The Lost Prince [TAMAT]

By KaiElian

156K 15.7K 467

Elisa Harris tak pernah bermimpi untuk tinggal di istana, punya pelayan pribadi, bergaul dengan ratu, memakai... More

Baca ini dulu yaaa :)
Tentang Calondria
Prolog
1. Rahasia Eugene
Meet the Character: Elisa Harris
2. Selamat Datang di Calondria
3. Sepupu Yang Tak Pernah Bertemu
5. Pertemuan Keluarga
6. Sebuah Rencana Sempurna
7. Obrolan di Tepi Danau
8. Elevator Nomor Dua Puluh Satu
9. Para Pengagum Rahasia
Meet the Character: Eugene & Edward L'alcquerine
10. Si Tetangga Sebelah
11. Seseorang Dari Masa Lalu
12. Prime Celestine
13. Hubungan
14. Permintaan Eugene
15. Kejujuran dan Kebenaran
16. Andrea
Meet The Characters: George, Janesse & Andrea
17. Gaun Biru Elisa
18. Jamuan Makan Malam Kerajaan
19. Kisah Crassulacea
Meet the Characters - Ratu Raquelle, Crassulacea, Lady Samantha
20. Hilang
21. Bahaya
22. Senjata Pamungkas
22. Sang Pangeran
23. Tamu Tak Diundang
24. Pertemuan Keluarga Bagian 2
25. Ratu Elisa
Epilog
Mari belajar Bahasa Calondria!

4. Sang Tamu Kerajaan

4.5K 490 19
By KaiElian


Untungnya percakapan yang canggung di Tea Hall tadi berlangsung singkat. Selesai minum teh, Alfred menugaskan seorang pelayan untuk mengantarkan Elisa dan Eugene menuju kamar mereka untuk beristirahat. Kamar Elisa terletak di lantai satu sayap Barat sehingga dia mencapainya lebih dulu. Kamar Eugene sepertinya terletak di lantai dua, tetapi Elisa sudah terlalu lelah untuk bertanya.

Sama seperti ruangan-ruangan lain yang dijumpai Elisa di istana itu, kamarnya juga menakjubkan. Ada sebuah ruangan kecil menyerupai teras yang membuka ke arah tempat tidur bak negeri dongeng yang selama ini hanya dilihat Elisa di museum. Dinding ruangan itu masih didekorasi kertas bermotif bunga-bunga emas yang sepertinya menjadi motif dasar seluruh kertas dinding di istana ini. Di pojok kamar ada sebuah meja rias besar mirip seperti yang dimiliki para aktris Broadway. Lalu ada televisi dan seperangkat alat multimedia yang Elisa sendiri tidak tahu apa fungsinya. Di dekat perapian listrik, ada dua rak kayu penuh buku yang menjulang hingga mencapai langit-langit.

Elisa masuk kamar mandi dan ternganga. Itu adalah kamar mandi paling besar yang pernah dilihatnya, ukuran bak mandinya cukup untuk menenggelamkan seekor kuda nil. Di kamar ganti, ada lemari pakaian yang tak kalah besar dan penuh terisi lusinan busana bermerk serta puluhan pasang sepatu yang cantik-cantik.

Ini sih kamar tidur Cinderella, pikirnya.

Ditutupnya pintu kamar mandi dengan penuh syukur dan melangkah ke tempat tidur. Namun sudah ada orang lain di sana.

Seorang wanita muda berdiri di dekat kasur. Dia mengenakan terusan pendek super ketat warna merah, dengan potongan dada sangat rendah yang membuat payudaranya seolah bisa melompat keluar kapan saja. Sebatang pipa panjang terjepit di jari-jarinya yang juga dipoles warna merah. Busana dan riasannya yang begitu seronok membuat wanita itu kelihatan seperti pelacur.

"Halo," sapa wanita itu. Suaranya serak seperti burung hantu.

