No MarkBam No Life//OS Colect...

Oleh IggySandoro

46.1K 2.7K 881

Buku ini hanya akan berisi cerita pendek OS/TS Markbam. Semoga suka. List; 1. S&M (Special Chap from love an... Lebih Banyak

1. S&M (special chap from love and pain by Theiz hesty)
2. DREAM
3. My Tears Choco// part 1
4. My Tears Choco// part 2
5. Teaser guys
6. Kiss me - by Teru neko
7. My Slave , My Love - Teru neko
8. My Sugar Daddy
9. The One That Got Away
11. An Idea
12. Because B'Chill
13. Instagram
14. Instagram (2)
15. [Ficlet - Sluty Love]
17. Instagram (3)
18. Ficlet; Denting Piano.
20. Ficlet; Sepotong Hati Yang Hilang
21. Ficlet; Present: You
22. Ficlet; Black Umbrella

16. Different.

1.3K 103 75
Oleh IggySandoro

Mereka... Berbeda. Sangat berbeda. Bahkan tuhan pun telah dengan kejam menunjukkan perbedaan itu dari awal.

Mark Tuan lahir dengan berlian sebagai alas kakinya. didulang sendok emas. Bermandikan susu dan sutra terbaik sebagai alas tidurnya. pangeran Joseon-pun tidak ada apa-apanya.

Terlahir sebagai putra satu-satunya keluarga Tuan, membuat kehidupannya seperti pangeran yang mengalahkan Rajanya sendiri. Mark Tuan, bahkan telah memakai mahkota sedari balita.

Sedangkan, Khunpimook Bhuwakul... hanyalah keturunan asing yang menetap di Korea. Untuk sesuap Nasi pengganjal perut pun, keluarganya harus lembur bagai Kuda.

****
Tittle; Different
Cast;Mark Tuan × Khunpimook Bhuwakul. Got7 member
Genre; Sad Romance
Rated; M
Word; 9643
.
.
.

Note; Tulisan ini tidak untuk di komersialkan, hanya untuk kesenangan saya semata. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari tulisan ini.
Terdapat banyak Plot hole dan alur yang lambat.
.
.
.

Seluruh cast dalam cerita ini bukan milik saya. Mereka milik JYP Ent. dan orang tua masing-masing.
.
.
Don't like don't read. No harassing word allows!

Sandoro Prince present©
Happy reading^^

****

Pertamakali mata mereka bersirobok adalah cara lain tuhan menunjukkan kekejihannya. Mark kecil, telah ditunjukkan bagaimana cara 'menikmati' hidupnya.

Audi putih mengkilap keluar dari sebuah lahan parkir. 'Dream Golf Range' terukir dengan apik diatas gerbang, penanda nama kawasan elit itu.

"Bagaimana latihan Golf-mu?" Tanya seorang wanita cantik pada anak lelaki di sebelahnya. Mobil melaju dengan sedang.

"Biasa saja" Jawabnya acuh. Pemandangan di luar mobil seolah lebih menarik dari wanita di sebelahnya.

"Setidaknya bersungguh-sungguhlah sedikit, Mark. Buat ayahmu bangga dengan prestasi."

"Memangnya apa yang Dad harapkan, Mom?. Aku bahkan hanya baru berumur dua belas tahun!"

"Kau itu anak kami satu-satunya. Memangnya siapa lagi yang akan melanjutkan kerajaan bisnis kita, jika bukan dirimu?...".

Si bocah lelaki bungkam. Topik ini lagi. Demi tuhan, dirinya bahkan belum menginjak bangku sekolah menengah pertama. Tapi sudah suruh ikut andil dalam masalah sepelik harta warisan.

Tidak cukupkah sang Ayah merenggut masa kecilnya? Disaat anak-anak lain tertawa bebas bermain lempar tangkap bersama orangtua mereka; dirinya disibukkan oleh berbagai bimbingan belajar saham maupun dokumen keperusahaan lainnya.

Apakah menjadi pangeran kecil harus serta-merta terjun dalam urusan kerajaannya? Apakah menjadi pangeran akan selalu berakhir menjadi raja? Lalu untuk apa mahkota yang telah bertengger di kepalaku? Untuk apa manusia yang telah bertekuk lutut di kakiku? Sebenarnya dunia gila macam apa yang sedang aku tinggali Ini?

Pikiran kalut Mark teralih ketika sang Ibu meminta Supir untuk memberhentikan laju mobil mereka. Dari jendela disampingnya Mark dapat melihat sang Ibu yang keluar menghampiri sebuah Stand buah-buahan pinggir jalan. Senyum palsu sang Ibu ketika menawar pun tidak luput dari pandangan. Entah apa yang dipikirkan; mereka bahkan lebih dari mampu untuk membeli sebuah Supermarket beserta isinya.

Pada akhir transaksi, sang Ibu memberikan lembaran merah pada si pedagang. Gestur sungkan saat Ibunya menolak kembalian yang diberikan si pedagang tidak kalah palsu dari senyum saat tawar menawar.

Seorang bocah kecil memberikan bungkusan buah yang telah sang Ibu pilih. Sedikit berat, tapi bocah yang disinyalir anak si pedang itu sok kuat. Pipi meringis, walau bibir masih tersenyum manis. Sebelum pergi sang Ibu sedikit mencubit pipi bocah gembil Itu. Masih dengan senyum, wanita itu melenggang.

Semuanya tidak luput dari pengamatan Mark. Dan satu hal yang membuatnya tertegun; untuk pertama kalinya sang Ibu tersenyum tulus, yang bahkan tidak pernah ditunjukkan kepadanya.

Bagaimana mungkin?

"Ah, Buah-buahannya sangat segar. Mereka mengatakan jika mereka memetiknya langsung dari kebun mereka sendiri." Sang Ibu berceloteh tanpa ditanya. Mark mengalihkan kembali fokusnya pada bocah gembil itu, sedangkan si sopir hanya tersenyum menanggapi sang nyonya.

"Tidakkah kau bisa seperti anak itu, Mark?. Dia lebih kecil darimu, tapi sudah bekerja keras membantu orang tuanya. Aku penasaran, apakah dia disekolahkan atau..."

Mark menulikan pendengarannya, ocehan sang Ibu dianggapnya angin lalu. Pandangannya sekali lagi menemui Stand buah yang tadi disinggahi Ibunya.

Bocah gembil itu... Aku membencinya.

*****
****
***
**
💚Different💚
**
***
****
*****

Keduakalinya mereka bertemu adalah di tengah hutan rimba penuh siaga. Bukan karena apa, nyamuk buas mengancam keselamatan darah mereka. Lagi-lagi... Masih dengan tuhan yang senang menunjukan perbedaan keduanya.

Tuntutan tanggung jawab sebgai ketua organisasi siswa, dibumbui ancaman dari sang Ayah; Mark Tuan akhirnya mengikuti acara tahunan sekolah menengah pertamanya, Camping. Bukan ide yang buruk sebenarnya, Ayahnya telah mengeluarkan banyak uang hanya untuk acara tidak penting seperti ini. Camping yang seharusnya menjadi ajang eksplorasi sambil belajar, kini malah jadi ajang ekspose kekayaan.

Mark Tuan tidak tertarik, tanpa diekspose pun kekayaan keluarganya terdengar sampai negri tetangga.

"Yo, sob!. Ayo antarkan Aku" itu Jackson Wang. Teman satu tenda Mark.

"Kemana memangnya?"

"Han Soengsaem-nim menyuruhku mengambil air, di Sungai." Jackson mengangkat ember berukuran sedang di tangan kanan.

"Dimana sungainya?"

"Disebelah sana!" Tangan Jackson terangkat menunjuk timur. "Dekat dengan dengan perkemahan rakyat jelata. Kau tahu, kan?. Aku sangat anti dengan mereka" Jackson berekspresi seolah-olah jijik.

Mark ingin Apatis, tapi dia tau bagaimana tabiat sahabatnya. Helaan napas pun keluar.

"Hm. Baiklah"

Keduanya berjalan beriringan melewati beberapa tenda. Mark tidak mengerti; kenapa area perkemahan saja harus dipisah berdasarkan kasta? Tidakkah itu terlalu mendiskriminatif?

Semakin mereka berjalan, kawasan tenda yang mereka lewati juga semakin murah; jika tidak ingin Mark bilang rongsokan. Beberapa penghuninya yang berada di luar menatap Mark dan Jackson dengan tanda tanya.

Untuk apa murid golongan atas berada di kawasan mereka?

Dunia itu terkadang tidak adil; jika mereka golongan bawah berada di kawasan mereka golongan atas, mungkin pengusiran yang telah mereka dapatkan. Tapi jika sebaliknya? Mark dan Jackson telah memberi contohnya.

"Jangan balik menatap mereka! Nanti kemiskinannya bisa menular" Jackson berbisik.

Mark tidak menanggapi, hanya mendengus dalam hati. Konyol.

Keduanya sampai di Sungai, Mark sedikit terpana dengan keindahan pemandangan di sana, pertengahan musim semi memberikan Landscape berbeda untuk lensanya. Hamparan bunga warna-warni bermekaran di pinggiran sungai, Cherry Blossoms yang berterbangan ditiup angin membuatnya sempurna.

"Ssstt...

"ssstt..

"Markk!!"

Jackson membuyarkan keterpanaanya.

"Hm?"

"Bagaimana caranya aku mengambil air di Sungai itu?. Lihatlah!, sepertinya juga sangat dalam" dahi Jackson mengerut ngeri.

Sungai itu tidak terlalu deras, cenderung tenang. Tapi itulah yang membuat Jackson takut. Si tuan muda Mark mana mau disuruh mengambilkan, kan?.

"Ck. Merepotkan. Suruh siapa kau mau saja disuruh mengambil air?" Mark berdecak tidak suka.

"Aku pikir sungainya tidak seperti ini" Jackson membela diri.

Keduanya masih berdiam diri, tidak ada yang berinisiatif atau memiliki ide lain untuk mengambil air dari sungai tenang dan hampir membeku itu. Sampai dua anak lain datang dan berhasil mengambil air dari Sungai itu dengan cara yang ajaib.

Jackson dan Mark memperhatikan gerak-gerik dua bocah itu. Satu ember yang lebih kecil diikat dengan tali, kemudian dilempar ke tengah sungai. setelah tenggelam, tali ditarik sampai ke pinggir. Dan tadaa.... ember kecil itu terisi air dengan 'ajaibnya', kemudian ditumpahkan untuk memenuhi ember yang lebih besar.

Mark masih memperhatikan keduanya, sampai pandangannya bersirobok dengan bocah yang lebih kecil sedang memegang ember yang lebih besar. Mark tau siapa bocah itu, Mark tau pandangan itu.

Bocah itu... Si gembil?.

