THE CRITICAL MELODY [Sudah Di...

By TheReal_SahlilGe

268K 36.9K 4.8K

SELAMAT MENYELAMI! "This book will change your trouble minded about teenage relationship. Because, being fore... More

Chapter-01: Everything Comes Back to You
Chapter-02: Semua Bertemu Karena dan Untuk Sebuah Alasan
Chapter-03: Yang Tak Terduga
Chapter-04: Boys Talk
Chapter-05: Harusnya Tak Pernah Tahu
Chapter-06: Rasi Bintang Tanpa Arah
Chapter-07: Couple Goals
Chapter-08: Selamat Pagi, Pacar.
Chapter-09: Komitmen
Chapter - 10: The Day Before
Chapter-12: Memulai Segala Tentang Mereka
Chapter-13: Kisah Yang Tak Pernah Usang
Chapter-14: Kisah Dalam Kisah
Chapter - 15: Kalau Boleh Jujur
Chapter - 16: Lost And Found
Chapter - 17: It's Gonna Be Fine
Chapter - 18: Pretending To Be Fine
Chapter - 19: Accidental Spot
Chapter - 20: Ayah dan Rahasianya
Chapter - 21: Genting
Chapter - 22: Geretak Hujan
Chapter - 23: Ayah, Tentang Rindu
Chapter - 24: Rindu Yang Salah
Chapter - 25: Katakan Dan Dengarkan
Chapter - 26: The Fundamental Of Loving
Chapter - 27: Sorrow
Chapter - 28: Reasons Why
Chapter - 29: Terlepas
Chapter - 30 A : Bicara Serius
Chapter - 30 B: Bicara Serius
Chapter - 31: Semua Tak Sama
Chapter - 32: Hati Ke Hati (Tiada 'Masih')
Chapter - 33: Patah Dan Lenyap
Chapter - 34: Fakta Menyakitkan
Chapter - 35: Senja di Sungai Hudson
Chapter - 36: Pulang
BAB 37: Titik Alfa
[OPEN] Pre-Order Novel THE CRITICAL MELODY

Chapter - 11: As Ballad As Your Smile

6.5K 921 48
By TheReal_SahlilGe

***

Sudah berapa lama ya nggak update? Huhuhu. Udah, lupakan. Yang penting kami kembali lagi. Selamat membaca ☺ Jangan malu kalau mau berkomentar dan jangan lupa kasih bintangmu ⭐

***

🎻Louisa 🎻

"Papa belum ngasih kabar, Ma?" Mama yang sedang menata menu di etalase rumah makan hanya membalas dengan garis senyum. Itu usaha rumah makan yang dikelola oleh Mama dan aku. Harusnya dia menggeleng, tapi dengan senyum itu pun aku tahu kabarnya belum sesuai harapan.

Lima tahun sudah Papa berangkat ke Brunei demi menebus hutang yang menggunung pada pihak bank. Sebenarnya Papa tidak perlu melakukan itu karena bukan sepenuhnya dia yang harus melunasi, menurutku. Itu karena kesalahan rekannya yang sama-sama pegawai bank. Dia membawa kabur Dana Bersama yang semestinya akan dilimpahkan untuk investasi. Karena Papa satu tim dengan orang itu, dan sesuai perjanjian apapun yang terjadi tanggung jawab akan dipikul bersama, akhirnya Papa pun dipecat dari bank dan mendapat tuntutan ganti rugi yang besar.

Dua tahun pertama di Brunei, Mama bilang hutangnya sudah lunas. Karena Mama pun mengorbankan pekerjaannya untuk ikut menambal hutang itu demi papa. Tapi aku tidak tahu kenapa sampai tahun kelima papa tidak juga pulang. Apa dia tidak merindukanku dan Mama?

Dan dua minggu ini dia belum menelepon. Aku rindu. Lima tahun tidak melihatnya dan hanya bersua bias suara terasa seperti tidak punya papa sama sekali. Tak ada artinya uang kiriman yang selalu masuk ke rekening Mama jika kehadiran Papa pun tak kunjung tiba.

"Besok hari pertama Lou masuk SMA, Ma."

"Mama akan bangun lebih pagi supaya bisa mengerjakan semuanya lebih awal. Kamu tidak perlu membantu Mama masak lagi ya, Nak?"

"Nggak apa-apa, lagian kalau berangkat pukul enam pagi masih bisa dapat bus ko."

"Ya sudah."

"Mama sudah mendingan sakitnya?"

"Udah, Alhamdulillah."

