THE CRITICAL MELODY [Sudah Di...

By TheReal_SahlilGe

268K 36.9K 4.8K

SELAMAT MENYELAMI! "This book will change your trouble minded about teenage relationship. Because, being fore... More

Chapter-01: Everything Comes Back to You
Chapter-02: Semua Bertemu Karena dan Untuk Sebuah Alasan
Chapter-03: Yang Tak Terduga
Chapter-04: Boys Talk
Chapter-05: Harusnya Tak Pernah Tahu
Chapter-06: Rasi Bintang Tanpa Arah
Chapter-07: Couple Goals
Chapter-08: Selamat Pagi, Pacar.
Chapter-09: Komitmen
Chapter - 10: The Day Before
Chapter - 11: As Ballad As Your Smile
Chapter-12: Memulai Segala Tentang Mereka
Chapter-14: Kisah Dalam Kisah
Chapter - 15: Kalau Boleh Jujur
Chapter - 16: Lost And Found
Chapter - 17: It's Gonna Be Fine
Chapter - 18: Pretending To Be Fine
Chapter - 19: Accidental Spot
Chapter - 20: Ayah dan Rahasianya
Chapter - 21: Genting
Chapter - 22: Geretak Hujan
Chapter - 23: Ayah, Tentang Rindu
Chapter - 24: Rindu Yang Salah
Chapter - 25: Katakan Dan Dengarkan
Chapter - 26: The Fundamental Of Loving
Chapter - 27: Sorrow
Chapter - 28: Reasons Why
Chapter - 29: Terlepas
Chapter - 30 A : Bicara Serius
Chapter - 30 B: Bicara Serius
Chapter - 31: Semua Tak Sama
Chapter - 32: Hati Ke Hati (Tiada 'Masih')
Chapter - 33: Patah Dan Lenyap
Chapter - 34: Fakta Menyakitkan
Chapter - 35: Senja di Sungai Hudson
Chapter - 36: Pulang
BAB 37: Titik Alfa
[OPEN] Pre-Order Novel THE CRITICAL MELODY

Chapter-13: Kisah Yang Tak Pernah Usang

5.7K 1.1K 178
By TheReal_SahlilGe

*Chapter ini mungkin akan jadi favoritmu. Selamat mengenang.

*Jangan sungkan buat berkomentar, karena saya yakin kalian akan gatal buat berkomentar di chapter ini.

***


***
🎻Louisa🎻

***

Cowok itu namanya Nafis. Aku belum sempat minta maaf karena pagi itu aku ambruk dan sepertinya tepat merobohi badannya. Tidak disengaja.

Sebelumnya aku tidak pernah pingsan. Tapi aku tidak bohong kalau pagi itu rasanya aku tidak kuat menahan. Mungkin ini karena aku benar-benar lemas dan pusing bukan main. Kurang makan. Entah selera itu kabur ke mana. Mungkin dibawa jauh mengikuti kabar Papa yang tak kunjung ada.

Aku merasakan tubuhku diangkat sampai ke UKS. Tapi sama sekali tidak bisa membuka mata, mungkin itu yang dinamakan hilang kesadaran.

Saat siuman, di dalam UKS sudah ditemani anak PMR yang berseragam cakap. UKS sekolahku ini sungguh mewah. Berani kuakui kalau kelengkapan isinya terpenuhi. Justru yang aku suka adalah untuk setiap pasien di sana memiliki sekat yang berbeda seperti di rumah sakit. Memang sempit untuk per orangnya, tetapi ini cukup untuk menjaga privasi.

Tak lama setelah upacara selesai, Hanum menemuiku. Dia memang teman sebangku yang sepertinya baik, karena baru tadi pagi aku benar-benar berkenalan dengannya, dia sudah sebaik ini mau membesuk.

"Aku kira tadi kamu kenapa," katanya.

"Aku baik-baik saja, Num."

"Pingsan itu nggak baik-baik saja, Louie! Kamu belum sarapan? Atau lagi sakit?"

Tidak mungkin kujawab belum sarapan, "Lagi kurang fit mungkin. Belakangan ini ada kerjaan terus di rumah."

