Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.6K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

Extended Chapter: Kia

3.9K 438 23
By Cassigatha19

Awal mulanya, makhluk dengan bulu abu-abu itu tidak memiliki nama. Di tengah dinginnya angin yang mengembus masuk gua, dia menunggu. Perutnya menggerung lapar. Sebisa mungkin dia tahan saat duduk meringkuk menekuk empat kakinya. Berjam-jam dia menanti, namun induknya tidak kunjung kembali.

Baru saja berhasil terlelap, aroma kental menusuk tertangkap oleh hidungnya yang peka. Dia berjengit waspada. Bau darah yang dia cium bukan berasal dari hewan buruan yang lezat. Tubuhnya bergerak-gerak resah mengenali bau yang familiar itu.

Induknya telah kembali. Seekor serigala abu-abu dewasa yang besarnya tiga kali lipat tubuhnya. Dia pulang tanpa membawa daging buruan. Lebih mengenaskan lagi, sang Induk kembali dalam keadaan terluka. Enam panah tertancap di tubuhnya, salah satunya mengenai persis sendi kaki belakang hingga dia kesulitan berjalan. Selebihnya, bulu abu-abunya terkotori darah dari luka sayatan yang menganga.

Sang Induk menggerung pilu—sadar akan kematiannya yang sudah dekat. Susah payah meloloskan diri dari kejaran orang-orang yang memburunya, dia hanya ingin melihat putranya untuk yang terakhir kali sebelum ditelan kegelapan panjang. Dalam bisikan yang lirih, dia berucap pada anaknya supaya memakan tubuh ibunya. Dia meminta maaf karena tidak sanggup membawakan daging rusa untuk malam ini.

Serigala kecil awalnya menolak keras. Dia melolong meminta ibunya supaya bertahan dan sembuh. Sementara sang Induk berusaha memulihkan diri, dia memutuskan akan pergi berburu untuk makan mereka berdua. Tragisnya sebelum menerima persetujuan sang Induk, serigala kecil melihatnya telah menutup mata untuk selama-lamanya.

***

Terlunta-lunta, serigala yang masih amat muda itu melakukan berbagai cara demi bertahan hidup. Setelah berulang kali berada dalam posisi yang terdesak, geraknya menjadi semakin lincah. Setiap berhasil membunuh mangsa dan mengkoyak dagingnya, dia terus berpikir bagaimana cara untuk membalaskan dendam sang Induk.

Malam itu, serigala muda kembali berburu. Dia berusaha tidak bersuara sewaktu mengintai seekor bison. Tapi siapa sangka, bison itu sengaja dijauhkan dari rombongannya. Serigala muda masuk dalam perangkap. Bukan dengan jaring, tubuh besarnya dilumpuhkan. Orang-orang berjubah putih itu memasang segel berupa tudung yang transparan dan berpendar. Tudung itu membuat sang Serigala meraung-raung kesakitan.

"Serigala abu-abu yang beberapa waktu lalu kita buru rupanya memiliki anak," ujar salah satu dari mereka. "Sayang sekali kita kehilangan jejaknya."

Napas sang Serigala memburu. Dia terus-terusan memberontak dan menggeram, tapi apa daya, cenayang-cenayang itu lebih kuat. Serigala macam dirinya merupakan jenis yang amat langka. Tampaknya mereka tahu potensi kekuatan besar yang kaumnya simpan sehingga begitu gencar memburu.

"Kita harus membawanya ke Raveann sesegera mungkin. Tapi kerangkengnya butuh waktu untuk sampai ke sini."

"Di mana harus kita sembunyikan dulu?"

"Bagaimana kalau ke manor Burö? Perdana Menteri punya tempat yang luas."

"Kau sendiri tahu suasana hatinya tidak begitu bagus sejak kita menyegel anaknya seminggu yang lalu."

"Tidak ada pilihan lain."

Mereka kemudian menidurkannya untuk waktu yang lama. Seluruh inderanya dilumpuhkan. Dia hanya merasakan kantuk yang begitu hebat lantas diselimuti kegelapan untuk waktu yang lama.

