THE CRITICAL MELODY [Sudah Di...

By TheReal_SahlilGe

268K 36.9K 4.8K

SELAMAT MENYELAMI! "This book will change your trouble minded about teenage relationship. Because, being fore... More

Chapter-01: Everything Comes Back to You
Chapter-02: Semua Bertemu Karena dan Untuk Sebuah Alasan
Chapter-03: Yang Tak Terduga
Chapter-04: Boys Talk
Chapter-05: Harusnya Tak Pernah Tahu
Chapter-06: Rasi Bintang Tanpa Arah
Chapter-07: Couple Goals
Chapter-08: Selamat Pagi, Pacar.
Chapter-09: Komitmen
Chapter - 10: The Day Before
Chapter - 11: As Ballad As Your Smile
Chapter-12: Memulai Segala Tentang Mereka
Chapter-13: Kisah Yang Tak Pernah Usang
Chapter-14: Kisah Dalam Kisah
Chapter - 15: Kalau Boleh Jujur
Chapter - 16: Lost And Found
Chapter - 17: It's Gonna Be Fine
Chapter - 18: Pretending To Be Fine
Chapter - 19: Accidental Spot
Chapter - 20: Ayah dan Rahasianya
Chapter - 22: Geretak Hujan
Chapter - 23: Ayah, Tentang Rindu
Chapter - 24: Rindu Yang Salah
Chapter - 25: Katakan Dan Dengarkan
Chapter - 26: The Fundamental Of Loving
Chapter - 27: Sorrow
Chapter - 28: Reasons Why
Chapter - 29: Terlepas
Chapter - 30 A : Bicara Serius
Chapter - 30 B: Bicara Serius
Chapter - 31: Semua Tak Sama
Chapter - 32: Hati Ke Hati (Tiada 'Masih')
Chapter - 33: Patah Dan Lenyap
Chapter - 34: Fakta Menyakitkan
Chapter - 35: Senja di Sungai Hudson
Chapter - 36: Pulang
BAB 37: Titik Alfa
[OPEN] Pre-Order Novel THE CRITICAL MELODY

Chapter - 21: Genting

5.7K 817 94
By TheReal_SahlilGe

🎻Louisa🎻

***
⚠⚠⚠
***

Yang aku takutkan dari hidup adalah ketika banyak hal sesekali harus terjadi secara tanpa terduga, termasuk berita buruk. Ini hanya beberapa menit setelah aku dan Pian berpisah dengan Nafis sekeluarga. Ponselku berdering dan suara kepanikan Mama membanjiri telinga. Alex mengejang dan kembali tak sadarkan diri. Itu yang membuatku menepuk-nepuk pundak Pian penuh gusar.

Tanpa perlu harus memohon, Pian dengan sigap mempercepat motornya menuju rute tersingkat ke rumah sakit.

"Please, please, please!" aku bergumam seperti itu sepanjang jalan. Tanganku gemetar mengetik pesan ke Mama. Aku sekuat apa menahan agar tidak sampai menangis di belakang Pian.

Yang dilakukan Pian hanya mengebutkan motornya tanpa banyak berkata. Mungkin dia tidak tahu pasti situasinya seperti apa karena yang kulakukan sedari tadi hanyalah meminta agar dia ngebut, dan itu saja.

Aku sudah tidak mempedulikan dress-ku yang berkelabat tertiup angin, dan rambutku yang berantakan saat turun dari motor. Rumah sakit masih cukup ramai di pukul sepuluh malam. Buru-buru aku melepas heels remajaku yang menyisakan bekas merah di sekitar mata kaki. Pian cukup terkejut melihatku yang bertelanjang kaki hendak berlari ke arah rumah sakit.

"Aku mau ikut ke dalam, Lou," kata Pian saat dia menaruh helm-nya di spion.

Iya, di sana aku berlari seolah lupa diri. Seperti Cinderella yang kabur dengan dua sepatu kaca di tangannya dan sopir kereta kencana yang berlari mengikuti.

Sesampai di koridor yang ada kamar Alexnya, kulihat Mama dan Om Irfan sedang duduk di kursi tunggu. Cara mereka duduk seperti orang yang baru saja melewati badai besar, pasrah.

