Are We Getting Married Yet?

By AnnyAnny225

20.5M 987K 35.1K

Sagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih s... More

01
02
03
04
05
06
07
08
09
Sekilas Info
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
PREVIEW
41
42
43
44
46
PREVIEW 2
47
48
49
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
INTERMEZZO
Extra Part - Lisa's Pregnant
Extra Part - Saga's Worried
Extra Part - Triplets!
Extra Part - Triplets Again (Part 1)
Extra Part - Triplets Again (Part 2)
Extra Part - Triplets Again (Part 3)

50

259K 13.6K 435
By AnnyAnny225

Waww udah part 50 🎆🎊🎉
***
Lalisa POV

09:00 WIB

Baru kali rasanya, memasuki kantor seorang pengacara-yang namanya sama seperti merek teflon a.k.a Maxima Hutapea-seperti memasuki rumah hantu. Seram, tegang, takut, khawatir, campur aduk. Tidak karuan seperti air sisa cuci piring.

Meski begitu, aku selalu menguatkan hati, agar dapat melangkah pasti sampai di ruangan Max.

"Oh, Ibu Lisa sudah sampai," sapa sekretaris Max, Yuke. Calon istri Max. Bisa juga playboy cap kampret seperti dirinya seserius ini. Semoga tidak berakhir seperti diriku saat ini.

"Jangan terlalu formal," aku mengingatkan.

Yuke tersenyum ramah dan menjawab "Ini kantor Bu, saya harus bersikap profesional. Oh ya, langsung masuk saja. Pak Max sudah menunggu Ibu,"

Aku mengangguk dan langsung masuk ke dalam tanpa mengetuk tidak mengindahkan jawaban Yuke lagi. Di dalam, aku mendapati Max sedang duduk di kursi kebesarannya, sibuk membaca tumpukan kertas.

"Hello, dude!" Max segera berdiri dan menghampiriku, memelukku singkat dan mulai ber-high five ria padaku. Hampir 10 tahun terlewat sejak jaman SMA, dan dia masih menganggapku teman laki-lakinya. Max menggiringku duduk di sofa yang sepertinya memang difungsikan untuk menerima tamu.

"So... Mau minum dulu atau langsung cerita? Jujur, gue shock dengar Lo mau cerai. Lebih shock daripada tiba-tiba terima undangan pernikahan elo,"

"Minum dulu. Wine ada?" Tanyaku setengah bercanda, setengah serius. Max menyipitkan matanya, lalu beranjak ke mejanya dan berbicara pada tunangannya di luar sana melalui interkom.

"Sayang? Tolong bawa susu coklat kemasan 1 liter yang dingin dan gelas 2 ya," WTF. Minta wine dikasih susu coklat?

"Baik Pak," terdengar nada datar Yuke.

"Terima kasih sayang. I love you. Cium dong?"

"Ada Lisa! Jangan malu-maluin deh,"

"Hmmmm, kamu ya? Kalo ada orang lain malu-malu semut. Kalo berdua aja, ganas kayak beruang,"

Terdengar interkom diputuskan secara sepihak. Aku terkikik pelan mendengar kekonyolan Max.

"Oke," ucapnya ketika kembali duduk di sofa singlenya, kembali memasang tampang serius. "Sebelum gue urus perceraian Lo, gue pengen Lo tahu konsekuensi setelah bercerai,"

"Apa? Konsekuensinya cuma jadi janda, kan?" Jawabku enteng. Max menggeleng tidak percaya aku mengatakan dengan mudahnya.

"Nggak segampang itu jadi janda di negeri ini. Lo tahulah, nyinyiran-nyinyiran orang sekitar Lo. Apalagi, GM kayak Lo, nyinyiran bisa skala internasional,"

Aku berdecih "Lebay,".

"Serius. Udah banyak kasus perceraian yang gue tangani, yang bercerai karena merasa nggak cocok, atau ada orang ketiga banyak yang menyesal setelahnya. Mereka sadar, udah salah pilih langkah dengan bercerai, padahal masih bisa dibicarakan dengan baik-baik. Emosi udah membuat hati mereka tertutup, dan membenci pasangannya,"

"Gue datang jauh-jauh ke sini bukan untuk dinasehati," ucapku dengan wajah kesal.

