Hakikat Cinta

Από laylastnrjnh

15.8K 461 41

"Hakikat Cinta" Oleh: Imam Abdullah El-Rashied FB | IG | TW | TG | WP | YT @elrashied_imam elrashied.wordpres... Περισσότερα

Daftar Isi
HC 1
HC 2
HC 3
HC 4
HC 5
HC 6
HC 7
HC 9
^_^
"Hakikat Cinta Under Printing"

HC 8

656 33 1
Από laylastnrjnh

Pada dasarnya setiap cinta harus punya landasan yang kuat. Ibn Hazm mengatakan:

“Cinta itu bermacam-macam. Yang paling utama adalah cintanya orang-orang yang saling mencintai karena Allah swt. Entah itu karena Amal Ibadah, atau kesamaan dalam Madzhab dan Akidah, atau karena ilmu yang Allah berikan kepadanya. (Jenis cinta berikutnya adalah)

Cinta karena hubungan kerabat. Cinta lantaran senang bersama dalam mencari suatu pencarian. Cinta dalam persahabatan. Cinta lantaran kebaikan yang diberikan. Cinta lantaran pangkat yang dimiliki orang yang dicintainya. Cinta karena rahasia yang mengikat keduanya yang harus sama-sama dijaga. Cinta hanya kebutuhan syahwat semata. Cinta yang tak memiliki sebab lantaran kedua jiwa sudah terhubung sejak masapenciptaan. Semua jenis cinta yang kusebutkan akan hilang seiring hilangnya sebab cintanya. Cinta akan bertambah atau bahkan berkurang seiring bertambah atau berkurangnya penyebab itu, kecuali Cinta Suci yang bersumber dari ikatan jiwa yang tak kan pernah hilang kecuali dengan kematian.”

Sedangkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’nya membagi sebab cinta menjadi empat:

1) Mencintai seseorang karena orangnya; Entah itu karena keindahan yang ada pada dirinya sehingga enak untuk dipandang, baik keindahan rupa, pikiran, maupun akhlak.
Akan tetapi terkadang kecintaan seseorang bukan lantaran keindahan rupanya, bukan pula keindahan prilakunya, akan tetapi karena kecocokan jiwanya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw:

“Ruh-Ruh itu adalah prajurit yang terorganisir, yang saling mengenal akan merasa cocok dan yang tak mengenal akan berbeda (tidak cocok).” HR. Muslim (no.2638)

2) Mencintai seseorang karena mengharapkan sesuatu darinya; Seperti mengharapkan manfaat darinya, baik itu manfaat harta, ketenaran, jabatan. Jenis cinta yang satu ini ada yang terpuji ada pula yang tercela sesuai dengan tujuannya.

3) Mencintai seseorang bukan karena orangnya, tapi karena hal yang
berhubungan dengan akhiratnya; Ini seperti cinta seorang murid kepada gurunya lantaran ingin mendapatkan ilmu atau perbaikan amal ibadah. Dan, cinta yang satu ini masuk dalam kriteria cinta karena Allah.

4) Mencintai seseorang karena Allah, bukan karena ilmu ataupun amal, bukan pula karena mengharapkan sesuatu di balik cintanya;
Ini adalah derajat cinta tertinggi. Bahkan cinta yang satu ini bukan hanya sekedar mencintai orangnya saja, malah menghantarkan dirinya pada mencintai semua yang berhubungan dengan orang yang ia cintai. Sebagaimana Majnun Bani „Amir berkata:

“Aku berjalan melewati rumah Laila, kuciumi tembok ini dan itu”
“Bukan karena cinta rumah itu hatiku terpikat, akan tetapi karena cinta kepada orang yang tinggal di dalamnya (Laila).”
(Diringkas dari Ihya‟ Ulumiddin)

Kalau cinta kita hanya karena keindahan wajah dan tubuh, akan sirna seiring bertambahnya usia. Jika cinta kita hanya karena harta, akan sirna seiring lenyapnya harta itu. Jika cinta kita hanya karena jabatan, akan sirna seiring hilangnya jabatan itu. Tapi jika cinta karena Allah, maka cinta itu akan abadi hingga di surga kelak.

