The Lost Prince [TAMAT]

By KaiElian

156K 15.7K 467

Elisa Harris tak pernah bermimpi untuk tinggal di istana, punya pelayan pribadi, bergaul dengan ratu, memakai... More

Baca ini dulu yaaa :)
Tentang Calondria
Prolog
1. Rahasia Eugene
Meet the Character: Elisa Harris
2. Selamat Datang di Calondria
3. Sepupu Yang Tak Pernah Bertemu
4. Sang Tamu Kerajaan
5. Pertemuan Keluarga
6. Sebuah Rencana Sempurna
7. Obrolan di Tepi Danau
8. Elevator Nomor Dua Puluh Satu
9. Para Pengagum Rahasia
Meet the Character: Eugene & Edward L'alcquerine
10. Si Tetangga Sebelah
12. Prime Celestine
13. Hubungan
14. Permintaan Eugene
15. Kejujuran dan Kebenaran
16. Andrea
Meet The Characters: George, Janesse & Andrea
17. Gaun Biru Elisa
18. Jamuan Makan Malam Kerajaan
19. Kisah Crassulacea
Meet the Characters - Ratu Raquelle, Crassulacea, Lady Samantha
20. Hilang
21. Bahaya
22. Senjata Pamungkas
22. Sang Pangeran
23. Tamu Tak Diundang
24. Pertemuan Keluarga Bagian 2
25. Ratu Elisa
Epilog
Mari belajar Bahasa Calondria!

11. Seseorang Dari Masa Lalu

2.6K 345 9
By KaiElian


Wanita itu berhenti sejenak di trotoar depan gerai Armani dan celingukan, seperti mencari sesuatu. Dia merapatkan kerah mantelnya ketika angin bertiup, membawa hawa dingin yang membekukan tulang-tulangnya yang tak lagi muda.

Sebuah Audi berhenti di depan wanita itu. Seorang pria dalam balutan seragam sopir yang kurang lebih seumuran dengan wanita itu, keluar dari kabin pengemudi dan dengan sopan menawarkan diri untuk membawakan kantong belanjaan si wanita. Tapi wanita itu menolaknya.

"Tidak perlu, Hans. Aku bisa sendiri."

"Anda ingin pulang sekarang?" tanya si sopir.

Wanita itu tahu tujuannya selanjutnya, tapi dia ragu-ragu. Dua puluh dua tahun sudah berlalu sejak kejadian itu. Dia tidak yakin keadaannya masih sama sekarang. 

Dia menarik napas. "Kita ke Paris, ya, Hans."

"Paris cukup jauh," kata Hans.

"Kau tak keberatan, kan?"

"Tentu tidak," jawab Hans ramah. "Hanya saja, kita akan sampai larut sekali di Paris, Ma'am."

"Tidak apa-apa kalau begitu. Jalan saja."

Wanita tua itu masuk ke dalam mobil dan Audi itu pun melaju. Gerimis mulai turun, membasahi kaca jendela. Selagi wanita itu memandang keluar, ingatannya kembali ke masa lalu. Rasanya sudah lama sekali sejak dia singgah ke Paris. Robert sering mengajakku mampir. Waktu itu dia belum jadi apa-apa. Dia pernah bilang, "Raquelle, setelah menikah nanti, apa kau mau kalau kita tinggal di Paris saja?"

Namun itu hanyalah wacana. Sesuatu terjadi setelah pernikahan mereka, dan mimpi tinggal di Paris itu kandas.

Tapi aku tidak menyesalinya. Meski tak tinggal di Paris, hidupku lebih dari cukup. Bahkan setelah Robert pergi. Aku hanya... kangen padanya saja.

Hans mengintip dari spion tengah. "Kenapa Anda tiba-tiba ingin ke Paris, Ma'am?"

Raquelle tahu Hans akan menanyainya soal itu. "Entahlah, Hans. Kurasa aku hanya penasaran. Putraku bercerita tentang si tamu baru itu dan sahabatnya. Ini di luar dugaan. Aku punya dugaan, Hans. Samar-samar, tapi bisa jadi benar."

"Tapi mengapa Anda menunggu begitu lama?" tanya Hans. "Semuanya sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Apa sekarang tidak terlalu terlambat?"

"Kita bahkan tak menyangka ada L'alcquerine yang lain selama ini," kata Raquelle. Dia merasa agak letih. "Itu tandanya saat yang tepat itu baru saja tiba, Hans."

"Bagaimana dengan Crassulacea?"

BRAAAK!

Mobil menghantam sesuatu yang keras. Hans menginjak rem. Raquelle nyaris terbanting ke depan seandainya dia tidak memakai sabuk pengaman.