"Alex," kataku saat di dekat mereka. Mama dan Om Irfan berdiri dan berusaha membuatku tetap tenang.

"Dia sudah melewati masa kritisnya," tenang Om Irfan meski wajahnya tak bisa berbohong kalau yang terjadi sebelum aku datang adalah sesuatu yang menegangkan.

"Tapi, Om. Bukannya dia sudah sempat koma saat itu, dan sadar, dan bisa bicara, dan ... dan ... kenapa tiba-tiba dia begini lagi?"

"Sesuatu masih membekas di kepalanya," Mama menjawab sambil membantuku duduk. Sementara itu Pian menyalami Om Irfan memperkenalkan diri. "Kata dokter ini hanya sisa trauma otak dan semacam reaksi penolakan dari tubuh Alex. Semuanya akan segera membaik," tambahnya.

"Kalau semuanya baik-baik saja kenapa kalian di luar?"

"Masih ada pemeriksaan."

Aku berusaha menenangkan diri. Menyingkirkan segala kemungkinan buruk yang sedari tadi mengerubuti kepalaku seperti ngengat-ngengat kecil pengganggu. Om Irfan sedang dalam perbincangan serius dengan Pian, meski begitu mereka sangat menjaga volume suaranya. Itulah Om Irfan yang kukenal, supel, dan berusaha meyakinkan semua orang di sekitarnya bahwa semuanya baik-baik saja meski di dalam hatinya ... bisa jadi dia menyembunyikan sesuatu.

Tak lama kemudian pintu terbuka dan seorang dokter laki-laki yang usianya masih berkisar kepala tiga keluar. Aku menaruh harapan besar pada senyum kecil di bibirnya. Jangan bilang itu adalah sesuatu yang memang harus dilakukan seorang dokter pada keluarga pasien. Tetap tersenyum apapun situasinya? Semua orang berhentilah menjadi palsu dan katakan sebenarnya apa yang terjadi!

Om Irfan segera bangkit dari duduk untuk mendekati dokter.

"Pasien sudah stabil lagi. Itu hanya kejadian yang kadang memang terjadi dan bisa sangat membuat keluarga khawatir. Tapi sekarang pasien sudah berhasil melawannya," kata dokter.

"Melawan apa?" aku yang paling pertama bertanya.

Dokter menatapku, tersenyum dan dengan tenang menjawab, "Rasa sakit. Karena kasus seperti itu biasanya sangat mencengkeram kepala. Tadi pasien sempat sadar, dan waktu saya tanyakan tentang rasa sakit itu, tampaknya dia sudah berhasil melewatinya."

Aku tahu selama ini Alex pasti sering menahannya! Dan dia tak akan bilang!

Kemudian dokter beralih ke Om Irfan, "Sekarang dia sedang tertidur. Nanti Bapak katakan pelan-pelan ke pasien, seandainya dia merasakan sakit lagi supaya jangan menahannya seorang diri. Coba jelaskan baik-baik kalau dia harus jujur dengan sakitnya. Supaya penanganan bisa segera dilakukan dengan tepat."

Om Irfan mengangguk dengan wajah pucatnya yang berangsur memudar. Hal ini seperti sudah ia duga tentang Alex.

"Tapi sekarang sudah bisa dikunjungi?" tanya Om Irfan.

"Bisa, tapi biarkan situasinya tetap tenang tanpa gangguan. Pasien sangat butuh istirahat."

"Baik, Dok. Terimakasih."

"Umm, kalau lusa keadaannya sudah sangat stabil, akhir pekan pasien Insya Allah bisa dibawa pulang untuk memulai pelatihan kakinya. Atau mau tetap di sini dengan perawatan dari kami."

"Baiknya bagaimana, Dok?"

"Dua-duanya baik, karena secara keseluruhan respon tubuhnya sudah tidak ada gangguan. Tadi hanya sedikit trauma otak saja dan sedikit distraksi ringan pada saraf."

Setelah dokter memberi penjelasan lebih detil bahwa Alex akan baik-baik saja, tidak ada hal lain yang bisa kami lakukan selain berusaha mempercayainya. Sebab berita-berita baik seperti itulah yang harus lebih banyak kami percayai dari pada praduga menakutkan yang menghantui pikiran awam kami.