***

Kelopak matanya terasa amat berat. Nyaris saja kantuk mengalahkannya lagi ketika bunyi sesuatu yang menggesek dedaunan kering menyeret kesadarannya paksa. Mulanya dia hanya bisa memandang suasana temaram—seperti siang hari yang diselimuti awan yang terlampau tebal. Netranya mengerjap-ngerjap sukar saat menemukan satu titik yang berpendar.

Cahaya? Api putih? Ah, tidak. Serbuk berkilauan itu berasal dari seseorang—manusia yang tengah melata seperti ular.

Anak serigala tersebut menggeram. Dia tidak ingin didekati. Sudah cukup sekelompok cenayang membunuh induknya, dia bersumpah tidak akan berbelas kasih pada makhluk sejahanam mereka. Namun rupanya gertakan sang Serigala tidak dihiraukan, bahkan saat dia menunjukkan taringnya yang besar dan kokoh.

Tubuhnya jauh lebih kecil dari yang pernah si Anak serigala lihat. Terlebih lagi manusia itu punya beberapa hal yang kemudian membuat dirinya terpaku. Rambutnya berwarna perak, menyerap sinar sekecil apa pun yang berada di sekeliling mereka. Wajahnya bulat, terlebih dia sengaja menggembungkan pipi demi menatap si Anak serigala yang tengah lumpuh.

Berada cukup dekat dengan kerangkeng sementara yang mengurung si Serigala, manusia yang ditebaknya masih anak-anak itu meraih salah satu jeruji. Dia menahan napas saat menarik tubuhnya sendiri hingga punggungnya menegak.

Silvana Burö tercengang melihat sosok di dalam kerangkeng. Alih-alih ketakutan, dia justru menatap mata hijau si Serigala penuh kekaguman. Si Serigala pun terpaku melihat iris kemilau biru yang dimiliki gadis kecil tersebut.

Rona hutan hujan menumbuk birunya samudera.

"Kau suka bermain?" ucap Silvana yang terus saja memberikan ekspresi penuh minat. "Ayo kita bermain."

Sementara si Anak serigala bingung bagaimana membalas kata-kata Silvana, telinganya yang bisa mendengar dari jarak jauh mendadak menangkap percakapan beberapa orang yang panik.

"Kenapa bisa hilang?! Menjaga seorang anak saja tidak bisa?!" Suara seorang pria yang kentara dirundung kemarahan.

"Ma-maafkan, Tuanku. Waktu saya pergi tadi, nona masih ada di paviliun.."

"Dia tidak mungkin pergi jauh! Segera cari dia!"

"Ingat kalau tulang punggung nona patah! Hati-hati jika kalian membawanya nanti!"

Tulang punggung patah? Diperhatikannya lagi sosok gadis kecil itu secara seksama. Alasan mengapa dia bergerak melata, membiarkan tubuhnya menggesek tanah dan dedaunan kering, juga susah payah menumpu pada kerangkeng..

"Bermain denganku," pinta Silvana dengan iris safirnya yang berbinar antusias. Tapi seceria apa pun ekspresi yang ditampakkan gadis itu, entah mengapa si Anak serigala bisa menebak kondisinya hanya dengan melihat pergerakan tangan Silvana. Jemarinya agak gemetaran. "Aku bisa mengeluarkanmu dari sini."

Memangnya apa yang bisa dipegang dari kata-kata seorang anak kecil? Setelah menyimpulkan Silvana tidak berbahaya, si Anak serigala pun memutuskan tidak mengacuhkannya. Tapi baru saja moncongnya berpaling ke arah lain, gadis kecil itu melemparkan sesuatu. Dia refleks menoleh, dan menemukan sebutir batuan berkilauan itu di dekatnya.

Berlian.

"Kau bisa memakannya," ucap Silvana polos. Melihat taring kuat milik si Serigala, Silvana menyimpulkan dia akan bisa mengunyahnya dengan mudah. Dia sama sekali tidak tahu kalau berlian bukanlah makanan. Silvana sendiri pernah menelannya, meski ujung-ujungnya tersedak.