"Heii! Sekalian isikan punyaku!" Jackson berteriak -memerintah- yang membuat dua bocah itu menoleh. Belum sempat Mark mencegah, Jackson sudah berjalan mendekat kemudian melemparkan ember yang sedari tadi dibawanya ke hadapan dua bocah itu.

Mark tau mereka bukan dari sekolah yang sama dengan dirinya dan Jackson. Seragam yang mereka gunakan terlalu kucel, murahan bagi Mark.

"Tidakkah kau bisa mengucapkan kata 'Tolong'?" Bocah yang sedari Mark perhatikan menyahut.

Mark tertegun, Jackson mendengus tidak suka. Sedangkan anak yang lebih besar yang sedari tadi mengambil air mencoba melerai.

"Apa kau bilang ? 'Tolong?' Aku tidak sudi mengucapkannya". Jackson menjawab.

"Kalau begitu aku juga tidak sudi mengisi embermu!"

Jackson menggeram, teman si bocah itu telah selesai mengambil air kemudian mengajaknya kembali ke perkemahan. Tidak diduga, Jackson menghampiri dua bocah itu kemudian menendang ember yang telah  penuh terisi air sampai tumpah.

Mark yang sedikit terkejut menghampiri Jackson. Dua bocah itu terlihat sama terkejutnya. Si anak yang lebih besar terlihat sedih, sedangkan anak yang lebih kecil terlihat marah.

"Yah! Apa yang kau lakukan? Kau tidak bisa mengambil air dan malah menumpahkan milik kami?"

"Bam, Sudahlah.. kita bisa mengambilnya lagi" teman si bocah mencoba melerai. Tapi bocah yang dipanggil 'Bam' itu malah semakin terlihat marah.

Jackson menyeringai. "Dengarkan kata temanmu!. Bukankah orang miskin seperti kalian sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan seperti itu?. Sekalian isikan punya kami!" Jackson menendang ember di hadapannya.

Bocah itu terlihat seperti akan meledak. Mark sudah siap menarik Jackson untuk pergi, tapi terlambat. Sebuah tinju mendarat di pipi Jackson dari bocah itu, Jackson limbung.

Teman si bocah memekik kaget, begitu juga Mark.

Belum sempat Jackson berdiri tegak, bocah itu sudah kembali menendang Jackson sampai...

Byurr

... Jackson tercebur ke Sungai.

"Ya, tuhan!. Bambam sudahlah.. ayo kita pergi dari sini saja" teman bocah yang dipanggil 'Bambam' terlihat takut melihat Jackson yang megap-megap berusaha untuk berenang.

Tapi Bambam menolak, dipandangnya Mark yang sudah bersiap untuk menolong Jackson.

"Kau sama saja dengannya!.."

Bambam mendekat dan Mark sedikit panik entah karena apa. Bukan rasa takut yang ada dalam hatinya. Tapi rasa.... ingin tertawa?.

"He..hei! Aku tidak mengatakan apa-"

Bugh

Belum sempat Mark protes, pipi kirinya sudah terkena tinjuan Bambam. Lumayan sakit untuk ukuran bocah yang terlihat bahkan belum genap 13 tahun itu. Teman Bambam kembali memekik kaget, siap untuk memisahkan Bambam dari Mark.

Namun...

Byurrr

Bambam juga mendorong Mark sampai tercebur ke sungai.

"Yah! Bagaimana ini, Bam?. Bagaimana kalau mereka tidak bisa berenang dan mati?"

"Kalau begitu kita kabur saja dari perkemahan, Gyeom! Kita pulang saja naik kereta. Bilang aku tidak enak badan"

Tidak enak badan apanya? Tinjumu saja masih membuat rahangku ngilu.

Untuk pertama kalinya Mark Tuan bersentuhan dengan air Sungai yang tidak diketahui kesterilannya. Anehnya, Mark tidak marah, tidak pada bocah yang memukulnya dengan wajah memerah tadi. Dirinya justru ingin tertawa terbahak-bahak, entah karena apa. Wajah Jackson yang konyol berusaha menghirup udara sambil berenang saja tidak lucu sama sekali. Tapi dadanya bergemuruh, memberikan getaran menyenangkan pada perutnya.

"Ahahahha...

Mark tidak memperdulikan wajah Sweatdrop Jackson yang memperhatikan dirinya terbahak, dirinya hanya melakukan apa yang otaknya suarakan.

Ck. Dasar gembil! Awas saja kau.
.
.
.
"Mark, apakah kau kesurupan? Wajahmu memerah!"

*****
****
***
**
💚Different 💚
**
***
****
*****

Pertemuan berikutnya tidak memerlukan waktu lama, tapi sepertinya tuhan masih tidak merestui, dan Mark Tuan pun tidak menyukainya.

Derap langkah bergemuruh di koridor rumah sakit. Mark dan Ibunya berlari dengan panik. Setelah mendapatkan kabar jika Mr. Tuan kecelakaan, keduanya langsung melesat menuju alamat yang telah diberikan.

"Dimana suami saya, dokter?" Mrs. Tuan bertanya panik.

"Atas nama siap-

"-Raymond Tuan! Kecelakaan mobil"

"Sebelah sini!" Sang suster memimpin jalan.

Mark dan Ibunya dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat, di sana terbaring sang Ayah. Tidak terluka parah, hanya beberapa lecet pada siku dan lututnya.

"Pengawalmu mengatakan jika kecelakaanmu parah, tapi kenapa lukamu sedikit?" Mrs. Tuan bertanya bingung.

Raymond tertawa hambar. "Kau seharusnya bersyukur aku tidak apa-apa, Dorine!"

"Kau membuatku panik, kau tahu?"

Keduanya hening. Mark belum bertanya apapun, masih membiasakan diri dengan situasi, atau mengumpulkan nyawa? Ini pukul satu dini hari, dan dirinya dibangunkan secara paksa. Sebelum bibirnya terbuka hendak bertanya, sebuah suara jeritan tangis kembali membungkamnya.

Suara itu... Aku mengenalnya.

Ketika Mark hendak bertanya, Raymond telah memberikan jawaban.

"Mungkin itu keluarga dari korban yang ku tabrak" pernyataan Apatis.

Tanpa meminta ijin, Mark berlari mendekati suara tangisan itu. Tidak memperdulikan suara Ibunya yang memanggil. Dan ketika dirinya sampai diambang pintu ruang jenasah, seluruh syarafnya membeku, kaku. Bahkan untuk berbalik pun Mark tidak mampu.

Dia... gembilku?

Disana, seorang remaja tengah menangis pilu, sesegukkan. Di hadapannya terbujur kaku sosok yang tidak Mark kenali, penuh darah. Bau amis menguar tidak terelakkan, tapi sepertinya gembil'nya' tidak perduli. Dia justru terus menangisi dan memeluk sosok itu.

"Maee.. hiks hiks. Aku mohon bangun Mae... Mae tidak bisa meninggalkan Bamie seperti ini.. hiks hiks"

Mark Tuan merinding. Demi tuhan, sakitnya sampai ke ulu hati.

"Maee berjanji akan mendaftarkan Bamie masuk SMA-kan? Bamie baru akan ujian besok lusa, Maee... Tidak bisakah Mae menunggu sebentar lagi saja?.. hiks hiks. Bamie janji akan lulus dengan nilai terbaik, Mae harus menunggu, ne?"

Tidak kuat, sungguh!. Jantung Mark serasa akan akan melebur karena sakit yang menderanya. Bukan dirinya yang kehilangan, tapi kenapa sakitnya sangat dahsyat?

"Mae, kenapa Mae tidak menjawab?-

Bodoh! Dia sudah meninggal. Lebih baik kau pergi dari sana! Dia tidak akan bangun lagi.

-Mae tidak boleh meninggalkan Bamie.. seperti ini hiks. Hiks. Bamie tidak punya siapa-siapa lagi. hiks. Hiks.. Bamie takut Mae hiks. Hiks."

Gembilnya masih terus meracau, dan Mark masih di tempatnya mendengarkan. Walaupun hatinya tercabik, tapi tidak seincipun kakinya berbalik.

Sampai pada seorang perawat yang memasuki ruang jenasah itu dan menyuruh Gembilnya untuk bangun sebentar, karena jenasah akan dimandikan -barulah Mark beranjak dari tempatnya. Meninggalkan si kesayangannya yang masih menangis pilu.

Mark berjalan gontai, tubuhnya lemas; seluruh urat syaraf serta sendinya sakit, bermuara di ulu hati. Tidak pernah terpikir jika melihat si kesayangannya menangis akan sesakit ini, tidak pernah terpikir jika mendengar suara tangisannya akan sepilu ini. Mulai sekarang dirinya akan berjanji; Demi ujung rambut sampai ujung kakinya, Mark Tuan tidak akan membuat si kesayangannya menangis lagi. Jika dirinya ingkar, tuhan boleh menghukumnya.

Jadi ini adalah perbuatan ayahku? Dia yang telah menyebabkannya menderita? Dia yang telah merenggut poros kehidupan si kesayangannya.

Bukankah harus ada pertanggung jawaban?.

Mark mempercepat langkahnya kembali ke ruangan dimana sang Ayah ditangani dokter. Yang ada dipikirkannya hanyalah satu; pertanggungjawaban sang Ayah untuk kesayangannya, Untuk Bambamnya.

Sebelum tangannya menggapai knop pintu, sayup-sayup Mark dapat mencuri dengar percakapan Ayah dan Ibunya.

"Apa yang terjadi sebenarnya tadi?" Suara Sang Ibu bertanya lembut.

"Aku sedikit mabuk tadi, clientku mengajak minum sebelum aku pulang. Jadi yeah... Aku menabrak pedagang buah itu".

"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Sepertinya dia memiliki anak yang masih sekolah".

"Apa Lagi?. Bersihkan namaku!. Soal anak itu... Aku bisa mengirimnya ke panti Asuhan".

Apa dirinya barusan tidak salah dengar?. Mengirimnya ke panti asuhan?. Semudah itu?. Bajingan macam apa ayahnya itu?

Pintu UGD dijeblak paksa oleh Mark.

"Dad tidak bisa melakukan itu!" Mark langsung berteriak.

"Apa yang kau bicarakan, Mark Tuan?" Tanya ibunya tajam.

"You can't just send him to the orphanage, just like that!" Mark masih menyalak pada sang Ayah.

"At least, you have to take the responsibility!"

Mrs. Tuan terlihat marah. "Mark Tuan, Aku tidak pernah mengajarimu untuk tidak sopan seperti Ini!, mendikte Dad-mu sendiri? Minta maaf!"

Mr. Tuan tersenyum culas. "Memangnya apa perdulimu, Son?"

"Dia..." orang yang aku sayangi. "....Temanku!"

"Mulai sekarang kau tidak usah berteman dengannya, kalau begitu"

"Apa?" Mark menatap tajam sang Ayah.