"Gue pengen yang terbaik untuk Lo, gue pengen Lo berpikir ulang sebelum mengambil keputusan untuk bercerai. Jika ada jalan untuk tetap bersama, kenapa tidak dicoba? Cerai tidak selalu menyelesaikan masalah. Pikirkan kembali, apa tujuan awal Lo menikah dulu,"

Aku memejamkan mata sebentar mencerna kalimat Max. Tujuan menikah? Hanya sekedar status. Tentu bercerai tidak jadi masalah karena itu masuk dalam kesepakatan aku dan Saga. Mulutku hendak terbuka menjelaskan alasan aku menikah. Namun, sebuah ketukan di pintu menghentikan niatku. Yuke masuk sambil membawakan apa yang diminta Max padanya melalui interkom.

Max tersenyum bahagia, bahkan sengaja menggoda Yuke dengan menggenggam salah satu tangannya saat meletakkan nampan di atas meja. Yuke menepis tangan Max dengan wajah marah, namun menahan malu saat menatapku. Dia berkata maaf tanpa suara, lalu segera pamit. Seketika aku iri.

"Mungkin Lo harus tahu, Max. Alasan gue menikah dulu," lirihku dan memaksa untuk tersenyum.

"Tell me then. Tell me everything,"

***
11:30 WIB

Aku berjalan ke parkiran dengan langkah gontai. Rasanya melelahkan setelah menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Saga, serta kenapa aku harus bercerai. Sepanjang cerita Max hanya diam, dan sesekali memelukku saat aku tak kuasa menahan tangis. Setelah bercerita semuanya Max hanya tersenyum, menyerahkan sebuah amplop.

"This is your ticket," ucapnya kala itu sambil menyerah amplop putih tersebut.

"Tiket?" Tanyaku dengan suara parau setelah menangis.

"Gue selalu punya ritual untuk orang-orang yang ingin bercerai. Gue kasih mereka tiket, pergi berlibur, menyendiri, memberi mereka waktu untuk berpikir ulang selama seminggu,"

"Tapi gue mau, perceraian gue diurus secepatnya,"

"This is the rule, Lisa. 2 hari lagi Lo harus berangkat. Begitu balik dan Lo tetap ingin bercerai, gue bakalan urus perceraian Lo secepatnya. Bahkan, dalam sebulan Lo udah pisah secara resmi,"

Saat itu pikiranku berkecamuk, antara mengiyakan permintaan Max, atau mencari pengacara lain yang bisa membantu.

"Lisa," Max memecahkan lamunanku "Dari yang gue tangkap dari penjelasan Lo, all you need just communication sama suami Lo. Bahkan, Lo belum memastikan ke suami elo, apa dia masih cinta atau nggak sama istrinya. Meminta cerai tanpa mendengarkan penjelasan suami Lo sendiri itu hal yang paling egois. Nggak adil buat suami Lo,"

"Kok, Lo jadi bela Saga??? Temen Lo siapa sebenarnya di sini?" Aku mendadak emosi ketika itu.

"Whoa, whoa! Jangan marah, tapi suami Lo juga salah karena dia nggak menjelaskan terlebih dahulu, sampai bohong kayak gitu,"

"Terus, apa lagi yang gue harus tunggu?! Lo udah tahu yang sebenarnya," tembakku sedikit membentak karena mulai tidak sabar.

"Gue ngerti, Lo pasti marah karena dikhianati. Suami Lo juga nggak berusaha mempertahankan pernikahan ini. Meski hanya kesepakatan, di mata Tuhan dan negara kalian tetaplah suami istri yang sah. Asal Lo tahu, gue sedih kalo udah berurusan sama perceraian. Banyak yang berpisah karena ego, tapi tidak memikirkan yang lain. Beruntung, Lo belum punya anak,"

"Apalagi kalo ngurus perceraian orang terdekat gue, seperti hari ini. Please, ambil tiket ini. Pergi, nikmati kesendirian Lo, sambil merenung. Apa Lo perlu bercerai, atau tetap mempertahankan rumah tangga Lo?"

Itulah kalimat terakhir yang Max ucapkan dan masih terdengar jelas dalam otak ku saat ini. Apa aku benar-benar perlu bercerai atau tidak. Semuanya semakin membuatku bingung. Aku menjadi ragu-ragu dengan pilihanku untuk berpisah. Tapi, Saga pun seperti tidak ada usaha untuk mempertahankan rumah tangga ini. Kenapa selalu harus aku yang bertahan dan berusaha sedangkan dia dengan gampangnya mengiyakan kemauanku. Ah, sudah. Aku tidak butuh tiket ini. Aku meletakkan tiket tersebut dalam tas dan melajukan mobil ke apartemen Yolan.