Raut penuh harap Silvana entah kenapa begitu kuat menyihirnya. Dari wajah mungil itu tersimpan kehangatan yang begitu dirindukannya. Si Serigala terpengaruh. Sebagian hatinya tidak ingin membuat gadis kecil itu kecewa, maka dari itu dia menelannya. Berkat kerongkongannya yang besar, dia tidak kesulitan menelan benda itu.

Perlahan-lahan rasa panas yang membakar mulai merambati tubuhnya. Si Anak serigala melenguh gelisah. Lama-lama kobaran api dalam tubuhnya membesar hingga dia menggeram lalu meraung kesakitan. Bunyi yang dihasilkannya mengundang orang-orang dari manor berdatangan mendekat.

Argent Burö hadir bersama beberapa pengawal, dan para cenayang yang tersisa menyusul. Mereka tidak hanya terkejut melihat reaksi si Anak serigala yang sedang meronta liar sambil mencakar-cakar tenggorokannya sendiri. Keberadaan Silvana yang berlutut, berpegangan pada salah satu jerujipun membuat mereka kebingungan.

Sesuatu dari tubuh si Anak serigala menyublim. Hanya dalam hitungan detik, tempat itu dipenuhi kepulan asap. Mereka menunggu hingga asap memudar, dan apa yang mereka lihat kemudian sungguh-sungguh sukar dipercaya.

Di hadapan mereka kini berdiri sesosok remaja laki-laki yang sekilas terlihat beberapa tahun lebih tua dari Silvana.

"Putri Burö.. bisa menyegel serigala yang buas itu?" gumam seorang cenayang yang terperangah.

"Manis sekali," celetuk Silvana yang tiba-tiba tertawa bersemangat. "Sekarang kau bisa bermain denganku."

"Nak.." Argent memanggil Silvana pelan. Putrinya telah lebih dulu menoleh sebelum dia bisa meraih anak itu.

"Berikan dia padaku," kata Silvana yang menatap Argent lekat. "Bebaskan dia.. biarkan dia bermain denganku.. dan Kiu."

Kiu adalah nama yang diberikan Silvana untuk anak rubah yang dihadiahkan Argent. Argent telah mengambil Kiu dari Silvana dan membunuhnya. Sampai saat ini, Silvana tidak pernah mengetahui alasan yang sesungguhnya mengapa Kiu tidak lagi terlihat. Argent pun tidak memiliki cara bagaimana untuk meluruhkan kesepian gadis itu, tanpa mengambil resiko membuatnya terluka sewaktu-waktu.

"Dia tidak bisa melakukan apa pun.." Silvana menggeleng pelan. "Dia tidak bisa bicara 'sakit' dan 'berhenti' saat dilukai ... Maka dari itu, bebaskan dia. Jangan sakiti dia.. makhluk manis yang malang.."

Padahal tubuh Silvana masih lebih kecil dibanding dirinya, tapi gadis mungil itu justru membelanya.

"Aku sudah menamainya, jadi dia milikku," kata Silvana lagi. "Dia temanku, Kia."

Tepat saat cenayang di sana hampir memprotes perkataan gadis itu, Argent mengisyaratkan mereka supaya tetap diam dengan hanya mengangkat satu tangan.

"Aku mau dia! Berikan dia padaku!" Silvana bersikeras meski Argent masih tetap mengatupkan bibirnya rapat. Argent memang sangat memanjakan Silvana, namun tidak menyangka gadis kecil itu akan menggunakannya di saat-saat seperti ini. Rautnya mencebik. Bila menerima penolakan, Argent tidak akan tahan melihat kekecewaannya.

Argent tidak memiliki pilihan lain.

"Tentu saja," balasnya. "Dia milikmu."

Senyum Silvana kontan merekah. Tiba-tiba saja pegangan tangannya dari jeruji terlepas. Tubuhnya merosot jatuh ke belakang. Argent dan beberapa orang dayang langsung menghampirinya. Gadis kecil itu kemudian diangkat dalam gendongan ayahnya.