"Eh, halo," balas Elisa. "Ada yang bisa kubantu?"

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kau Elisa?"

"Betul. Anda siapa?"

Wanita itu mengulurkan tangannya. "Kitty Cosette, lady's maid-mu."

"Lady's maid? Maaf, aku tak mau merepotkan."

"Itu sudah peraturannya." Kitty mencibir. "Begini, anggap saja aku sahabat baikmu selama di Calondria, oke? Aku harap kita bisa menjalin hubungan yang..." Dia berhenti sejenak. "Profesional."

Elisa sudah tahu tentang pelayan wanita pribadi semacam ini dari serial drama televisi Inggris yang digemarinya, tetapi dia tidak pernah sedetikpun membayangkan akan memiliki pelayannya sendiri. "Apa kau, ehm, pelayan pribadiku?"

"Kurang lebih." Kitty berdiri dan memain-mainkan rokoknya dengan tampang bosan. "Sejujurnya aku agak kurang suka dengan sebutan pelayan. Kesannya terlalu..." Kitty mengucapkan sesuatu dalam bahasa Camish dengan nada jijik. Elisa menduga itu semacam umpatan.

"Mereka masih memakai lady's maid, kan? Di Versailles?"

"Sebetulnya Istana Versailles sudah tak lagi digunakan."

"Oh ya?" Kitty terperanjat. "Sejak kapan?"

"Sejak awal abad kesembilan belas. Prancis sekarang berbentuk republik."

Kitty terkekeh. "Maaf. Pengetahuan sejarahku payah sekali."

"Aku sungguh tak ingin merepotkan. Aku bisa mengurus semuanya sendiri," kata Elisa sesopan mungkin. Penampilan Kitty tidak telihat seperti lady's maid dalam seragam warna hitam mereka, dan jujur saja itu bikin Elisa ragu.

Kitty menjentikkan rokoknya dengan malas. Abunya bertebaran ke mana-mana. "Kau pernah bermimpi jadi putri?"

"Sewaktu kecil rasanya pernah," jawab Elisa jujur. "Tapi aku bukan putri."

"Nah selamat. Hari ini mimpimu jadi kenyataan. Tak perlu memusingkanku. Yang perlu kau lakukan adalah berpura-pura menjadi putri. Putri yang manja. Mintalah macam-macam dan aku akan berusaha menyediakannya untukmu. Tapi aku bukan pelayan pribadi yang terlatih, jadi jangan minta yang aneh-aneh. Kau paham?"

Elisa menarik napas dan menatap pelayan pribadinya itu. Wanita ini gila. "Baiklah. Aku paham. Aku mau tidur...."

Kitty mematikan rokoknya. "Silakan saja. Aku juga mau tidur kok."


...


"Elisa, bangun!"

Ada yang mengguncang tubuh Elisa. Dia menggeliat. "Sekarang jam berapa?"

Suara seorang wanita menyahut. "Jam sembilan pagi!"

"APA?" Elisa langsung meloncat dari kasur. Pikiran pertama yang muncul di benaknya adalah: aku sudah terlambat!

Dia mengerjap-ngerjap dan tertegun. Dia tidak berada di kamar tidurnya.

Apa aku tidur sambil berjalan dan tahunya sudah masuk ke Disneyland?

Keberadaan seorang wanita yang memakai bikini hitam, kain panjang bermotif pantai dan jaket bulu tebal menyadarkan Elisa. Kitty Cosette, pelayan pribadinya berdiri di sampingnya sambil berkacak pinggang. Dia kelihatan berang.

"Apa lagi yang kau tunggu?" bentak Kitty galak. "Ayo cepat mandi!"

Ah, tentu saja, pikir Elisa. Aku sedang berada di Calondria, kerajaan kecil dengan istana indah yang isinya orang-orang aneh yang berpakaian seperti turis dan pelacur.