Hari ini dia akan menghadap direktur rumah sakit dan memasukkan surat resign. Dia memintaku menemaninya, takut jika tidak bisa menghadapi Marco sendirian. Sebenarnya, aku juga takut, jika harus bertemu Saga. Dan Marly. Aku rasa tidak akan sanggup jika melihat mereka sedang berdua di rumah sakit. Membayangkannya saja rasanya sakit.

"Cantik banget," komenku menjurus ke arah mencibir ketika melihatnya memakai terusan yang sangat pas ditubuhnya yang berwarna merah darah, begitu menonjolkan kulit putih susunya. Perutnya juga masih kelihatan rata. "Cuma mau masukin surat resign aja dandannya heboh,"

"Enggaklah, ini dandan gue tiap hari kalo ke rumah sakit," elaknya lalu menurunkan cermin yang ada di sun blind. Mengecek make-up nya.

"Alah, alasan aja. Karena kita mau ketemu Marco kan makanya Lo dandan,"

"Idih? Ngapain gue harus dandan untuk dia? Buang-buang waktu dan semua make-up mahal gue," sekali lagi Yolan tidak mengakui. Namun perilakunya sudah menjawab semua. Sebentar-sebentar, mengecek make-up, membenahi bajunya yang sebenarnya sudah rapi. Menyisir rambut, lalu memakai parfumnya hingga rasanya bulu hidungku akan rontok karena dia terlalu banyak memakai. Aku merebut parfumnya dan melempar asal ke belakang ketika dia belum juga berhenti menyemprot parfumnya.

"Parfum gue!" Teriak Yolan marah dan memasang tampang garang.

"Gue udah mau pingsan gara-gara Lo semprot parfum terlalu banyak!" Seruku tak mau kalah galak. "Lo nggak sadar tapi sepanjang jalan Lo selalu ngecek makeup, nyisir rambut, dan rapihin baju Lo, semua demi Marco, kan?"

"Enggak!" Yolan masih bersikukuh, namun terlihat sedikit panik. Aku sebenarnya maklum, karena ini pertama kalinya dia akan bertemu Marco-jika kebetulan bertemu-pasca kejadian di depan tempat karaoke waktu itu. Sudah lewat 5 hari sepertinya. Tapi Marco belum juga datang dan meminta maaf langsung. Dasar laki-laki pengecut!

"Iyalah, pasti Lo mau buat Marco terpesona, kan?" Godaku lagi yang membuatnya cemberut.

"Ini bawaan bayi," ucapnya serius. "You know? Bawaan bayi, ketika ibu hamil suka melakukan hal yang diluar kebiasaannya. Menyukai sesuatu yang dibencinya,"

"Menyukai sesuatu yang dibenci? Berarti Lo suka Marco dong sekarang? Memang bayi Lo bawa hoki buat Marco," celetukku yang semakin membuat Yolan gusar.

"Nggak gitu juga! Pokoknya laki-laki sialan itu udah harga mati bakalan gue benci seumur hidup gue,"

"Hei, jaga mulut Lo. Bayi dalam perut Lo bisa dengar apa yang Lo ucapkan,"

"Lama-lama tensi gue naik gara-gara Lo," Yolan kembali membenarkan posisi duduknya yang tadinya menyamping menjadi lurus ke depan dengan wajah cemberut. Sungguh menyenangkan sekali menjahili bumil yang satu ini.

Tidak lama mobilku sudah masuk ke pelataran parkir rumah sakit tempat Yolan bekerja. Sekaligus Saga dan Marco juga. Rasanya jantungku berdetak dengan keras. Ada apa ya?

"Lo mau tunggu disini?" Tanya Yolan saat melihatku hanya diam di belakang kemudi. Aku menatapnya, menggeleng.

"Gue temani," jawabku dan melepaskan seat belt.

"Kalo ketemu Saga gimana?" Tanya lagi dengan raut wajah cemas. Harusnya aku yang mencemaskan dia. Bagaimana kalo ada Marco di dalam?

"Nggak apa-apa. Gue kan, pisah sama dia baik-baik," kataku dan tersenyum, mencoba menenangkan Yolan. Meski aku sendiri juga tidak yakin bagaimana reaksiku jika bertemu dengannya lagi.

"Okelah, mari kita hadapi para bajingan itu," aku tertawa mendengar kalimat Yolan. Kami keluar dari mobil dan berjalan bergandengan ke dalam rumah sakit. Detak jantungku semakin tidak karuan.

"Ruang direktur ada di lantai 8," ucap Yolan dan menatapku sepeti bertanya apa aku mau ikut atau tinggal.

