Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.6K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

71. Barrier

6.1K 688 55
By Cassigatha19

"Jika Raveann tidak memiliki gunung Tar dan Taruhi sebagai pusat kekuatan spiritual, pertahanannya akan dengan mudah dibobol," ujar Ghaloth sembari membungkuk dan menyangga tubuhnya pada tangan yang menempel di atas meja peta Oltra.

Rambut legam bergelombang miliknya tergerai panjang, bergabung dengan jubah gelap yang terseret tiap dia bergerak. Matanya yang kelam tidak sama dengan yang dimiliki Var. Mata itu lebih condong pada mata orang yang telah mati. Terlebih kulitnya amat pucat, sampai-sampai membuat kulit pualam Quon terkesan lebih "hidup". Dia begitu menawan dilihat dari sudut mana pun. Pantas saja para putri bangsawan di pesta dua malam lalu memandang keruh pada Quon-karena target mereka telah direbut.

Di luar para prajurit penjaga, hanya ada Ghaloth, Quon dan Salazar yang berada dalam ruangan tersebut. Atapnya berbentuk kubah raksasa, berhias lukisan yang telah memudar dimakan usia. Sesekali Ghaloth dan Salazar akan melangkah mengitari meja peta, sembari mendiskusikan rencana mereka. Quon sendiri tidak banyak berucap. Gadis itu duduk manis di atas kursi metal dengan sisi atas sandaran yang menyerupai duri.

"Dengan tentaraku bergabung dengan tentara Hurdu, prajurit mereka bisa dihanguskan dengan mudah," kata Ghaloth lagi. "Halangan kita hanya resimen cenayang yang mengisi hampir separuh jumlah orang Raveann."

"Kepala Taruhi yang sekarang sangat terkenal," tambah Salazar yang menyilangkan tangan. "Dengan cara apa kau bisa melumpuhkannya?"

Ghaloth tersenyum. "Bukan aku." Pria itu menoleh ke arah Quon yang sedari tadi masih diam. "Aku yakin Ratuku memiliki jalan terbaik untuk memberangus Taruhi. Apa kau suka pada hadiahku?"

"Hadiah" yang dimaksud Ghaloth adalah ditangkapnya Dalga oleh orang-orang kepercayaannya. Quon sendiri tidak pernah menyebut nama mantan kepala asrama Cith itu, apalagi sampai meminta penangkapan ini. Quon hanya butuh salah satu orang yang memiliki darah cenayang Raveann, apabila dia terdaftar menjadi Taruhi maka itu akan lebih baik. Ghaloth telah memilih orang yang tepat. Akses yang dimiliki Dalga, juga kekuatan laki-laki itu akan sangat sempurna nantinya.

"Dia tunanganku. Jangan sentuh dia."

Fokus Quon sedikit banyak terganggu hingga dia hanya bisa diam.

Sadar jika pertanyaan Ghaloth dialamatkan padanya, gadis itu hanya membalas singkat. "Ya."

"Bagaimana dengan Hurdu? Wilayah paling barat negerimu berbatasan langsung dengan Ranoor. Ada kemungkinan mereka akan menyerang dari sana." Tatapan Ghaloth beralih pada Salazar.

"Benteng dan tembok raksasa yang telah dibangun ayahku tidak akan mudah ditembus," jawab Salazar yakin. "Kalau pun mereka bisa, berapa lama waktu yang dibutuhkan? Bernaĕr tidak seidiot itu kurasa. Saat mereka mencoba susah payah menghancurkan benteng, Vighę mungkin telah jatuh."

Kedua pria itu saling balas menyeringai. Untuk sekarang, mereka terlihat seperti sekutu yang solid. Tapi tidak ada yang bisa menjamin ketika salah satunya lengah, maka yang lain akan menghunus tombak.

Bunyi pintu yang dibuka mengalihkan perhatian keduanya.

"Yang Mulia, para bangsawan telah berkumpul di balairung," lapor seorang prajurit.