Rasulullah saw bersabda:
“(Ada) tujuh golongan yang Allah naungi di bawah naungan Arsy-Nya pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya, yaitu: (1) Pemimpin yang adil. (2) Pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah. (3) Seseorang yang hatinya terpaut dengan masjid. (4) Dua orang yang saling cinta karena Allah, berkumpul dan berpisah karena-Nya. (5) Lelaki yang diajak oleh perempuan yang mempunyai kedudukan dan kecantikan lantas ia berkata; “Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (6) Seseorang yang bersedekah lantas menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (7) Seseorang yang mengingat Allah sendirian, lantas mengalir air matanya.”
HR. Al-Bukhari (no. 629) dan Muslim (no. 1031)

“Allah berfirman: “Orang-orang yang saling mencintai karena kemuliaanku, mereka (akan) mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat iri para Nabi dan orang-orang yang Syahid.” HR. At-Tirmidzi (no. 2390), beliau berkata:

“Hasan Shahih.” Selama ini saya banyak membaca literatur tentang cinta. Dalam materi kuliah Sastra Arab, selama 2 smester Dr. Amin Basulaiman banyak bicara tentang kisah cinta klasik seperti Majnun & Laila, Jamil & Butsainah, Antaro & Ablah, Ibn Qais Ar-Ruqiyyat dan kekasihnya dan masih banyak lainnya.

Salah satu kitab yang pernah membuatku menangis adalah Tarajim Sayyidat Bait An-Nubuwah karya Dr. Aisyah Abdurrahman. Di dalamnya memuat kisah tentang ibu, istri-istri dan putri-putri Nabi Muhammad saw. Kisah-kisah yang mengagumkan sekaligus menyentuh hati pada titik terdalam dengan kemasan bahasa sastra. Ada kisah cinta Zainab dengan Abul „Ash yang sangat menggugah jiwa, cinta yang sempat dipisahkan oleh agama dan akhirnya dipertemukan kembali meski hanya sesesaat karena kematian yang memisahkan mereka.

Lantas, bagaimana dengan kisah Sayyidah Khodijah dengan Rasulullah saw sendiri? Yah, inilah yang ingin kusampaikan di penghujung catatan tentang “Hakikat Cinta” ini. Setelah bertahun-tahun mencari apa hakikat cinta, akhirnya aku menemukan dua formulanya. Dua hal penting bagi mereka yang cintanya sudah menggebu-gebu.

Bagiku, hanya ada dua pilihan bagi pencinta, tiada pilihan ketiga. Yaitu:
1). Mengungkapkan cintanya dengan lamaran, atau:
2). Menimbunnya dalam-dalam hingga tak ada yang tahu tentang perasaan itu selain dirinya dan Penciptanya.

Bukankah itu yang dilakukan oleh Sayyidah Khodijah ketika tertarik dengan pemuda Quraisy yang tampan, gagah, amanah dan sangat menjaga harga dirinya. Sayyidah Khodijah bukan malah menyatakan perasaannya, melainkan mengutus sahabat dekatnya Nafisah Binti Munabbih untuk menyampaikan keinginannya menikah dengan Muhammad saw. Lantas Nabi saw. membicarakan hal ini kepada paman-pamannya, mereka setuju dan akhirnya melamar Sayyidah Khodijah.

Jadi, tak ada salahnya jika seorang wanita mengutarakan keinginan baiknya kepada pihak lelaki untuk menikahinya. Jika menunggu agar dilamar, sampai kapan akan menunggu? Jika merasa tertarik dan
merasa cocok lantaran baik agamanya, langsung saja lamar, nunggu apa lagi? Masalah diterima atau tidak, yah itu urusan belakangan. Intinya, usaha semaksimal mungkin dan pantaskan diri untuk mengimbangi calon pasangan yang diidamkan, sehingga pernikahannya benar-benar sekufu’.

Sedikit meminjam judul buku Mas Brili Agung “Seni Memantaskan Diri”, yah ini sangat penting. Perlu pemantasan diri, sekiranya dirinya belulm sekufu‟ dengan calon yang diidamkan. Kata Buya Yahya: “Mancing selera ikan.” Dalam artian, kalau menginginkan pasangan yang sholeh, yah berusahalah jadi wanita sholehah, begitu juga sebaliknya.

Sekufu‟ itu intinya mengimbangi diri dengan kapasitas calon. Hal yang disepakati Ulama‟ 4 Madzhab tentang Kafa‟ah adalah keagamaannya.
Adapun harta, nasab dan pekerjaan masih menjadi ranah perdebadan panjang.