"Kalo gitu, gue tunggu di kantin ya," kami berpelukan sebentar, seakan saling memberi kekuatan. Setelah Yolan berjalan ke arah lift, aku juga melangkahkan kaki menuju kantin. Atau di taman saja? Kemungkinan bertemu Saga di kantin besar karena ini sudah masuk jam makan siang.

"Lalisa, ya?" Sebuah suara dari arah belakang memanggilku. Aku berbalik, dan mendapati seorang dokter wanita-yang tadi melewatiku-menatapku. Aku melihat sekitar, tapi akulah orang terdekat. Lagipula dia memanggil nama lengkapku. Tapi aku tidak mengenalinya. Dia berjalan ke arahku, masih dengan senyuman terpatri di wajahnya. Dia mengulurkan tangannya. Sejenak aku tahu, namun pada akhirnya tetap menyambut jabatan tangannya.

"Kenalkan, aku Marly," mataku membulat, terkejut mendengar namanya. Marly? Marly cinta pertama Saga, kan? Tapi sejurus, aku mencoba mengendalikan rasa kagetku. "Bisa kita bicara sebentar?"

Hell, apa lagi yang dia inginkan? Bukankah dia sudah mendapatkan Saga?

"Maaf, anda siapa? Saya tidak mengenali anda," aku mencoba menghindar dengan pura-pura berbohong. Aku tahu benar siapa dia, tapi aku belum pernah bertemu dengan dengannya secara langsung seperti ini.

"Aku hanya teman lama Saga. Suami kamu," Cih, teman spesial maksud kamu? "Bisa kita bicara di ruangan aku?"

"Tentang apa? Sepertinya saya tidak ada waktu," aku berpura-pura menatap jam tangan seakan-akan ada jadwal penting lainnya.

"Hanya sebentar. Ini tentang Saga," ucapnya.

"Ada apa? Kalo ada perlu dengan Saga, silahkan hubungi dia saja. Permisi," aku berbalik dan kembali melangkah menuju kantin tujuan utamaku.

"Kamu istrinya, kan? Kata Saga kalian akan bercerai,"

Aku mengembuskan napas kasar, kembali berbalik dan berjalan cepat ke arah Marly yang masih terlihat tenang.

"Mau kamu apa?" Tanyaku penuh penekanan.

"Aku hanya ingin bicara," kata Marly dan berjalan meninggalkanku.
**
Author POV

Lisa sudah duduk berhadapan dengan Marly di ruang kerjanya. Mereka hanya dibatasi sebuah meja kayu. Saling menatap satu sama lain, sepeti menilai masing-masing dari mereka. Lisa juga heran dengan dirinya. Entah sihir apa yang Marly gunakan sehingga dia mau mengikuti wanita ini sampai ke ruangannya.

"Mau minum apa?" Tawar Marly yang disambut tidak baik oleh Lisa.

"Nggak usah basa-basi, mau kamu apa? Aku nggak punya banyak waktu," ucap Lisa memasang tampang tidak bersahabat. Namun seperti sebelumnya, Marly tetap terlihat tenang, dan terus tersenyum.

"Aku hanya ingin berteman sama kamu Lisa,"

"Teman aku udah banyak," sinis Lisa.

Nggak butuh teman munafik kayak Lo!

Marly tertawa semakin membuat Lisa kesal.

"Pantas aja Saga tergila-gila sama kamu," seru Marly dan kembali tertawa.

"Maksud kamu?" Tanya Lisa tidak mengerti.

"Nggak ada. Aku cuma pengen ngobrol. Aku dulu teman kuliah Saga, Marco dan Yolan waktu dokter umum. Kita satu angkatan,"

Oh ya, jangan lupa cinta pertama Saga juga!

"Bisa nggak, di skip ke inti pembicaraan?" Lisa mengingatkan. Sepertinya dia sudah tidak sabar ingin segera keluar dari sini.