"Apa yang terjadi, Hans?"

"Sepertinya saya menabrak seseorang, Ma'am," kata Hans dengan suara bergetar. "Saya tidak melihatnya. Pria itu tiba-tiba saja muncul."

Wanita itu melompat keluar dari mobil lalu berlari-lari menerobos hujan yang kini sudah lebat, menuju sisi depan mobil. Hans menyusul sambil membawakan payung.

Seorang pria tergeletak pingsan di depan mobil. Tubuhnya kurus dan pakaiannya kumuh. Wajahnya yang tertutup oleh rambutnya yang panjang dan kelabu. Pelipisnya bersimbah darah.

"Hans, kita ke rumah sakit!"


...



Perawat Agatha Myveen asyik mengamati wanita itu mengisi formulirnya, membaca secara terbalik setiap kata yang ditulisnya. Dia melotot melihat isi kolom terakhir.

Hubungan kekerabatan: Sepupu.

Agatha mendengus keras tanpa susah payah menutupinya. Sebagai perawat senior, bukan pertama kalinya dia menjumpai kasus seperti ini. Pria itu korban tabrakan. Sopir wanita parlente inilah pelakunya. Para kriminal kaya ini memacu mobil mereka di jalanan seolah mereka Tuhan dan begitu mereka menabrak seseorang, dengan payahnya mereka berpura-pura mengenal si korban demi terhindar dari jeratan hukum.

"Selesai." Wanita itu menyerahkan formulirnya pada Agatha.

Agatha melirik kolom isian nama. Isabella Verdunn. "Terima kasih, Madame Verdunn."

"Saya ingin menjenguk sepupu saya sekarang," kata Verdunn.

Kau ingin memastikan dia tidak mampus supaya kau tak masuk penjara, pikir Agatha sinis. "Saya akan mengecek keadaan sang pasien dulu."

Sopir Madame Verdunn menghampirinya dan membisikkan sesuatu. Pria itu kelihatan cemas. Madame Verdunn menelan ludah, menggeleng lalu menatap Agatha.

"Bagaimana?"

"Kondisinya sudah stabil. Sebentar lagi dia sadar."

"Berapa lama dia akan dirawat?"

Patah tulang kering. Geger otak ringan. "Dalam dua minggu dia akan pulih."

"Saya akan menjenguknya sekarang, s'il vous plait...."

"Tentu," Agatha menyingkir. "Silakan, Madame."

"Merci."

Agatha berdiri disamping pintu, menunggu. Dia suka momen-momen seperti ini. Sebentar lagi pria itu akan sadar dan dia akan melihat wanita yang menabraknya itu. Lima menit selanjutnya Agatha tahu dia akan menelepon polisi.

Madame Verdunn mendekat ke arah tempat tidur. Pria itu dibebat perban cukup banyak dan dia mendengkur sedikit. Kakinya yang patah digantung. Kepalanya miring, wajahnya tertutup rambutnya yang berantakan. Verdunn menjulurkan tangannya, mengusap rambut pria itu hingga wajahnya terlihat jelas.

Wajah Isabella Verdunn berubah pucat. Dia menatap Agatha, kelihatan seolah baru melihat hantu.


...


"Chiquitta, tolong angkat teleponnya!"

Mores Barsequeral baru sepuluh detik duduk di sofa ruang depan ketika teleponnya berbunyi. Putrinya yang berusia sebelas tahun berlari-lari menuju ruang tamu dan mengangkat telepon.

Marianne istrinya muncul dari dapur dalam balutan gaun tidur satin yang tipis sekali.

"Papa, Kolonel Luteinberg menelepon!"

Marianne duduk di tepi sofa dan mengurai rambut merahnya. Suara Chiquitta terdengar jauh sekali seolah diteriakkan dari sebuah pulau terpencil di tengah laut lepas.

"Papa! Ada telepon!"

"Apa?" Mores tersentak. "Dari siapa?"

"Kolonel Luteinburg! Dari penjara!"

Mores buru-buru turun menuju ruang tamu. Putrinya melempar gagang telepon kepadanya, kelihatan sebal.

"Ada masalah, Sir," kata Luteinburg. "Salah satu dari L'alcquerine itu sakit."

Aduh. Ada-ada saja. "Siapa?"

"Edward. Alergi makanan."

Koki penjara sudah tahu makanan apa yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh Edward L'alcquerine. "Kok bisa? Memangnya dia makan apa?"

"Saudara kembarnya datang dan membawakan tart susu. Dia memakannya."

"Edward sudah diperiksa dokter?"

"Harus dirawat di rumah sakit. Saya sudah memberitahu istana. Masih ada satu masalah lagi..." suara Luteinburg melambat. "Lady Samantha cemas sekali dengan penyakit putranya. Ia bersikeras mendampingi Edward dan sama sekali tak mau berpisah!"

