Setelah mendengar kabar bila raja mereka berhasil ditumbangkan, para prajurit kalang kabut. Ratraukh dengan segera mengambil alih. Dia menginstruksikan mereka semua untuk mundur, tidak terkecuali pasukan Hurdu yang bergabung. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada resimen Hurdu. Rombongan tentara Salazar porak poranda. Kabarnya laki-laki itu terluka parah dan harus dilarikan secepat mungkin ke tempat yang aman.
Di tengah-tengah mayat-mayat yang berserakan, Rife berjalan gontai sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia menjadi salah satu dari sedikit prajurit yang selamat di bawah komando Manuel. Mengingat saat-saat kritis sesaat lalu, adalah suatu keajaiban dewi fortuna berbalik ke pihak mereka.
Lalu di mana Jenderal Ranoor itu? Setelah Manuel berlari ke arah Salazar, pria itu tenggelam dalam cahaya yang besar disusul dengan ledakan berkekuatan tinggi. Cyde yang paham dengan perbuatannya, lantas memerintahkan mereka semua supaya menyingkir. Kemungkinan Manuel telah tewas. Tapi toh tidak ada salahnya mencari sisa jasad pria itu karena sekarang kondisinya telah aman.
Lama Rife melihat wajah-wajah yang telah ditinggalkan kehidupan itu. Tidak kunjung menemukan apa yang dia cari, Rife pun memutuskan kembali ke markas Vighę. Namun samar-samar kemudian, dia tidak sengaja mendengar suara lenguhan seseorang.
Dekat tombak yang berdiri menancap di tanah, seseorang berbaju zirah itu menggerung, seperti sedang berusaha berdiri tapi tak mampu. Rife mendekatinya perlahan dan berhati-hati. Setelah memastikan pakaian perang yang dia kenakan berada di pihaknya, Rife menghampiri begitu mengetahui dia bukan musuh.
"Tuan!" Rife menyapanya dengan senyum berseri-seri. Laki-laki itu cukup senang karena bisa bertemu dengan Jenderal Ranoor sepertinya. Kegembiraannya bertambah karena pria itu selamat, meski tampak sangat berantakan.
Manuel mengerjap-ngerjap lalu mengerutkan kening menatap Rife. Dia tengah berbaring telentang. Ledakan yang dihasilkannya tadi membuat tubuhnya lumpuh dari perut sampai ke kaki.
"Aku ingat wajahmu. Kau bersama temanmu yang berkhianat itu kan?"
"Nama saya Rife, Tuan," balas Rife sembari tersenyum lebar, namun kemudian dia mengaduh karena pada atas bibirnya terdapat luka sobek. Susah payah, dia membantu Manuel berdiri. Sungguh, tubuh pria itu berat sekali sampai mereka sempat terjatuh dua kali sebelum mampu berpijak dengan benar.
"Kalian tidak kelihatan seperti pengkhianat," ujar Manuel saat dipapah. "Pengkhianat hanya akan melakukan hal yang menguntungkan bagi mereka. Mengejutkan kau berhasil menemukanku sebelum mereka membakar mayat-mayat yang berserakan di sini."
"Saya hanya beruntung." Rife tertawa kecil. "Saat saya mendengar kalau Jenderal Ranoor bergabung, saya memutuskan untuk membelot."
"Kenapa kalian melakukannya? Lagipula siapa laki-laki yang bersamamu itu?"
"Namanya Varoscar. Dia sahabatku," aku Rife. "Meski wajahnya keras, dia orang yang baik. Dia tidak setuju pada langkah yang diambil raja kami. Raja kami dan Raja Hurdu bukanlah penguasa yang baik apabila mereka meraih kemenangan."
"Jadi kalian adalah orang yang punya pikiran lurus."
Mendadak Rife tertawa. "Untuk dia memang benar, tapi saya punya alasan tersendiri. Saya akan menjadi orang Ranoor tidak lama lagi."
"Apa yang membuatmu yakin Ranoor akan menerima seorang pengkhianat?"
"Ada perang ini atau tidak, saya akan tetap jadi orang Ranoor. Aku akan menikahi kekasihku yang berada Ranoor, Tuan."