"Jauhi dia!. Kalian berbeda, dia tidak pantas berteman denganmu! Untuk menatapmu pun, Tidak!"

Muak, Mark Tuan muak dengan segalanya, segala tentang perbedaan yang mereka sandang, segala perbedaan kasta yang memisahkan. Dirinya manusia, Gembilnya juga manusia. Hal bodoh macam apa sesuatu yang disebut perbedaan itu?.

Kakinya berlari kembali meninggalkan ruangan itu, perutnya mual saking muaknya dengan perkataan sang Ayah.

Jika aku dan gembilku berbeda, lantas apa yang membuatku dan Dad sama?.

Langkahnya membawa Mark kembali keambang pintu yang tadi disambanginya. Tapi disana telah kosong, tidak ada kesayangannya.

Kemana?

Kenapa?

Pertanyaan bersisa, tanpa jawaban. Mengisi relung pikiran yang masih terngiang suara tangisan. Kemanakah kau pergi? Kemanakah harus ku mencari? Kenapa?... harus ada perbedaan?.

*****
****
***
**
💚Different 💚
**
***
****
*****

Mark membiarkan segalanya berjalan sendiri, dirinya tidak melakukan apapun. Menyisakan tanya tanpa pernah terjawab. Ketidakmampuan dirinya melawan sang Ayah membuat segalanya semakin parah, rumit dan menyakitkan. Dirinya mengalah, meski hati sering terasa gundah.

Benarkah dirinya adalah seorang pangeran?. Pangeran macam apa aku ini? Menyelamatkan Cinderelanya dari ibu tiri saja tidak mampu.

Dirinya memang tumbuh; semakin hari semakin tampan, semakin hari semakin memikat. Tapi... kian hari juga kian dingin, kian hari juga kian tidak perduli. Orang mungkin banyak mengidolakannya, memuja bahkan menyembah kakinya. Mark Tuan yang agung... juga si pangeran tanpa tahta.

Hingga suatu pagi Matahari kembali menyinari hati sedingin Es itu. Menghangatkan sampai rasanya perutnya tergelitik, membawa sengatan menyenangkan itu lagi. Seulas senyum terlukis. Disana... Gembilnya tengah berdiri diantara kerumunan para siswa baru.

Terakhir kali Mark melihatnya adalah empat bulan lalu, di ruang jenasah dengan tangisan pilu yang masih sering menggerogoti hatinya. Waktu itu pipinya masih gembil, tidak setirus sekarang. Apa yang telah kesayangannya lewati hingga menjadi semenyedihkan itu?.

Apakah itu semua ulah Daddy-ku? Apakah dia benar-benar mengirimnya ke panti asuhan?.

Mark mendekat perlahan, semua siswa baru yang telah melaksanakan upacara penerimaan tidak boleh masuk kedalam kelas terlebih dahulu, sehingga lapangan sedikit ramai. Tapi, tidak ada satu atensi pun yang menariknya, semua fokus Mark hanya pada satu titik; kesayangannya.

Semakin Mark berjalan mendekat, semakin cepa hatinya bertalu, tangan ingin segera menggapai dan bibir ingin segera menyapa; barang dua atau tiga kecupan, mungkin?.

Tapi ketika jaraknya hanya terpisah tiga meter lagi, tangan yang ingin di gapainya terlebih dahulu ditarik orang lain, alis si kesayangannya bertaut sebelum mengangguk lemah. Mata kecoklatan itu mengedar pandang, bersirobok dengan miliknya. Mata itu tidak sebersinar dulu, tapi masih sanggup untuk merenggut kewarasan seorang Mark Tuan.

Mungkin bukan hari ini.

Hati Mark berkata lirih ketika si kesayangan ditarik pergi.

Tidak apa, masih ada hari esok.

**

Hari-hari berikutnya masih Mark jalani dengan biasa, membosankan. Kecuali satu kegiatan barunya; mengawasi si kesayangan. Satu minggu lebih berlalu setelah kejadian sapaannya yang gagal di lapangan, dan hari esok yang dimaksud setelahnya pun tidak kunjung datang. Mark Tuan masih belum berani menyapa atau sekedar berkata 'Hii'.

Kemana diriku yang absolute itu pergi?.

Saat bell istirahat berbunyi, dirinya akan cepat-cepat pergi ke perpustakaan, memilih spot yang mumpuni untuk mengintai si mangsa. Mark bahkan hafal kemana kesayangannya akan pergi saat di sekolah dalam seminggu ini; istirahat pertama adalah perpustakaan, istirahat kedua adalah roof top untuk menyantap bekal. Aneh memang si kesayangannya ini, tapi Mark tau dirinya lebih Aneh, yang mengintili.

Mark telah mendudukkan bokongnya di kursi paling pojok ketika kesayangannya memasuki perpustakaan, dari sana dirinya bisa bebas mengawasinya tanpa ketahuan. Rak-rak tinggi tapi dengan penataan buku yang jarang adalah alat bantu kamuflase-nya.

Sebenarnya Mark tidak terlalu mengerti apa yang kesayangannya lakukan di perpustakaan; pertama dia tidak membaca buku apapun, tidak makan disana dan tidur pun yang biasanya anak lain lakukan, tidak!. Kesayangannya hanya akan duduk di bangku yang sama dan terus menatap jendela, tidak melakukan apapun sampai bell pelajaran berikutnya berbunyi. Bahkan Mark sudah menghabiskan dua roti isinya.

Aneh, tapi Mark menyayanginya. Sangat.

Pada saat istirahat keduapun sama; Mark akan langsung melesat ke Roof top untuk mengintai si manis, tidak jarang dirinya tergopoh-gopoh berlari dari kelasnya di lantai dua hanya agar sampai lebih dahulu dari si mangsa yang kelasnya di lantai empat. Walaupun hanya dapat menatapnya dari jauh selama tiga puluh menit kurang, Mark rela, kok.

Temannya-Im Jaebum- sering bertanya; mengapa dirinya sering keluar dari kelas bahkan lima menit sebelum bell istirahat berbunyi. Mereka tidak tahu, stalking juga butuh energi; apalagi kantin sekolah dan Roof top itu jauhnya minta dihujat.

Mark buru-buru bersembunyi dibalik tembok ketika suara pintu Roof top berderit. Dirinya kadang ingin tertawa; apakah dirinya benar seorang Mark Tuan? Yang dulu angkuh dan sombong itu? Sepertinya sekarang dirinya tidak ada bedanya dengan salah seorang Nerd di sekolahnya.

Siapa yah namanya? Jimin kalau tidak salah.

Orang yang Mark tunggu masuk sebelum kembali menutup pintu Roof top. Seperti biasa, kotak bekal berwarna biru muda selalu bersama si manis. Kaki kurusnya melangkah memilih tempat duduk untuk menyantap bekalnya. Kadang, Mark akan ikut memakan bekal atau jajanan yang dibelinya dari kantin saat si manis memakan bekalnya. Walaupun dengan jarak... Tapi mereka bisa dikatakan makan bersama 'kan?.

Sial!,aku lupa membeli jajanan tadi.

Kali ini mungkin Mark hanya akan menatap si manisnya makan saja. Tapi tidak apa, hanya menatapnya pun membuat Mark kenyang, kok.

Sebelum si manis membuka kotak bekalnya pintu Roof Top kembali dibuka, kali ini sedikit kasar, bahkan kesayangannya pun sampai terlonjak kaget. Tiga orang yang sangat Mark kenal melewati pintu itu, menyeringai menatap si manis yang menegang di tempat.

Im Jaebum, Jackson Wang dan Park Jinyoung. Mau apa mereka?.

Si manis mundur dua langkah ketika Jaebum mendekatinya, seringaian misterius masih belum hilang dari bibir ketiganya.

"Namamu Bambam, Bukan?" Jaebum bertanya kasar.

Bambam tidak menjawab, masih diam di tempat memegang kotak bekalnya erat.

"Benar, dia!" Jackson menimpali. "Dia yang dulu mendorongku sampai tercebur ke sungai". Tambahnya lagi.

Mark mulai waspada ketika Jaebum menatap kesayangannya dari ujung kepala sampai kaki, langkah mendekat diambilnya ketika Jaebum merebut kotak bekal yang dipegang Bambam dengan paksa.

"Aku ingin tau, apa yang orang miskin bawa untuk makan siangnya".

Kotak bekal direbut paksa dari tangan Bambam yang mulai gemetar, ketakutan. Jaebum membukanya sebelum kerutan jijik muncul di wajahnya.

"Apa ini?" Tanyanya Jijik. "Nasi dan telur? Sampah!".

"Tolong jangan!" Pekikan Bambam menghentikan tangan Jaebum yang hendak membuang bekalnya. "Tolong jangan... bibi Han membuatkan itu untuk bekal makan siangku" lirihnya.

"Lalu apa hubungannya denganku jika aku membuangnya?"

"Jangan... bibi bahkan harus bangun pagi-pagi sekali untuk membuatkan itu untukku!"

Bambam ingat, orang-orang di panti tidak hanya mengurusinya seorang. Ketika Bibi Han dengan senang hati bangun lebih awal hanya untuk membuatkannya bekal adalah hal yang harus disyukuri. Walaupun hanya nasi dan telur gulung sekalipun .

"Jadi kau harus memakannya, kan?" Seringaian ketiganya semakin lebar.

Sebelum Bambam mengangguk...

Plukk

....Nasi dan telur gulung tadi kini bercampur dengan tanah saat kotak bekal itu Jaebum campakkan.

Mata Bambam berkaca-kaca melihatnya, kerja keras Bibi pantinya terbuang sia-sia bersamaan dengan kotak bekalnya yang terbalik.

"Makan! Bukankah kau harus memakannya?" Kali ini Jinyoung yang memerintahkan.

Bambam tidak bergeming. tubuhnya gemetar; antara takut, sedih dan ingin menangis. Tapi dirinya tidak boleh terlalu lemah, atau mereka akan semakin menjadi. Bunyi perutnya yang kelaparan juga tidak menolong, padahal bekalnya sudah tidak tertolong.

"Apa kau akan membiarkan bekalnya terbuang sia-sia? Tidakkah 'sampah' itu terlalu berharga untukmu?"

Ketiganya tertawa keras dengan hinaan Jackson.

Benar, mereka benar. Adik-adiknya di panti belum tentu makan dengan telur gulung dan nasi putih sepertinya. Bambam tidak boleh membuang-buang makanan.

Ketika kaki Bambam menekuk untuk berlutut memungut kembali bekalnya, suara teriakan menghentikannya. Semua atensi teralih pada si pelaku, dengan alis bertaut ingin tahu.

"Berhenti! Jangan lakukan Itu!".

Intonasinya tidak kasar, namun terdengar tegas.

"Mark?" Jackson memandang tidak percaya.

"..."

"Apa yang kau lakukan disini?"

Semua mata disana memandangnya dengan tanya. Mark masih bergeming.