Hanum cewek yang sederhana, terlihat dari penampilannya yang tak berlebihan. Sama sepertiku.

"Perlu aku belikan makanan atau sesuatu?"

"Tidak perlu, Hanum. Aku baik-baik saja ko, ini juga udah mendingan. Tadi dikasih roti sama anak PMR."

"Roti itu?" dia menunjuk sepotong roti yang masih rapi dalam kemasannya. "Belum kamu buka juga."

Lalu dia cekatan mengambil roti itu dan membuka bungkusnya. Dia juga mengulurkan air mineral gelas yang sudah tertancap sedotan.

"Nggak perlu repot kayak gini."

"Sahabat harus kayak gini. Apalagi teman sebangku."

"Persahabatan yang dimulai satu setengah jam yang lalu?"

Dia tertawa, "Ya! Dan aku punya inisiatif buat ke sini nengok kamu. Apalagi kamu bilang nggak ada yang kenal kan di sekolah ini. Makanya aku tahu pasti nggak ada yang bakal nengokin kamu. Hehe."

"Ih, Hanum baik."

Dia hanya mengedikkan bahunya, "Hanum gitu loh."

"Tapi kayaknya kamu mesti ke kelas deh. Pasti udah ada gurunya."

"Kalem aja, palingan cuma-," kalimat Hanum menggantung saat secara mengejutkan kelambu yang menjadi sekat terbuka. Dan itu, Alex.

"Lou," ucapnya pertama kali bersama helaan napas. Lalu dia cuma berdiri di sana, menatapku seolah nggak ada Hanum, Hanumnya mendongak melihat wajah Alex, akunya juga nggak habis pikir padahal Alex berjanji untuk bersikap seolah tidak mengenalku dulu. Kalau sudah begini, apa yang akan Hanum pikirkan? Sementara aku sudah terlanjur bercerita bahwa tidak ada orang familiar di sekolah ini.

Alex menarik satu kursi plastik untuk duduk di sisi kananku.

Tatapan Hanum beralih padaku. Sebuah tatapan yang mudah sekali untuk diterka pertanyaan yang dia siratkan. Namun dia cukup berhasil bersikap biasa.

Mungkin Alex bingung harus bilang apa, sebab mulai menyadari keberadaan orang lain di sana. Sampai akhirnya, "Alex," ucapnya mengulurkan tangan ke Hanum. "Orang pentingnya Louisa."

Tanpa canggung Hanum lalu menyalami Alex. "Oh, iya Kak. Saya Hanum. Teman sebangku dan sahabatnya Lou sejak satu setengah jam yang lalu," Hanum memang ramah.

Aku masih butuh penjelasan kenapa Alex terlalu berani melanggar janji dan membuat deklarasi di depan Hanum.

"Kamu," Alex beralih padaku. Tatapannya seperti jengkel dan ingin mengatakan banyak kalimat. Namun dia seperti berusaha untuk menelan kembali semuanya."

"Mm, Lou. Aku ke kelas dulu ya?" kata Hanum yang ingin menarik diri dari kami.

"Num."

"Nggak apa-apa ko. Tenang aja, aku ngerti. Lagian aku kalau punya somebody di sini pasti nggak akan bilang ke siapa-siapa, apalagi-. Ehem. Lebih baik aku ke kelas, karena kamu udah ada yang nemenin, oke? Lagian, kalau gurunya nanyain gimana?" dia terkekeh meledek.

"Hati-hati ya, Num," itu kata Alex. Yang tetap terdengar seperti mengusir sekalipun dengan senyum kerennya.

Aku tahu Hanum tidak marah sama sekali, hanya saja aku tak enak hati jika dia menganggap Alex adalah apa yang baru saja dia deklarasikan, meski, ya, mungkin dia memang orang penting, tapi kan.

"Kamu apa-apaan sih?" tanyaku dibuat cemberut selepas Hanum pergi.

"Apa-apaan kenapa?"

"Ya tiba-tiba masuk ke sini, melanggar janji, dan ngaku-ngaku jadi orang penting?"

