Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.7K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

Extended Chapter: Fiona II

3.2K 349 41
By Cassigatha19

Fiona memindahkan dua ember penuh kain basah yang baru selesai dicuci. Sambil mengusap peluh, dia memandang sekitarnya. Bunga-bunga yang dirawatnya telah bermekaran indah. Hilda amat senang penjualan mereka naik dua kali lipat bulan ini. Syukurlah kerja keras mereka membuahkan hasil yang manis.

Selesai menggantungkan kain-kain putih itu pada tali jemuran, perhatian Fiona beralih melihat seseorang dari kejauhan yang menunggangi kuda. Netranya menyipit. Tidak mengacuhkannya, Fiona mengambil lagi embernya lalu membawanya masuk ke rumah. Dia kemudian keluar membawa ketel penyiram.

"Majikanmu kejam sekali menyuruhmu tetap bekerja padahal ini hari libur," komentar lelaki tersebut di atas kudanya.

Ciri khas orang Larөa memiliki rambut cokelat serta iris hazel atau cokelat gelap, begitu pun dirinya. Di lingkungan tempat Hilda tinggal, dia merupakan pewaris tuan tanah yang memiliki ladang dan peternakan paling luas. Namanya Amon Derbè. Kalau keluarga mereka mengadakan perayaan khusus, dia akan menjadi pembeli terbanyak bunga-bunga Hilda.

Amon pertama kali melihat Fiona sekitar tiga bulan yang lalu. Saat itu keluarga Derbè merayakan pernikahan putri sulung mereka dan Amon pergi ke tempat Hilda, meminta disiapkan karangan bunga dalam jumlah yang banyak. Fiona pun bergabung untuk ikut membantu kesibukan Hilda dan pekerja yang lain. Dan melihat seorang gadis yang masih muda dan amat cantik itu melakukan pekerjaannya sepenuh hati, Amon menaruh perhatian padanya. Apalagi rupa gadis itu tidak sama dengan para perempuan yang dia kenal—khususnya manik abu-abu miliknya.

Kadang di sela-sela berburu, Amon sengaja datang dengan dalih mendapatkan sebuket bunga untuk ibunya. Kadang pula dia membuntuti Fiona sewaktu mencari madu di hutan, lalu berpura-pura bersikap pertemuan mereka hanya kebetulan semata. Yang paling mencolok adalah, dia sudah beberapa kali memberikan hantaran kecil untuknya atau Hilda, seperti mentega, susu, atau bahkan jubah bulu dari domba miliknya. Amon pernah mencoba memberikan perhiasan untuk Fiona tapi ditolak.

"Aku menikmatinya, tuan," balas Fiona sembari tetap menyirami bunga.

"Selama di Larөa tidak pernahkah kau pergi ke tempat-tempat yang indah? Pantai Mur akan memanjakan matamu di musim semi seperti ini. Mereka juga mengadakan festival di kota sebentar lagi. Kalau mau, aku bisa membawamu ke sana." Amon turun dari kudanya lalu berjalan mendekati punggung gadis itu.

Fiona tertawa sekilas. "Terimakasih, tapi maaf, aku tidak tertarik."

Amon tidak menyerah. Supaya dia berada dalam jangkauan pandang Fiona, dia lalu berdiri tepat di sebelahnya.

"Kalian apakan mentega yang kuberikan beberapa hari yang lalu? Itu mentega terbaik kami."

"Oh ya, bibi sangat menyukainya. Kami bisa membuat banyak kue dengan itu. Sekarang kami bisa setiap hari menikmati hidangan pencuci mulut."

"Benarkah? Mungkin kapan-kapan aku harus mampir untuk bergabung di jamuan makan malam kalian."

Fiona mengangguk-angguk. "Bibi akan selalu senang dengan kehadiran anda."

"Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana kalau kukatakan jika aku hanya ingin datang ke sini dan menghabiskan waktu denganmu? Mungkin saat makan malam, di waktu istirahatmu."

Tingkah Fiona berubah sedikit kaku. Pertama kali Amon mengajaknya berbicara, Fiona bisa langsung tahu kalau Amon tertarik padanya. Demi menghindari laki-laki itu, Fiona memasang dinding di antara keduanya dan bicara senormal mungkin karena dia adalah pelanggan tetap Hilda. Amon tidak kenal kata menyerah, dan itu membuat Fiona risi.