"Jangan bilang, kau-"

"Aku tidak ingin kalian mengganggunya!"

Jaebum mengerutkan dahi, tidak mengerti. 'Sejak kapan seorang Mark Tuan perduli pada orang lain?' Pikirnya.

"Tapi, kau-"

"Tanpa alasan apapun, Jinyoung!" Semuanya bungkam. "Dan aku tidak menerima penolakan, apapun itu".

Mark Tuan yang agung. Mark Tuan yang Absolute. Bisa apa mereka menentang?.

Ketiga perusuh saling berpandangan sebelum melenggang, mengalah pasrah, meski pikir bertanya gundah. Ada apa gerangan? Mark Tuan menolong orang lain.

Kepergian ketiganya meninggalkan senyap pada dua orang yang tersisa. Mark masih memandangi pintu, sedangkan Bambam mencoba kembali memungut bekal, siapa tau masih ada yang bisa dimakan, meski telah bercampur tanah.

"Apa yang kau lakukan?"

Tangan Bambam berhenti ketika pertanyaan meluncur, 'apakah si tuan muda tidak memiliki mata?' Pikirnya.

"Itu sudah kotor, tidak layak makan!".

Mark hendak merebut tempat bekal yang kini berisi nasi dan telur campur tanah itu, tapi si kesayangan menepisnya.

"Mungkin tidak bagimu, tapi layak bagiku"

Tangan itu terus mencoba memisahkan tanah yang menempel pada nasi. 'Keras kepala sekali' cibir Mark. Ketika satu suapan hendak masuk pada mulut Bambam, tangan Mark segera merebut paksa, ditatapnya marah si kesayangan yang balik menatapnya berang.

"Apakah kau tidak mengerti? Ini sudah kotor!" Teriak Mark frustasi.

Tapi yang diteriaki tidak bereaksi, malah menunduk dalam dengan bahu bergetar. Tidak ada suara tangisan. Tapi Mark tau, mata indah itu kini berair.

"Ku mohon... kau tidak tau berapa berharganya itu untukku.."

Mark menatap kotak bekal di tangannya.

Nasi kotor ini, begitu berharga bagimu?

Jika dirinya bukan Mark Tuan, dipastikan raungan tangis akan keluar tanpa malu, demi tuhan. Hatinya sangat sakit saat ini.

"Aku sangat lapar... ku mohon kembalikan padaku!"

Cukup! Mark tidak tangan lagi.

"Kau tunggu disini! Jangan kemanapun!"

Langkah cepat diambilnya, kotak bekal tadi berakhir di tempat sampah. Kemudian derit pintu tertutup terdengar, menyisakan Bambam yang masih berlutut dengan kebingungan.

'Apakah dia tidak mendengar permohonaku?' Tanyanya dalam hati.

'Ya tuhan. Aku lapar sekali'. Perut keroncongan diusapnya. Dirinya belum makan apapun selain sepotong roti tanpa selai tadi pagi saat sarapan, jika itupun dikategorikan sarapan. Jarak sekolah dan panti asuhan yang ditempuh selama satu jam berjalan kaki memakan banyak energinya, dan sekarang harapannya mengisi energi hilang sudah dengan kotak bekalnya yang berakhir di tempat sampah.

Saat perutnya kembali berbunyi, deritan satu-satunya pintu di sana pun menjawab. Mark Tuan muncul dengan keresek besar bagai pahlawan.

Didekatinyalah si kesayangan yang masih terduduk.

"Bangunlah! Ayo, kita makan ini bersama".

Bambam menatapnya, laki-laki di hadapannya dengan napas memburu yang coba di sembunyikan. Wajah tegas, hidung bangir, tampan bagai pangeran. -Tanpa kuda putih. Benarkah orang ini akan menolongnya?.

"Ayo, Bangunlah!".

Tangan kanannya digapai, dibimbing untuk duduk di kursi terdekat.

"Makanlah!"

Keresek yang ternyata berisi berbagai makanan diletakan di tengah. Banyak sekali; ada roti, kue, baso ikan, kue beras bahkan udon-pun ada. Jajanan mahal yang dijual di kantin sekolahnya, yang biasa hanya ditatapnya karena tidak mampu membeli.

"Makanlah..."

Sekali lagi ditawari, Bambam dengan ragu mengambil salah satu bungkus kue beras dengan saus merah menggoda. Di tatapnya kembali orang yang menawari.

"Makanlah, aku membelinya dengan uangku sendiri, kok".

Ditusuknya satu Kue beras lalu masuk ke mulutnya, enak. Bambam kembali menatap Mark yang kini tersenyum tipis balik menatapnya. Tusukan kedua lalu ketiga. Enak, meski sedikit pedas. Tusukan keempat-.

"Ngomong-ngomong... siapa namamu?".

Uhuk Uhuk Uhuk.

Bambam tersedak, dengan panik memukul-mukul dadanya yang terasa perih. Mark pun memberikan botol air minum tidak kalah panik.

Sedikit kurang aja memang. Nama saja belum berkenalan, tapi makanan sudah masuk perut duluan.

Setelah rasa perih pada dadanya hilang, Bambam sedikit menunduk pada Mark dengan malu-malu.

"Kau... bisa memanggilku, Bambam"

"Bambam?"

Tidak perlu sebenarnya, lidah Mark bahkan telah bersahabat untuk menyebut nama itu. Tapi untuk formalitaskan tidak masalah.

"Lalu, namamu?"

"Mark, kau bisa memanggilku Mark... atau Hyung. Mungkin.."

"Mark Hyung?"

Bambam mengerjap lucu bersamaan dengan panggilannya. Namanya sering disebut banyak orang, dengan embel-embel apapun; dari yang formal sampai yang akrab. Tapi jantung Mark tidak pernah berdetak secepat ini karena orang memanggil namanya. Bambam memang memiliki sesuatu yang berbeda sepertinya ...di hati Mark.

Keduanya larut kembali dalam hening, mengesampingkan banyaknya pertanyaan dalam pikiran yang membuat pusing. Bambam mencoba menghabiskan makanannya, walau dengan curi-curi pandang pada orang di sebelahnya. Mark juga begitu, banyak sekali perasaan dalam hatinya yang ingin tersalurkan, tapi ini masih terlalu awal.

Semua akan ada waktunya, kan?.

"Hyung, makanannya bersisa"

"Hm?"

"Apakah aku boleh membawanya pulang? Adik-adikku di panti pasti senang. Lagipula ini banyak sekali. Apa kau memborong semuanya dari kantin?"

"Mm.. ano" Mark bingung ingin menjawab yang mana." Kau boleh membawanya pulang. Dan ya, aku membeli semuanya dari kantin".

"Terimakasih, Hyung. Uangmu pasti banyak sekali"

"Tidak juga"

"Ngomong-ngomong, Hyung?"

"Um?"

"Tadi kau masuk dari mana? Pertama kali masuk Roof Top, tidak ada siapapun?"

"ehhhh?"

*****

Peristiwa di Roof Top waktu itu membawa suka-duka tersendiri untuk Mark; Suka karena akhirnya dirinya bisa saling sapa dan dekat dengan si kesayangan, walaupun dengan duka hati yang teriris melihat air mata sang pujaan.

Tapi tidak apa, selalu ada harga yang dibayar untuk sebuah kebahagiaan, Kan?.

Matahari telah condong kearah barat, membawa sinar keorangean hangat bersirat. Sore menjelang, dan sekolah pun telah waktunya pulang. Semua murid saling ingin mendahului keluar dari gedung tempat menimba ilmu itu. Tapi tidak dengan Mark, laki-laki tampan kita malah menyandarkan punggungnya di tembok koridor samping kelasnya dengan santai, menunggu sang pujaan keluar bersama kerumunan.

"Mark Hyung!"

Jantung Mark seakan Maraton mendadak, mendapat sapaan manis dengan senyum lebar di bibir membuatnya hampir tersedak. Sungguh, Si pujaan selalu bisa membuat hatinya meledak-ledak.

"H-hai. Bam"

"Mark Hyung jadi mengantarku pulang?"

Mengangguk. Mark tidak kuasa menjawab selagi bibir klimis di hadapannya masih melengkung manis.

"Sungguh?. Kau akan berjalan bersamaku sampai panti selama satu jam?".

"Berjalan?" Tanya Mark ragu.

Dirinya memang memiliki niat mengantar Bambam. Dengan mobil mewah dan supirnya, tentu saja. Tidak dengan berjalan kaki.

Tapi anggukkan antusias di hadapannya sungguh membuat hati Mark lemas, sehingga hanya hela'an napas pasrahlah yang keluar.

Pasrah. Akhirnya Mark-pun mengantar si kesayangannya dengan berjalan kaki, mengabaikan rasa kebas pada betis dan sendinya sendiri. Sungguh, berapa lama dirinya berjalan? Tiga puluh menit pun belum, setengah jalan apalagi.

Mark akan berjanji; mulai sekarang dirinya harus lebih rajin lari pagi.

"Jadi.... setiap hari kau berjalan kaki seperti ini?" Mark memecah hening.

"He'mh"

Sangat tidak spesifik. Biasanya Mark sangat benci jika orang menjawabnya hanya bergumam ataupun jawaban singkat lainnya. Tapi kenapa dirinya tidak bisa marah sekarang? Justru senyum tipislah yang tertempel di bibirnya ketika kepala itu mengangguk menjawabnya. Bambam memang membawa sesuatu yang berbeda untuknya, dan itu membuat Mark semakin ingin tahu lebih jauh tentangnya.

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

Si kesayangan memberikan tatapan tanda tanya. "Tentu, apa itu?"

"Aku sering melihatmu melamun di perpustakaan, tidak melakukan apapun. Apa yang kau lamunkan?"

Dahi si kesayangan bertaut tajam, entah bingung atau heran dengan pertanyaan yang menurutnya runyam . "Mm... Aku sering berkhayal."

"Berkhayal?"

"Ya, Aku sering berkhayal. Andai saja kisah ninja yang sering aku tonton itu nyata".

Kali ini Mark yang bingung. Kisah ninja? Yang nama pemeran utamanya diambil dari makanan pelengkap Ramen itu'kah?

"Kenapa?"

Senyum ringan terpatri di bibir Bambam, senyum yang berubah hambar penuh kemirisan. Senyum yang tidak pernah Mark lihat.

"Aku ingin membantu si tokoh Antagonis untuk membangkitkan mugen Tsukuyomi".

"Mugen Tsukuyomi?".

"Ya, aku ingin hidup di dunia dimana semua orang bahagia, tidak ada yang namanya sakit hati atau kehilangan.. bukankah itu terdengar sangat bagus?"

Mark menghentikan langkahnya, mematung. Bukankah itu seharusnya sebuah candaan penuh tawa? Tapi kenapa hati Mark seakan berdarah mendengarnya?