"Udah deh, itu nggak perlu dibahas. Sekarang aku lagi kesel kenapa kamu sampai ambruk gini? Pasti gara-gara nggak makan ini."

"Lagi nggak enak badan," tak tahu alasan apalagi.

"Terus kenapa nggak bilang ke aku?"

"Memangnya kamu siapa?" itu sebuah kebodohan yang aku ucapkan. Hanya itu saja dan dia bungkam. Mengalihkan wajahnya dariku.

"Seenggaknya kalau kamu bilang kan aku bisa ...," dia tidak melanjutkan, "Udahlah."

"Maaf, maksudnya."

"Aku cuma ingin bersikap baik ke kamu."

"Iya, aku tahu."

"Dan kamu juga tahu ini bukan baik yang biasa." Dia memberiku tatapan dan gerakan tangannya seperti ingin meraih pergelangan tanganku, namun tak ada progres sama sekali. Mungkin dia malu kalau nanti ada yang melihat, dan aku juga tidak mau kalau dia sampai melakukannya. "Aku khawatir ke kamu."

"Iya makasih," bukan bermaksud cuek. Tapi aku memang tidak punya gambaran kalimat yang mesti disampaikan.

"Kalau masih belum kuat, lebih biak jangan dulu ke kelas," katanya.

"Itu nggak mungkin, Alex. Ini hari pertamaku. Lagian bentar lagi aku mendingan kok."

"Bentar lagi itu sampai kapan? Paling hari ini cuma pengenalan guru, kontrak belajar, dan menentukan materi untuk matrikulasi."

"Terus aku harus di sini sampai selesai?"

"Kalau kamu mau."

"Itu akan membuatku makin jenuh."

"Bagaimana kalau main ke ruang klub?"

"Itu ide yang nggak bagus."

"Perpustakaan?"

"Belum ingin."

"Oh, kafetaria sekolah. Kayaknya kamu harus dipakanin yang banyak."

"Dipakanin? Kamu kira aku binatang."

Dia tertawa lebar, "Ya abisnya ... bagaimana?"

"Ini hari pertama, kamu udah ngajak aku buat bolos?"

"Ya bukan bolos juga. Kan posisinya kamu lagi sakit, abis pingsan pula. Salah sendiri karena nggak mau makan. Pasti dari kemarin banget ya kamu nggak makan?"

Aku diam. Mulai menyadari kalau banyaknya pikiran bisa membawa pergi nafsu makan.

"Nggak perlu mikir sampai begitunya, dan nggak ada yang perlu kamu khawatirin sekolah di sini. Kamu aman selama ada aku."

Rasanya ingin memukul lengannya, "Aku bukan sedang memikirkan itu. Sekolah bisa aku atasi."

"Kesehatan ibu kamu?"

"Itu dan satunya lagi."

Wajahnya mulai tenang. Seperti bisa menangkap apa yang aku maksudkan. Alex beringsut dari kursi dan duduk di tempatku berbaring. Aku ingin menyuruhnya turun, tapi rasanya percuma dia tidak akan mau.

"Coba kita berpikir positif. Mungkin, Papa kamu sedang tidak ada pulsa."

"Itu alasan yang sudah aku coba bayangkan namun tidak pernah berhasil. Papa pasti akan menelepon bagaimana pun caranya jika dia sedang nggak ada pulsa."

"Nah, itu. Terus kenapa kamu mesti khawatir dan memikirkannya sampai seperti ini?"

"Karena biasanya Papa akan menelepon tak lebih dari rentang seminggu."

"Mungkin dia sibuk."

"Mungkin," aku tidak suka kata sibuk. Itu bukan alasan yang tepat untuk tidak mengabari keluarga.

Anehnya hari itu aku memang tidak masuk ke kelas. Percaya atau tidak aku malah ngobrol sama Alex di sana. Mulai dari UKS yang rame sampai kembali sepi. Apa saja kami bicarakan. Dia semangat sekali menjelaskan segala sesuatu tentang sekolah elit ini.

Kartu itu, ya, aku mendapatkannya. Menduduki posisi kedua terbaik dari hasil seleksi masuk. Alex juga menjelaskan cara kerja kartu itu. Sepertinya aku bisa menyisikan uang jajan lebih banyak lagi.

