu berisitirahat di kamar saja. Saga menuruti perintah Ibu dan memilih berdiam di kamar. Sekali lagi, menatap foto pernikahan yang belum sempat dia simpan dalam laci. Pesan Ibu tadi di meja makan terus berputar dalam otaknya.

"Lisa, apa kamu juga berpikiran yang sama seperti saya saat ini? Mempertahankan rumah tangga kita? Saya tahu, kita memulainya dengan cara yang salah. Tapi, bisa kan, kita menjalani akhirnya dengan benar? Saya hampir menyerah saat kamu bilang tidak bahagia bersama saya. Bahkan saya ikhlas jika kamu bersama yang lain. Namun, Ibu benar. Tugas saya membuat kamu bahagia. Jika kamu bilang belum bahagia, berarti saya yang kurang berusaha keras. Semuanya salah saya. Karena itu, berikan saya satu kesempatan Lisa. Untuk membuktikan, kalau saya juga bisa membuat kamu bahagia, membuat kamu mencintai saya, membuat kamu tidak bisa hidup tanpa saya, membuat kamu... mengerti jika kamu satu-satunya wanita yang saya cintai,"

Saga bangkit dari kursinya dengan cepat, menyambar kunci mobilnya. Dia harus bertemu Lisa. Ya, dia harus bertemu Lisa secepatnya. Mengatakan apa yang harus diungkapkannya.

"Lho, Ga mau ke mana?" Ibu yang berada di ruang tamu heran saat melihat Saga begitu tergesa-gesa keluar dari rumah.

"Saya harus bertemu Lisa!" Seru Saga dan berhenti sebentar untuk mencium tangan Ibunya. "Doakan saya Bu," ucapnya dan berlaku tanpa mendengar balasan Ibu. Hari ini, dia akan membawa Lisa kembali dalam pelukannya.
***
Lalisa POV

Ketika ponselku berbunyi karena sebuah pesan masuk, jariku yang menari di atas keyboard seketika berhenti, dan memilih melihat siapa yang mengirim pesan.

Yolanda: Gue udah di apartemen Lo

Hari ini Yolan menginap di apartemen ku lagi. Setelah melewati hari yang berat di rumah sakit hari ini, dia tidak ingin sendirian di apartemennya. Takut melakukan hal yang aneh-aneh katanya. Dia juga sudah memutuskan untuk benar-benar tidak berhubungan dengan Marco. Yolan sudah mengungkapkan semua perasaanya hari ini. Bukannya lega, dia malah terlihat hancur. Dia membohongi dirinya sendiri dan juga Marco. Aku tidak mengerti. Saling mencintai tapi tidak ingin bersama. Saat Yolan bilang sudah memaafkan Marco, aku rasa dia tidak melakukannya dengan benar. Hahaha, aku mengomentari Yolan, seperti apa yang aku jalani sudah benar. Aku akan bercerai, seharusnya aku tidak banyak berargumen tentang Yolan.

Lalisa: Oke! Jangan lupa makan dan minum susu. 30 menit lagi gue pulang

Aku membalas pesan Yolan dan kembali ke pekerjaanku agar bisa pulang jam 9 malam nanti. Di kantor, hanya ada aku seorang saat ini karena pekerjaan yang sempat aku tunda tadi siang saat menemani Yolan ke rumah sakit.

Perhatianku teralih lagi saat layar ponselku menyala, namun sedetik kemudian kembali gelap karena baterainya habis. Bisa-bisanya aku lupa men-charge ponselku. Akhirnya aku harus mengisi daya ponselku dan kembali bekerja setelahnya.

Terlalu serius bekerja membuatku tidak sadar jika sekarang hampir jam sepuluh saat aku tidak sengaja menoleh ke arah jam yang berada di sudut mejaku. Aku rasa sudah cukup, jadi aku memutuskan meringkas barangku yang akan aku bawa pulang dan bergegas menuju basement. Pasti Yolan sedang menungguku.

"Silahkan Bu," Hendri driver pribadiku yang mengantar pulang hari ini. Begitu aku tiba di depan pintu lobby kantor, dia sudah ada di sana dan dengan sigap membuka pintu.

"Aduh," seruku ketika mengingat sesuatu.

"Ada apa Bu?" Tanya Hendri bingung.

"Hape saya ketinggalan di atas," jawabku dan mengaduk-aduk dalam tas, memastikan jika ponselku benar-benar tertinggal.

"Biar saya ambilkan Bu," tawar Hendri yang ku jawab dengan sebuah gelengan kecil.

"Nggak apa-apa, kamu tunggu disini, biar saya ambil sendiri," Aku segera kembali ke dalam kantor dan menuju ruang kerjaku, mengambil ponsel yang masih di-charge. Begitu ponselku sudah kembali aman dalam tas, aku segera keluar dari ruangan dan berjalan ke arah lift.

Terdengar lift berdenting diikuti pintunya yang terbuka. Aku masuk ke dalam dan menekan lantai dasar di mana Hendri sudah menunggu. Ketika pintu lift akan tertutup, entah kenapa, pintu lift malah kembali terbuka lebar. Yang membuatku kaget setengah mati adalah, seseorang yang berdiri di luar sana. Antara, dia benar-benar nyata atau hanya sekedar ilusi karena terlalu merindukannya.

"Ketemu," ucapnya diantara napasnya yang terdengar pendek-pendek. "Akhirnya ketemu," ucapnya lagi dan menarik tanganku agar keluar dari lift, lalu berakhir dalam pelukannya. Seketika tubuhku tidak sinkron dengan otakku saat ini. Seperti mengerti jika ini yang aku butuhkan, tanganku bergerak sendiri, melingkar erat di pinggangnya.

TBC
***
Selamat liburan. Nih, aku kasih cerita yang super panjang karena gak jadi up tadi malam. Sorry ya yang udah nunggu. Kalian tahulah siapa yang datang. Nggak perlu dijelaskan juga siapa dia 🤣🤣🤣

Happy reading! Jangan lupa voment ♥️♥️♥️

Continue Reading

You'll Also Like

3.7K 342 23
Raline Shakira Alister sang nona presdir dari Raline INC, adalah sosok wanita cantik yang penuh kharisma, dan menjadi wanita idaman semua pria di muk...
38.8K 2.1K 33
Bintang Wijaya Kesuma, seorang guru di salah satu SMA terfavorit di Jakarta. Otaknya yang pas-pasan membawanya menjadi guru sejarah yang lebih sering...
3.3M 227K 39
"Gue sumpahin tuh dosen dapet istri kayak setan! Biar tahu rasa!" Percayalah, Flora sama sekali tidak bermaksud mengutuk Madhava, dosen galak yang sa...
BOS(EN) By shaza

General Fiction

137K 5.1K 15
"Fara minum saya" "Fara berkas yang ini kenapa nggak urut?" "Fara kamu tu bisa cepat sedikit nggak, saya ditunggu klien ini" "Cepat telpon Rohim suru...