Saat kami masuk, suster sedang mengecilkan volume pada sebuah musik boks berbentuk kubus. Aku bertanya-tanya kenapa harus ada benda itu kalau Alex memang sedang perlu istirahat? Tapi sebelum suster itu keluar, dia menjelaskan bahwa itu permintaan Alex setiap malam. Dia selalu meminta agar diputarkan musik instrumen sembari dia tertidur.

Dan yang membuat hatiku semakin lemas adalah musik yang sedang mengalun saat itu. Rekaman jernih dari denting permainan pianonya sedang mengalun lirih dari benda kotak itu, Melody of Your Heart,itu lagu tanpa lirik yang Alex hadiahkan padaku lewat selembar kertas partitur. Kita pernah melakukan rekaman berdua. Sekitar lima lagu instrumental yang dimainkan dengan alat yang berbeda, versi piano oleh Alex dan versi violin olehku. Dan persis setelah versi piano dari lagu itu, giliran versi violinku yang mengalun.

Oh, Alex.

Matanya terpejam rapat tanpa ada gerakan sedikitpun dari bulu matanya. Napasnya berembus pelan dan teratur. Dia seperti sudah berada di dunia lain yang membuatnya tak bisa lagi mengenali keberadaanku di ruangan itu. Teruskanlah, Alex, teruskan. Jika di sana kamu menemukan kedamaian yang lebih bisa membuatmu nyaman, tetaplah tidur yang nyenyak. Dari pada kamu harus terbangun dan rasa sakit itu melukai dirimu lagi.

Aku tak apa berdiri di sisimu, menanti sampai kapan saja kamu siap membuka mata dan menceritakan semua keindahan yang berhasil tidurmu lihat dari stimulus instrumental itu.

Aku ingin memarahi dia untuk semua sakit yang dia tahan dan tidak bilang-bilang. Aku ingin memukul perutnya karena selalu berkata baik-baik saja padahal kenyataannya dia menyembunyikan sesuatu. Mungkin bagi dia ini sederhana, tapi dia tidak tahu apa yang harus hatiku pertikaikan dengan akal supaya saat ini bisa yakin dia baik-baik saja.

Pian memberi isyarat kalau dia ingin di luar saja. Wajahnya entah kenapa ikutan pucat dan seperti memikirkan sesuatu yang seberat ini. Padahal Pian hanya melihat Alex sebentar, dan tidak berada di posisiku untuk banyak hal.

Aku, Mama, dan Om Irfan hanya bisa terpaku hening di sana. Yang ada hanya alunan musik lirih itu dan instrumen tambahan lain dari alat medis yang terhubung dengan tubuh Alex. Beep ... beep ... beep .... Sunyi.

***

Alex masih pulas saat Mama keluar hendak membelikan makanan untuk Om Irfan. Sementara aku masih terduduk di sebelah tempat tidur Alex.

Dia beruntung memiliki dua orang tua angkat yang sangat perhatian. Om Irfan tak pernah terlihat keberatan jika harus menunggui Alex di ruangan itu sampai akhirnya diperbolehkan pulang.

Merasa sudah cukup tenang, aku memeriksa ponselku yang hanya ada beberapa pesan WA. Salah satunya dari Pian.

"Kalau kamu sudah punya waktu untuk keluar, sekarang aku ada di kantin RS, Lou. Ada sesuatu yang perlu aku bicarakan."

Aku mengernyitkan dahi membaca pesan itu.

"Kamu belum pulang?" balasku.

"Belum. Masih menunggu."

Karena merasa tidak enak kalau harus membuatnya menunggu lebih lama, aku minta diri ke Om Irfan untuk keluar sebentar. Lagian aku perlu tahu kenapa Pian masih bertahan menunggu di sana.

Pian sedang duduk di salah satu kursi dengan meja kecil. Dia memilih tempat duduk yang agak jauh dari kelompok dokter yang sedang berbincang melepas lelah.

"Maaf, aku nggak pesenin kamu minum karena aku nggak tahu minuman apa yang kamu suka."

"Nggak apa-apa, Pian. Lagipula aku sedang tidak ada selera untuk menelan apapun," jawabku, "Tapi mungkin aku mau pesan jeruk peras hangat saja," ralatku hendak berdiri.