***

Sudah aku pikirkan baik-baik, aku harus menghargai Alex dengan bergabung ke klubnya. Bagaimanapun aku tidak bisa menyangkal kalau aku juga berminat dengan konsep yang ditawarkan klub itu. Lagian, kata Alex klubnya itu tidak banyak peminatnya, itu bagus karena aku tidak suka dengan keramaian.

Kupastikan keadaanku sudah sangat membaik. Alex sudah berjanji untuk tidak mengadukan ini pada Mama.

Berdiri di depan pintu auditorium dengan biola di punggung, aku sedikit ragu untuk memasukinya. Begitu pintu terbuka, semua tatapan menoleh ke arahku karena pintu auditorium itu sangat berisik ketika dibuka, berderit.

Sebentar mataku menyapu pandang sampai melihat kerumunan yang ada Alexnya.

"Akustik?" kata Alex kepadaku, dia sudah kuancam sekuat apa untuk bersikap seolah kami tidak begitu familiar satu sama lain. Aku mengangguk, "Silakan ke sini."

Di sana aku berusaha senyaman dan sepercaya diri mungkin.

Selanjutnya kami anggota baru harus memperkenalkan diri beserta bakat musik yang dimilikinya.

Aku baru menyadari satu hal, ternyata cowok yang tadi pagi terserempet tipis oleh tas biolaku dan ... yang dijatuhi tubuhku saat pingsan juga ada di klub ini. Oh, Alex sudah bilang tentangnya, namanya Nafis.

"Sekarang giliran cewek yang berkuncir kuda itu," kata Alex. Aku tahu dia yang kusuruh untuk bersikap asing, tapi rasanya aneh saat dia menunjukku begitu.

Aku maju ke depan. Memperkenalkan diri dan sedikit menjelaskan tentang biola. Setelah itu, aku memainkan sedikit improvisasi notasi lagu dari 'Melody of Your Heart' yang dibuat oleh Alex. Nadanya memang menyayat, hampir mirip dengan nuansa klasik, tapi lebih dia padukan dengan unsur nada yang bagus. Anehnya, saat memainkan itu yang terbayang di kepalaku adalah wajah Papa, seperti nada itu semakin mengiris hati yang merindu berat. Dan ini pertama kalinya Alex melihatku memainkan gubahannya. Dia pasti terkejut.

Setelah giliranku, sekarang Nafis yang maju. Aku penasaran apa yang akan dia mainkan. Saat dia duduk di kursi, aku tidak salah, dia menatapku namun langsung dia bawa tenggelam saat aku menyadarinya.

Oke, aku akan menyaksikan permainannya.

Tapi, ponselku bergetar berkali-kali, Mama mengirim pesan. Sebuah pesan yang isinya sangat kunanti-nantikan.

'Lou, tadi Papa menelepon ke rumah. Niatnya mau ngasih semangat ke Lou, tapi Lou kan udah di sekolah,'

Jantungku memantul sempurna membaca pesan itu, aku bahagia sekali dibuatnya. Aku tahu Papa pasti akan menelepon.

'Nanti Lou bisa ngobrol lagi sama Papa kalau malam. Sebab Papa ada urusan. Lou yang semangat belajarnya!'

Pesan itu malah membuatku tidak bisa fokus di ruangan itu. Aku sibuk memperhatikan ponsel karena gugup membalasnya. Sampai-sampai, aku tidak bisa mendengar dan melihat bagaimana persisnya Nafis tampil di depan.

Mungkin lain kali. Yang jelas aku akan minta maaf padanya.

Setelah selesai, aku berjalan cepat menuju gerbang. Aku harap segera ada bus yang lewat supaya bisa cepat pulang. Tadinya Alex memintaku untuk pulang bersamanya lewat pesan. Tapi jika harus menunggunya selesai rapat dengan anggotanya, itu akan lama. Sedangkan aku butuh cepat-cepat tahu kabar Papa. Dan keberuntunganku sedang mujur, bus datang tepat saat aku sampai di luar gerbang.