"Oh? Kau akan menikah? Selamat kalau begitu."
Di luar dugaan obrolan keduanya mengalir selancar sungai Tiberi. Manuel sangat ramah. Seringai jahilnya selalu menghias di wajahnya yang terukir tegas dan kuat. Rife seperti menemukan saudara di luar kerabatnya yang seringkali menjengkelkan.
"Apa yang anda lakukan tadi, Tuan? Dengan ledakan sebesar itu, tuan bisa-bisa tewas."
"Itu jimat dari istriku," jawab Manuel santai. "Kalau keadaan yang kuhadapi terlalu genting, dia menyuruhku menggunakannya. Sebelum mengantarku pergi berperang, dia mengancamku supaya pulang dengan selamat. Kalau tidak, dia bersumpah akan memberiku doa-doa yang buruk di batu nisanku, juga akan bercerita pada anak kami—kalau ayahnya adalah pria tidak bertanggung jawab—setiap malam sebelum tidur."
"Istri anda kejam sekali, Tuan..," komentar Rife seraya bergidik. "Tapi omong-omong, kekasihku juga punya peringatan yang sama."
Manuel tergelak. "Apa yang dia katakan?"
"Kalau aku mati, dia bilang akan menemukan penggantiku kurang dari seminggu lalu menikah dengannya."
***
Tiga minggu berlalu dengan sangat lambat. Ketika kembali ke Kith setelah perang resmi telah mereda, Var tidak mendapatkan masalah seperti yang mulanya dia bayangkan. Tentu saja semenjak tewasnya Ghaloth, negeri itu didera kekacauan, khususnya dari para bangsawan yang ingin raja baru segera dinobatkan. Pilihan mereka kemudian jatuh pada cucu raja terdahulu yang diasingkan Ghaloth karena tidak ingin ada seorang pun yang mengancam tahtanya.
Untuk sementara, situasinya berangsur tenang—tapi tidak untuk Var sendiri. Ratraukh pun bisa menyadari kepahitan yang telah Var rasakan.
"Mau ke mana?" tanya Ratraukh ketika Var mengeluarkan Nii dari istal.
Laki-laki itu bergeming. Mulutnya terkatup rapat seakan tidak ingin menjawab pertanyaan ayahnya.
"Vighę," sebut Var pendek.
Ada atmosfer yang tidak biasa kali ini. Var menghindari kontak mata keduanya, yang mana itu sama sekali bukan sesuatu yang jarang Var lakukan. Tapi Ratraukh pelan-pelan menemukan ada alasan yang berbeda kenapa Var bersikap seperti itu. Seolah-olah Var tengah bimbang menentukan keputusannya sendiri. Padahal seringkali laki-laki itu akan bertindak sesuka hati.
"Aku ingin tinggal di sana..," kata Var lagi.
Dengan kata lain, Var ingin meninggalkan Kith dan menetap di Vighę.
Ratraukh terdiam cukup lama mendengar keinginan yang diutarakan Var. Bukan keinginan yang sederhana hingga rasanya amat sulit untuk dikabulkan. Var adalah anak laki-laki satu-satunya yang Ratraukh harapkan akan mewarisi semua miliknya. Namun setelah apa yang telah terjadi, Var telah memilih jalannya sendiri.
"Apa pun yang membuatmu bahagia, Nak..," balas Ratraukh akhirnya setelah keheningan panjang menyelimuti mereka. Kalimat itu langsung membuat Var berjengit tak percaya. Ratraukh pun tersenyum tulus. "Aku bangga padamu."
Tiga kata penutup yang diucapkan Ratraukh begitu berarti. Beban berat yang berasal dari kebenciannya pada pria itu sirna sudah. Ratraukh menyayangi Var, dan laki-laki itu selalu tahu bahwa Ratraukh juga merasakan kehilangan yang sangat saat Vahissa meninggal. Var hanya menolak untuk percaya, lantas mengandalkan kemarahannya untuk menutupi lukanya.
"Terimakasih, ayah."