"Maaf, tuan. Tapi tidak," tolak gadis itu untuk yang kesekian kalinya hingga Amon makin gemas.

"Kenapa?"

"Karena tidak ada alasan kita melakukannya."

Amon mengangkat alis. Benarkah? Amon bertanya alasan gadis itu menolaknya, tapi dia malah menjawab tidak ada alasan? Dia makin penasaran. Kenapa Fiona begitu keras kepala saat menghadapinya? Pekerja lain di rumah Hilda memberitahunya bila Fiona berasal dari Raveann. Informasi selain itu tidak ada yang mengetahuinya karena meskipun ramah pada semua orang, Fiona amat tertutup menyangkut identitasnya sendiri.

Tapi justru itulah hal yang makin menarik bagi Amon. Semakin Fiona menolak, Amon akan semakin menginginkannya.

"Perang memang sudah lama usai, tapi dampaknya masih terasa sampai sekarang ya," ujar Amon sementara Fiona berpindah ke deretan bunga yang lain. Laki-laki itu sabar mengiringi. "Kau berasal dari Raveann yang terkena imbas paling berat. Situasinya pasti sulit untukmu."

"Ya, memang," balas Fiona seadanya.

"Aku bisa membantumu, mengeluarkanmu dari tempat ini dan tidak perlu bersusah payah seperti ini. Jujur saja, tidak sepantasnya perempuan sepertimu menghabiskan waktu hanya untuk mengurusi pekerjaan pelayan. Kau bahkan terlalu bagus untuk menjadi seorang dayang istana."

Kening Fiona berkerut samar. Kupingnya tiba-tiba merasakan panas. Dia tidak lagi memiringkan ketel supaya air keluar. Amon akhirnya mendapatkan tatapan gadis itu, meski dengan cara yang tidak dia inginkan.

"Kalau kau peka, kau tentu tahu maksudku dengan pemberian-pemberian kecil yang kukirim untuk Hilda, padahal aku lebih senang kau yang menerimanya," kata Amon lagi. "Pikirkanlah, Fiona. Sangat mudah mendapatkan hidup yang lebih berarti. Kalau kau menerimaku dan menjadi istriku, aku akan pastikan semua keinginanmu terpenuhi."

Hening selama beberapa detik. Fiona menatapnya lekat dengan raut yang sukar dibaca sementara Amon menunggu balasan gadis itu. Kedipan pelan Fiona seakan membantunya agar laki-laki itu mampu meresapi jawaban yang dia berikan. Fiona benar-benar lelah menghadapi Amon.

"Maaf, tuan. Sekali lagi saya akan berkata tidak," ucapnya. "Saya senang tinggal di sini dan merasa tidak keberatan bekerja. Bila tuan berpikir kami berhutang dari hadiah yang anda berikan.. anda bisa berhenti mengirimkannya mulai dari sekarang."

Kebetulan air di dalam ketel tinggal sedikit. Fiona memiliki alasan untuk enyah dari hadapan Amon. Menunduk sekilas, dia lalu berbalik. Betapa kagetnya dia ketika tiba-tiba laki-laki itu menyambar lengannya lalu memaksanya untuk memutar. Fiona tersentak. Ketel terlepas dari tangannya. Pegangan Amon begitu kuat di lengannya hingga Fiona merasa ngilu. Jantungnya bertalu mendapati sorot kelam laki-laki itu.

Ketakutan perlahan merayapi batin Fiona.

"Aku baru saja memberikan penawaran yang sempurna, tapi kau langsung menolaknya tanpa mempertimbangkan lebih dulu?" Amon tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Tampaknya dia sudah mulai tidak sabar pada tingkah Fiona yang begitu jual mahal. "Seberapa berharganya dirimu hingga membuatku sefrustrasi ini hanya karena menghadapi satu perempuan saja?"

Kata-kata itu seakan meremas hati Fiona tentang kenyataan yang paling ingin dia kuburkan dalam-dalam. Sebaliknya, tidak ada hal yang berharga yang tersisa dalam dirinya.

"Sepertinya kau berasal dari keluarga terpandang sebelum ini. Kutebak, kau telah kehilangan banyak hal bukan?"

Benar, Fiona telah kehilangan semuanya—semuanya, bahkan harga dirinya yang dulunya sangat dia banggakan.