***

"Nama grup Mama dulu namanya Van Oranje," kata Mama. Kami sedang bersantai di depan tv selepas sholat isya. Sambil menunggu telepon dari Papa entah bagaimana awalnya hingga membuat Mama menceritakan teman masa kuliahnya saat di Bandung yang sangat berkesan dulu. Oh, mungkin karena aku menceritakan tentang Hanum, dan Mama jadi menyemangatiku agar bisa belajar sampai ke perguruan tinggi lalu bertemu dengan sahabat yang keren.

"Sekarang masih lancar komunikasi?" tanyaku sambil menyomot jagung goreng manis, memilah mana yang pecah jadi pop corn.

"Tidak, tapi nggak tahu kalau mereka."

"Memangnya mereka sekarang pada di mana, Ma?"

"Mama juga nggak tahu, karena mama keluar dari grup WA, mengganti nomor, berusaha benar-benar menghilang dan pindah dari rumah lama yang di Jakut."

"Kok Mama gitu?"

"Masalah sedang sangat pelik saat itu. Bukan hanya sekali masalah yang menjerat Papamu, lagi-lagi dia yang jadi korban. Mama sedikit malu kalau mereka harus tahu tentang masalah Papamu. Bukan malu karena Mama benci, tapi Mama nggak enak seandainya mereka tahu, pasti mereka akan ikut repot ngurusin masalah ini."

"Bukannya itu bagus? Artinya mereka peduli."

"Ya memang bagus, tapi ada banyak hal yang tidak perlu kamu tahu."

Aku mengangguk entah. "Mama punya foto-fotonya? Kok nggak pernah cerita ke Lou sih?"

"Kamu masih kecil buat tahu tentang persahabatan seperti ini."

"Oke, sekarang Lou udah remaja, dan ini udah pantas buat Lou tahu."

Mama tergelak. Lalu pergi ke kamarnya. Saat kembali Mama membawa laptop kami dan sebuah hard disk. Aku tahu hard disk itu tidak pernah mama izinkan untuk kusentuh, mungkin isinya sesuatu.

"Semua foto-foto Mama dan anak Van Oranje ada di sini semua."

"Hard disk ini?" tanyaku.

"Iya. Dan Mama sudah tiga kali memindahkan semua filenya pada hard disk yang berbeda."

"Kenapa?"

"Virusan."

Aku tertawa, "Jadi?"

"Ini dia," katanya sambil menunjukkan tampilan foto berisi potret lima orang pemuda.

"Biar Lou yang pegang, nanti Mama yang jelaskan," kataku sambil mengambil alih, "Ya Ampun!" aku tertawa, "Ini Mama waktu masih kuliah dulu?"

"Iya, paling cantik kan?" katanya dengan tawa.

"Cantiiiik, hehe."

"Mereka namanya siapa aja?"

"Yang ini tante Mega, orang Subang dia. Yang imut itu tante Mia dari Majalengka. Mereka berdua ini dulu satu kantor sama Papa sebelum pindah tugas."

"Oh, Lou beneran belum pernah ketemu mereka sepertinya."

"Memang belum, paling dulu saat kamu baru lahir mereka datang."

"Kalau dua laki-laki itu?"

"Yang ini Om Iqbal, dia punya restoran yang besar di Bandung. Dulu dia pengguna narkoba, Mama dan temen-temen pernah mergokin dia sedang dalam keadaan parah-parahnya, sampai akhrinya bisa sembuh."

"Ih."

"Kalau yang ini," Mama menjeda dan tersenyum, "namanya Om Zaryn. Ceritanya dia leader di grup kami. Dia yang paling memiliki pengaruh. Sangat peduli ke temen-temennya. Nggak pernah menyerah. Dan asal kamu tahu, kisah hidupnya sudah diabadikan dalam dua buku."

"Asli?"

"Mama punya bukunya."

"Ini beneran? Mama ada di buku itu juga dong? Ihhh, mau baca, Ma!"

"Eit, tunggu dulu, harus sabar. Kami sudah berjanji akan ngasih buku itu ke anak-anak kami ketika sudah berumur 17 tahun."