***
Dini hari waktu itu, Argent yang masih terluka parah memaksakan diri keluar dari manor menyambut tiga orang yang datang. Var dan Cyde membawa Quon yang masih tidak sadar. Gadis itu terluka—Argent tahu. Tapi kedua laki-laki itu tidak pernah memberitahukan sebabnya. Sekembalinya Quon, Argent pun melakukan semua hal demi memastikan putrinya mendapatkan semua hal yang dibutuhkan.
Kecuali satu hal; urusan mereka yang selalu tertunda.
Pagi ini secara mengejutkan, salah satu dayang manornya memberitahu Argent bahwa Quon telah keluar dari kamarnya. Hari demi hari berlalu tanpa Quon keluar dari kamar—tidak sekali pun. Keadaannya sama seperti Silvana sewaktu terbebas dari vivarium yang mengurungnya. Gadis itu tidak melakukan apa pun, juga membisu membiarkan keberadaannya seolah tidak ada.
Begitu melihat Quon yang duduk di gazebo, memunggunginya, Argent menghampirinya dengan perlahan. Dia tidak bereaksi ketika Argent menarik kursi di hadapannya lalu duduk seraya menatap gadis itu dalam.
"Apa kau sudah sehat?" tanya Argent pelan. Suaranya terdengar serak.
Quon masih tidak membalas tatapan Argent. Pandangannya tertuju ke arah lain dan begitu jauh.
"Kenapa kau melakukannya?" ucap gadis itu akhirnya hingga membuat tenggorokan Argent seakan tersumbat. "Aku mencoba mencari tahu alasannya sendiri.. berkutat dengan kecurigaan-kecurigaan kotor dalam hatiku. Sebutanku padamu takkan pernah berubah. Kau bisa melihat kalau aku membencimu—sangat membencimu."
"Dia tidak mencintaimu."
Quon seketika mendelik pada pria itu. Argent menggeleng lemah, tampak amat menyesal, tapi tetap bersikap jika perbuatannya dulu adalah suatu keharusan.
"Apa?"
"Saat dia mengadakan pertemuan diam-diam dengan para bangsawan, membahas kunjungannya ke Kith waktu itu.. aku mendengarnya sendiri. Apa yang akan terjadi bila Mikhail menginvasi bagian selatan Hurdu ketika menjadi raja kelak? Dengan pasukanku ada di belakangnya, itu saja tidak cukup," ujar Argent nanar. "Kau adalah hal yang paling diinginkan dari para bangsawan itu, maka dari itu mereka menyinggungnya di depan Mikhail.."
Raut Quon menegang sembari dia terus menggeleng, menolak memercayai arah paparan pria itu.
"Apa yang kukhawatirkan selama aku memiliki Silvana?"
"Itu yang dia katakan." Argent meneruskan. "Para bangsawan terus membicarakan ini setelahnya. Di belakangku mereka bersekongkol menyusun cara supaya Thadurin segera turun tahta. Mereka menjilat Mikhail, dan berpikir tidak akan sulit memasangkan benang kendali padamu. Aku tidak mau kau menjadi permaisuri seperti itu. Di saat pengaruh mereka semakin didengar oleh Mikhail.. dan sebelum kau terluka karenanya, aku berpikir untuk membunuhnya."
Terucap sudah. Argent menutup matanya dan dia menunduk di depan Quon. Telinganya menjadi begitu peka menangkap bunyi napas yang memburu dari gadis itu. Meski masih dalam kondisi lemahnya, Argent tidak akan ragu apabila sewaktu-waktu kemarahan Quon akan mendorongnya mencoba membunuh sekali lagi.
"Kau adalah orang yang paling mengerikan yang pernah kukenal," ucap Quon hingga mengundang Argent mengangkat wajahnya kembali. "Tidak peduli segala macam spekulasi, taktik atau strategi sampah yang ada dalam pikiranmu.. bagaimana mungkin kau berharap aku bahagia saat hatiku hancur lebih dulu?"
Argent termangu. Perasaannya bergolak melihat putri tunggalnya—satu-satunya yang dia miliki di dunia itu begitu terluka dan merasakan kepedihan.