"Aku tidak memerlukan harta ataupun dukungan status dari istriku nantinya, seharusnya itu membuatmu lega bukan? Ayolah, berhentilah bermain-main denganku, Fiona. Atau kau menginginkan sesuatu? Sebutkan saja. Sampai kapan kau akan terus mengulur waktu?"

PLAK!

Ketika tamparan gadis itu mendarat di pipinya, Amon sadar kalau dia sudah keterlaluan. Denyut menyakitkan itu berasal dari kemarahan yang akhirnya tidak mampu ditahan Fiona. Matanya menyorot nanar. Fiona pastilah merasa tersinggung dan terhina oleh ucapan yang dia dengar. Dalam sekali sentak, dia melepaskan cengkeraman tangan Amon. Detik selanjutnya dia berbalik pergi meninggalkan Amon yang mematung.

Laki-laki itu mengusap pipinya yang terasa perih dan berdecap. Bukan hanya Fiona, dia pun terhina menerima tamparan gadis itu dan bertekad akan membalasnya sesudah ini.

***

Setelah memasukkan hanya dua suap sup daging ke dalam mulutnya, Fiona langsung pamit dari ruang makan. Dia kembali mengunci diri di kamar. Batinnya keruh tidak karuan. Dinding kamar itu menjadi saksi betapa dia telah melalui banyak kesulitan saat memutuskan untuk meninggalkan semuanya dan memulai hidup baru. Kadang bila mengingat semuanya, Fiona akan menangis tanpa suara dengan duduk memeluk tubuhnya sendiri di atas lantai, membiarkan daun jendelanya terbuka lebar.

Persis seperti yang dia lakukan saat ini.

Bunyi kepakan sayap mengalihkan perhatiannya seketika. Seekor burung hantu berbulu putih bertengger pada bingkai jendela. Mata besar dan bulatnya menatap Fiona. Ada gulungan kertas kecil yang terpasang di salah satu kakinya.

Fiona menyeka pipinya yang basah kemudian tersenyum menghampiri makhluk yang cantik tersebut.

"Halo, Didasilė," sapa Fiona lalu mengusap lembut kepala burung hantu itu dengan jari telunjuk. Hati-hati dia mengambil gulungan kertas tadi.

Fiona masih ingat jelas pertemuan terakhirnya dengan Cyde sewaktu laki-laki itu memintanya menemani berkeliling Larөa. Cyde menjadi utusan khusus yang diperintahkan langsung oleh Thadurin untuk urusan-urusan yang sifatnya rahasia. Dia selalu sibuk berpergian, menjelajahi lokasi-lokasi yang krusial di Oltra.

Namun walaupun sibuk, Cyde telah beberapa kali mengirim Didasilė untuk membawakan pesan singkat bagi Fiona. Fiona selalu menantikannya dan selalu merasa terhibur tiap Didasilė datang. Bibirnya mengulas senyum membaca tulisan kecil Cyde. Hatinya yang getir sesaat lalu tergantikan oleh perasaan hangat. Melalui suratnya, Cyde berkata kalau dia akan mengunjungi Larөa sebentar lagi.

Fiona menangkup pipinya yang merona. Dengan perasaan yang membaik, dia lalu menuliskan pesan balasan untuk Cyde.

***

Cyde yang mengetahui keindahan pantai Mur saat senja lantas membuat janji bertemu Fiona di sana. Tidak peduli alasan Cyde ke Larөa menyangkut pekerjaan, Fiona senang bila dia bisa bertukar kabar dengannya. Mereka tidak hanya bertukar kabar lewat surat. Berkat Cyde, Fiona jadi tidak ketinggalan berita di Raveann dan Vighę, serta negeri lainnya.

Hubungan mereka katakanlah.. persahabatan? Karena tidak pernah ada kata-kata yang menjurus lebih dari itu. Mungkin karena itulah Fiona merasa nyaman dengannya.

"Apa kau sering ke sini?"

Fiona terperanjat kaget dan langsung membalikkan badan. Cyde menatapnya seperti tanpa rasa bersalah karena telah mengejutkan Fiona. Sejak kapan laki-laki itu berada persis di belakangnya? Berusaha mengendalikan degup jantungnya, Fiona tersenyum lalu kembali menghadap ke depan. Cyde kemudian berdiri di sampingnya.

"Hampir tidak pernah," jawab Fiona.

"Kenapa?"

Takut bila lautan seluas itu akan menggodanya untuk menenggelamkan diri.

"Hanya tidak sempat."

