Coklat Cap Ayam Jago

By degrion

71.3K 3.9K 190

Berawal dari Coklat Cap Ayam Jago aku mengenalmu. Dan berawal dari situ juga aku mengenal arti dari sebuah pe... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Epilog

Part 10

1.8K 131 5
By degrion

Hotel Ibis Amsterdam Centraal

Hendra Hargiana

"Hen.... Makasih ya iPhone-nya. Hape yang lama gue taro sebagai kenang-kenangan. Banyak cerita yang bisa gue kenang hanya memandang hape ini."

"Sama-sama A."

"Berapa lama lo nginap di hotel ini?"

"Aku cuma booking dua malam aja, A."

"Terus dari sini mau ke mana?"

"Mau ngajak Aa ke Roma Italy, Aa pokoknya harus ikut ya?"

"Kan jauh Hen, kalau ke Italy. Gua nggak bawa paspor. Gue cuma bawa International Student Indentity card sama Verblijfs Document."

"Verblijfs Document itu apaan A?'

"Itu kayak kartu ijin tinggal sementara di Belanda."

"Ih si Aa hebat euy, udah punya kartu ijin tinggal. Bisa jadi warga negara Belanda atuh A?"

"Bisa aja kalau mau ngajuin?"

"Syaratnya apaan kalau mau jadi warga negara Belanda?"

"Punya masa ijin tinggal sementara minimal lima tahun berturut-turut."

"Punya Aa emang masa berlakunya berapa tahun?"

"Cuma tiga tahun aja, tapi kalau mau diperpanjang juga bisa. Setelah lima tahun, gue bisa ngajuin jadi warga negara Belanda."

"Si Aa emang ada rencana mau pindah jadi warga negara Belanda?"

"Belum ada rencana buat pindah atau balik lagi ke Indonesia."

"Terus paspor Aa ada di mana sekarang?"

"Ada di Rotterdam."

"Ya udah kalau gitu besok kita jalan-jalan seharian di Rotterdam sekalian bawa paspor Aa."

"Tapi Hen--"

"Atuh A... ikut ya ke Roma?"

"Iya... iya. Lo tuh kebiasaan."

"Asikk.... Yang penting Aa ikut. Aa... Aku bawa satu kado lagi buat Aa. Mungkin Aa bakal kaget nerima kado ini."

"Emang kenapa gitu, Hen?"

"Bukan karena mahalnya, tapi aku nyarinya yang susah banget. "

"Lo tuh ya... mana kadonya?"

"Sabar atuh, A. Bentar ya, aku ambil di tas."

Kucari kado spesial buat Andri. Memang sangat sulit aku mencari barang ini, tapi kebetulan waktu jalan-jalan di Plaza Indonesia, aku menemukan barang ini.

"Nih, A." kusodorkan kotak persegi panjang.

"Gue buka ya, Hen."

"Buka aja."

Aku melihat Andri semangat untuk membuka kado yang aku berikan. Dia melihat sebuah kotak berwarna orange yang terbuat dari karton kaku dan tebal.

"Apa ini isinya?"

"Liat aja sendiri, A."

Andri langsung membuka kotak itu. Tebakanku 100% tidak meleset. Kulihat dia tertegun melihat benda yang ada di dalam kotak tersebut. Tanpa bisa berkata sedikitpun dia hanya bisa memandang kearahku dan kembali memandang isi yang terdapat dalam kotak itu. Ada setetes air yang keluar dari sudut mata Andri.

Sengaja kubelikan Coklat CAP AYAM JAGO yang saat ini sangat sulit ditemukan. Aku memberikan coklat ini bertujuan agar Andri bisa mawas diri. Aku masih teringat untuk terakhir kalinya Andri memakan satu batang Coklat CAP AYAM JAGO. Dan setelah itu, dia sama sekali tidak mau menyentuh apalagi memakan Coklat CAP AYAM JAGO.

**

Oktaviandri

Seperti hari-hari sebelumnya, setiap acara makan malam, nyokap dan gue selalu berbincang-bincang seputar berita terkini, keadaan sekolah gue, atau hal-hal lainnya yang gue anggap sebagai wejangan penting.

"Andri.... ada beberapa hal yang harus kamu ingat," Ucap nyokap gue, sepertinya akan memberikan wejangan. Dan gue dengan seksama mendengarkan wejangan-wejangan yang akan disampaikan beliau.