Dalam hal memilih pasangan, Nabi saw memberikan kriteria yang sangat penting. Dalam kitab Al-Ahwal Asy-Syakhisiyah, Dr. Ali Ahmad Al-Qulaishi menyebutkan ada 4 kriteria penting calon istri:

1) Baik Agamanya

Rasulullah saw bersabda:

“Wanita dinikahi lantaran 4 perkara; hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah yang mempunyai agama (yang baik) maka kau akan selamat.” HR. Al-Bukhari (no. 4802) dan Muslim (no. 1466)

(فا ظفار بذات الدين تربت يداك)
Imam Asy-Syaukani berkata: “Di sini ada petunjuk bahwasannya yang pantas bagi mereka yang memiliki agama (yang baik) dan marwah adalah agama sebagai kriteria utamanya dalam segala hal, terlebih seseorang yang akan lama menemani hidupnya seperti seorang istri.”

Hal ini diperkuat lagi dengan sabda Nabi saw:
“Janganlah kalian menikahi wanita lantaran kecantikannya (saja), barangkali kecantikan mereka bisa menyebabkan mereka menjadi hina. Janganlah menikahi wanita karena hartanya (saja), bisa jadi harta mereka membuat mereka menjadi berlaku buruk, akan tetapi nikahilah mereka lantaran agamanya. Bahkan, budak perempuan yang sobek telinganya dan (berkulit) hitam yang memiliki agama (yang baik) lebih utama (dari pada wanita merdeka yang tak baik agamanya).” HR. Ibnu Majah (no. 1859)

2) Cantik

Di antara kriteria yang selayaknya diperhitungkan setelah agama adalah kecantikan wanita tersebut. Hal ini untuk menjaga pandangan suami agar tidak melirik kepada wanita lain sehingga ia lebih menjaga harga dirinya.
Kecantikan yang dimaksudkan di sini adalah yang sesuai dengan selera calon suami.
Di antara hadits yang menganjurkan memilih wanita yang cantik adalah sabda Rasulullah saw berikut ini:

“Maukah kamu aku kabarkan tentang sebaik-baik perhiasan yang dimiliki seseorang; yaitu wanita sholihah yang ketika dipandang menyenangkannya (suaminya), ketika ia (suami) jauh darinya ia menjaga harga dirinya, dan ketika diperintah ia menaatinya.” HR. Abu Daud (no. 1664), Al-Baihaqi (no. 7027), dan Al-Hakim (no. 1487), beliau berkata: Shahih sesuai syarat Syaikhain (Al-Bukhari
& Muslim)

3) Penuh Kasih dan Subur

Salah satu arahan Syari‟at Islam dalam memilih pasangan adalah hendaknya calon suami memilih wanita yang penuh kasih,
sehingga tujuan utama dari pernikahan yaitu melanjutkan keturunan bisa tercapai. Dan, dengan memperbanyak keturunan
inilah Rasulullah saw akan berbangga dengan umatnya pada Hari Kiamat kelak.

Ma‟qil Bin Yasar r.a. meriwayatkan:
“Seorang lelaki datang menemui Nabi saw, lantas berkata:
“Sesungguhnya aku mendapatkan seorang wanita yang mempunyai kedudukan dan kecantikan, hanya saja dia mandul, apakah (baiknya) aku menikahinya saja?” Nabi saw bersabda: “Tidak.” Kemudian lelaki itu datang untuk kedua kalinya (untuk menanyakan hal yang sama), lantas Nabi melarangnya. Kemudia ia datang untuk ketiga kalinya, lantas Nabi saw bersbda: “Nikahilah wanita yang penuh kasih dan subur, sesungguhnya Aku berbangga dengan kalian di hadapan umat-umat lainnya.” HR. Abu Daud (no. 1754) dan An-Nasa‟i (no. 3175)

Dalam riwayat Anas r.a., beliau menyebutkan sesungguhnya Nabi saw. bersabda:
“Menikahlah dengan wanita yang penuh kasih dan subur, sesungguhnya Aku berbangga dengan banyaknya kalian di
hadapan para Nabi pada Hari Kiamat.” HR. Ahmad (no. 12634), Ibnu Hibban (no. 4028) dan Al-Baihaqi (no. 13254).

[Syeikh Muhammad Ba‟athiyah berkata: “Kesuburan seorang gadis diketahui dari kerabatnya.” Yakni, kalau kerabatnya pada
mempunyai banyak anak, itu berarti dia juga subur.]