"Apa kata istana?"

"Saudara kembarnya sudah memohon dan Quinze Celestine mengizinkan."

"Baiklah kalau begitu. Awasi terus mereka."

"Baik. Maaf menganggu, Sir. Gute noir."


...


"Eugene sudah kembali?"

Kitty melempar iPad-nya dengan kesal lalu mengangkat telepon dengan ogah-ogahan. Dia memegangi gagang telepon selama sepuluh detik tanpa mengucapkan apa-apa lalu menutupnya kembali.

"Belum."

"Dari mana kau tahu?" Elisa masih takjub dengan tingkah laku ajaib pelayan pribadinya itu. "Kau bahkan nggak ngomong sedikit pun."

"Jo," jawab Kitty ketus. "Masih sesengukan. Berarti Eugene belum kembali, kan? Begitu mendengarnya, aku tahu tak ada gunanya bertanya soal Eugene."

Elisa menendang selimutnya hingga lepas dan melompat dari tempat tidur. Matahari sudah kelihatan sekarang. Artinya sudah semalaman Eugene tidak pulang dan itu membuatnya cemas.

"Kau mau menyusul ke rumah sakit?" tawar Kitty tanpa menatap.

"Tidak," kata Elisa. Mana mungkin aku bergabung dengan keluarga Eugene? "Kurasa Lady Samantha ada di sana."

"Dia pasti dijaga ketat," kata Kitty. "Mereka tak mungkin membiarkannya berkeliaran."

"Bukan Lady Samantha yang aku cemaskan."

"Edward akan baik-baik saja. Itu cuma alergi. Dan tak usah terlalu memikirkan Eugene, dia bisa menjaga dirinya." Kitty menurunkan iPad-nya dan tersenyum ramah. "Aku malah mencemaskanmu. Kau kelihatan gusar sekali."

"Aku dan Eugene bersahabat dekat sejak kecil. Aku menemaninya kemari karena dia memintaku. Aku tak ingin dia merasa semakin canggung di sini, apalagi setelah insiden penyerangan di Obsycus waktu itu. Aku hanya khawatir padanya, itu saja."

"Kau cemburu," kata Kitty lancar. Dia melanjutkan sebelum Elisa sempat membantah. "Selama hampir dua minggu ini, perhatian Eugene sangat terpusat pada keluarganya. Aku mengamatimu. Kau mulai merasa kehilangan dia."

Sedikit, Elisa mengakui dalam hati. Dia tak mau mengatakannya di depan Kitty.

"Kau harus membiasakan diri, Elisa," kata Kitty dengan nada bijaksana yang sebelumnya tak pernah ada dalam suaranya. "Mereka adalah keluarga Eugene. Dan Eugene sudah lama mendambakan sebuah keluarga. Tidak semua kisah berakhir bahagia."

Tidak semua kisah berakhir bahagia. Kalimat itu menampar Elisa dengan keras sehingga hatinya terasa pilu. Apa kali ini Kitty benar?

Telepon kamar berdering. Kitty mengangkatnya. Si penelepon berbicara cepat dan keras, Elisa menduga itu Alfred. Mata Kitty membeliak, lalu dia tergagap-gagap mengiyakan dan menutup telepon.

"Prime Celestine sudah kembali," katanya tegang. "Alfred menginstruksikan kita supaya segera berkumpul di gerbang setengah jam lagi untuk penyambutan."

"Maksudmu ibu George?"

"Prime Celestine," desis Kitty galak. "Dan selanjutnya 'Ma'am'. Kau sudah tahu peraturan di istana ini, Elisa. Kau tak boleh memanggil Prime Celestine dengan sebutan lain."

"Apa George memanggil ibunya juga dengan sebutan itu?"

"George Raja Calondria. Dia bisa melakukan apa saja. Tapi kau..." mata hitam Kitty bergulir turun. "Kau tidak bisa melakukan apa saja. Kau tidak boleh pakai gaun ini. Aku akan memilihkan busana yang pantas untukmu. Tidak boleh membantah!"

Continue Reading

You'll Also Like

2M 25.9K 6
[Cerita ketiga yang Saki buat di Wattpad, tahun 2014, masih sangat belajar waktu itu. Maka dari itu maaf kalau alay dan gaje. Manusia hidup nggak lan...
1.5M 74.1K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
887K 88.9K 55
Ia adalah pemilik takhta yang sesungguhnya. Ia pemuda terhebat satu dalam seratus tahun yang diimpikan setiap wanita. Ia mampu mengendalikan dunia se...
1.2M 57.2K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...