"Dan sekarang kau menyempatkan diri untuk datang bertemu denganku," kata Cyde dengan wajah datarnya.

Fiona tersenyum mengangguk. "Ya, tentu saja. Jarang-jarang aku bisa bertemu dengan teman lama dari Gihon."

Fiona terlalu asyik memandangi lembayung indah di langit senja dan tidak menyadari Cyde tengah menatapnya—tertegun. Apa hanya perasaan Cyde saja, ataukah gadis itu sungguh lebih cantik dari sosok yang bisa dia ingat di pertemuan terakhir mereka? Rambut ikalnya meliuk lembut diterpa angin sore. Kulit wajah Fiona memantulkan cahaya redup matahari hingga tampak bersinar.

"Bagaimana kabar Silvana dan Varoscar?" tanya Fiona yang lalu menoleh pada Cyde.

"Baik. Mereka baik," jawab Cyde.

"Sewaktu di pesta pernikahan, Silvana bertanya di mana aku tinggal. Aku tidak bisa menjawabnya karena tidak yakin ke mana harus tinggal setelah semuanya usai. Mungkin akan menyenangkan bila kami bisa saling berkirim surat.."

"Kau bisa mengirimkannya lewat Didasilė. Aku akan menyampaikannya saat di Vighę."

Senyum Fiona merekah lagi hingga Cyde merasa harus diam menatapnya demi meresapi pemandangan itu.

Pemandangan langit senja yang merah berganti dengan gelap malam. Keduanya memutuskan meninggalkan pantai karena hawa dingin mulai menggelitik kulit.

"Jadi ke mana kau akan pergi setelah ini? Pulang ke Vighę?"

"Ya." Cyde mengangguk. "Aku harus memberi laporan pada Yang Mulia."

Hening. Cyde tidak pernah sekalipun tinggal di negeri yang disinggahinya biarpun malam sudah larut. Fiona mengetahui hal itu dengan baik hingga rasanya sedikit sedih laki-laki itu akan pergi. Entah kapan lagi mereka akan bertemu. Fiona memang punya banyak teman yang juga tinggal di rumah Hilda, tapi tidak ada yang bisa berbagi pikiran seperti yang dia lakukan pada Cyde.

"Apa rencanamu dalam waktu dekat ini?" tanya Cyde tiba-tiba.

Fiona menatapnya tanya. "Maksudmu?"

"Apa kau akan tetap tinggal di sana, dan menetap untuk waktu yang lama?"

Fiona pernah menanyakan hal yang sama dalam hati, tapi sampai sekarang dia tidak pernah menemukan jawabannya. Kedatangannya ke Larөa memang dalam rangka untuk melarikan diri. Tapi apakah dia akan terus-terusan lari dan menghindar seperti ini?

Gadis itu berdehem. Tidak ada tanda-tanda dia akan menjawab pertanyaan Cyde. Seakan memahami jalan pikirannya yang kusut, Cyde mulai memberanikan diri mengutarakan keinginan yang selama dipendamnya.

"Pergilah ke Vighę bersamaku." Ajakan bernada halus itu seketika menarik Fiona dari lamunan. Cyde menatapnya penuh makna. "Saat pertama kali melihatmu di sini.. juga setelah banyaknya pesan yang aku dan kau tukarkan.. aku merasa berbeda."

Keduanya berhenti melangkah dan kini saling berhadapan. Gesekan dedaunan palem mulai tidak lagi bisa merasuk ke pendengaran. Sebagai gantinya Fiona mampu mendengar detak jantungnya sendiri.

"Aku selalu merindukanmu. Dan semua itu semakin bertambah besar tiap aku menerima balasan pesan darimu.."

Mata Fiona nyaris tidak berkedip memandang laki-laki berambut pirang dan beriris biru pucat itu.

"Menikahlah denganku."

"A-aku.. aku tidak—.." Sungguh, suara Cyde terdengar amat merdu di telinganya, bagaikan alunan musik pengantar tidur. Dalam hatinya membuncah kebahagiaan, tapi pelan-pelan pula ketakutannya merayap.

Fiona tidak layak bagi laki-laki sesempurna Cyde. Dia tidak berharga. Fiona yakin kalau Cyde tahu apa yang telah dia alami, laki-laki itu akan menyesal mengucapkan kata-kata tadi.