4) Gadis

Di antara arahan Syari‟at Islam dalam menentukan kriteria calon istri adalah hendaknya dia seorang gadis. Karena biasanya gadis itu lebih gampang diatur dan cepat menyesuaikan diri dengan
tabiat suami. Dan, yang lebih penting dari hal itu adalah hatinya masih kosong dari kenangan tentang lelaki (mantan suami).

Nabi saw bersabda kepada Jabir r.a.:
“Kenapa kau tak menikahi gadis saja, sehingga kau bisa bermesraan dengannya dan dia bermesraan denganmu?”. HR. Al-Bukhari (no. 2745)

Dalam hal ini bukan berarti semua yang gadis lebih utama dari pada yang janda. Akan tetapi dalam beberapa keadaan menikahi janda lebih utama dari pada menikahi gadis, terlebih jika kondisi mengharuskannnya seperti yang terjadi pada Jabir r.a. ketika ditanya Nabi saw: “Kenapa kau tak menikahi gadis saja?” Jabir r.a. berkata seraya memberi alasan kenapa ia tak menikahi seorang gadis: “Ayahku telah wafat dan meninggalkan 7 putri (yang masih kecil).” Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku mempunyai 9 saudari (yang masih kecil), aku tidak senang jika mengumpulkan mereka dengan seorang gadis yang belum bisa mengurus dirinya seperti mereka. Akan tetapi aku ingin menikahi wanita yang bisa mengurus mereka dan menyisir rambut mereka.” Nabi saw bersabda: “Kau benar.” Dalam riwayat lain: “Semoga Allah memberkahimu.” HR. Al-Bukhari.

[Bukankah Sayyidah Khodijah dinikahi oleh Nabi saw dalam keadaan janda? Akan tetapi justru Sayyidah Khodijah berjuang penuh mendukung dakwah Nabi setelah beliau diangkat menjadi Rasul]

Syeikh Muhammad Ba’athiyah menyebutkan dalam kitabnya Zadul Labib Syarh Matn Al-Ghoyah Wat Taqrib (2/18):

Menikahi gadis lebih utama dari pada janda lantaran hadits :
“Hendaknya kalian memilih (menikahi) wanita yang masih gadis, karena mulut mereka lebih sopan, rahimnya lebih subur dan lebih menerima (pemberian) yang sedikit.” HR. Ibnu Majah (no. 1861), Ath-Thobroni (no. 350) dan Al-Baihaqi (no. 13251)

“Ada tiga faidah menikahi seorang gadis:
1) Kecintaannya untuk suami yang pertama.
2) Kasihnya hanya untuk dia seorang.
3) Kerinduannya hanya kepada dirinya.
Sebagaimana dikatakan oleh Habib Bin Aus Ath-Tho’i:

“Pindahkan hatimu sesukamu dari cinta, sebab cinta hanya untuk kekasih
yang pertama”

“Berapa banyak rumah di bumi yang ditempati seorang pemuda, akan tetapi kerinduannya selamanya hanya untuk rumah yang pertama.”

[Syeikh Muhammad Ba‟athiyah malah menyebutkan 13 kriteria istri idaman
berdasarkan petunjuk Nabi. Namun terlalu panjang jika diuraikan satu persatu dalam artikel singkat ini. Insya Allah suatu saat penulis akan menguraikannya pada buku khusus]

Kalau wanita dinikahi karena 4 kriteria tersebut di atas, lantas bagaimana kriteria lelaki yang selayaknya dinikahi?
Masih dalam kitab yang sama, Dr. Ali Ahmad Al-Qulaishi menerangkan ada 2 kriteria yang perlu diperhatikan oleh pihak wanita, yaitu: 1) Akhlak 2) Agama.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwasannya Rasulullah saw bersabda:
Jika ada lelaki yang melamar kepada kalian yang agama dan akhlaknya kalian ridhoi, maka nikahkanlah ia (dengan putri kalian), jika tidak, maka akan terjadi fitnah (cobaan) di bumi dan kerusakan yang luas.” HR. At-Tirmidzi (no. 1084) dan Ibnu Majah (no. 1967)