"Kamu di sini saja, biar aku yang pesenin."

Aku tidak ingin memaksa.

Pian pergi memesankan minuman buatku. Anehnya, dia terlihat sangat akrab dengan salah seorang yang ada di kantin.

Dia kembali membawa minuman itu tak lama kemudian.

"Bagaimana kamu bisa tahu arah ke kantin ini?"

"Adikku pernah dirawat di rumah sakit ini beberapa kali sebelum akhirnya dia ... ya. Sekarang berada di tempat dimana Allah memberinya lebih banyak ketenangan."

"Maaf," aku menyimpulkan mungkin ini yang membuat Pian seketika pucat dan berubah ekspresi. Cukup terkejut.

Dia mengangkat bahu, "Dan anehnya kamar yang sekarang ditinggali Alex adalah kamar yang sama dengan adikku dulu. Mungkin sekitar tiga atau empat kali-an kami bolak-balik ke sini."

"Kamu nggak lagi bergurau, kan, Yan?"

Dia mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah foto dirinya yang sedang selfie dengan ... dirinya sendiri? "Pian?" aku bertanya heran.

"Dia lebih cakep dari aku."

"Twin brother?" aku bertanya hati-hati, tapi sama sekali nggak bisa menyembunyikan betapa aku heran dan ... ini sulit dipercaya.

"Namanya Rian. Selang dua belas menit setelah aku lahir."

"Kamu serius?" aku hampir saja menertawai ini secara sopan.

Tahu tidak? Saat itu Pian menjadi sangat lain. Dia melepas blazernya, lalu dia sampirkan di punggung kursi dan hanya menyisakan kaosnya saja. Cara dia berbicara menjadi lain. It's totally not him at all! I knew how chatty he is. And now, w- who is he?

"Kamu lagi kenapa sih?" kali ini beneran aku ketawa sopan.

Tapi dia menolak mendiskusikan tentang dirinya sendiri. Alih-alih dia malah menunjuk foto itu. "Rian anaknya cerewet, cawak, suka ngegangguin aku dari mana saja dia ingin. Ibaratnya dia angin yang suka bikin ribut, dan aku jadi arus air yang tenang."

"Ih, bohong banget. Ini pasti foto editan, ya?"

Dia berdecap. Diambilnya ponsel itu bemaksud menunjukan sebuah foto lain. Tapi kali ini foto itu sangat jelas menampilkan dua potret cowok yang sangat identik! Pian sedikit lebih tinggi. Jika dibanding adiknya, Rian (alm.) memang lebih manis dan cakep. Dan dari ekspresi di foto itu, anehnya aku lebih percaya kalau Pian adalah jenis yang lebih kalem dari pada adiknya. Terlihat dari cara dia yang hanya tersenyum sedangkan adiknya melebarkan senyumnya hingga tiga jari.

"Kenapa aku baru tahu?" kataku.

"Di sekolah nggak ada yang tahu kecuali Rea. Dan mungkin satu atau dua anak yang dulu satu almamater sama aku."

"Tepatnya kapan?"

"Bulan-bulan terakhir kita mau lulus SMP. Aku sempat mogok nggak mau ikut ujian hanya karena nggak tega lihat adikku terbaring di RS, nggak bisa ngapa-ngapain kecuali bernapas. Masa iya sementara aku lulus dan dia harus tertinggal di belakang?" Pian tabah banget pas cerita itu.

"Yan? Ini serius?"

"Kamu perlu bukti yang kayak gimana lagi? Tanya Rea kalau nggak percaya."

"Ya kalau itu jadi susah disangkal," kataku. Sementara itu Pian menyeruput tehnya yang mengepul. "Apa yang terjadi?"

"Leukimia."

Aku menutup mulut dengan tangan.

"Ya nggak adilnya kenapa harus dia bukan aku? Atau seenggaknya kalau harus salah satu dari kami yang sakit itu aku, kenapa nggak kita berdua saja yang ngerasain sakit itu."

"Pian," aku menyebut namanya pelan, "Kalau Pian juga sakit, lalu mana letak adilnya buat orang tua kalian? Kehilangan salah satu dari kalian saja pasti itu sangat berat. Apalagi kalau dua-duanya."