Demi keberhasilan rencana mereka, Ghaloth harus bisa mengumpulkan sekutu sebanyak mungkin. Ratraukh memegang kendali prajurit terbanyak setelah pasukan istana miliknya, tapi bukan berarti Ghaloth tidak membutuhkan bantuan para bangsawan. Untuk saat ini, bantuan dalam bentuk apa pun diperlukan.

Ghaloth memandang Quon dan Salazar bergantian, tidak lupa mengulaskan senyum simpul.

"Kita akan teruskan ini nanti, atau besok pagi. Nikmati waktu kalian," katanya sebelum melangkah pergi.

Suasana hening pada detik demi detik setelah pintu ditutup. Quon masih bergeming di tempatnya, sedangkan Salazar mulai mencurahkan perhatiannya secara penuh pada gadis itu. Quon tidak menoleh saat laki-laki itu berjalan mendekatinya. Sudut matanya saja sudah cukup melihat bagaimana Salazar menguraikan tangan yang tadinya bersedekap.

Aura Salazar berbanding terbalik dengan Ghaloth. Rambut cokelat terangnya sedikit ikal, menjadikan wajahnya sebagai pigura mahakarya. Garis rahang yang tegas, alis membusur, mata almond beriris biru-abu, hidung yang bangir, serta bibir tipis yang mudah tertarik membentuk senyuman. Dia tidak kalah menawan dibandingkan Ghaloth hingga putri bangsawan akan rela membentuk antrian bersaf. Salazar mungkin hampir tidak pernah mengintimidasi siapa pun dengan guratan emosinya, tapi Quon tahu itu cuma topeng belaka.

"Aku selalu ingin bertemu secara pribadi denganmu, tapi urusan-urusan di sini sangat membuatku repot," kata Salazar.

Quon menoleh padanya-tanpa ekspresi.

"Ini pertama kalinya aku bisa memperhatikan tiap inci darimu baik-baik, Putri Burö. Kau sangat berbeda dari gadis yang pernah kulihat selama hidupku." Entah apakah itu pujian atau tidak. "Biar kutebak, Ghaloth pasti menawarkan sesuatu yang sangat menggiurkan hingga kau bersedia mengkhianati negerimu dan datang kemari."

"Bicara soal pengkhianat.." Quon berkata pelan dengan mengarahkan tatapannya lurus pada Salazar. "Bukankah sama dengan anak yang membunuh ayahnya hanya karena tidak sabar merebut statusnya?"

Salazar tertawa keras. Laki-laki itu mengusap bibir bawahnya dengan punggung jari telunjuk. Dia tidak tersinggung sama sekali dengan ucapan Quon barusan, bahkan merasa tersanjung. Selama datang ke Kith mereka tidak sempat berinteraksi dan sepertinya gadis itu pun tidak mengacuhkan keberadaannya. Salazar lega ternyata Quon mengetahui rumor tentang dirinya.

"Orang-orang mengetahuinya, tapi memilih berpura-pura tuli juga menutup mata. Tapi kau langsung menyiramkan air ke mukaku," kata Salazar sembari meredam sisa-sisa gelaknya. Kalau saja bukan Quon, dia mungkin akan langsung menggorok orang yang bicara selancang itu. "Sebenarnya, dibandingkan perang kali ini, aku lebih tertarik untuk mengenalmu lebih jauh."

Quon memindah haluan kepalanya, kembali menatap lurus ke depan. Salazar makin mendekatinya, bahkan mulai berani duduk di lengan kursi yang diduduki gadis itu. Punggung Salazar melengkung condong pada Quon. Napas hangatnya terasa begitu dekat di telinga Quon.

"Saat semua ini berakhir.." Dia berbisik pelan-sangat halus dan berbisa. "Ketahuilah kau tidak hanya memiliki satu pilihan. Kau bisa tetap di sisi Ghaloth, atau berpaling padaku."