Dr. Ali Ahmad Al-Qulaishi mengomentari hadits ini dengan berkata: “Makna hadits ini adalah: Jika kalian enggan menikahkan putri kalian kecuali dengan orang yang berharta atau berpangkat, bisa jadi kebanyakan putri kalian tidak akan memiliki suami dan kebanyakan lelaki tidak mempunyai istri, sehingga terjadilah banyak keburukan dan perzinahan. Bahkan aib ini bisa jadi turut menimpa para orang tua, sehingga fitnah dan kerusakan kian menyebar dan menyebabkan terputusnya garis keturunan dan sedikitnya hubungan dan penjagaan terhadap kehormatan.”
“Dari hadits ini juga dipahami bahwasannya Agama dan Akhlak harus menjadi prioritas. Maka hal wajib bagi keluarga perempuan adalah mengecek secara detail (informasi) tentang lelaki yang melamar putri mereka dan tidak terburu-buru dalam melangsungkan akad dengan seorang lelaki sebelum mengetahui (kadar) agama dan akhlaknya.
Sehingga mereka tidak dikagetkan dengan sesuatu yang mengotori kehidupan mereka kelak dan hanya menyisakan penyesalan. Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa yang menikahkan perempuannya (putri/saudari) dengan lelaki yang fasiq, maka dia telah memutus tali silaturahminya.” HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman (no. 8450)

Nah, itu cara yang pertama untuk mengungkapkan cinta.

Sedangkan jika kondisi tak memungkinkan untuk mengungkapkan cinta dengan cara melamarnya adalah dengan menyimpan cinta itu serapi mungkin di dalam hatinya, hingga kematian menjemputnya.

Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang jatuh cinta, kemudian menjaga harga dirinya lantas meninggal, maka dia meninggal dalam keadaan syahid.”

Hadits ini memang masih menjadi pertentangan di kalangan Ulama‟ Hadits.
Sebagian menyatakan hadits ini Dho‟if dan sebagian lagi menyatakan hadits ini Maudhu‟. Hanya saja Imam As-Suyuthi berkata:

“Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Tarikh Naisabur dan Al-Khotib
juga dari hadits Aisyah.”

Meskipun hadits ini diperselisihkan keabsahannya, akan tetapi maknanya
benar (Shahih), yaitu :

"Apabila seseorang mencintai wanita kemudian tidak melanjutkannya dengan maksiat sebab kecintaannya itu dan hal itu terus menerus sampai ia meninggal, maka muslim tersebut akan diampuni dosanya.”

Bukankah nafsu selalu memerintah keburukan dan mengajak untuk menuruti syahwat. Dan, mereka yang mengekang serta memerangi hawa nafsunya hingga mereka mati, bukankah itu sebuah jihad yang besar? Hanya surga balasan yang layak baginya. Al-„Iroqi menyebutkan sebuah riwayat:

“Nabi saw pulang dari sebuah peperangan. Kemudian Nabi saw bersabda:
“Kalian telah datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Mereka (para sahabat) berkata:
Apakah jihad yang besar itu?” Nabi bersabda: “Jihadnya seseorang dengan hawa nafsunya.” HR. Al-Khotib dalam Tarikh-nya dari Jabir.

Syeikh Muhammad Ba‟athiyah dalam Zadul Labib-nya (1/343) membagi jenis mati syahid itu ada tiga, yaitu:
1) Syahid Dunia dan Akhirat: Yaitu mereka yang berperang melawan orang-orang kafir karena Allah.
2) Syahid Dunia saja: Yaitu mereka yang berperang melawan orang-orang kafir lantaran menginginkan harta rampasan.
3) Syahid Akhirat saja.

Yang pertama dan kedua tak boleh (Haram) dimandikan dan disholati. Sedangkan yang ketiga wajib dimandikan dan dishalati
seperti mayat lainnya.

Di bagian ketiga ini Syeikh berkata: “Syahid Akhirat itu sangat banyak, di antaranya: Orang mati karena melahirkan, tenggelam, tertabrak atau terbakar, terasingkan, dibunuh dengan dzolim, mati karena sakit
perut, mati di masa Tho’un (wabah sampar/pes), mati saat menuntut ilmu, mati lantaran mencintai Ahli Bait, dan mati karena cinta; dengan syarat menjaga harga dirinya bahkan dari pandangan (yang terlarang), yang sekiranya ketika ia bertemu dengan kekasihnya (dan tak ada penghalang antara mereka berdua) ia tidak akan melanggar syari‟at, dan dengan syarat menyembunyikan cintanya termasuk dari kekasihnya.”