"Tapi... itu hanya ilusi".

"Aku tidak apa jika hidup dalam sebuah ilusi, Hyung. Karena... sepertinya aku tidak terlalu kuat untuk hidup di dunia nyata yang penuh dengan derita..

... Ah! Aku juga ingin bisa menggunakan Shiki Fuujin. Aku akan menyegel orang yang telah menabrak Ibu-ku, dan meminta pada dewa kematian Shinigami agar tidak membiarkan jiwanya masuk Neraka ataupun Surga. Biarkan melayang sampai Semesta tidak lagi berotasi, sendiri dan penuh ketidak pastian."

Mark masih mendengarkan. Bambam yang beberapa langkah di depannya tengah bercerita, bagaimana dunia nyata memperlakukannya; Penuh sakit, penuh lara. Sampai dunia ilusi jadi pelariannya. Kepala Mark sakit, begitu juga hatinya. Penyebab semua lara pada si kesayangan Mark mengetahuinya. Tapi.. bagaimana jika si kesayangan tau segalanya? Semua penyebab laranya adalah orang tua Mark?.

Bagaimana dengan nasib cintaku?

Bahu ringkih itu.. bagaimana bisa dunia menyakitinya sampai sebegitu hebatnya?

"Hei! Hyung!. Kenapa kau berhenti berjalan? Apa kakimu sakit?"

Mark tersadar telah tertinggal beberapa langkah. "A-ah! Ya, sedikit pegal."

"Kau pasti tidak pernah berjalan jauh. Ahaha".

Oh tuhan! Tawa itu. Bolehkah Mark sekali ini memohon? Agar terlahir kembali suci, dari orang tua yang tidak pernah berbuat dosa. Atau setidaknya tidak pernah menyakiti kesayangannya.

Sisa perjalanan mereka lewati dengan canggung sampai panti. Setidaknya untuk Mark, karena Bambam sedari tadi juga melemparkan pertanyaan ataupun lelucon yang di tanggapi seadanya oleh Mark. Lelaki tampan itu tidak tau, bagaimana rasa bersalah dapat bercokol di hatinya.

"Ah! Sudah sampai, Terimakasih, Hyung. Telah mengantarku."

Sudah sampai?.

Mark Tuan bingung, dirinya belum pernah tahu seperti apa panti asuhan itu. Sekelebat mungkin terlihat menakutkan, tapi entah kenapa membawa suatu energi menenagkan yang belum pernah dia temukan.

Energi ini... seperti Bambam.

"Hyung?"

"E-eh?"

"Aku bilang; apa kau mau mampir?. Bibi Han pasti senang bertemu denganmu."

Mark melirik rumah yang berada di belakang Bambam. Panti asuhan?.

"Ah, tidak usah. Ibuku pasti khawatir jika aku pulang telat."

Si kesayangan terlihat salah tingkah mendengar jawabannya, merasa bersalah.

"A- Mian, Hyung. Ibu-mu pasti khawatir."

Mark hanya tersenyum menanggapi, dirinya berusaha setengah mati untuk tidak mengelus surai si kesayangan yang terlihat lembut. Kakinya melangkah, berbalik pulang dengan perasaan yang legang akan rasa bersalah. Meninggalkan Bambam yang masih memasang senyum dengan kepergiannya.

Oh, Tuhan... kenapa kau membuatku menebus dosa yang tidak aku perbuat?

Setelah Mark menghilang dibalik gang, Bambam segera berlari masuk kedalam panti, dirinya sebagai anak asuh yang paling dewasa harus membantu pekerjaan Bibi Han. Pria manis itu sedikit terkejut ketika sang Bibi tengah mengintipnya dari jendela sedari tadi, memasang senyum miring yang sarat akan godaan.

"Bibi pikir Bambam-ie pulang lebih awal." Wanita cantik itu tersenyum, yang justru membuat Bambam salah tingkah.

"A-ah, Bibi! Aku tadi hanya berjalan sedikit lama dari biasanya."

Bambam tengah memerah, menahan malu dengan sang Bibi yang malah semakin ingin menggodanya.

"Ahaha. Bibi bercanda. Bibi hanya tidak menyangka saja kau pulang dengan anak Mr. Tuan. Itu lebih baik jika kau sudah memaafkan mereka, Bamie. Bamie itu orang baik. Bibi tau itu." Bibi Han mengusap kepalanya.

Tapi perkataan Bibi Han tidak membuat Bambam senang, karena dalam seperkian detik tubuhnya telah kaku, membantu. Sebuah perasaan lama yang telah dia pendam kembali naik ke permukaan. Perasaan ini... adalah rasa sakit yang telah lama hilang, memudar dan pergi. Tapi kini rasa itu kembali, menggores luka lama dengan begitu hebatnya, basah dan berdarah. Begitu menyakitkan.

Kepala Bambam serasa berputar, tubuhnya lemas. Seperti seluruh aliran darahnya turun ke kaki. Otaknya lumpuh, tidak dapat berpikir. Bahkan ketika Bibi Han pamit ke dapur pun dirinya tidak memberi atensi. Tubuhnya terlalu sakit untuk saat ini, sampai aliran dari mata pun tidak dirasakannya.

"Mr. Tuan... adalah orang yang telah membunuh ibuku".

*****
****
***
**
*
♡ Different ♡
*
**
***
****
*****

Pagi Mark Tuan terasa berbeda hari ini. Entah kenapa dirinya tidak bersemangat untuk pergi menimba ilmu, padahal biasanya Alarm belum berbunyi pun dirinya telah bersiap di depan pintu. Hatinya seperti menahannya untuk pergi, tapi mau bagaimana lagi... ini adalah tahun terakhirnya di sekolah.

Suasana koridor juga tetap sama, masih penuh dengan orang yang memujanya. Tapi... mengapa tetap terasa berbeda untuknya?.

Pandangannya menangkap figur yang dikenal, tengah berjalan sambil menunduk seolah memanggul beban.

Ada apa dengan Bambam?

Mark heran, tentu saja. Tidak biasanya sang mentari redup tidak bersemangat.

"Bambam!!"

Suara Mark menggema sepanjang koridor, menghentikan langkah Bambam untuk sesaat, karena tiga detik selanjutnya kaki itu kembali melaju.

Mark mengerutkan dahi, sebelum berlari menghampiri.

"Ada apa denganmu? Kenapa tetap berja-".

Pertanyaan Mark tersendat, pandangan dengan mata sembab bekas air mata itu membuat tenggorokannya tercekat.

Bambam, menangis?

"K-kau... menangis?"

Tangan Mark yang hendak menyentuh pipi ditepisnya, membuat Mark terkejut.

Oh! Tuhan. Jangan katakan kalau Bambam telah tau segalanya?.

"Aku telah tau segalanya... kau tidak usah lagi mendekatiku!. Dan jangan salahkan Tuhan! Karena semuanya adalah kesalahan keluargamu".

Untuk pertamakali dalam hidupnya; mimpi buruk seorang Mark Tuan menjadi nyata.

Siapa yang memberitahunya? Siapa yang memberitahu kalau aku adalah anak dari pembunuh ibunya?.

Mungkin pepatah 'sepintar apapun kau menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium. Sepintar apapun kau menyembunyikan kebohongan, pasti akan terungkap' itu memang benar. Karena hari-hari selanjutnya Bambam selalu menghindar darinya, Mark lebih baik mendapat cacian, umpatan atau bahkan amukan sekalipun dari Bambam. Tapi tidak dengan dihindari, atau bahkan dianggap tidak ada. Mark tidak bisa.

Karena aku membutuhkan pantulan diriku di matamu, sekalipun ditatap penuh benci.

Hari demi hari pun berlalu, masih dengan perasaan Mark yang tidak menentu. Si kesayangan masih tidak menatapnya, menganggapnya tidak ada. Dan Mark sudah tidak dapat lagi menahannya. Satu bulan lagi adalah hari kelulusan, dan dirinya butuh Bambam sebagai penyemangat.

Aku tidak bisa terus-terusan menjalani hukuman atas kesalahan yang tidak pernah aku lakukan.

Maka setelah Bell pulang sekolah berbunyi, Mark langsung menyeret Bambam ke atap sekolah yang sepi. Si kesayangan berontak coba melepaskan diri, tapi sia-sia belaka.

Hari ini akan menjadi penentuan segalanya; pernyataan, penolakkan ataupun segala kemungkinan lainnya, Mark tidak perduli. Mark akan menjadikan Bambam miliknya.

"Tidak bisakah kau berhenti menghindariku?"

Alis Bambam bertaut mendengar pertanyaannya. Seolah lucu.

"Tidak bisakah kau berhenti menggangguku?"Tanya Balik Bambam. "Tidak bisakah kau berhenti mencampuri segala urusanku?

Tidak bisakah kau pergi saj-"

"- TIDAK BISA!!" Mark berteriak frustasi. "Aku terlalu mencintaimu untuk melakukan itu semua".

Keduanya hening untuk sesaat, nafas memburu karena emosi yang saling meluap. Mungkin sekarang mereka dalam keadaan saling menghunuskan pedang, tapi tidak dapat dipungkiri jika jantung mereka saling berdetak untuk satu sama lain.

Cinta itu... terlalu kentara untuk dianggap remeh.

Pandangan Mark kemudian melembut, menghela nafas. Dalam hal ini, saling egois bukanlah jalan yang tepat.

"Aku sangat mencintaimu, Bam. Aku tidak bisa kau jauhi seperti ini. Duniaku jungkir balik dibuatnya."

Bambam menggeleng.

"Aku tidak bisa, Mark. Seluruh nenek moyang akan mengutukku jika aku bersama dengan anak dari seorang yang telah melenyapkan salah satu keturunannya."

"Kenapa?...

Kenapa harus aku yang kau jauhi? Aku tidak melakukan apapun kepada keluargamu! Aku tidak menyakiti siapapun yang kau sayangi!

Kenapa?... harus aku yang menanggung hukumannya? AYAHKU YANG MELAKUKANNYA!!"

"KARENA KAU ADALAH KETURUNANNYA! Darahmu terkutuk untukku!"

Mark menatap Bambam nanar. Dirinya tau; Bambam juga terluka sepertinya, bahkan mungkin lebih parah.

Kenapa rasanya kita sangat berbeda? Kenapa tuhan sangat menentang kita?.

"Baiklah... jika memang darahku terkutuk untukmu. Aku akan membagi kutukan ini agar kita sama-sama terkutuk. Dan kau tidak memiliki alasan lain untuk tidak bersamaku!".

Saat itu Mark Tuan kalut, putus asa. Merasa kalah dengan permainan tuhan yanga menyulitkan mereka. Dirinya sakit hati, begitu juga Bambam. Tapi ketika si kesayangan menolaknya dan lebih memilih untuk meninggalkannya, dirinya tidak terima. Kesadarannya terenggut, dibutakan; oleh sakit hati dan keputus asaan.