Sementara Argent membuat perhitungan dengan para cenayang yang menangkap Kia, Silvana yang menghadap ke arah berlawanan, melemparkan seringai manisnya.

Mereka kemudian beranjak pergi, perlahan menjauh dari Kia yang tengah memandang menerawang.

***

Tidak lama setelah mereka meninggalkannya, Argent mengirim dua orang dayang dan seorang cenayang untuk membebaskan Kia dari kerangkeng kemudian memberikan pakaian yang layak bagi laki-laki itu. Kia yang tidak pernah berubah wujud menjadi manusia sebelumnya, tampak kesulitan ketika diajari tata cara untuk makan dan bersikap di hadapan orang lain. Wajah-wajah beringas dan jahat dari para cenayang yang membunuh ibunya, tidak dia temui sewaktu menginjakkan kaki di manor Burö.

Setelah melalui serangkaian latihan dan memastikan dia tidak akan melakukan sesuatu yang mengancam, Kia lantas digiring menemui Silvana. Gadis dengan rambut keperakan yang berpendar lembut itu sedang duduk berselonjor bermandikan sinar matahari pagi. Punggungnya bersandar pada bantal besar yang empuk. Ada satu dayang yang bersiaga bila sewaktu-waktu tubuh Silvana beringsut miring.

"Aku punya banyak buku! Aku akan berdongeng untukmu!" kata Silvana antusias sambil memilah banyak buku di pangkuannya. "Bagaimana kalau kisah burung hantu dan ikan mas?"

Kia tanpa pikir panjang langsung mengangguk setuju. Hatinya menghangat melihat Silvana kembali tersenyum untuknya. Suara gadis itu terdengar merdu seperti nyanyian pengantar tidur.

Setiap harinya, Kia akan mengunjungi Silvana di pagi hari sampai petang. Waktu mereka habiskan dengan membaca banyak buku dongeng, menyusun kepingan puzzle, atau melukis hingga wajah keduanya berlumuran cat. Sungguh, Kia tidak menyangka bila berada di dekat gadis itu akan begitu menyenangkan. Sempat berulang kali Kia merasa rindu pada dunia luar, di mana dia akan mencari makan sendiri. Tapi mengingat gadis itu terkurung—entah disadarinya atau tidak—Kia sebisa mungkin tetap berada di sisinya.

Dua tahun berlalu tanpa terasa.

Suatu hari, Kia melihat kerumunan orang banyak datang dan berkumpul di halaman depan manor. Mereka mengelilingi sebuah kereta kuda yang mewah, layaknya kendaraan bagi orang yang memiliki kedudukan yang tinggi. Dan saat itulah, Kia melihat laki-laki itu.

Mikhail Irridu-Hăgil I—Pangeran, sekaligus Putra Mahkota Vighę.

Punggung Silvana telah sembuh total. Dengan Argent sebagai penengah, gadis itu kemudian diperkenalkan dengan Mikhail yang usianya terpaut sebelas tahun. Kia hanya bisa mengamati dari jauh saat pertemuan mereka terjadi untuk yang pertama kali.

Silvana sangat sulit terbiasa dengan orang asing sehingga mulanya hanya bisa bersembunyi di balik punggung Argent. Akan tetapi dengan sabar Mikhail tetap mencoba mengajak Silvana berbicara meski pada akhirnya gadis itu hanya menjawab dengan gelengan atau anggukan. Berkat Mikhail yang semakin sering berkunjung, waktu Silvana untuk Kia pun berkurang.

Kesabaran Mikhail membuahkan hasil dan akhirnya Silvana mulai terbuka padanya. Gadis itu menjadi semakin sering tertawa hingga pepohonan di sekelilingnya menghijau beserta bunga-bunga yang bermekaran. Di satu sisi, Kia merasa ikut senang melihat Silvana yang bahagia, tapi di sisi lain dia merasa hari-harinya sepi tanpa perhatian gadis itu untuknya.