"Iya Bu...." Jawab gue serius

"Pertama, di manapun kamu berada, jangan pernah lupakan Tuhan dan perintah-Nya. Kedua, kamu jangan terburu-buru untuk menikah. Raih dahulu cita-citamu, dan nikmati hidupmu. Setelah kamu bener-benar siap. Lalu putuskan untuk menikah. Ketiga, pendidikanmu harus lebih tinggi dibandingkan Bapakmu yang hanya lulusan Sarjana Muda (D3)."

"Dan yang terakhir, jika ibu sudah nggak ada, kamu harus sabar menghadapi hidup. Mengeluh bukan jalan keluarnya. Berusaha dan berserah kepada Yang Maha Kuasa adalah kunci dari hidup."

"Iya, Bu. Andri akan melakukan apa yang ibu ucapkan. Tapi pada poin terakhir, Andri sama sekali belum siap, Bu."

"Ibu sangat percaya padamu, Sayang. Jangan pernah meremehkan kemampuanmu dan Kuasa Ilahi ya. Jadi nggak ada yang perlu didebatkan lagi." Jawab nyokap gue yang tidak bisa gue bantah.

Wejangan yang baru terucap dari nyokap gue, akan gue simpan dalam hati dan gue berjanji pada diri sendiri akan melaksanakan apa yang diminta oleh nyokap gue.

Setelah acara makan malam selesai, gue langsung mencuci piring-piring kotor dan membereskan meja makan. Setelah semuanya tertata rapih, gue duduk di samping nyokap gue yang sedang menonton televisi.

Tangan kanan gue digenggam erat oleh kedua tangan nyokap gue. "Andri, Ibu teringat waktu kamu masih kecil. Kedua tanganmu selalu Ibu genggam seperti ini, tapi sekarang satu tangan pun nggak bisa Ibu genggam dengan kedua tangan Ibu. Ibu bangga sekali memiliki anak sepertimu. Sekarang sudah tumbuh menjadi dewasa"

"Bu, Andri sayang banget sama Ibu," jawab guesambil mencium tangan dan kedua pipinya. Hanya perasaan damai, nyaman dan tentram jika gue berada di sisi nyokap.

Keesokan harinya, gue bangun pukul lima pagi. Seperti biasa, setelah shalat subuh, gue menyiapkan air putih dan kopi susu untuk nyokap gue. Beliau selalu shalat subuh di mesjid dekat rumah. Pulang dari mesjid biasanya pukul 5.30.

Tapi kok lampu kamar beliau masih menyala, apa mungkin lupa mematikan lampu dan langsung pergi ke mesjid. Gue menuju kekamarnya untuk mematikan lampu yang masih menyala.

"Astaga..... BUUUU.... IBUU!!" gue sangat terkejut melihat beliau yang terbaring di kasur, dan dari mulutnya keluar cairan hitam.

Gue berusaha untuk membangunkan beliau, namun tidak ada perubahan. Kulihat masih ada pergerakan di dadanya yang menandakan napasnya masih ada.
Gue langsung berlari kearah mesjid yang ada di dekat rumah untuk meminta bantuan, orang yang dituju adalah ustad yang merangkap sebagai pengelola mesjid tersebut.

"Pak Ustad, tolong Ibu saya. Beliau sepertinya sakit dan nggak sadarkan diri." Ucap gue memelas untuk memohon bantuan.

"Oke, Dri.... Kita sekarang cepet ke rumahmu," kata Pak Ustad dengan sigap.

Kami pun bergegas menuju rumah gue.
Setelah melihat kondisi nyokap gue, Pak Ustad lalu menelepon seseorang yang gue sendiri nggak tau siapa yang ada di seberang telepon tersebut. Gue hanya bisa duduk dibawah kasur beliau sambil membersihkan sisa muntahan yang keluar dari mulut nyokap gue.

"Dri... cepat bawa ibu kamu ke rumah sakit!! Ibumu perlu segera mendapatkan pertolongan."

Tanpa berpikir panjang, gue dan Pak Utad dibantu seorang lainnya, menggotong tubuh nyokap gue ke depan rumah. Dan ternyata sudah ada mobil yang siap mengantarkan ke Rumah Sakit.