Dalam Madzhab Syafi‟i orang yang mati karena memendam cinta dengan syarat-syarat tersebut di atas termasuk Syahid Akhirat. Sedangkan orang yang Syahid itu mendapat jaminan surga dari Allah swt.

Dalam Tanzihul Anbiya’-nya, Syeikh Abul Hasan Ali As-Sabti Al-Umawi bertutur: “Disebutkan bahwasannya Qais Bin Amir (Majnun) bertemu dengan Laila di padang pasir. Lantas Laila berkata padanya: “Ini aku harapan dan sumber ujianmu selama ini. Tak ada orang yang melihat dan tak perlu lagi perantara. Lakukanlah apa yang kau inginkan denganku.”

Qais berkata padanya: “Cukuplah bagiku sesuatu yang membuatku sibuk dari (memikirkan)mu.” Lantas ia pergi meninggalkan Laila.”

Imam Abul Faraj Al-Ashfihani dalam Kitabnya Al-Aghoni (8/364) menyebutkan kisah Abdurrahman Al-Qos dan Sallamah3
, budak perempuan yang sangat dicintainya dan ia juga sangat mencintai Al-Qos.

Berikut narasinya:
“Abdurrahman Bin Abdullah Bin Abu Ammar adalah lelaki dari Bani Jusyam Bin Mu‟awiyah. Dia tinggal di Makkah dan termasuk salah satu dari Ahli Ibadahnya, sehingga ia dijuluki Al-Qos (Pendeta) lantaran (ketenggelamannya dalam) ibadahnya. Suatu ketika ia berjalan di Madinah dan mendengar Sallamah sedang bernyanyi. Iapun berhenti untuk mendengar nyanyiannya.”

“(Suhail) Tuannya Sallamah melihat Al-Qos di luar rumah (sedang mendengarkan nyanyian), lantas ia mengajaknya masuk untuk mendengarkan nyanyian Sallamah lebih dekat, hanya saja Al-Qos menolak. Lantas ia berkata: “Aku akan menempatkanmu di lokasi yang sekiranya kau bisa mendengar Sallamah namun tidak melihatnya.” Al-Qos berkata: “Kalau ini aku mau.”
“Suhail membawa masuk Al-Qos ke rumahnya dan menempatkannya di ruangan sekiranya ia bisa mendengar Sallamah, lantas Suhail memanggil Sallamah. Ketika melihat Sallamah, hati Al-Qos langsung terpaut dengannya dan mencintainya. Kabar cinta Al-Qos pada
Sallamah menyebar ke seantero Madinah. Al-Qospun akhirnya sering bermain ke rumah Suhail dalam waktu yang cukup lama.”
“Suatu ketika Suhail keluar untuk mengurus beberapa keperluannya dan meninggalkan Al-Qos di rumahnya bersama Sallamah.

Sallamah berkata pada Al-Qos: “Demi Allah, aku mencintaimu.”

Al-Qos: “Aku –Demi Allah– (juga mencintaimu).”

Sallamah: “Aku –Demi Allah– ingin memeluk dan menciummu.”

Al-Qos: “Aku –Demi Allah– (juga menginginkannya).”

Sallamah: “Aku menginginkan –Demi Allah– untuk tidur bersamamu, menempelkan perutku pada perutmu dan dadaku pada dadamu.”

Al-Qos: “Aku –Demi Allah– (juga menginginkannya).”

Sallamah: “Lantas apa yang mencegahmu untuk tidak melakukannya? Demi Allah, di sini tak ada siapapun!”

Al-Qos: "Aku dicegah oleh firman Allah swt [Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain kecuali mereka yang bertakwa] Aku takut cintaku padamu berubah menjadi permusuhan antara kita kelak pada hari Kiamat."

“Kemudian Al-Qos keluar meninggalkan Sallamah dalam keadaan menangis dan tak pernah kembali lagi setelah itu.”

Begitulah kisah mereka yang benar-benar menjaga kesucian cintanya. Cinta yang justru ketika pada puncaknya ia bisa mendapatkan kekasihnya, malah ia meninggalkannya lantaran takut kepada Allah.

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

828K 10.9K 32
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
969K 45K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
3.1K 97 3
Assalammualaikum sahabat hijrahKu:)
46.8K 1.4K 6
Kumpulan Sebagian Hadits