Cyde mengerjap bingung melihat bagaimana napas gadis itu tiba-tiba memburu. Sorotnya menyimpan kegelisahan dan ketakutan.

"A-aku tidak bisa.. maaf.. maafkan aku!" Mendadak saja gadis itu berlari meninggalkannya, tidak memedulikan seruan Cyde. Buru-buru Fiona menghampiri kudanya, dan dengan tangan yang gemetaran dia mencengkeram tali kekang.

Tangisnya luruh selama perjalanan kembali ke rumah Hilda. Setelah sejauh ini berusaha memulihkan luka batinnya, Fiona mendapati usahanya ternyata sia-sia saja. Bisikan-bisikan mengenai betapa kotornya dia selalu menghantui tiap dia memikirkan jalan menuju kebahagiaan. Dulu Dalga, dan sekarang Cyde.

Fiona telah menyakiti kedua laki-laki itu, tapi dia juga merasakan luka yang teramat sangat.

Sambil mengusap kasar pipinya yang basah, dia melangkah lebar ke pintu depan rumah Hilda. Pandangannya masih menyorot ke bawah ketika tidak sengaja dia melihat sepasang sepatu. Fiona mengangkat wajah. Dia terkejut melihat laki-laki yang dia tampar beberapa hari yang lalu itu kini duduk santai di salah satu anak tangga.

"Ke mana saja kau?" tanya Amon. Fiona benar-benar muak melihat kilat di matanya.

"Saya mau masuk, tolong minggir!" ucap Fiona yang hampir saja melewati Amon, tapi laki-laki itu dengan cekatan menahan lengannya lagi, sama seperti waktu itu.

"Tidak secepat itu." Rahang Amon mengeras. "Apa kau tahu.. tidak ada orang di dalam sana."

"Apa?"

"Pegawai majikanmu semuanya sedang berlibur dan keluargaku mengundang keluarga Hilda untuk hadir di festival sebagai tamu kehormatan. Mereka pasti sedang bersenang-senang di sana. Dan aku.. berbaik hati menjemputmu—itupun kalau kau mau."

Kepala Fiona mulai berdenyut ngilu. Kekesalannya juga perlahan mencapai ubun-ubun.

"Untuk yang kesekian kalinya, tuan!" bentaknya lantang. "Tolong tinggalkan aku sendiri!"

Bukannya menjauh, Amon justru melakukan hal yang tidak pernah diantisipasi Fiona sebelumnya. Tiba-tiba laki-laki itu mendorongnya hingga membentur papan pintu. Tangan kirinya mengulur, mencekik sekaligus membekap mulut Fiona supaya tidak berteriak, sementara tangan yang lain berusaha membuka pintu.

"Kau benar-benar keras kepala," bisik Amon hingga mulutnya nyaris menempel di pelipis Fiona. "Kau lebih suka cara yang kasar? Baiklah, aku akan memberikannya."

Pandangan Fiona memburam. Debar ketakutannya sudah mencapai batas maksimal hingga perlahan melumpuhkan semua syaraf. Punggungnya merasakan gerak pintu yang akhirnya membuka, kemudian Amon berusaha menariknya masuk. Tubuh Fiona hampir melewati ambang pintu itu ketika tiba-tiba saja sebatang anak panah melesat dan langsung menancap di pintu—di antara kepala Amon dan kepala Fiona.

"Lepaskan dia!"

Samar-samar Fiona melihat sosok berambut emas itu melangkah mendekat sambil mengacungkan panah. Mungkin mata Fiona telah mengkhianatinya—karena tidak mungkin wajah marah yang ditampakkan Cyde sama persis dengan rautnya saat Silvana dikabarkan menghilang.

"Kali ini tidak akan meleset," kata Cyde lagi. "Aku bisa jamin panahku akan menembus tengkorakmu."

Amon mengetatkan rahang. Di puncak kekesalannya, Fiona bisa merasakan tangan laki-laki itu agak bergetar. Tidak punya pilihan lain, dia pun melepaskan Fiona, membiarkan tubuh gadis itu merosot begitu saja.

Fiona tersungkur dan dia menangis tersedu-sedu. Dulu dia sangat bergantung pada kekuatan spiritualnya, dan sekarang setelah dia kehilangan semuanya, melindungi diripun dia tidak sanggup.

Cyde menjatuhkan busur dan panahnya begitu saja kemudian menghampiri serta mendekap gadis itu.