Tanpa dia sadari, seorang laki-laki juga ikut mengamati mereka dari kejauhan. Rambutnya pirang, dengan postur yang gagah. Tidak perlu menebak-nebak untuk tahu jika diam-diam Cyde Delcary-Amun menyimpan sepenggal rasa di hatinya untuk Silvana.

***

Mereka menunggu gadis itu beranjak dewasa. Di hari ulang tahun Silvana yang ke enam belas, Mikhail menghadiahkannya cincin dengan batu safir dan ukiran yang indah—bukti pertunangan keduanya. Silvana sangat bahagia. Saking bahagianya, Kia tahu bila gadis itu sulit tidur karena lentera kamarnya hampir tidak pernah dimatikan saat malam.

Di suatu sore, Mikhail datang lagi untuk mengunjungi Silvana. Dia memberitahu perihal Raja Vighę yang memerintahkannya memeriksa sesuatu di Kith. Laki-laki itu akan meninggalkan Silvana selama kurang lebih dua minggu. Silvana pun hanya bisa tersenyum masam sembari berpesan supaya Mikhail selalu menjaga diri di mana pun dia berada.

Selang tidak berapa lama kemudian, Argent memanggil Kia.

"Bunuh dia."

Kia mengerjap saat Argent melontarkan kata-kata perintah yang begitu menakutkan di telinganya.

"Bunuh Mikhail," kata Argent memperjelas ucapannya. Dia berdiri menghadap balkon dan membelakangi Kia. Beberapa detik kemudian, pria itu menoleh dan memandang Kia lekat. "Dia mulai berpikir untuk memasung kaki putriku. Aku tahu kau sangat peduli pada Silvana.. karenanya, hanya kau yang bisa kumintai tolong."

Kia bergeming. Sekujur tubuhnya seakan membeku.

Bila dia membunuh Mikhail.. apa yang akan terjadi pada Silvana? Gadis itu dengan sabar menanti kepulangan kekasihnya seraya berulang kali mengusap cincin safir yang dihadiahkan Mikhail.

"Lakukan sebelum semuanya terlambat," kata Argent. "Vighę akan baik-baik saja dengan atau tanpa Mikhail Irridu-Hăgil. Sedangkan kita.. tidak akan pernah membiarkan Silvana jatuh ke tangan yang salah."

***

Pandangannya tertuju amat jauh. Sorotnya kosong meski lingkar matanya selalu mengiringi pergerakan Mikhail. Laki-laki itu tengah berada di antara barisan pasukan Kith, dan Kia akan membuat jantungnya berhenti berdetak hanya dalam hitungan detik.

Saat menarik ekor panah beserta busur, wajah ceria Silvana terus terbayang. Biar bagaimana pun ini adalah perintah Argent. Seorang ayah akan selalu memberikan yang terbaik pada anak-anaknya.. seperti induknya yang telah mengorbankan diri untuk Kia. Dan memegang keyakinan itulah, Kia semakin mengeratkan jemarinya pada ekor panah.

Silvana berhak mendapatkan hal yang lebih baik.

Panah melesat. Udara di hadapannya terbelah. Detik kala Kia memejamkan mata, menahan keperihan, bersamaan dengan ujung runcing bilah panahnya ... menembus tubuh Putra Mahkota Vighę.

Continue Reading

You'll Also Like

147K 14.7K 53
Frederic d'Ourson, Comte de Danslesoir, adalah bangsawan di Perancis yang menjunjung tinggi aristokrat. Hingga suatu hari dia harus menikahi Madame D...
57.2K 9.4K 35
[Fantasy & (Minor)Romance] Ruby tidak pernah tahu bahwa kolong tempat tidurnya mempunyai ruangan rahasia. Keinginan konyolnya waktu belia, rupanya di...
735K 57.4K 30
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
45.5K 5.1K 20
III. Chapter Three Semua yang terjadi seperti rantai. Rantai yang berbahaya. Rantai yang sama seperti rantai Angel Mirror yang mencekiknya. Semua ber...