Warung makan ini cukup untuk dijadikan sumber penghasilan guna menghidupi kami berdua di samping kiriman dari Papa. Bahkan menu sarapan pasti ludes sebelum pukul sepuluh pagi. Dan selama waktu itu juga Mama biasanya sambil menyibukkan diri membuat menu makan siang. Terbayang bukan bagaimana dia melewati hari-hari ketika aku di sekolah? Karena belakangan aku punya waktu senggang libur setelah UN, makanya Mama banyak mendapat bantuan dariku.

Hari itu berjalan seperti biasa. Membantu di warung, les biola, dan ikut Mama belanja keperluan bahan baku. Kami tidak layak disebut keluarga kaya, tetapi miskin pun agaknya tidak bisa disandang oleh kami. Intinya kebutuhan kami berdua tercukupi. Rumah gedong yang kami huni terselamatkan dari risiko penyitaan, karena ayah memang menjamin itu pada kami bahwa rumah tak akan pernah kena dampak.

Mengeluh pun sudah tak memiliki arti apa-apa dalam hidupku. Satu kata yang sebenarnya wajar sekali jika terlontar dari mulut seorang gadis yang sudah cukup belajar malu pada luka-lukanya.

Hari sudah membentangkan rambut hitam legamnya yang berbenik sebaran lintang. Menjelang tengah malam mama kembali meracau, dia mengaku migrainnya kambuh. Sudah dua hari ini dia mengeluhkan sakit di kepalanya. Sudah diperiksakan ke dokter, tetapi memang itu hanya sakit kepala biasa dan bersyukur bukanlah penyakit yang membahayakan. Di saat seperti inilah rasanya aku ingin marah pada keadaan. Saat harusnya Papa ada di sini dan ikut menjaga Mama, tetapi malah aku yang harus pontang-panting mengurus. Bukan berarti aku tak bisa mengurus Mama, hanya saja, aku khawatir sesuatu yang lebih menakutkan akan terjadi dan seandainya aku harus mengatasinya seorang diri.

Aku membuka tas obat, dan yang tersisa hanya vitamin saja. Mama mulai tenang, tapi aku khawatir dia akan merasakan sakit lagi malam ini.

Aku harus ke apotek membeli obat yang sama. Resep dari dokter selalu Mama simpan salinannya agar bisa dibeli kapan-kapan kalau sedang dibutuhkan. Aku bertanya-tanya, kenapa migrain harus memakai resep dokter?

Kuambil ponselku untuk menghubungi seseorang yang mungkin ... aku tahu ini memalukan ketika aku hanya menghubunginya ketika sedang dibutuhkan, sementara dia selalu mendapatkan abai yang sempurna dariku.

"Halo," suaraku serak menahan pilu.

"Iya, Lou?"

"Alex."

"Kamu kenapa? Malam begini belum tidur? Besok hari pertama kamu masuk sekolah."

"Mama kambuh."

Aku mendengar gerakan terkejut, gemeresak. "Gimana keadaannya, Lou? Kamu oke?"

"Obatnya habis. Aku mau nyari apotek."

"Ini kan udah larut banget."

Aku hanya terdiam, membuat isakan yang bermaksud isyarat agar dia mengerti aku sedang perlu bantuannya. Jujur harusnya dia tak akan pernah mau menolongku. Untuk alasan sesuatu yang telah aku gantung cukup lama padanya. Yah, bagaimana lagi, cinta dan waktu beriringan. Ada seseorang yang harus menunggu sampai waktu yang tepat. Aku salah satunya.

"Sekarang kamu di mana?" tanya Alex Antara dari kejauhan. Yang mungkin sudah berbaring di tempat tidurnya dan siap terlelap. Atau tadi terbangun karena panggilan dariku.

"Masih di rumah." Aku harap dia menangkap sinyalku dengan baik.

"Jangan beranjak dulu."

"Iya."

"Aku ke sana. Tunggu sampai ... lima belas menit."

Setelah memastikan Mama benar-benar lelap, aku menunggu Alex dari tangga depan rumah. Tak sampai lima belas menit akhirnya motor Alex berhenti di jalan depan rumah. Aku mendekatinya tanpa sepatah kata. Dia mengulurkan helmnya, aku memakai dengan cepat.

"Kamu baik-baik saja?" Alex, aku suka ditanya seperti itu. Semua perempuan senang dengan pertanyaan itu.

Aku mengangguk.

Motor berderap pelan di aspal. Tak mungkin aku memeluknya dari belakang untuk berpegangan, makanya aku hanya memegangi jaketnya untuk keselamatan.

Kalian tidak akan pernah tahu kalau aku tidak menceritakannya. Alex adalah sepupuku. Dia anak angkat kakaknya Papa. Dan satu lagi yang berusaha aku tahan, dia, menyukaiku.