***

Ratraukh kembali ke kediamannya dengan wajah yang kusut. Sekitar tiga jam yang lalu, Var melihatnya pergi bersama dengan dua pengawal. Melihat pakaian Ratraukh yang rapi dan formal, Var langsung tahu ke mana pria itu pergi. Karena itulah sewaktu Ratraukh kembali, Var sengaja menyambutnya-hanya dengan duduk diam di ruang tengah.

"Apa kau akan menentang keputusan raja?" tanya Var tepat saat Ratraukh merebahkan diri di atas kursi panjang yang empuk dan hangat.

"Pendapatku tidak penting di sini. Hampir semua bangsawan telah setuju pasukannya diambil alih," balas Ratraukh gusar. "Mereka tidak ragu, mengingat Gadis Perak telah berada dalam kuasa Ghaloth. Besok pagi, kau mungkin akan mendengar utusan dari Raveann, Vighę, Ranoor dan Larөa di sini telah mati dieksekusi."

Ghaloth memainkan bidak-bidaknya dengan agresif. Sementara Quon luar biasanya tetap menunjukkan pengaruhnya meski hanya berdiam.

Gejolak dalam diri Var makin bergemuruh. Haruskah Quon bertindak sampai sejauh ini? Var yakin gadis itu tidak bodoh untuk menyadari kalau tengah dimanfaatkan. Bisa jadi setelah semua keinginan Ghaloth demi menguasai Oltra tercapai, dia akan ganti membunuh Quon demi mendapatkan hidup abadi.

Apa yang harus Var lakukan?

"Apa kau mengkhawatirkannya?" tanya Ratraukh tiba-tiba. Var yang tengah memijat pelipis pun menoleh. "Ghaloth tidak bisa setiap waktu mengawasi gadis itu. Kau seharusnya bisa menemuinya di istana."

Var tersenyum sinis. Memangnya apa yang akan berubah jika dia melakukannya? Silvana ibarat pasir putih yang bisa ditoreh sesuka hati, sedangkan Quon? Pisau yang hendak mengiris karang jelas akan patah.

Tidak ada cara selain dengan melawan langsung gadis itu.

***

Berada di dalam salah satu bangsal jeruji besi, Dalga duduk terikat dan tengah tidak sadarkan diri. Hawa dingin dan lembab telah menyumbat paru-parunya. Seharusnya dia tidak mudah dilumpuhkan, apalagi oleh orang-orang yang mirip pemberontak yang mengeroyoknya sekaligus. Sesuatu seperti merasuki mereka hingga Dalga tidak bisa berkutik.

Kesadaran Dalga masih tenggelam dalam kegelapan saat Quon hadir. Gaun merahnya terseret di atas lantai penuh pasir dan kerikil basah. Dia berdiri tepat di depan Dalga dan mengamati laki-laki itu dalam hening.

Seorang prajurit kemudian menghampiri mereka. Dengan seember air, tubuh Dalga seketika diguyur hingga tersadarkan saat itu juga. Butuh sekian detik bagi Dalga untuk kembali mengenali sekeliling, terlebih seseorang di hadapannya kini.

"Putri Burö." Dia menggumam tidak percaya melihat Quon. "Apa yang anda lakukan di sini?"

"Menyelamatkanmu," jawab Quon pendek. Gadis itu membungkuk rendah hingga wajahnya berada di garis yang sama dengan Dalga. "Aku tahu siapa yang telah membuat Lilac kehilangan kendali dan kita saat itu tidak punya pilihan selain membunuhnya.."

Sekujur tubuh Dalga menegang. Tertegun, bulu romanya bergidik mengingat kembali wajah putus asa Lilac sebelum meninggal dalam pelukannya. Kalau ada yang bisa dia perbuat demi membalas kematian tak adil gadis itu, Dalga tidak akan berpikir dua kali untuk melakukannya.