"Aku dan Saga dulu sempat memiliki hubungan khusus. Kami sempat pacaran, tapi akhirnya putus karena keegoisan aku. Aku lebih memilih pendidikan karir ketimbang Saga. Setelah itu kami putus kontak sama sekali. Aku pikir aku akan bahagia dengan keputusanku meninggalkan Saga. Ternyata aku salah, aku malah menderita selama bertahun-tahun. Aku baru sadar jika Saga adalah segalanya. Karena itu, 2 bulan lalu aku memutuskan kembali ke Indonesia. Aku ingin kembali pada Saga. Aku pikir aku akan Mencarinya, menemukannya untuk meminta maaf karena sudah menyakitinya. Ketika bertemu dengannya lagi, dia terasa asing. Aku berusaha keras agar Saga kembali padaku. Karena aku yakin, dia masih mencintaiku,"

Lisa mulai tidak sabar, dan bangkit dari duduknya. Hatinya terasa sakit mendengar semua ucapan Marly. Apalagi, wanita ini sampai mengetahui perceraian mereka, sudah tentu mereka kembali dekat. Mungkin akan menikah setelah Lisa dan Saga resmi bercerai. Rasanya dia sudah tidak sanggup mendengar sisa cerita Marly.

"Maaf, aku sibuk. Mungkin lain kali baru kita ngobrol lagi. Kamu sudah tahu, kami akan bercerai. Jadi peluang kamu untuk bersama Saga lebih besar. Aku permisi," Lisa berbalik dengan cepat, tepat setelah air matanya jatuh. Lagi, dia harus menangis, tapi tidak di depan Marly karena itu membuatnya terlihat lemah, bahkan bisa jadi Marly menganggapnya pecundang karena menangis di depannya. Lisa sudah kalah, dalam pikirannya. Rasanya tidak perlu lagi berlibur seperti saran Max. Setelah ini dia akan menelpon pria itu agar segera memproses perceraiannya.

"Kamu salah Lisa," ucap Marly yang membuat Lisa berhenti seketika di depan pintu. "kamu... salah. Tidak ada peluang lagi bagiku sekali pun Saga berpisah dari kamu. Ada seseorang yang dia cintai sekarang. Hanya ada wanita itu dalam hatinya saat ini. Tidak ada lagi aku," suara Marly terdengar sedih, namun tetap berusaha ceria. "Saga sudah memaafkan aku, berdamai dengan masa lalu kami. Tapi hanya untuk berteman denganku. Tidak lebih. Ada seorang wanita yang dicintainya. Yang pasti bukan aku lagi,"

Lisa sudah tidak peduli. Tangannya yang sedari tadi diam di kenop pintu akhirnya bergerak memutar benda bulan tersebut.

Sekali lagi Marly berkata "Kamu penasaran siapa wanita itu? Kamu bisa tanyakan langsung ke Saga. Dia ada di ruang VIP I. Dia di rawat di sana sekarang. Aku harap, kamu bisa menjenguknya sebentar,"

Blam!

Lisa membanting pintu dengan kasar, berjalan cepat ke arah toilet, dan segera masuk ke bilik yang kosong. Dia terduduk di toilet, dan menangis dalam diam, membiarkan air matanya mengalir, membasuh perih di dadanya. Entah apa maksud Marly menjelaskan hal yang tidak penting tadi. Yang jelas dia berhasil menjadikan Lisa semakin bimbang. Kepalanya terasa akan pecah memikirkan semua itu. Dan, apa katanya tadi? Saga sedang dirawat? Pria itu jatuh sakit?

Lisa menyeka pelan air matanya, menyadari jika terus menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Dia memaksa dirinya untuk berdiri, keluar dari bilik dan tertegun mendapati wajahnya sembab.

"Menyedihkan," gumamnya seperti mengolok dirinya sendiri. Lisa mendesah, mencuci mukanya menghilangkan sisa air mata. Lalu, kembali memoles makeup yang sempat luntur. Setelah merasa semuanya beres, Lisa keluar dari toilet seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, beberapa menit sebelumnya perasaanya seperti diporak-poranda.

Kakinya melangkah berhenti saat menatap papan petunjuk yang bertuliskan VIP I berada di lantai 2.

Ada kebimbangan dalam dirinya. Pikiran yang satu memaksanya untuk melangkahkan kaki ke VIP I. Sedangkan pikiran yang lain, memintanya untuk tidak memperdulikan Saga. Mereka sudah tidak memiliki hubungan apapun meski belum resmi bercerai.

Namun pada akhirnya, langkahnya bergerak menuju kamar dimana Saga dirawat, meski otaknya menyuruh untuk berhenti. Tubuhnya seperti tidak sinkron kali ini. Semakin mendekati kamar dimana Saga dirawat, detak jantungnya semakin keras, hingga terasa di seluruh tubuhnya. Dia berhenti sebentar di depan pintu. Dari kaca kecil yang terdapat di pintu kayu, Lisa bisa melihat dengan leluasa jika pria itu tengah tertidur.