"Nggak tega, Lou. Aku sampai sekarang kalau keinget, masih nggak tega dengan apa yang mesti dialami adikku. Ya dia memang usil bukan main, bawaannya seperti pengin bikin aku marah terus, pengganggu. Tapi bagaimana pun juga, jauh di kedalaman sana sebagai kakak aku nggak bisa semudah itu menerima apa yang menimpa adik. Dan sekarang aku sama kayak kamu, anak tunggal. Tapi tidak lagi dalam waktu dekat, karena Ibuku sedang mengandung."

Itu kabar bagus. Aku tahu persis rasanya jadi anak tunggal. Dan juga sama tahunya seperti Pian yang merindukan kehadiran sosok adik.

"Aku turut berduka atas kejadian itu, Yan. Tapi ikut bahagia juga mendengar kamu mau punya adik lagi."

Dia tersenyum mengedipkan sebelah matanya.

"Tapi aku masih nggak percaya kalau kamu lebih kalem dari pada adikmu. Ya lihat aja, Pian yang selama aku kenal kayak gimana. Cerewet dan banyak tingkah."

"Terus sekarang apa menurutmu aku ini Pian yang selama ini kamu kenal?"

"Nggak juga, sih," ini jujur.

"Aku memang payah, Lou. Itu yang nggak berubah. Tapi, meski Rian udah pergi, aku selalu berusaha buat menciptakan momen seolah dia benar-benar masih ada."

"Maksudmu?"

"Aku berperan menjadi Rian."

Aku belum mengerti dengan maksud Pian.

"Sebenernya aku cukup pendiam, sedangkan Rian sebaliknya," dia memberi waktu sejenak supaya aku memahami. Tapi rasanya aku belum bisa. "Rian suka minum teh," tambahnya sambil menunjuk gelas, "dan aku suka kopi."

Aku mulai paham!

"Rian suka kuning, aku suka hijau. Tapi apa kamu pernah lihat, tasku selama di SMA pernah ganti warna selain kuning? Rian anaknya cerewet, banyak tingkah, sok kenal, dan aku-,"

"And you pretending be him as chatty as he is?"

"Definitely, yes."

"Where is Pian?"

"Pian is dead. Revive Rian."

"Lalu sekarang kamu ini siapa?!"

"Phoenix. Arise from the ashes."

"Gila," aku nggak habis pikir. "Dan Rea tahu semuanya? Tentu dia tahu karena kalian sepupuan."

"Kita berdua sudah sepakat dengan seeeemua ini, dan banyak hal lagi. Aku juga sudah tahu kok apa yang terjadi antar kamu sama Rea."

"Pian?" aku masih heran. "Terlalu banyak informasi baru di sini. Tapi ya, aku sama Rea pada dasarnya memang saling mengerti. Dia punya rahasiaku, dan aku juga menyimpan rahasianya. Sangat lucu memang kalau persahabatan kami sempat kayak pulau tenggelam, yang sekarang muncul lagi."

Pian memandang gue dengan penuh pengamatan. Maksudku, aku pikir ini cara sebenernya bagaimana Pian menatap, bukan yang seperti biasanya ketika dia lagi ... pura-pura jadi Rian. Adiknya. Keduanya malang sekali.

"Kamu yakin sudah tahu semuanya tentang Rea, Lou?"

"Ya nggak. Aku belum banyak tahu tentang dia sama Nafis."

"Itu aku juga sama."

"Ya."

Pian meneguk tehnya lagi. "Kamu tahu sekarang Rea di mana?"

"Ya jelas sedang menikmati musim dingin di Sapporo dan pertukaran pelajar. Dia hebat. Ini memang Rea banget. Sambil menyelam, minum air. Rea punya mimpi bisa menimba ilmu di banyak negara."

"Asal kamu tahu, Rea sedang tidak di Sapporo atau di tempat manapun yang masuk daftar tujuan pertukaran pelajar."

Aku terhenyak sesaat, yang Pian katakan benar-benar membingungkan. "Memangnya ada negara tujuan pertukaran lain?"

"Lou, Rea nggak pernah berangkat ke manapun atau ikut pertukaran pelajar, melainkan ke Liverpool."