"Sst.. tidak apa-apa. Aku di sini..," bisik Cyde sembari mengusap kepala yang bersandar di dadanya.

Beberapa saat kemudian, ketika Fiona berangsur tenang, Cyde tetap membiarkan gadis itu memeluknya, sedangkan dia duduk bersandar di dinding.

"Aku sudah tahu semuanya," ucap Cyde yang kontan saja membuat tubuh Fiona menegang. "Aku sempat singgah di Raveann dan bertemu dengan Dalga. Dulu kau dekat dengannya, sehingga aku berusaha mencari tahu lebih banyak tentangmu dengan mengorek informasi darinya."

"Se-semuanya..?" Fiona tergagap—tidak berani menatap Cyde.

"Mulanya tidak semua." Cyde akui. "Dalga membenarkan soal kekuatanmu yang musnah. Dia tidak pintar menyembunyikan sesuatu, hingga aku langsung tahu ada yang salah."

Tubuh Fiona menegang.

"Kubilang padanya kalau aku sering bertukar surat denganmu dan terkadang menemuimu saat berkunjung ke Larөa. Aku mengaku padanya bila telah jatuh cinta padamu. Ah, dia tidak tampak senang."

Fiona masih diam. Bisa-bisanya Cyde bercanda di saat seperti ini.

"Aku menodongnya terus-terusan. Dia mengancamku dengan berkata akan membunuhku bila menyakitimu. Setelah melakukan berbagai cara, dia akhirnya memberitahukan semuanya, dengan syarat aku harus membahagiakanmu." Laki-laki itu menghela napas panjang. "Kalau kau tidak bisa menerimaku.. aku harus kembali pada Dalga dan membiarkan diriku dihajar habis-habisan."

Air mata Fiona lagi-lagi meleleh. Cyde mengeratkan pelukannya, memberikan rasa hangat yang nyaman bagi gadis itu.

"Aku mencintaimu, Fiona," ucap Cyde setulus hati. Entah harus bagaimana lagi dia harus meyakinkan gadis itu bila kali ini gagal.

"Tapi aku.."

"Aku bukan laki-laki sepicik itu. Perasaanku tidak akan berubah hanya gara-gara hal konyol yang kau takutkan. Semuanya itu tidak berarti apa pun untukku." Cyde melepaskan pelukannya, mendorong tubuh gadis itu hingga tegak di hadapannya. Mata abu-abu sayu milik Fiona masih menatapnya ragu. Tapi untunglah ada seberkas sinar terpancar di sana. "Biarkan aku melindungimu dan membahagiakanmu.. di sisa waktu yang kita miliki."

Perlahan-lahan Fiona mengangguk. Ketakutannya hampir-hampir sirna menerima tatapan lembut Cyde. Mati-matian ditepisnya segala keraguan yang merundungnya. Fiona ingin bahagia. Dia sebenarnya lelah berkubang dalam keputusasaan hampir tiap hari. Bila Cyde adalah penawar lukanya, maka Fiona akan menerimanya dengan tangan terbuka.

Senyum Cyde mengembang. Disibaknya helaian rambut Fiona yang berantakan di sisi wajah. Wajah itu menyorong, mendekat. Fiona memejamkan mata. Mematikan satu inderanya, membuat indera yang lain menjadi lebih peka. Bibirnya merasakan rangkuman manis laki-laki itu kemudian menyambutnya penuh kesediaan.

Rumpang yang kosong telah diisi kembali.

Dan Fiona merasakan jiwanya telah lengkap—pulih dan utuh.

Continue Reading

You'll Also Like

196K 12.4K 19
Keira Hanirasya adalah gadis Jakarta yang cukup berandalan di sekolahnya. Ketika seorang temannya mengatakan jika ia mirip dengan seseorang, Keira ta...
586K 91.5K 28
[Fantasy & (Minor)Romance] Carmelize selalu berakhir bermimpi tentang sebuah kerajaan setiap malam. Hanya ada satu orang yang bisa melihatnya, yaitu...
27.6K 2.3K 35
New York adalah salah satu dari beberapa kota yang mengalami hal mengerikan. Invasi makhluk bertangan empat yang datang bersama satelit tak-diketahui...
14.4K 3.7K 62
Menjadi Penunggang Naga adalah hal paling menyenangkan! Begitulah dugaan Cassidy pada awalnya. | • | Setelah sekian lama tinggal di New Orleans sebag...