Pikiran gue terlalu kalut, sehingga tidak tahu rumah sakit mana yang dituju. Setelah sampai UGD, nyokap gue langsung ditangani oleh dokter dan suster jaga.
Gue hanya termenung di ruang tunggu UGD. Tiba-tiba ada yang memegang bahu gue. Reflek gue melihat kepada orang yang memegang bahu gue. Ternyata Pak Ustad.

"Dri... yang sabar, ya. Ibumu sudah ditangani oleh orang yang tepat. Kita hanya bisa berdoa untuk kesembuhan beliau."

"Tapi Pak Ustad, saya sama sekali nggak punya uang untuk bayar biaya Rumah Sakit. Jika Pak Ustad mempunyai sedikit dana, saya mohon untuk membantu saya membayar biaya perawatan beliau. Saya akan jual motor saya untuk mengganti uangnya Pak Ustad."

"Kamu nggak usah banyak pikiran dulu ya. Yang penting sekarang Ibumu bisa lekas sembuh," jawab Pa Ustad yang entah pada saat itu begitu menyejukkan hati.

Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya seorang suster menemui kami. Suster tersebut mengatakan bahwa pasien sudah bisa dipindahkan ke kamar. Pak Ustad memilih kamar kelas dua, namun hanya terdapat satu kasur pasien. Tidak ada fasilitas TV dan kamar mandi di dalam ruangan tersebut. Kondisi beliau masih belum sadarkan diri, ada selang yang terpasang di hidungnya, dan sebuah infus yang masuk melalui pergelangan tangan beliau.

Hati gue sangat miris melihat kondisi beliau pada saat itu. Pak Ustad berdiri di samping kasur nyokap gue sambil memegang tangannya. Kudengar Pak Ustad berzikir dan berdoa sekitar 20 menit. Setelah itu beliau mengusap kening nyokap gue.

"Bapak pulang dulu ya, kamu jaga ibumu baik-baik. Jika ada apa-apa, hubungi Bapak," kata Pak Ustad.

"Terimakasih atas bantuan Pak Ustad. Saya mohon doakan Ibu saya semoga lekas sembuh," pinta gue kepada Pak Ustad.

"Pasti, Dri. Kamu jaga diri baik-baik ya."

Gue mengangguk, kemudian gue bersalaman dengan Pak Ustad dan mencium tangan kanannya. Setelah Pak Ustad pergi, gue melihat kondisi nyokap gue, dan berdiri di samping ranjang beliau. Gue usap kening dan rambut beliau, sesekali gue cium kedua pipinya.

"Bu... jangan tinggalin Andri sendirian ya, Bu. Semalem Andri janji akan melaksanakan wejangan yang Ibu ucapkan. Tapi untuk poin terakhir, Andri masih belum siap untuk hidup seorang diri," Ucap gue lirih.

Dada gue tiba-tiba terasa sesak sekali, sangat sulit untuk bernapas. Mata gue terasa panas. Tetesan air mata tak sanggup lagi gue tahan, jatuh satu persatu membasahi pipi dan lantai kamar ini.

Sambil menarik napas dalam-dalam, gue berusaha untuk menahan tetesan air mata ini. Gue berusaha untuk tetap tegar di depan beliau, gue harus memberi semangat agar beliau sembuh kembali.

Gue cium kembali kedua pipinya sambil kuusap rambutnya. "Bu, cepat sembuh ya, apa pun Andri lakukan asal ibu bisa sembuh kembali," pinta gue.

Astaga... gue lihat ada sebutir air keluar dari kedua mata beliau. Dada gue kembali terasa lebih sesak, seolah ada bongkahan batu besar yang menghimpit tubuh gue. Tetes demi tetes air mata keluar lagi dari mata gue, dan gue pun bersujud sambil memohon kepada Yang Maha Kuasa

"Tuhan, saya bersimpuh di hadapan-Mu dan di bawah tubuh ibu saya. Saya mohon berilah kesembuhan kepada beliau. Saya mohon pindahkan lah penyakit yang diderita ibu saya kepada tubuh saya ini Ya Tuhan... Saya rela..." hilang sudah suara gue, bongkahan batu tersebut semakin menghimpit.

Gue mencoba sekuat tenaga untuk menahannya, dan yang dihasilkan hanya ratapan kesedihan dan tetesan air mata bersamaan dengan napas gue yang tersengal-sengal.