Dadaku meledakkan dentuman lain. "Yan??!!" aku tak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutanku. "Please, deh, Yan. Jangan ada informasi konyol lagi. Pertama, kamu ngaku-ngaku punya kembaran, terus pura-pura jadi Rian, dan sekarang informasi ini bener-benar nggak lucu sama sekali. Jelas-jelas sekolah merilis nama-nama siswa yang berangkat waktu itu."

"Ya! Tapi bagaimana kalau semuanya sudah diatur? Ha? Bagaimana kalau aku bilang keluarganya Rea membayar supaya sekolah tetap bungkam? Karena kalau siswa yang paling diemaskan di sekolah kita, yang punya skor terbaik di berbagai mata pelajaran, seorang Milly Reason didengar banyak orang nyimpang dari pertukaran ini, akan jadi aib memalukan buat sekolah!" tiba-tiba nada bicara Pian seolah kesal.

"Ya memang kenyataannya nggak mungkin kok. Nggak bisa lah siswa pertukaran membatalkan sebegitu mudah. Pian!"

"Kamu belum tahu keluarga Reason."

Melihat ekspresi Pian yang menjadi pahit membuatku semakin takut. Takut jika itu benar. Takut jika banyak yang belum aku tahu dari Rea. Intinya aku takut.

"Keluargaku ikut ke bandara waktu itu. Memang keberangkatannya berbarengan dengan jadwal keberangkatan anak-anak yang pertukaran pelajar. Jadi semuanya tak terlihat dan nggak ada yang tahu!"

"Yan, ini..."

Dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto keluarga besar sedang berkumpul di bandara. Dan fakta itu sangat sulit ditampik. Napasku menggebu seiring desakan panas di pelupuk mata.

"Beneran?"

"Aku sudah berusaha membujuk," jawabnya lesu, "Tapi omonganku nggak akan berpengaruh besar."

Aku masih gemetar tak bisa berkometar apalagi.

"Hanya kakaknya, Mas Abam yang masih di sini."

"K-kenapa?"

"Bentar lagi dia lulus kuliah, tanggung."

"Rea juga bentar lagi kelas dua belas, Pian! Lagian untuk apa Rea harus ke Liverpool, ha? Ini nggak masuk akal. Masa Mas Abam juga kenapa nggak berangkat?"

"Karena yang perlu menjalani pengobatan adalah Rea, bukan Mas Abam."

"Pengobatan apa lagi???"

"Rea berbohong ke Nafis soal kelas tari yang baru dia ikuti sejak libur menjelang awal masuk SMA. Piala dan medali yang dia punya kamu tahu kan dia nggak pernah ikut kompetisi menari sebanyak itu. Tapi itu piala mata pelajaran. Nafis mungkin memang cowok pinter yang punya nilai akademik fantastis. Tapi untuk ukuran cowok sepinter dia, bagiku Nafis cukup goblok buat nggak memahami detil dari Rea. Aku curiga Nafis belum pernah mengamati lemari piala itu dari dekat. Dia nggak bisa peka. Dia nggak bisa membaca sekeliling Rea. Sehebat apapun Nafis, di mataku dia payah banget."

Aku memejam, suaraku mulai parau, "Pian, Rea kenapah?"

"Ini ada hubungannya kenapa dia ikut kelas tari. Karena sebenarnya itu terapi buat Rea."

"Iya, Rea kenapa?!" aku nyaris berteriak kencang.

Pian menunduk, ragu-ragu kemudian dia menjawab, "Parkinson."

"Bukan main kamu bercandanya," aku seperti sedang bertengkar sama Pian. "Pian, aku tahu banget Parkinson itu penyakit apa. Dan nggak mungkin penyakit yang kerap diderita manula itu juga diderita oleh cewek seusia Rea!"

"Usia? Bagiamana kalau aku bilang faktor penyebab lainnya adalah genetik?"

Aku kembali bungkam.

"Kamu nggak pernah tahu kan kenapa ayahnya Rea di Liverpool selama itu?" tanya Pian mendesak.

"Beliau pebisnis."

"Ya! Memang, Lou, Memang! Ayahnya memang pebisnis tajir. Tapi Om Edward bertahan di sana karena dia harus menjalani pengobatan untuk sakit yang sama, dan asal kamu tahu usianya mulai memasuki lima puluh tahun."