"Tadi pagi Eugene sudah kemari menanyakanmu. Dia ingin kau menemaninya ke suatu tempat," kata Kitty.

"Dia tidak bilang padamu ke mana?"

"Bukankah seharusnya kau sudah tahu?" balas Kitty ketus. Sikapnya yang pemarah dan cuek jelas bukan kualitas seorang pelayan pribadi yang baik. Elisa bertanya-tanya bagaimana Kitty bisa mendapatkan posisi itu.

"Alfred sudah marah-marah dan terus-terusan mengoceh tentang orang yang tidak tepat waktu," sambung Kitty lagi. "Jadi bisakah kau tolong beranjak dari kasur keparat itu dan bersiap-siap sekarang juga?"

Seingat Elisa, Eugene tidak memberitahunya apa-apa soal kunjungan hari ini. "Alfred juga ikut?"

"Mana kutahu! Kau punya lima belas menit penuh untuk sarapan dan mandi," kata Kitty jengkel. "Nah, apa kau akan berhenti menanyaiku dan segera mandi atau kau ingin kumandikan di tempat tidurmu?"

Elisa mengangkat tangan dengan pasrah. Bukankah pelayan pribadi seharusnya patuh dan ramah? Dia ingin bertanya pada Kitty mengapa sikapnya begitu ketus tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena wanita itu terus-terusan memelototinya. Dia mengangkat baki perak berisi sarapan di hadapan Elisa dan mengingatkan bahwa Elisa masih punya waktu dua belas menit.

Tak ingin mengecewakan Eugene, Elisa melahap sarapannya dalam tiga gigitan besar dan meneguk tehnya dalam satu tegukan panjang. Dia tidak bisa ingat bagaimana rasanya roti isi itu. Tinggal sepuluh menit ketika Elisa selesai dan dia langsung lari ke kamar mandi. Di kamar mandi, Elisa setengah mati menahan godaan untuk tidak mencoba semua sabun dan wewangian serba mahal yang ada di situ.

Kitty berteriak dari balik pintu bahwa tersisa lima menit untuk berpakaian.

"Apa yang harus kupakai?" teriak Elisa sambil meluncur panik ke lemari pakaian. Lemari itu besar dan terisi penuh, mirip etalase butik mahal di Paris.

"Yang mana saja!" sahut Kitty malas-malasan.

"Kau serius? Yang mana saja? Apa tak ada peraturan soal berpakaian?"

"Ini bukan acara resmi. Tak boleh pakaian terbuka, hanya itu peraturannya."

"Aku harus mencobanya dulu," balas Elisa. Sejak absen lari pagi seminggu yang lalu, dia tak begitu yakin soal ukuran tubuhnya. "Lenganku agak besar jadi mungkin...."

"Itu semua sesuai ukuranmu!" bentak Kitty.

"Tapi bagaimana bisa? Maksudku, aku tak memberitahu siapa-siapa—"

"JANESSE YANG MENGISI LEMARI ITU DAN DIA RATUNYA, DIA BISA MELAKUKAN APA SAJA!" teriak Kitty, kehilangan kesabaran. Pintu kamar mandi bergetar akibat teriakannya. "SEKARANG TUTUP MULUT DAN CEPAT BERPAKAIAN! KITA HAMPIR TERLAMBAT!"

Sambil mengutuki betapa cerewetnya pelayan pribadinya, Elisa menyambar setelan blus lengan panjang hitam, rok satin motif tartan, dan sepatu bot. Ternyata Kitty betul, pakaian itu pas sekali sesuai dengan ukuran tubuh Elisa.

Begitu Elisa sudah selesai, Kitty menyambarnya dan menyeretnya menuju elevator terdekat, seperti terbang. "Alfred akan membunuhku," bisiknya ngeri.

Di halaman depan, sebuah limusin dengan bendera kerajaan sudah disiapkan.