"Lah, kan temen-temen Mama sudah ada yang menikah, jadi udah ada yang pernah baca dong."

"Tentu, anaknya Om Iqbal, Tante Mega dan Mia pasti sudah pada baca itu."

"Yah, Lou baru 16 tahun."

"Tenang saja, nanti pasti baca."

"Ceritanya seru, Ma?"

"Buku terbaik yang pernah ada menurut kami. Penulisnya juga ganteng."

(((*Pliis, jangan bully gue yah! Ini cuma iklan😂)))

"Lou penasaran banget nih."

"Pasti Mama kasih. Harusnya anak Om Zaryn juga sudah seusia kamu. Karena kamu lahir sebulan setelah istrinya Om Zaryn lahiran."

"Anaknya cewek apa cowok? Kalau cewek pengin kenalan, tapi sayangnya Mama udah nggak punya kontak mereka."

"Anaknya cowok, Mama lupa namanya. Abdul atau siapa gitu."

Setelah itu Mama bercerita banyak tentang masa lalunya. Dan ini memang gila, ternyata Mama dulu penggila semua hiburan yang berbau Korea. Jadi mayoritas isi Hard disk itu adalah drama korea lawas. Ya Tuhan! Aku dibuat tertawa seru saat itu.

"Jadi nama kamu juga perpaduan dari nama Mama dan Papa loh."

"Maksudnya?"

"Louisa, itu nama Papa yang ngasih. Kalau Triyuswana, itu artinya Putri dari Iyus dan Wana. Mama yang ngasih."

"Sudah Lou duga, Triyuswana pasti gabungan dari nama itu. Tapi perlu memastikan. Hehe. Namanya bagus Ma."

"Iya dong, kan buat anak cantik harus bagus juga namanya," Mama menyentuh ujung hidungku.

Aku tersipu, "Mama nggak kangen sama mereka?"

Terdiam sesaat, "Mm, pasti kangen."

"Terus kenapa nggak nyari tahu keberadaan mereka?"

"Mama tahu mereka di mana. Pasti sedang sibuk dengan kehidupannya masing-masing, dan mungkin saja mereka sudah saling jauh."

"Kok Lou sedih ya dengarnya."

"Suatu saat pasti akan kumpul lagi."

"Mama nggak ada rencana buat pulang ke Makassar kan?"

"Belum."

"Lou kangen sama Makassar sejak terakhir main ke sana dulu. Tapi kalau disuruh pindah juga Lou udah betah di sini."

"Kapan-kapan kita main ke sana lagi."

Di tengah-tengah obrolan itu, ponsel Mama berdering nyaring. Spontan membuat jantungku berdegup kencang.

Mama lama menatap layar ponsel itu sampai membuatku penasaran.

"Siapa, Ma? Papa bukan?"

Lalu dia tersenyum saat membalikkan layar ponsel ke arahku.

Itu Papa!

Aku merebutnya cepat-cepat.

"Pa?" ucapku.

***

Yasss. Mulai nih, perlahan-lahan. Cast HG-AF akan bergabung di sini. Jadi kebangetan kalau kalian nggak pada kasih bintang 😆

Kalian siap ketemu mereka lagi?

*Chapter 14 akan saya unggah kalau sudah mencapai 85 votes. Go!

Jangan sungkan buat komentar.

Continue Reading

You'll Also Like

96.4K 16.1K 29
Bukan serial Netflix! Ini tentang hilangnya buku harian Irene yang menyebabkan seluruh murid SMA Chandrawaka punya rahasia publik bersama: "Irene Val...
1K 178 5
TAMAT kon·tra·dik·si n pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan. ••• @diffean | 2022
137K 20.6K 56
ACTION, THRILLER, ROMANCE Arjuna Shander, seorang agen rahasia yang ditugaskan khusus untuk mencari barang bukti kasus pembunuhan seorang Pejabat Men...
9.6K 2.3K 32
[Dimuat dalam Reading List WattpadYoungAdultID kategori Kisah Darah Muda April 2021] Dunia penuh dengan warna-warni. Tetapi Sica tidak punya satu pun...