Ketika tangannya menyeret Bambam dan menghempaskannya ke tembok pun Mark tidak sepenuhnya sadar, kemarahan merenggutnya. Dirinya memilih untuk menjadi bajingan, dengan lebih menyakiti Bambam.

Bambam menangis pun dirinya tidak perduli. Ketika dengan gelap mata dirinya menyobek seragam Bambam, mencumbu tubuh itu, mengotorinya, mengambil segala kehormatannya dan memilih untuk jadi lebih bajingan lagi. Hati Mark telah buta, oleh hasrat juga segala perasaan sakit di hatinya.

Khunpimook Bhuwakul, 16 tahun. Dengan kehidupan hancur tidak bersisa. Harga diri sekalipun, tidak.

Mungkin... tuhan tidak sayang padanya.

*****
****
***
**
💚Different 💚
**
***
****
*****

Masa gelap untuk Mark Tuan belum berlalu. Segala cahaya yang lewat di tawarkan tidak berarti, poros kehidupannya telah pergi, membawa serta segala harap yang dia miliki.

Semua adalah kesalahannya, semua adalah kebohodannya. Kekasih hidupnya pergi adalah kutukan untuknya. Mark Tuan, pangeran yang sempurna kini telah tiada. Dirinya kini adalah seorang raja, sang pemimpin kerajaan penuh hampa.

Enam tahun telah berlalu semenjak dirinya terbangun tanpa pakaian di atap sekolah seorang diri, tanpa Bambam di sisinya. Bambam'nya' pergi, dan tidak kembali hingga kini. Selama enam tahun pula dirinya telah mencoba mencari, tapi Bambam seperti ditelan bumi. Tidak ada jejak sama sekali.

Enam tahun pula Mark Tuan merasa hampa. Segala cinta kasih dibawa serta oleh Bambam, yang tersisa pada dirinya hanyalah kegelapan, kesendirian dan penyesalan. Dirinya yang sekarang telah menggenggam segalanya, tapi tidak dengan cinta dalam hidupnya.

"Presdir, satu jam lagi anda akan ada pertemuan dengan Mr. Choi di hotel Grand Vista".

Lamunan Mark terpecah.

"Hm, siapkan segalanya. Kita berangkat sekarang".

"Baik, Presdir".

Sang sekertaris membungkuk sebelum undur diri.

Mark telah mewarisi segala sesuatu yang dimiliki ayahnya dulu.

"Pertemuan nanti akan membahas garis besar kerja sama yang akan Tuan Corp. dan Choi Group jalin. Seperti keuntungan dan pembagian fasilitas ..."

Penjelasan sang sekertaris terasa mengecil di telinganya. Pandangan Mark jatuh pada jalanan kota Seoul yang padat. Mobil yang dikendarainya tidak melaju cepat, sehingga potret jalanan masih bisa dia tangkap.

"Kita telah sampai, Tuan muda".

Mark kembali mengedar pandang, area hotel Grand ArsVista terasa familiar untuknya.

Kawasan ini adalah kawasan yang sering aku dan ibu kunjungi dulu.

Mark berbalik.

Disebrang sana... dulu adalah lapangan Golf. Dan juga kawasan pertama kali aku bertemu dengan Bambam. Sekarang telah menjadi sekolah taman kanak-kanak yang asri.

Tanpa sadar kaki Mark melangkah ke seberang jalan, tidak memperdulikan sekretarisnya yang berteriak jika tujuan Mark sebelumya telah di depan mata.

"Presdir, tempat meeting nya sebelah-

"Batalkan meeting nya!. Aku ada urusan sebentar."

Mark tidak mengerti apa yang membawa kakinya melangkah mendekati bangunan taman kanak-kanak itu. Tapi sebuah perasaan yang sangat tidak asing menuntunnya, terus, sampai dirinya kini telah berdiri di depan bangunan itu.

Si pria tampan mengedar pandang, sepi. Mungkin karena ini telah lewat jam pulang, maka tidak ada anak-anak yang berlalu-lalang.

Pandangannya jatuh pada sebuah ayunan yang bergerak, oleh seorang bocah yang dengan susah payah mengayun dengan kaki pendeknya. Di depan sekolah TK itu tidak ada siapapun. Kecuali bocah kecil itu.

Apa yang dia lakukan seorang diri?.

Dalam dua puluh empat tahun hidupnya, Mark Tuan tidak pernah penasaran pada apa yang orang lain lakukan. Terkecuali Bambam. Tapi kini kakinya telah melangkah mendekati si bocah yang sendirian itu.

"Kenapa kau sendirian?" Tanya Mark ketika telah berada di hadapan sang bocah.

Bocah itu mendongak, menatap heran pada Mark. Kemudia menoleh ke kanan dan ke kiri, bermaksud mencari orang lain yang mungkin saja di tanyai oleh pria dewasa di depannya. Untuk sesaat Mark terpaku saat si bocah menatapnya. Jika dirinya dua puluh tahun lalu di sandingkan dengan bocah ini, semua orang pasti akan mengira mereka kembar.

Kenapa anak ini sangat identik denganku? Siapa dia? Dan... perasaan apa ini?

"Apa kau mendengarku?" Mark bertanya kembali dengan lembut.

Bocah kecil itu mengerutkan dahi, menatap Mark dengan bibir mengerucut, cemberut.

Kenapa anak ini sangat mirip dengan...

"Papa mengatakan jika Icung tidak boleh berbicara dengan orang asing, jadi bisakah paman berhenti bertanya?".

Icung? Anak ini memanggil dirinya sendiri sebagai orang ketiga. Lucu sekali.

Mark Tuan terkekeh, hal yang jarang dilakukannya.

Perasaan apa ini? Kenapa sangat familiar dan nyaman. Siapa sebenarnya bocah ini? Kenapa sangat identik denganku, tapi secara sifat... sangat mirip dengan Bambam.

Si pria dewasa ikut duduk di Ayunan sebelah bocah yang bernama 'Icung' itu, mencoba mensejajarkan diri agar dapat mengorek informasi lebih lanjut. Walaupun pikirannya bertanya-tanya; untuk apa?

"Paman bukan orang jahat, kok."

Si bocah kecil semakin menatapnya aneh. "Lalu jika bukan orang jahat, apa? Aku tidak mengenal paman, dan paman pun tidak mengenalku. Tapi paman bersikap seolah mengenalku!"

Satu kata; cerewet. Anak ini begitu cerewet ternyata. Mark tidak menduga, jika replika dirinya akan sangat menggemaskan dengan karakter banyak tanya. Padahal, tadi anak ini mengatakan jika sang Papa melarangnya untuk bicara dengan orang asing, tapi sekarang?.

"Kau tidak pulang?"

Mark memilih untuk kembali bertanya. Sesuai dugaanya; bocah di sebelahnya ini langsung melupakan tatapan curiganya tadi, kini malah menggeleng lemah dengan lesu.

"Icung menunggu Papa selesai berkerja dulu, baru dia akan menjemput Icung."

Si pria dewasa kembali tertegun.

Anak ini dewasa sekali, mau mengerti keadaan orangtuanya. Pastilah orang baik yang membesarkan anak ini.

"Apakah Ibumu tidak menjemput?"

Lagi-lagi gelengan lesu dari si bocah.

"Icung tidak memiliki Ibu, Paman".

"Oh, Maafkan paman. Kalau be-"

"JISUNG-ah!!"

Keduanya menoleh, secara bersamaan mencari asal teriakan. Disana... seseorang yang sangat Mark kenal tengah terengah mengatur nafas dengan kepayahan, memegang kedua lututnya. Mark membatu.

Diaa...

Tanpa diduga, anak kecil yang sedang Mark ajak bicara melompat dari Ayunan, kemudian berlari memeluk orang yang berteriak nama Jisung tadi.

Jadi... nama anak itu, Jisung?

Mark masih diam ditempatnya. Siapa sangka? Jika hatinya bahkan masih sanggung bertalu dengan cepat hanya dengan menatap wajah itu. Seluruh perasaannya campur aduk; rindu, kesal, menyesal dan... ingin mencium? Semuanya membaur jadi satu, sehingga hanya diamlah yang dapat dilakukannya.

"Maafkan Papa karena telat menjemput Jisung, tadi Papa memiliki banyak pekerjaan tambahan."

Jisung menggeleng."tidak masalah Papa, Icung ada yang menemani, kok".

Senyum ringan sang anak membuat kekhawatiran sang papa memudar. Ditangkupnya kembali wajah sang anak, kemudian dibawanya dalam pelukan.

Hati Mark menghangat melihat pemandangan itu. Dan entah kenapa bayangan dirinya memeluk keduanya terasa sangat nyata dipikirkan.

"Siapa orang yang menemani Jisung? Papa akan mengucapkan terimakasih".

Jantung Mark kembali berdetak tidak karuhan.

"Disana, Paman itu".

Ketika mata orang itu mengikuti arah telunjuk Jisung dan kemudian bersirobok dengan matanya, tubuh Mark seperti tersengat sesuatu.

Tatapan itu... Kenapa sangat menyakitkan.

Mark memegang dadanya. Disana, jantungnya masih berdetak kencang. Tapi dengan rasa sakit pada setiap denyutannya.

Bambam-ah..

Sang Papa mematung. Pandangannya terkunci dengan si Paman tadi. tubuhnya bergetar dengan wajah memucat. Jisung menjadi khawatir.

"Papa..

"Papa..

"Apakah Papa baik-baik saja?".

Jisung mencoba menggoyangkan lengan sang Papa, tapi Papanya masih tidak bergeming. Jisung semakin khawatir, apalagi ketika mata Papanya meneteskan air mata.

"PAPA!"

"A-ah, ya?".

"Apakah Papa Baik-baik saja? Apa Papa sakit?"

Papanya terlihat bingung juga ketakutan.

"Se-sebaiknya kita segera pulang".

"Papa tidak jadi berterimakasih pada Paman itu?".

"Ti-tidak, Ayo!"

Jisung hanya menuruti Papanya. Tangan Papanya bergetar dan dingin, seperti ketakutan. Bahkan sang Papa yang biasanya hanya menuntun tangannya pun kini menggendongnya dengan erat.

"Papa... Icung tidak bisa bernafas".

"Ma-maafkan Papa".

Jisung tidak mengerti arti kata Maaf itu... Tapi Jisung tahu, kata itu bukan untuknya.

Mark mengerti segalanya. Bambam yang ketakutan melihatnya pun Mark tahu.

Tapi... Kenapa kau sebegitunya menhindariku? Apakah untuk meminta maaf saja aku tidak pantas?.

Kaki Mark melangkah mengejar Bambam. Baginya tidak ada kesempatan lain lagi. Dirinya harus meminta penjelasan; kenapa Bambam pergi meninggalkannya, pergi seolah menghilang tanpa jejak. Dan tiba-tiba muncul dengan seorang anak yang memanggilnya Papa.