"Tidak pernah aku mengharapkan ada hari esok di mana aku bernapas sejak kematiannya!! Kau tidak hanya membunuh Mikhail.. KAU JUGA BERNIAT MEMBUNUHKU!!"
Silvana, gadis kecilnya yang manis tidak akan pernah berteriak seperti itu pada Argent. Dia terlalu pemalu, penakut, dan lemah. Tapi kini, di hadapannya sekarang, dengan wajah yang sama, gadis itu memojokkannya hingga tak mampu mengucapkan kata pembelaan.
"Silvana mungkin mencintainya karena tidak tahu apa-apa.. tapi aku berbeda. Aku mencintainya karena aku tahu dia juga mencintai Silvana. Sama seperti aku membunuh pengasuh yang jahat itu, aku bisa saja menghabisi Mikhail dengan tanganku sendiri ... tapi aku tidak bisa." Kepala serta tubuh Quon bergerak gelisah. Air mata telah tumpah keluar tanpa dia tahu sejak kapan. "Kebencianku padamu bahkan hampir sirna ketika dia begitu bahagia akan menikah dengan Mikhail ..."
Lagi-lagi kata-kata gadis itu seakan menikam Argent dengan pisau yang paling tajam. Dia sama sekali tidak mempersiapkan mendengar kenyataan ini sebelumnya.
"Kau melukaiku.. membunuh Mikhail, dan juga mengorbankan Kia.. Kau sudah terlalu jauh," ucap Quon di antara tangisnya. "Kau membiarkanku memendam kebencian yang begitu dalam hingga tidak sadar aku mencoba membunuh anakku.. Begitu semua ini selesai, aku telah kehilangan anak yang dimimpikan Silvana."
Kesadaran Argent terasa dicabut meski dia masih bisa memandang wajah putrinya yang tengah menangis tersedu-sedu. Ketika Argent hendak mengulurkan tangannya, Quon dengan cepat menepis. Gadis itu lalu berbalik kemudian melangkah cepat meninggalkannya.
Quon berlari ke istal dan dengan segera menggiring Calla keluar. Penjaga gerbang terkaget melihatnya menerobos. Di tengah rerimbunan hutan Tiberi, dia mengarahkan Calla hingga melesat cepat, pokoknya sejauh mungkin dari manor Burö. Namun sewaktu di tengah-tengah perjalanannya, sesosok siluet membuatnya harus menghentikan langkah Calla.
Gerak Calla sepenuhnya berhenti saat dia hanya berjarak lima langkah dari Nii.
Saling bersitatap selama beberapa detik, laki-laki itu merosot turun dari punggung Nii. Dia kemudian bergerak mendekati Quon tanpa melepaskan tautan mata keduanya.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Quon tidak terdengar ramah.
"Menemuimu," jawab Var terus terang.
"Apa kau tahu berapa lama aku menunggumu?"
"Dan sekarang aku ada di sini."
Quon memalingkan wajah. Dengan frustrasi, dia menyeka jejak air mata yang tersisa di wajahnya.
"Kau menangis?"
Gadis itu tidak menjawab, malah merosot turun di sisi sebaliknya hingga keduanya terhalang tubuh Calla. Var langsung mengejar Quon. Tangannya hendak meraih lengan Quon, tapi di detik yang sama ditampik.
"Lihat aku," pinta Var kemudian dibalas gelengan. Laki-laki itu akhirnya memaksa Quon menatapnya dengan menangkup erat wajah yang sembap. "Maafkan aku.."
Maaf karena tidak kunjung menemui Quon, atau karena sesuatu yang telah dia perbuat sebelum ini?
"Maafkan aku..," ulang Var. Disekanya pipi Quon lalu mengecup keningnya, kemudian memeluknya erat. "Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Kau bisa pegang janjiku, Silvana."
Entah kenapa Quon tidak tampak terkejut begitu Var memanggilnya dengan nama Silvana. Saat berlian hitamnya dimurnikan hingga sama seperti kilauan berlian Silvana yang memancar lembut, Quon pun menyadari dirinya telah mulai melunak seperti Silvana.