"Selamat pagi!" sapa George ceria. Janesse berdiri di sampingnya, tersenyum ramah. Gadis itu memakai gaun terusan ketat warna mawar, rambut panjangnya yang bergelombang disanggul, tapi kali ini dia tidak memakai tiaranya. Seakan punya penata rias kasat mata yang selalu bekerja dua puluh empat jam, Elisa merasa para putri kerajaan selalu tampak menawan. Alfred tidak terlihat.

"Apa kau suka kamarmu?" tanya Janesse.

"Suka sekali," jawab Elisa sungguh-sungguh. Begitu nyamannya sampai aku tidak ingin beranjak. "Terima kasih sudah mengizinkan kami menginap."

Janesse tersenyum kecil. "Bukan masalah. Memang sudah seharusnya, kan?"

"Maaf aku terlambat!"

Eugene muncul di depan pintu. Rambut pirangnya belum disisir sehingga kelihatan mirip rambut George. Kemejanya kusut dan dia mengenakan jins lusuh yang dibawanya dari Prancis. Dikancingnya bagian bawah kemejanya yang terbuka. Dia menatap Elisa dan nyengir. "Wah, Elisa kau cantik sekali."

Lalu tatapannya jatuh pada limusin itu.

"Quinz Celestin, sebetulnya tidak perlu repot-repot. Kami bisa—"

George mengangkat tangannya. "Pertama, kau akan memanggilku George. Kita sudah sepakat soal itu kemarin. Kedua, kau layak menerima perlakuan ini."

Eugene menelan ludah. "Tapi aku bukan—"

"Sama seperti Edward, kau adalah anggota kerajaan," potong Janesse tegas. "George dan aku sudah sepakat untuk melantikmu secara resmi dalam waktu dekat."

Elisa bisa melihat keenganan tersirat di mata biru elektrik Eugene. Sahabatnya itu sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tetapi terpaksa harus menahan lidahnya.

"Kita berangkat sekarang," kata George.

Mereka masuk ke dalam limusin. Kitty dan seorang pria kurus bertampang seperti tikus yang ternyata adalah pelayan pribadi Eugene, naik mobil lain yang menyusul dari belakang. 

Sepanjang perjalanan, tidak ada yang menyinggung soal tujuan mereka. George hanya mengatakan kalau tempat yang mereka tuju terletak di Schwarzenhaus, sebuah kota yang terletak di Barat Calondria, kurang lebih empat puluh lima perjalanan dari ibukota Obsycus. Janesse sekali lagi berperan sebagai pencair suasana. Dia menawarkan rencana untuk melihat-lihat perkebunan teh Calondria yang ternyata sangat termahsyur atau main ski di Larsgard, kota paling tinggi di Calondria. Eugene tidak banyak berbicara, sementara Elisa memilih menjadi pendengar yang baik. Dia tahu tidak sopan menyela pembicaraan George atau Janesse meski sebetulnya dia masih mengantuk dan lebih memilih dibiarkan tidur sejenak.

Akhirnya mereka tiba di sebuah daerah pedesaan. Limusin kerajaan berbelok menuju suatu kompleks bangunan dari batu tanpa jendela yang tampak menyeramkan. Tembok depannya yang kokoh berwarna abu-abu kusam. Ada pagar besar yang mengungkungi kompleks bangunan itu, bagian atasnya dilingkari dengan untaian jaring berduri baja setebal telunjuk orang dewasa.

Seorang petugas berseragam militer menghentikan mereka di pos penjaga dekat gerbang. George menurunkan kaca jendela dan menyapa dengan petugas itu,

"Gute primar."

"Gute primar, Quinz Celestin. Que-vas qui sa donnez?"

"Nos brienne ces les guisse, vos vicite Samantha L'alcquerine et ella cestra, Edward. Ceis Samanthas dura cestra, Eugene par la France et cei meime friaas, Elisa Harris. Que-vas nos matrez insamant?"