"Bambam-ah!!"

Panggilannya tidak didengarkan.

"BAMBAM TUNGGU!"

Bambam berhenti melangkah, masih dengan Jisung yang berada dalam pelukannya. Beberapa langkah di depan, membelakangi Mark.

"Tidakkah kau ingin menjelaskan sesuatu?".

"Tidak ada yang perlu dijelaskan!".

Dingin, Mark mengepalkan tangannya mendengar nada dingin itu.

"Tentang Jisung-"

"Jisung adalah anakku! Seorang"".

Hati Mark mencelos.

Jadi ? Bambam telah menikah?

Hati Mark kembali sakit.

"Aku tidak ingin kau bertemu lagi denganku... atau Jisung sekalipun. Jadi, bisakah kau berhenti?.".

Bambam kembali melanjutkan langkahnya, tergesa-gesa ingin segera pergi dari tempat itu.

"BAMBAM!-".

- KAU BISA PERGI MENINGGALKANKU, KAU BISA PERGI MENGHINDARIKU SEJAUH APAPUN KAU MAU-

-TAPI AKU TIDAK BISA BERHENTI, KARENA DISINI!-" Mark memegang dadanya.

"- MASIH ADA HATI YANG MENCINTAIMU!".

Bambam tetap berlari, menulikan pendengaran serta hatinya dari teriakan Mark. Jisung dalam pelukannya hanya menatap sang Papa yang berurai air mata.

Aku tidak akan berbalik dan memelukmu, aku telah mencoba dan tuhan pun tidak menyukainya.

Karena...

Kita terlalu berbeda untuk bersama.

Kisah kita bukanlah Upik Abu dan tuannya. Bukan juga Cinderella dan pangerannya. Ini adalah kisah aku dan kau, Khunpimook Bhuwakul dan Mark Tuan, bersama perbedaan yang membentang.

*****
Hari berikutnya Mark Tuan uring-uringan. Pertemuannya dengan Bambam kemarin memecah segala konsentrasi dan fokusnya. Dirinya tidak ingin bekerja, terlalu banyak pertanyaan dalam hati dan pikirannya.

Bambam telah menikah?

Memiliki anak?

Dengan pria atau wanita?

Tapi.. Kenapa Jisung malah sangat mirip denganku?

Atau Jisung...

"Tidak Mungkin!"

Tapi perasaan kemarin itu?...

"Arrrgggghhh!!"

Mark berteriak frustasi ketika semua pertanyaanya tidak memiliki jawaban. Dirogohnya saku celana, mengeluarkan benda persegi sebelum mengotak-atiknya sebentar kemudian menempelkannya ke telinga.

"Hallo, Im Jaebum".

"..."

"Aku ingin kau menyelidiki semua data dari anak bernama Jisung, bersekolah di TK ******. Aku ingin datanya sore nanti".

"..."

"Dia... anak Bambam".

Tut.

Panggilan terputus. Mark kembali menerawang jauh. Jika pemikirannya benar,dan Jisung adalah anaknya dengan Bambam. Mark akan bersumpah; akan melakukan apapun untuk kebersamaan mereka, dan menghancurkan apapun yang mencoba memisahkan mereka.

"Bambam-ah... maafkan aku".

Sore harinya Mark benar-benar syok. Jaebum yang datang dan menjelaskan semua data yang diperolehnya pun kini tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dalam dokumen itu tertulis; Jika Jisung adalah anaknya dan Bambam. Dengan bukti Tes DNA serta surat kelahiran yang menjelaskan jika Bambamlah yang mengandung Jisung. Demi tuhan, Jaebum bersumpah jika data yang diperolehnya akurat.

Kejadian di Roof Top waktu itu...

Mark Tau dirinya Bajingan. Tapi membayangkan bagaimana Bambam yang mengandung Jisung pada umur 16 tahun membuatnya menyadari betapa brengseknya dirinya. Bambamnya mengandung diusia belia, sendirian tanpa dirinya.

Bagaimana mungkin tuhan masih membiarkanku hidup, disaat aku telah benar-benar menghancurkan kehidupan orang terkasihku sendiri.

"Jangan menyalahkan Tuhan, Mark. Dia sedang memberimu kesempatan kedua untuk memperbaiki segalanya. Sekarang pergilah! Dan perbaiki segalanya".

Mark langsung melesat pergi, tanpa diberitahu dua kali pun dirinya langsung menuju sekolah Jisung.

Jisung-ah... maafkan ayahmu ini.

Lalu-lalang anak kecil yang keluar dari gerbang sekolah membuat perasaan Mark semakin tidak menentu, berdebar gugup dan excited sekaligus. Sampai pada anak terakhir yang keluar dari gerbang itu benar-benar membuat Mark menhan nafasnya sejenak.

Jisung keluar gerbang dengan Mata yang langsung menatapnya. Kini Mark sadar, Jisung tidak sepolos itu untuk tidak mengerti segala yang terjadi kemarin.

"Ada apa?... Ayah kemari?"

Mark benar-benar tidak dapat berkata apapun, Jisung, baru saja memanggilnya Ayah?. Hati Mark menghangat, panggilan itu benar-benar membangunkan sesuatu yang lain dalam hatinya. Perasaan seperti lega dan hangat menghinggapi Mark. Sampai lengkungan manis tercetak di bibir itu.

"Katakan lagi!...

"Panggil aku Ayah lagi!...

Jisung tidak melakukannya, bocah itu diam dan hanya menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Sebelum bibir kecil itu bergetar...

"A-ayah ak-"

Mark tidak kuasa untuk tidak memeluk Jisung dan menggendongnya. Jisung terisak dalam pelukannya.

"Maafkan Ayah.. Ayah minta Maaf-" suara Mark tercekat.

"A-ayah.. aku merindukan Ayah. Hiks.. Hiks.. Hiks.".

"Maafkan Ayah, Maafkan Ayah".

Sungguh, tidak ada lagi yang dapat Mark lakukan selain meminta maaf dan membiarkan Jisung terisak di dadanya, sampai bocah lima tahun itu terlelap karena terlalu lelah menangis .

Tuhan... Jika kau masih memaafkan orang sepertiku. Aku meminta maaf.

*
Bambam tidak pernah berlari sepanik ini. Ketika dirinya menerima pesan dari Mark jika Jisung bersamanya membuat Bambam kalang kabut. Pikiran jika Mark akan mengambil Jisung dan menjauhkan darinya membuat dada Bambam sesak. Sehingga tanpa sadar Bambam berlari dari tempat kerjanya ke sekolah Jisung seperti kesetanan, orang-orang yang menatapnya aneh pun tidak diperdulikan.

"Jisung-ah..."

Wajahnya telah berurai air mata ketika tidak menemukan Jisung dimanapun di area sekolah itu. Bambam ambruk, terduduk lemah dengan nafas terengah. Jisung adalah harta satu-satunya yang Bambam miliki. Dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.

"Jisung-ah... Hiks. Hiks.".

"PAPA!!"

Bambam menoleh. Anaknya disana, di depan sebuah Cafe. Berseberangan dengan tempat dimana dirinya terduduk tadi. Jisung melambaikan tangan.

"PAPA, KEMARI!"

Bambam menyeberang jalan dengan sembarang, teriakan dan klakson mobil yang hendak menabraknya pun tidak di perdulikan. Yang terpenting adalah Anaknya.

Jisung langsung memeluk Bambam ketika sang Papa telah dekat.

"Kau bersama siapa disini?"

Jisung tersenyum. Kemudian menarik tangan sang Papa untuk masuk kedalam Cafe itu.

"Icung-ah, Papa tidak punya banyak uang untuk-"

Perkataan Bambam terhenti ketika pandangannya bertemu dengan Mark yang tengah tersenyum padanya. Duduk di sebuah bangku di pojok Cafe.

"Papa, Ayo!"

Si pria manis hanya menurut ketika sang anak menariknya untuk duduk, berhadapan dengan Mark. Sedangkan Jisung lebih memilih memutar dan duduk di pangkuan Mark. Bambam tidak kaget sebenarnya, setelah pertengkarannya dengan Mark kemarin, Jisung selalu bertanya-tanya tentang Mark. Anaknya tidaklah seperti anak lain. Jisung memiliki pemikiran yang dewasa. Mau tidak mau, Bambam menceritakan semuanya; tentang siapa Mark untuk dirinya, dan Jisung sendiri.

Melihat pemandangan di hadapannya membuat Bambam tidak kuasa menahan linangan air matanya; di hadapannya Mark tengah membelai kepala Jisung yang duduk di pangkuannya dengan sayang, mengecupnya, kemudian tertawa bersama. Betapa dirinya ingin melihat pemandangan seperti ini dari dulu.

"Papa, apa kau baik-baik saja?"

Bambam tersadar dari lamunannya, yang bertanya barusan bukanlah Jisung, melainkan Mark. Tangannya kanannya digenggam.

"Terimakasih". Ucap Mark. "Terimakasih telah melahirkan dan merawat Jisung dengan baik".

"Kau... bagaimana bisa kau tahu-"

"Aku telah tahu semuanya, Bam. Dan maafkan aku.. aku tidak ada bersamamu saat-"

"Kau tidak perlu minta Maaf, semuanya bukan salahmu. Semuanya adalah kebodohanku yang kurang berusaha untuk menghindar darimu, waktu itu".

"Bambam, Aku-"

"Aku mengijinkanmu untuk mengakui Jisung, dan membiarkannya memanggilmu Ayah. Tapi tolong... biarkan aku yang tetap merawatnya, aku tidak bisa kalau-"

"Tentu saja kau boleh merawatnya, Bam. Apa yang kau bicarakan? Kau adalah Ib-papanya, kau yang paling berhak atas Jisung-

- kau berkata seolah-olah aku akan memisahkannya darimu".

Tapat sekali. Pemikirannya tentang Mark membuat Bambam tanpa sadar mengutarakan segala ketakutannya. Jisung adalah satu-satunya yang dia miliki. Bambam tidak bisa jika hidup tanpa sang anak. Ditatapnya Jisung yang telah terlelap di pangkuan Mark.

"Dia... sangat mirip denganmu". Bambam berucap pelan, penuh rasa iri. Dan itu membuat Mark tertawa.

"Aku adalah Ayahnya, jadi wajar saja. Tapi menurutku.. sifatnya adalah warisan darimu".

Bambam tersenyum kecil. Mark kembali menggenggam tangan Bambam, sedangkan Bambam menatap tidak mengerti.

"Bam-ah, tolong beri aku kesempatan. Aku ingin memperbaiki segalanya bersamamu. Tolong-"

Genggaman terlepas, Bambam melepaskannya terlebih dahulu.