Berada dalam dekapan tubuh yang bidang laki-laki itu menghantarkan rasa nyaman baginya. Var agak merunduk, memandu wajah Quon hingga tersuruk ke siku lehernya, sementara Quon meremas bahu Var.
"Bawa aku pergi," bisik Quon.
"Ke mana?"
"Ke mana pun."
"Baiklah." Tanpa aba-aba Var menaikkan Quon ke atas punggung Nii. Laki-laki itu lantas duduk di belakangnya, menjadikan tubuhnya sebagai sandaran.
Var menghindari tempat yang sekiranya ramai, karena paham benar gadis itu butuh ketenangan. Masing-masing mereka tidak bicara saat menelusuri pinggiran Tiberi sampai ke Riget. Interaksi keduanya tersalur lewat sentuhan. Quon makin menenggelamkan diri ke dekapan Var, sementara laki-laki itu akan mengecup puncak kepalanya dan menghirup wangi gadis itu leluasa.
"Aku suka warna merah..," gumam Quon saat mereka melihat langit kemerahan ketika petang datang. Kepalanya tiba-tiba mendongak tanpa menjauh dari dekapan Var. "Kau tidak tanya kenapa?"
"Kenapa?" tanggap Var setelah mengulaskan senyum yang samar.
"Aku sangat suka gaun yang kau hadiahkan pada Sira.. juga jubah yang kau belikan untuk Silvana saat di Hăerz," jawab gadis itu dengan pandangan menerawang. "Dan melihat matahari tenggelam bersamamu sekarang, aku akan menganggapnya sebagai pemberianmu juga."
Var mengeratkan pelukannya. "Aku bisa memberikanmu banyak hal."
"Ini sudah cukup." Quon tersenyum.
Var berkedip bingung saat gadis itu bergerak melepaskan diri dari dekapannya. Selanjutnya dia bahkan memutar tubuhnya hingga mereka berdua kini saling berhadapan. Sama dengan Silvana, Quon pun amat menyukai manik kelam Var yang terkesan terlampau dalam untuk diselami. Namun dalam iris hitam itu, tersimpan rasa teduh yang tidak bisa mereka dapatkan di tempat lain.
"Aku mencintaimu," ucap Quon setengah berbisik. Dia sendiri yang mulai mencondongkan wajahnya demi merangkum bibir laki-laki itu.
Var menyambutnya dengan senang hati. Kerinduannya yang terkekang akibat jarak kini terbebas sudah. Dia menyibak rambut gadis itu hingga Var bisa menekan tengkuk Quon padanya, memperdalam ciuman keduanya.
Quon akan sangat bahagia jika waktu berhenti sejenak. Walaupun hanya sebentar, dia percaya telah menggenggam hati laki-laki itu.
Tapi sesungguhnya bukan.
Hingga pada akhirnya hari tersebut usai, Quon akan menyerah dan melebur bersama kenangan pahitnya. Semua ingatan dan kendali atas kekuatannya akan kembali pada satu orang.
"Ibuku pernah berkata, tidak ada kematian yang sia-sia. Saat malaikat menjemput seseorang ke alam baka, apabila seumur hidupnya berbuat baik, satu permohonannya akan dikabulkan," katanya. "Entahlah denganku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Jadi tidak ada salahnya kalau aku berharap kau bisa mendapatkan kebebasanmu suatu saat nanti." Sira tersenyum lebar seraya menunjukkan deretan gigi.
Quon telah terbebas, dan tidak pernah menyesal telah mengembalikan Silvana ke tempatnya semula..
Pada tempatnya dalam hati Var, melalui permohonannya pada berlian hitam terakhir yang dia miliki ...
Sebelum hancur menjadi serbuk keperakan yang sirna bersama embusan angin.
.
.
.
"And I will take you in my arms
And hold you right where you belong
Til' the day my life is through
This I promise you."
Tamat
Eh, belum ding 😂😂😂
Siapa yang nunggu extended chapters? 🙋🙋🙋
Mana yang baiknya diposting dulu?
Mikhail
Kia
Fiona