**

Hendra Hargiana

Pagi ini aku tidak melihat Andri sama sekali. Waktu jam istirahat pertama pada pukul 9.00, aku mencarinya di kelas, tidak ada. Kucari di kantin pun tidak ada. Mungkin hari ini dia nggak masuk sekolah.
Tadi aku coba telepon ke rumahnya, nggak ada yang angkat. Aku coba telepon ke handphone-nya juga tidak diangkat. SMS ku tidak satu pun ada respon balik. Aku sangat resah. Arggghhhh.... Di mana sih ni orang. Jangan siksa aku yang ganteng ini. Ngelantur ah.

Dreeett... Dreeett...

Aaahhh... ada SMS sepertinya. Hatiku sangat berdebar, karena sekarang sedang pelajaran berlangsung, dilarang memegang handphone. Kukeluarkan ponselku dari saku celana, perlahan-perlahan kulihat ponselku di bawah meja. Ada satu pesan yang belum terbaca.

A.Siluman Ular Berbisa
+6281122XXXX :
Hen.... Tolong bilang ke guru piket, gue nggak bisa masuk sekolah. Nyokap gue masuk rumah sakit.
09.35

Astaga.... sms dari Andri. Ternyata Tante Nur sakit. Sakit apa ya beliau? Aku masukkan kembali ponselku kedalam saku celana.

"Pak, saya minta ijin ke wc," ucapku meminta ijin kepada Pak Rahmat, guru Bahasa Indonesia.

"Ya. Silakan, Hen," Jawab Pak Rahmat.

"Terimakasih Pak." Aku langsung bergegas menuju wc. Setelah sampai, kubuka kembali ponselku. Dan kubalas sms dari Andri

H.Ganteng Abis
+6281828XXXX :
Aa... tante Nur sakit apa? Skr Aa ada dirumah sakit mana. Nanti pulang sekolah aku langsung kesana."
09.43

A.Siluman Ular Berbisa
+6281122XXXX :
Dokter belum kasih tau sakit apa, gue skr ada di rumah sakit yang ada di Jl. Kebon Jati.
09.46

H.Ganteng Abis
+6281828XXXX :
Semoga Tante Nur cepet sembuh ya, A. Aku doa skr untuk kesembuhan beliau. Aa mau dibawain apa? Udah sarapan belum?"
09.47

A.Siluman Ular Berbisa
+6281122XXXX :
Belum Hen. Lo kesini aja. Ngga usah bawa apa-apa
09.50

H. Ganteng Abis
+6281828XXXX :
Siap A... ntar aku langsung kesana kalau udah beres sekolah.
09.51

Perasaanku kok jadi tidak enak. Aku sangat khawatir. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Tante Nur. Kemudian aku bergegas menuju kelas untuk melanjutkan pelajaran yang sedang berlangsung.

**

Oktaviandri

Tok... tok... tok....

Kulihat seorang dokter dan seorang suster masuk ke kamar ini. "Selamat pagi... saya periksa sebentar ya, Dik." sapa dokter tersebut.

"Pagi, Dok. Silahkan, Dok."

Kemudian dokter dan suster tersebut mulai memeriksa. Gue nggak tahu sama sekali apa yang mereka perbuat, tapi gue yakin hal itu dilakukan untuk kesembuhan beliau.

"Adik keluarganya, ya?" Tanya dokter.

"Iya, Dok. Saya anak tunggalnya."

"Bisa ikut sebentar ke ruangan saya? Suster, tolong jaga pasien ini ya."

"Baik Dokter," sahut suster tersebut.

Gue mengikuti dokter itu menuju ruangan praktenya. Setelah sampai di dalam gue dipersilahkan untuk duduk. Gue lihat di meja kerja tertera tulisan dr. Taufik Ardianto Sp.BS. (Spesialis Bedah Saraf)

"Bapaknya di mana, Dik?"

"Bapak saya sudah lama meninggal, Dok. Ibu saya sebenernya sakit apa? Kapan beliau bisa sembuh?" Tanya gue tanpa sabar.

"Tarik napas yang dalam ya, Dik. Keluarkan perlahan-perlahan."

Gue mengikuti saran dokter untuk menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Terasa agak sedikit lega, seolah bongkahan batu yang sedari tadi menghimpit tubuh gue sekarang melonggar.