"Aku tidak bisa, Mark. Maaf, jika kau ingin memperbaiki semuanya, jadilah Ayah yang baik untuk Jisung. Kau tidak perlu-"

"Aku masih mencintaimu, Bam." Potong Mark cepat.

Keduanya terdiam, hening. Bambam tidak dapat membohongi dirinya sendiri, sebenarnya. Dirinya juga masih mencintai Mark, perasaanya tidak berubah. Tapi Bambam ingin semuanya tetap seperti ini, agar tidak ada sakit lagi di kemudian hari.

"Maaf, Aku tidak bisa."

Bambam bangkit dari duduknya, kemudian berjalan mengambil Jisung dari pangkuan Mark.

"Bambam, Aku-"

"Ini sudah larut, Mark. Jisung besok harus sekolah. Aku akan pulang, kau bisa bertemu dengannya lagi besok.".

"Aku antar!".

"Tidak perlu, aku akan naik Taxi".

Begitu cepat, Bambam berlalu dengan cepat keluar dari Cafe. Mark menghela nafas.

"Kau masih saja keras kepala seperti dulu, Bambam-ah.".

Mark merogoh saku celananya, mencari Handphone-nya untuk menelpon seseorang.

"Hallo, aku ada pekerjaan untukmu!".

Jika aku tidak bisa meluluhkanmu dengan cara baik-baik. Aku akan memaksa.

*****

Pagi selanjutnya Bambam terbangun disebuah kamar yang begitu asing untuknya. Kamar ini bukan miliknya, ini.. terlalu mewah. Pemandangan dari jendelanya adalah bangunan tua, bukan sebuah pantai biru dengan ombak menderu.

Jisung?

Pikiran pertamanya adalah sang Anak.

"Jisung??"

Bambam mengedar pandang, Tidak ada Jisung di kamar itu.

Dimana Jisung?

Bambam mulai panik, dengan buru-buru bangun dari ranjang dan keluar dari kamar itu. Jika tidak dalam keadaan panik, mungkin Bambam akan memuji arsitektur rumah atau Villa atau apapun tempat ini sekarang, begitu mewah dan terlihat elegan. Apakah dirinya bermimpi? Ingatan terakhirnya kemarin adalah; dirinya bertemu dengan Mark, kemudian pulang menggunakan Taxi dan... Bambam tidak ingat lagi.

"Jisung.."

Si pria manis ingin merutuk, bisa-bisanya memikirkan hal tidak penting saat putranya tidak ada disekitarnya.

"Jisung-ah!".

Bambam berhasil keluar dari rumah besar itu, dan pemandangan pertama yang di tangkap matanya adalah Pantai.

Dimana ini?

"Bambam, kau sudah bangun?"

Bambam mendapati Mark berjalan mendekatinya, memakai baju pantai lengan pendek dengan celana selutut. Terlihat santai, namun tetap menawan.

"Mark, dimana ini? Dimana Jisung? Dan kenapa kau ada disini juga?".

Mark hanya terkekeh mengesalkan melihat Bambam yang terlihat panik.

"Ini Resort milikku, pulau pribadi bagian luar Hokaido".

"A-apa?".

Ho-Hokaido? Jepang?

"Anak 'kita' ada disalah satu kamar di dalam, kau tidak perlu khawatir. Dia sedikit kelelahan sepertinya-

-Ayo, ikut Aku! Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan kepadamu".

"T-tunggu!!"

Bambam yang masih Blank tidak memberontak ketika tangannya ditarik paksa oleh Mark, berjalan sedikit cepat menuju pantai.

Seingat ku tadi malam aku masih berada di Seoul. Kenapa sekarang?..

Tunggu, bagaimana dia membawaku?

Tangan yang sedang diseret, Bambam lepaskan paksa. Ditatapnya si pria tampan yang kini menatapnya penuh tanya.

"Bagaimana kau membawaku kemari? Seingatku kemarin aku masih berada di Seoul?".

"Mm.. itu..

Bambam menatap semakin tajam.

... Aku menyuruh orang untuk membiusmu dan Jisung. Kemudian menculik kalian kemari. Hehe"

A-apa? Hehe? Apakah dia baru saja terkekeh? Setelah menculikku?

"KAU!!-

Mark yang merasakan tanda bahaya langsung berlari, dengan Bambam yang langsung mengejarnya.

"YACH!!! kau baru saja menculikku dan anakku ke pulau tidak berpenghuni ini, dan kau tertawa 'Hehe' ?"

"Ini pulau pribadi, Bam. Bukan tidak berpenghuni."

"AKU TIDAK PERDULI".

"Aahahah"

Bambam murka, dan Mark pun semakin tertawa. Mereka saling kejar-kejaran di hamparan pasir putih, dengan laut biru membentang seluas mata memandang. Jika dilihat sekilas, Landscape ini memang romantis. Tapi jika dilihat lebih dekat, si pria manis menatap bengis.

"Terkutuklah kau dengan segala kekayaanmu, Mark Tuan!".

Mark tiba-tiba berhenti berlari, kemudian berbalik. Bambam yang sedang berlari kencang kehilangan kontrolnya untuk berhenti, tidak siap dengan Mark yang berhenti mendadak.

Bruk

Bambam menabarak tubuh Mark, keduanya jatuh diatas hamparan pasir putih, dengan Mark yang berada di bawah tubuh Bambam. Si pria tampan menyeringai. Bambam yang sadar keadaan langsung mencoba kembali berdiri, tapi pinggangnya dipeluk erat oleh Mark.

"Mark, lepas!".

Mark tidak bergeming. Pandangannya lurus mengunci mata Bambam. Tangan yang tengah berada di pinggang merambat naik ke punggung, pundak sampai berakhir di tengkuk Bambam.

"Tidak bisakah kau mengalah? Dan mencoba belajar mencintaiku?" Tanya Mark.

"Aku telah mencobanya, dan tidak berakhir baik".

Pandangan mereka masih terkunci.

"Coba lagi, mungkin kau akan mendapatkan Jisung 'yang lain'"

"Sudahlah, Mark. Aku tidak punya waktu unt-mmhhhppp-

Mark menarik tengkuk Bambam untuk mempertemukan kedua bibir mereka. Ini adalah yang dia rindukan, tubuh Bambam yang menempel pada tubuhnya.

"Bambam, Jisung membutuhkan Kita. Sebagai orang tua yang lengkap, kau dan aku. Apakah kau tidak melihat pancaran mata itu ketika kemarin kita duduk bertiga bersama? Dia-"

"- Aku tau! Demi tuhan, Mark. Aku adalah yang mengandung dan melahirkannya, Aku telah melihat kekosongan dimata itu setiap hari".

"Maka mengalahlah! Jika kau memang tidak bisa melakukannya untukku, lakukan untuk Jisung. Lakukan untuk putra Kita!.".

"Aku... terlalau banyak perbedaan diantara Kita, Mark. Aku tidak sanggup menyebranginya".

Tangan Mark kini mengelus helaian rambut Bambam pada dahi.

"Kalau begitu kau hanya cukup diam, mengangguk dan belajar mencintaiku! Biarkan aku yang menyeberangi semua perbedaan Kita, biarkan aku yang menghalau segala rintangannya. Karena demi tuhan, Khunpimook Bhuwakul. Lelaki Ini, sangat mencintaimu".

Untuk kedua kalinya bibir mereka berpagutan, kali ini Bambam tidak menolak. Si pria manis membalas lumatan lembut yang Mark berikan pada bibirnya. Merasakan sengatan metalik ketika tangan Mark dengan lihat menyusuri tubuhnya. Sampai pada Bambam yang butuh bernafas, pagutan mereka baru terlepas.

"Aku akan mencobanya. Dan jika kau meninggalkanku, samudra ini akan menjemputmu!".

Mark tersenyum. "Terimakasih. Tapi....Secara teknis, kau yang meninggalkanku duluan setelah kejadian waktu itu ".

Bambam mencubit perut Mark, yang membuat si lelaki menggeliat kegelian. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Bambam langsung berdiri dan berlari menjauh dari Mark.

"Kejar aku kalau kau bisa!". Bambam meledek sambil berlari.

"Jika aku mendapatkanmu, aku benar-benar tidak akan melepaskanmu, Bambam. Aku akan menikahimu malam ini juga, agar saat Jisung masuk sekolah dasar, dia sudah punya Adik!".

"Yachh!!"

Mark tertawa kemudia ikut berlari mengejar Bambam.

Biarlah badai menerpa, membawa mendung dan guntur bersamaan.

Karena jika kau kuat melewatinya... mentari akan datang membawa sejuta cahaya dan kehangatannya.

Biarlah hari ini aku menangis penuh duka... Karena tuhan telah berjanji; akan selalu ada tawa setelah luka.

Tuhan menciptakan perbedaan, bukan untuk sebagai halangan. Perbedaan diciptakan, karena tuhan ingin kita merasa special.

Kedua lelaki itu sangat berbeda, bagai langit dan awan. Tapi mereka tidak menyerah. Karena mereka tahu, mereka berbeda; ada untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Tanpa kedua lelaki yang sedang kejar-kejaran itu sadari, di sebuah kamar seorang bocah tengah mengucek  kedua matanya. Pandang mengedar sekeliling.

"Papaaaaaaaa. Icung telat kesekolaaaaahhh".

*END*.

Mau cuap cuap sedikit. Sebenernya ini ff udah lama di draf, tapi karena pengerjaannya yang makan waktu, aku sampe males mau lanjutin. Disini aku nyoba cara penulisan yang baru.. semoga kalian bisa bedain. 

Alurnya lambat. Dan word nya suka ga pake ukuran 😅. Udah segitu aja, semoga kalian menikmati dan terhibur sama karya abal-abal ini. Kalau suka monggo di beri VOTE dan Comment nya. Kalau tidak ya sudah, kritik dan saran di tunggu.

Sama mau ngasih tau kalau kita kumpulan Author MB lagi ngapain projek MBHS2018; Markbam Hot summer 2018. Projek ini gak berhadiah kok. Cuma buat seru-seruan aja. Genre, tittle, word, bahasa bebas. Yang penting temanya musim panas dan pairingnya Markbam. Kalau mau ikutan free, di post di akun sendiri. Tag nya di tambahin #Markbamhotsummer2018 dan #happy8thanniversaryMB.
Batas waktu hanya selama  bulan agustus. Yukk yang mau ikutan.  Untuk cover bisa cek di news feed aku.

Banyak Author fav yang ikutan loh. ..

Btw, kalian berapa lama baca satu OS Ini? Hihi

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

8.4M 518K 34
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
MOMENT Oleh was.tedd💨

Fiksi Penggemar

37.1K 4.7K 26
Gxxod x Bbas There's no END for their love story. Cos their END goes to a singular END. And that END is their unENDing Happiness... Canon... Bittersw...
AMETHYST BOY Oleh AANS

Fiksi Penggemar

382K 39.5K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
783K 79.9K 55
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...