Alex resmi menjadi anak angkat Om Irfan ketika dia kelas tujuh SMP. Iya, memang sudah besar dan kata Om Irfan tidak ada kata terlambat untuk menjemput Alex dari panti asuhan. Pernikahan Om Irfan memang tidak dikaruniai keturunan. Jika pada umumnya pasangan seperti mereka akan mengadopsi seorang bayi, tetapi Om Irfan dan istrinya langsung terpikat pada kepiawaian Alex dalam memainkan piano saat pergelaran ulang tahun panti yang mereka hadiri, kebetulan sebagai salah satu donatur acara.

Aku mengenalnya justru sekitar setahun yang lalu, saat untuk pertama kalinya kami bertemu di momen hari raya. Dia anak yang sangat pandai bersikap manis. Mungkin salah satu alasannya adalah karena dia menyadari bahwa sudah seharusnya dia berbuat baik pada anggota keluarga barunya. Dari sanalah kami mulai akrab. Lebih banyak lagi kesempatan kami bertemu, mulai dari yang bareng Om Irfan atau dia sendiri yang datang ke rumahku. Bahkan ketika aku mengikuti tes masuk di SMA dia pun membantu mencarikanku ruang tes.

Tentang perasaannya, dia baru mengatakan itu sekali. Setelahnya dia tidak pernah mengungkit lagi karena aku tidak memberi respons apa-apa, tetapi yang dia lakukan justru pembuktian bahwa dia memiliki ketulusan yang tidak mungkin aku temukan yang semacam itu dari orang lain.

Mama juga senang dengan Alex. Tiap kali dia main pasti tanpa malu langsung ikut membantu melayani pelanggan. Padahal untuk ukuran anak gedongan seperti Alex Antara harusnya dia enggan bersentuhan pada wilayah itu. Bahkan Mama pernah terang-terangan bilang padaku kalau Alex suatu ketika bilang ke Mama bahwa dia menyukaiku. Dan Om Irfan pun agaknya ikut berlabuh di kapal yang sama dengan Mama. Tinggal aku saja yang menjadi penentu keputusan apakah akan ikut mengangkat jangkar atau tidak. Ah, SMP masih terlalu kecil untuk belajar mencintai. Tapi bukan berarti ketika SMA aku akan pacaran sama Alex, mm, maksudnya menerima dia atau tidak.

Alex baik. Satu kata selain itu yang pas menggambarkan tentangnya adalah, hangat. Dia pandai memperlakukan seseorang dengan kehangatan.

Gawat. Apotek yang menjadi langganan tutup. Padahal yang aku tahu di depan ruko itu terpampang tanda 24 jam. Namun anehnya lampu di dalam apoteknya menyala.

"Mau nyari ke tempat lain?"

"Jauh sekali."

"Kita bisa berangkat sekarang supaya menyingkat waktu. Aku cuma nggak tega kamu harus keluar selarut ini, Lou."

Aku berpikir sesaat. Tetapi nampaknya dia sudah lebih cepat membuat kesimpulan sebelumku.

Tiba-tiba Alex menggedor pintu apotek keras-keras, "Permisi?" teriaknya.

"Alex!" aku berusaha menahannya agar tidak melakukannya lagi. "Hentikan!"

"Kita punya hak untuk begini, Lou. Mereka memasang tanda 24 jam."

"Tapi itu akan mengganggu."

"Lebih milih mana? antara hakmu atau harus mencari lokasi yang lebih jauh."

Aku terdiam.

Tak lama kemudian, pintu apotek terbuka. Seorang pemuda keluar dari dalam sambil mengucek mata. "Ada apa? kalian bikin ribut saja!"

"Kami mau beli obat," jawab Alex.

"Nggak lihat toko sudah tutup."

"Yang kami lihat tanda 24 jam itu masih menyala." Alex merebut kertas resep dariku. "Kami perlu beberapa obat ini. Darurat."

Aku bisa melihat wajah pemuda itu kesal sekali saat menarik kertas dari tangan Alex. Kemudian tatapannya picing padaku. Dia tahu pasti aku yang membutuhkannya karena aku sudah sering datang ke sini.

"Sebentar," apoteker yang dingin!

Sejurus kemudian dia keluar lagi sudah membawa apa yang harus kami bayar.

Aku tidak tahu bagaimana berterimakasih, tetapi kalau Alex tidak melakukan ini, pasti aku tidak akan bisa mendapat ketenangan malam saat menghadapi Mama.

Kita sampai di rumah pukul dua belas malam. Alex mengikutiku sampai dia duduk di tangga depan rumah. Setelah menyimpan obat dan memeriksa keadaan Mama, aku menyusul Alex yang ternyata belum juga pergi.

Pelan-pelan, aku beranikan untuk duduk di anak tangga yang sama. Dia sedikit melamun sambil menatap ke arah motornya.

"Makasih, Alex."