"Sudah lebih baik sekarang?" tanya dokter Taufik. Gue hanya menganggukan kepala saja.

"Begini, Dik. Ibumu menderita Aneurisme pembuluh darah otak."

"Dok, saya sangat awam terhadap bahasa kedokteran. Boleh dokter jelaskan apa itu Aneurisme?" Tanya gue penasaran.

"Aneurisme merupakan penyakit pembuluh darah otak yang melembung seperti balon, dan akan pecah bila tekanan darah di dalam pembuluh darah tersebut terlalu kuat."

"Dok, apa akibatnya kalau pembuluh darah otak pecah?"

"Kalau pecah, akan muncul perdarahan, lalu darah akan masuk ke seluruh jaringan otak sampai menimbulkan malapetaka hebat dan suatu waktu bisa berupa kematian."

"Gimana kondisi ibu saya saat ini, Dok?"

"Dengan sangat menyesal saya harus mengatakan bahwa, pembuluh darah otak Ibumu sudah pecah tadi malam. Darah yang masuk ke dalam jaringan otak sudah terlalu banyak."

Penjelasan dokter Taufik bagaikan sebongkah batu yang sangat besar menghantam dada gue. Terasa sangat sesak dan sakit luar biasa.

"Dok, saya mohon dengan sangat, bantulah Ibu saya. Akan saya lakukan apapun asal Ibu saya bisa selamat." Mata gue terasa sangat panas, tak sanggup lagi gue membendung air yang keluar dari mata gue.

"Saya akan berbuat maksimal untuk menyelamatkan Ibumu. Namun hasil dan keputusan kita harus serahkan semuanya kepada Yang Kuasa."

Gue kembali mencoba menahan rasa sesak dan sakit di dada ini dengan sekuat tenaga.

"Dok, atas nama Ibu saya dan saya pribadi, mengucapkan terimakasih atas usaha dokter. Maaf jika saya mengganggu waktu dokter. Saya pamit dulu," kata gue santun untuk berpamitan.

"Percayakan kepada Yang Kuasa ya, Dik. Kita manusia hanya bisa berusaha," kata dokter Taufik sambil beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu ruangannya.

Gue langsung bergegas menuju ruang inap di mana nyokap gue terbaring. Gue berusaha untuk mengeringkan air mata yang sedari tadi mengalir. Sebelum masuk kamar, gue merapihkan wajah dan rambut yang terasa sangat kacau dan kusut. Setelah yakin rapih dan fresh, gue pun masuk ke dalam, berharap beliau sudah sadarkan diri.

Namun kondisinya masih tetap sama seperti tadi pagi. Belum ada perubahan sedikit pun. Gue lihat jam melalui hape, ternyata sudah waktunya shalat dzuhur. Gue bergegas menuju kamar mandi yang berada tidak jauh dari kamar pasien untuk mengambil wudhu.

Setelah melaksanakan kewajiban shalat dzuhur, gue memanjatkan doa kepada Sang Penguasa Alam Semesta.

"Ya Allah Ya Robbi, tidak ada ucapan yang bisa aku keluarkan dari mulutku. Engkau Maha Mengetahui. Berilah yang terbaik untuk ibuku tercinta. Aku pasrahkan kehidupan saya selanjutnya Pada-Mu. Aamiin." Kemudian gue pun bersujud.

**

Continue Reading

You'll Also Like

82K 6.6K 23
Saat selesai memberi makan seekor kucing dipinggir jalan,Gavin tertabrak motor sehingga para warga membawanya kerumah sakit. saat terbangun,dia dibua...
4.1M 110K 32
(WARNING 18+ FOLLOW DULU BARU BACA) "Metta mau nenen" "Iya, Samudra" "Metta mau peluk" "Sini" "Metta mau buat anak" "Ayo" Ini cerita tentang Samudra...
91.2K 4.7K 24
You don't have to believe everything I wrote. I don't force you to. I just want you to enjoy them if it suits you. Please leave, if it doesn't. Than...
22.5K 935 29
BERKAT PUKULAN CINTA SEMUA BISA SAJA BERUBAH Cerita ini mengisahkan win yang akan menghadapi dunia yg kejam ini tanpa ada sosok seorang ibu di sisi n...