"Ikut aku ke Taruhi..," bisik Quon yang memanfaatkan kelengahan laki-laki itu dengan mengeluarkan sebutir berlian. "Kita akan membalaskan dendam Lilac.."

Dalga tercekat merasakan sesuatu yang dilesakkan paksa ke dalam tenggorokannya. Laki-laki itu menggerung. Tubuhnya menggeliat karena beberapa detik yang berlalu lambat, pernapasannya tersumbat. Berlian hitam itu akhirnya berhasil ditelan. Quon pun tersenyum puas.

***

"Tuan Burö!" Orang-orang yang berjaga di gerbang depan Taruhi kaget melihat kedatangan yang mendadak pria itu.

Tidak hanya datang tanpa pemberitahuan, wajah Argent juga menyiratkan kemarahan. Langkahnya lebar-lebar, menuju ke bagian paling dalam Taruhi. Para cenayang yang berlalu lalang tidak dihiraukannya. Beberapa orang sempat mencegahnya masuk ke ruang milik seseorang yang memiliki kedudukan paling tinggi di tempat itu. Namun tatapan mengancam dari Argent langsung membungkam gerak mereka.

Dengan kasar, Argent membuka pintu lebar-lebar. Napasnya menggebu, melemparkan tatapan nyalang ke seorang wanita tua yang tengah berdiri memunggunginya.

"Kasar sekali, Argent," kata wanita itu-Farah-kemudian membalikkan tubuh. "Kau seharusnya bisa mengendalikan diri. Ini bukan di Vighę!"

"Kau mengkhianatiku!" balas Argent geram. "Penyegelan yang kau lakukan pada anakku.. kau juga membiarkan anak buahmu menyiksanya demi mendapatkan berlian-berlian sialan itu!!"

Fiona juga berada di Taruhi di saat yang sama demi memulihkan keadaan psikisnya. Sayup-sayup dia mendengar keributan dari para cenayang di luar kamar. Ketika Fiona memergoki, mereka langsung membubarkan diri. Barulah Fiona sadar jika tidak ada satu orang pun yang berani mendekat ke ruang neneknya berada. Gadis itu pun menghampiri muka pintu yang tidak sepenuhnya tertutup itu.

"Kenapa kau melakukannya? JAWAB!!"

Fiona sampai tersentak mendengar bentakan dari mulut Argent.

"Kau sendiri tahu pilihan apa pun akan lebih baik dibanding Silvana dibunuh sia-sia, Argent!"

Kaki Fiona terpaku di tempat. Mereka membicarakan Silvana? Kenapa? Apa yang terjadi dengan gadis itu? Kenapa Argent sampai mengucapkan kata-kata yang kasar pada neneknya?

"Dengan berlian Silvana, makhluk-makhluk yang mengancam Oltra akan bisa diredam dan tunduk. Berlian itu juga mampu melindungi semua orang dari bahaya! Nyawa satu orang saja tidak bisa dibandingkan dengan keselamatan berjuta-juta orang di Oltra!!"

"BERANI SEKALI KAU!!!" Argent berteriak murka. "Berani sekali kau menyiksanya dan berlaku tenang di depanku!! Kalian bukan lagi cenayang! Kalian iblis yang menyayat kulitnya-ANAK YANG TIDAK TAHU APA-APA ITU!!"

Fiona langsung membekap mulutnya, hampir tidak memercayai apa yang sudah dia dengar. Perutnya serasa bergolak, mendorongnya supaya dimuntahkan. Neneknya-sosok kebanggaan di keluarganya, ternyata punya andil menyiksa Silvana?

Perang mulut di ruangan itu kian memanas, tapi tiba-tiba terhenti karena guncangan hebat yang melanda. Para cenayang yang berada di lantai bawah berteriak ketakutan karena tempat itu seakan hampir runtuh. Sama dengan Fiona, Argent dan Farah pun memperlihatkan keterkejutan yang sama.

"Ketua! Perisai Taruhi telah bobol!!" seru salah seorang cenayang tepat di depan pintu.