"Acquil. Vos saise mais matrez!"

"Ano la'treiz...."

Elisa menyimak pembicaraan itu meski dia tidak tahu apa artinya. Sebagai seorang operator telepon, dia terlatih untuk menangkap beragam aksen. Beberapa kosakata dalam bahasa Camish sangat mirip dengan bahasa Prancis dan Jerman, dengan aksen dan dinamika naik-turun ala Italia.

Palang pembatas gerbang dinaikan dan iring-iringan mereka diizinkan masuk ke halaman depan. Seorang pria raksasa dengan wajah penuh bekas luka menyambut mereka. Dia tersenyum samar ketika George keluar dari mobil.

"Quinzes Celestines! Selamat datang. Ada apa ini, kok mendadak sekali?"

"Tidak apa-apa, Santion Barsequeral. Maaf, saya seharusnya memberitahu Anda sejak jauh-jauh hari," kata George santai. "Perkenalkan, ini Mores Barsequeral, Kepala Penjara Darabaksas,"

Mores menatap Eugene dan Elisa dengan tatapan setajam lampu sorot. "Saya mengenal wajah Anda dengan sangat baik," katanya curiga pada Eugene. "Apakah Anda seorang L'alcquerine?"

"Santion Barsequeral, begini..." serobot Janesse. "Ini adalah saudara kembar Edward: Eugene L'alcquerine, dan sahabatnya Elisa."

"Saudara kembar?" Urat di pelipis Mores berkedut. "Saya tidak tahu kalau Edward punya saudara kembar."

"Begitu juga kami!" kata George riang. "Eugene juga baru tahu segalanya kemarin. Dia hanya ingin menjenguk keluarganya."

Penjelasan itu sepertinya tidak cukup untuk si kepala penjara. Tatapannya pada Eugene berubah dari mengancam menjadi benci, dan Elisa dapat merasakan aura permusuhan yang kuat menguar dari pria itu. Tanpa mengatakan apa-apa, Mores berbalik dan mengantar mereka masuk.

Penjara itu terdiri dari sel-sel dan lorong-lorong panjang yang gelap dan dingin. Suasananya hening sekali, Elisa jadi bertanya-tanya apa betul ada orang-orang yang ditahan di tempat itu. Mores menjelaskan kepada para tamunya mengenai sistem keamanan di Penjara Darabaksas. Dia berkata dengan sedikit angkuh bahwa tak ada tahanan yang dapat melarikan diri dari sini, apalagi di bawah pengawasannya.

Mereka tiba di suatu sudut yang semula tampak sebagai jalan buntu. Namun ada satu ruangan sel disitu. Sel itu dibagi menjadi tiga petak kecil yang terpisah dan ditutup oleh jeruji dan selapis kaca tebal. Penerangan di sana samar-samar sehingga Elisa kesulitan melihat wajah para tahanan yang menghuni sel kombinasi itu.

Tiba-tiba terdengar bunyi berkeresak dari dalam sel itu. Mores langsung tegak. Janesse refleks menggandeng lengan George. Eugene tidak berani mendekat.

Siluet seorang pria muncul dari keremangan.

"Akhirnya kau datang juga."

Continue Reading

You'll Also Like

5.4K 105 16
#195 In Lagu Ini cuma lirik lagu 5SOS dari album "YOUNG BLOOD" Daftar Lagu : - Want You Back - Valentine - Young Blood - Gost Of You - Empty Wallets...
KINANTI By Seje

Historical Fiction

137K 18.5K 52
Historical Fiction #1 By: Alwaysje [Tamat] - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Dipermainkan oleh mimpi. Kinanti tidak tahu ap...
1.4M 12.1K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
144K 19.2K 65
Highest rank #1 Palace VERSI LENGKAP BISA DIBELI DI GOOGLE BOOK/PLAY Awalnya Mong hanya ingin melarikan diri dari keharusan menikah dengan pria pilih...