"Tapi kenapa Rea nggak pernah bilang ke-."

"Dia juga memaksaku buat janji nggak bilang ke siapapun."

"Terus kenapa kamu cerita ke aku? Pian!" aku benar-benar mulai menangis.

"Karena aku lihat Alex tadi, kamar itu, dan semua tentang Rian. Aku melihat kamu yang ketakutan banget kehilangan Alex. Sama kayak aku waktu itu lihat Rian cuma bisa berbaring di kamar itu. Sampai akhirnya Rea masuk ke kepalaku. Aku nggak mau bahkan kamu atau aku atau Nafis atau siapa saja merasakan kehilangan yang sama."

"Alex akan sembuh, Pian!"

"Alex memang akan sembuh, aku lihat dokter bilang semantap itu."

"Dan Rea juga pasti bakal sembuh."

Pian terdiam, menatap cangkirnya. "Itu yang aku katakan saat Rian jelas-jelas punya penyakit yang menakutkan. Tapi kenyataannya?"

Aku kerepotan mengelap air mata.

"Terakhir aku mau mengakui satu hal. Sejak di perkemahan aku sering mengabadikan banyak momen, merekam video, dan itu buat aku kirimin ke rea. Dan ... bahkan pertemuan tadi pas ulang tahunnya Nafis. Aku merekam pembicaraan kita bertiga. Aku pamit ke toilet itu bohong, karena aku sebenernya cuma mau foto kedua orang tuanya Nafis dan adiknya. Untuk apa?" Mata Pian sudah sangat merah. "Rea memintaku untuk mengumpulkan banyak kenangan."

Cukup!

Pembicaraan ini tidak malah membuatku lebih baik. Aku pergi meninggalkan Pian di sana. Aku benci dia. Aku kesal kenapa dia harus bilang. Aku marah kenapa jika semua yang dikatakan Pian adalah suatu kebanaran dan aku harus tahu belakangan.

Aku berjalan kembali ke ruangan Alex sambil menangis seolah aku adalah seorang cewek yang baru saja diputusin Pian.

Pian benar, Nafis cukup bodoh untuk tidak peka dengan semua tentang pacarnya sendiri! Tak lebih bodoh dengan aku yang mengaku sebagai sahabatnya Rea. Ya Tuhan!

***

Keesokannya, aku melihat Nafis sedang di depan kelasnya. Dia berdiri di sebuat tiang penyangga sambil senyum-senyum menelepon. Dia memberi isyarat padaku bahwa yang sedang meneleponnya adalah Rea. Aku tidak tersenyum sama sekali padanya. Betapa anehnya dua orang itu saling mengasihi tapi keterbukaan seperti sudah tidak diperhitungkan lagi dalam hubungan itu. Nafis malah semakin terlihat bodoh di mataku terlepas dari semua skor akademisnya. Pian benar.

Karena kelas kita sudah berbeda, aku hanya melewatinya saja. Dan soal hadiah ulang tahun yang aku janjikan ke Nafis akan diberikan lain waktu ... lupakan! Anggap saja aku nggak pernah mengatakan itu sama sekali.

Terhitung hari itu juga, Pian menjadi dirinya sendiri. Tidak ada lagi Pian yang berpura-pura jadi Rian atau siapa pun itu.

***

Apa yang ingin kalian katakan?

Tuangkan di komentar
dan
Jangan lupa kasih bintang.

See you next chapter

Continue Reading

You'll Also Like

524 290 7
"Tuhan tolong ambil nyawa ini, Aku sudah putus asa" kata kata itu terlontarkan begitu saja dari mulutnya, seorang remaja laki-laki berumur 18 tahun...
9.6K 2.3K 32
[Dimuat dalam Reading List WattpadYoungAdultID kategori Kisah Darah Muda April 2021] Dunia penuh dengan warna-warni. Tetapi Sica tidak punya satu pun...
592K 40.1K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
96.4K 16.1K 29
Bukan serial Netflix! Ini tentang hilangnya buku harian Irene yang menyebabkan seluruh murid SMA Chandrawaka punya rahasia publik bersama: "Irene Val...