Farah dan Argent langsung keluar. Farah sempat terkejut melihat Fiona, namun perhatiannya langsung teralihkan pada kekacauan yang menunggu di depan mereka kini.

Bangunan memilin yang mirip dengan rumah siput itu dalam sekejap berubah menjadi ancaman bagi siapa pun yang bertahan di dalam. Mereka harus keluar secepat mungkin karena tempat itu bisa sewaktu-waktu runtuh. Dan begitu keluar, tatapan mereka langsung tertuju ke satu arah. Sosok itu melayang tinggi di udara dengan sayap putihnya yang membentang lebar.

"Tidak.." Argent termangu.

Mereka bisa dengan mudah mengenali pemilik rambut keperakan itu. Tapi bukan cuma itu saja yang membuat mereka bergidik ngeri merasakan pancaran kekuatan yang terlampau besar. Tidak ada segel yang menahan kekuatannya supaya tidak meledak dan membahayakan orang lain.

Quon memegang kendali penuh atas inti kekuatannya sendiri. Gadis itu terang-terangan menyerang Taruhi, hanya dengan memecahkan sedikit akses masuknya memanfaatkan Dalga. Pakaian yang membalut tubuhnya bukanlah pakaian biasa. Itu pakaian perang-pakaian yang melepaskan hawa kekuatannya hingga memancar tumpah seperti air bah.

"SIAPKAN RITUAL PENGURUNG!!!" perintah Farah pada para cenayangnya.

Mereka buru-buru membentuk formasi melingkar dan merapalkan mantera. Namun sayangnya sebelum garis cahaya berpendar membentuk kurungan, Quon menghentakkan tongkatnya. Satu per satu cenayang memuntahkan darah dan kejang-kejang. Peristiwa mengerikan itu disaksikan langsung oleh Fiona.

Quon menghancurkan jantung mereka semua hingga hanya tersisa Fiona, Farah dan Argent.

Sayap gadis itu mengepak pelan, menuntunnya untuk berpijak di atas tanah. Senyum dinginnya mengulas, tidak menatap siapa pun di antara mereka.

"Quon.." Argent memanggilnya pelan, namun hal itu justru menyulut kemarahan Quon. Tongkat gadis itu mengayun kuat, menghempaskan Argent hingga terpelanting sampai-sampai menjebol dinding Taruhi yang terbuat dari beton dan berlapis marmer.

Quon tidak peduli bila pria itu mati. Sebetulnya akan lebih baik jika dia bisa bertahan.

Dengan tenang, Quon melangkah ke pintu masuk Taruhi. Hampir saja dia melewati sosok Farah yang membeku ketika tiba-tiba tangan kiri gadis itu mencekiknya. Farah tercekat. Mulutnya menganga lebar, dan biji matanya nyaris hilang karena Quon juga makin membenamkan kukunya ke leher wanita itu.

"Ja-jangan!! Kumohon.. ja-jangan.. jangan bunuh dia..!!" Fiona berlutut di belakang Quon sembari menarik kelepak pakaian Quon. Kata-katanya terbata, juga disuarakan dalam nada yang bergetar. Dia begitu ketakutan tapi tetap tidak bisa membiarkan keluarganya dilukai. Oksigen seolah dihisap habis dari paru-parunya sewaktu Quon menoleh. Melihat manik matanya saja, Fiona langsung tahu gadis itu bukanlah Silvana yang dia kenal.

Quon menatapnya beberapa saat, tapi tetap tidak melepaskan cekikannya dari leher Farah. Quon mengingat Fiona, juga kedekatan gadis itu pada Silvana. Namun suara Farah yang hampir kehabisan napas, menyadarkannya kembali. Permintaan Fiona tidak berarti apa pun. Tubuh gadis itu membeku begitu mendengar bunyi tulang yang dipatahkan. Quon melepaskan cengkeramannya. Tubuh Farah menghempas ke tanah. Binar matanya tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Netra Fiona langsung banjir dengan air mata.