Lagi, batinnya berperang, memutuskan apa dia harus masuk atau pergi saja. Tangan Lisa sudah terjulur untuk memutar kenop, membuka pintu. Tapi, gerakannya terhenti. Lisa memutuskan untuk pergi, dia tidak sanggup jika harus berhadapan dengan Saga saat ini.

Setelah 3 langkah menjauh dari pintu kamar rawat Saga, Lisa kembali berhenti di tempatnya.

"Ini... Terakhirnya kalinya," gumam Lisa berjanji pada dirinya. Jika ini terakhir kalinya dia peduli pada Saga.

Lisa kembali berbalik menuju kamar, membuka pintu dengan sangat perlahan agar pria itu tidak terbangun dan akhirnya memasuki kamar rawat Saga setelah bergumul antara pikirannya yang menolak keras menemui Saga, dan hatinya yang merasa sedih saat mendengar Saga dirawat. Sebagain kecil hatinya masih memperdulikan Saga.

Lisa berjalan tanpa menimbulkan suara, dan berhenti di tepi ranjang menatap dalam wajah pucat Saga yang tertidur pulas dengan posisi menyamping. Satu tangannya terselip di bawah pipi. Tanpa perintah, air matanya kembali meluncur. Rasanya Lisa tidak tega melihat Saga seperti ini. Tapi, sekarang dia harus belajar untuk tidak peduli apa pun yang terjadi pada Saga.

Diluar kendali Lisa, tangannya bergerak, hendak menyentuh wajah Saga, namun akhirnya berhenti di udara karena takut jika pria itu terbangun. Tangannya kembali tersimpan di sisi tubuh Lisa.

"Jangan sakit," gumam Lisa setengah berbisik. "Aku jadi kepikiran. Padahal, aku udah berjanji nggak akan peduli sama kamu. Tapi, dengar kamu dirawat, aku sulit untuk nggak peduli. Karena sebagian kamu masih di dalam hatiku," Isak Lisa seraya menutup mulutnya sendiri. Meredam suara tangisnya.

"Aku akan pergi sementara, berpikir ulang tentang perceraian ini. Bantu aku untuk berubah pikiran, Ga," gumamnya akhirnya memutuskan untuk tetap menerima tawaran Max. Seperti kata Max, dengan berlibur, Lisa berharap bisa berpikir lebih jernih.

Lisa memilih berbalik pergi karena tangisannya semakin hebat. Tepat saat dia berbalik, tangannya seperti ditahan. Lisa menegang seketika. Perlahan, dia berbalik, mendapati pergelangan tangannya digenggam erat Saga.

Mata pria itu terbuka perlahan, dengan pandangan lurus mengikuti arah tangannya yang secara refleks menggengam tangan Lisa.

Detik berikutnya, kelopak mata pria itu perlahan turun, seraya pegangannya yang mengendur di pergelangan tangan Lisa, hingga terlepas sama sekali. Saga kembali jatuh dalam tidurnya, meninggalkan Lisa yang bernapas lega di tempatnya.

TBC
***
hai hai hai....
Sedih... Bentar lagi harus tamat. Ya memang harus, soalnya taun depan tepat setahun cerita ini aku buat 😂😂😂

Tapi aku juga pengen cerita ini cepat selesai dan bisa melanjutkan cerita baru. Semoga kalian tetap setia bersama AWGMY? Sorry belum sempat balas2 komen. But, keep voment ya. 2 Minggu ini aku bakalan sibuk banget, jadi aku up hari ini. Semoga gak keliatan maksa yaa

Love you all ❤️❤️

Bonus: pemandangan indah yang pertama kali selalu Lisa lihat waktu membuka mata di pagi hari. Muka-muka minta dicipok 😂

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 224K 59
Serangkaian kejadian tidak terduga membuat mereka harus melakukan sebuah pernikahan. Walaupun bagi yang lain, menikahi dosen dengan rambut hitam lega...
38.8K 2.1K 33
Bintang Wijaya Kesuma, seorang guru di salah satu SMA terfavorit di Jakarta. Otaknya yang pas-pasan membawanya menjadi guru sejarah yang lebih sering...
13.2K 525 65
7 Februari 22__Rank 1 #berkorban Disaat menCINTAi seseorang dengan tulus dan ikhlasnya namun terpaksa untuk meninggalkan nya pada saat itulah kita d...
3.7K 342 23
Raline Shakira Alister sang nona presdir dari Raline INC, adalah sosok wanita cantik yang penuh kharisma, dan menjadi wanita idaman semua pria di muk...