"Pergi," ucap Quon dingin. "Lari sejauh mungkin.."

Kata-katanya adalah peringatan. Wajah Quon berpaling. Detik-detik sebelum Fiona dirundung kegelapan panjang, gemuruh akibat terjangan gelombang besar menghancurkan Taruhi. Hanya dalam waktu singkat, tempat itu telah rata sepenuhnya dengan tanah.

***

Berbanding terbalik dengan kegembiraan yang terpancar di hampir semua sudut Kith, Var dilanda kekalutan. Tindakan Quon yang menghancurkan Taruhi dengan mudah, telah memberi jalan yang mulus bagi Ghaloth untuk menundukkan Raveann. Var sempat berkata pada Ratraukh untuk memantau keadaan sesegera mungkin, tapi pria itu langsung menepisnya. Mereka tidak boleh bertindak gegabah bila tidak ingin memberi kesan hendak berkhianat.

Var yang frustrasi, menelan bulat-bulat kekesalannya dengan kembali ke kamar. Dia bahkan membanting pintu supaya pelampiasan emosinya tersalurkan. Kepalanya berdenyut menyakitkan sekarang. Berhari-hari dia tidak bisa tidur dengan nyenyak, dan kini tubuhnya telah mencapai ambang batas ketahanan.

Menghirup napas dalam-dalam, laki-laki itu duduk berselonjor di atas ranjang dan memejamkan mata. Semua gerakan dan tindak-tanduknya terkunci hanya gara-gara menunggu perintah dari raja yang licik itu. Bagaimana jadinya sekarang? Bagaimana dia bisa menghentikan Quon sebelum semuanya terlambat?

Keheningan panjang menguasai kamar tidur Var, sementara laki-laki itu akhirnya berhasil terlelap sewaktu kegelisahannya menubruk pada kebuntuan. Pintu balkon yang yang tidak tertutup dengan benar, memudahkan seseorang masuk ke dalam. Tubuhnya melayang berkat sayapnya yang mengepak lembut. Sayap itu kemudian hilang, seiring dengan warna keperakan di rambutnya yang memudar.

Quon bergeming dekat ranjang Var. Bayangannya jatuh ke tubuh dan wajah laki-laki itu. Pelan-pelan, Quon mendekatinya. Dia duduk di tepian ranjang Var dan terus mengamati wajah yang familiar itu. Telapak tangannya hampir menangkup wajah Var, namun terhenti dan mengambang di udara sebelum mendarat ke tujuan.

Sebulir air mata jatuh.

Quon merindukannya. Namun sayangnya, kebencian gadis itu juga sama besarnya-cukup besar hingga dia lebih memilih mati daripada memaafkan para penyamun yang telah menghancurkan hidupnya.

.

.

.

" So far away but still so near

The lights come up, the music dies

But you don't see me standing here

I just came to say goodbye."

Song: Ella Henderson - Yours

Continue Reading

You'll Also Like

29.8K 3.2K 40
Sekadar candaan suami istri yang diracik dengan: Bahan bumbu: • 250 gram bubuk baper • 1/2 sdm saus teriyak[i]an ciye-ciye • 3 siung rayuan gombal •...
27.6K 2.3K 35
New York adalah salah satu dari beberapa kota yang mengalami hal mengerikan. Invasi makhluk bertangan empat yang datang bersama satelit tak-diketahui...
2.7K 398 50
[THE CHILDREN OF GODDESS #2] Kelanjutan Daughter of Naterliva Mendamaikan manusia dan naga hanyalah awal dari segala sesuatu. | • | Kabar kesuksesan...
10K 1.2K 46
"Mereka menembak saudariku, ayahku, ibuku, para pelayan setiaku, dan aku sendiri." Tsarevich Alexei Nikolaevich - [Juli 17, 1918]. . [Fiksi-Sejarah M...