Dia tersenyum samar. "Udah baikan Mamamu?"

Aku mengangguk, "Tadi aku cuma terlalu khawatir."

"Lebih baik begitu."

Hening sesaat.

"Kalau aku jadi kamu, pasti akan melakukan hal yang sama, Lou."

"Apalagi kamu laki-laki," celetukku.

"Bukan soal itu. Aku cuma ingin melakukan sesuatu yang istimewa untuk orang-orang seperti Mamamu."

"Kenapa?"

"Andai aku tahu siapa orang tua kandungku."

Nada bicaranya seperti belati yang mengiris emosi.

"Aku mohon jangan berterimakasih untuk ini. Aku tahu kamu cuma khawatir tadi, dan yang aku lakukan hanya berusaha merasakan itu sebelum kamu makin sedih."

"Tapi kamu layak mendapat ucapan terima kasih, Alex."

"Iya, tapi ada hal lain yang bisa kamu lakukan selain dengan ucapan."

"Apa?" aku ragu bertanya.

"Besok hari pertama kamu masuk ke SMA yang sama denganku. Aku mohon, masuklah ke klub akustik."

Aku tidak memikirkannya, "Itu akan sulit."

"Kenapa? Aku janji akan menjaga sikap seolah kita baru bertemu besok. Kita mulai dari sana."

"Kamu nggak harus melakukan ini, Lex."

"Jangan batasi aku, Lou. Aku ingin bebas melakukan apapun. Mendapat kepercayaanmu. Dan tetap mencintai sampai kamu bisa mengerti."

"Orang-orang akan berpikir aneh."

"Tidak ada yang aneh."

"Kenapa kamu ingin sekali aku gabung ke akustik?"

"Aku pikir kamu akan suka."

"Menurutmu?"

"Kamu akan berada di tempat yang tepat dan ketemu orang-orang yang punya kemampuan keren. Sudah ambil formulir, kan?"

"Belum."

"Pokoknya besok datang saja. Bawa biolamu. Ada banyak orang yang harus dibuat kagum olehmu."

Setelah berkata begitu Alex berdiri. Sambil menekuk jaket pada lengannya. "Sudah malam."

"Sekali lagi, makasih."

"Jangan katakan itu. Terimakasihmu baru akan aku terima ketika kamu muncul di klub akustik."

"Aku tidak tahu, Lex."

"Ini usahaku, Lou. Bagaimana?"

"Aku tidak bisa berjanji."

Dia tersenyum, lalu menarik satu tanganku dalam genggamnya. Seketika aku menoleh ke segala arah khawatir ada orang yang melihatnya. Pergi selarut ini pun aku khawatir dengan apa kata orang, apalagi kalau ada yang melihat kami sedang begini.

"Sering-sering lakukan ini padaku, Lou. Aku senang. Butuh apa-apa telepon aku saja kayak tadi."

"Kenapa kamu seperti ini?"

"Aku takut kehabisan cara bikin kamu percaya."

Jantungku berdegup. Pelan-pelan aku melepaskan tangannya yang seperti pasrah saat tak lagi menggamit tanganku.

"Lou-."

"Kamu nggak pernah takut sikapmu ini justru akan menyakitimu? Barangkali suatu saat."

"Aku sudah bilang berkali-kali."

"Kadang kita terlalu asik saat menunggu seseorang, tanpa kita tahu orang yang sedang kita tunggu mau ditunggu atau tidak. Aku nggak ingin kamu lantas jadi abai dengan perasaanmu dan terlalu berusaha bikin orang lain terpenuhi."

"Kamu nggak nyaman sama aku?"

"Bukan begitu, Alex. Aku cuma khawatir."

"Kalau begitu kamu cukup memantau saja. Perhatikan bagaimana aku akan melakukannya. Selebihnya silakan nilai aku sesuai kapasitas kriteriamu. Memang menunggu nggak enak sama sekali. Tapi melakukannya membuat aku sadar kalau- ... hanya ingin tahu sejauh mana aku bisa menjadi setia pada orang yang aku sukai bahkan sebelum memiliki."

Dia mengusap pundakku, rasanya menenangkan. "Aku tunggu di auditorium. Tolong pertimbangkan untuk ikut klub ini, Lou."

Lalu punggungnya semakin menjauh. Dan sosok itu meninggalkan bekas hangat yang melekat di pundak, pergelangan, dan seperti menyelimuti bagian yang menggigil pada hatiku. Sementara lubang-lubang yang menganga di dalamnya, sedikit demi sedikit tertutupi. Jangan terlalu mencintai, Alex. Karena aku semakin merasa tak layak.

Aku menarik tas biola dari laci lemari. Mengusap punggungnya sebelum membuka. Aku masih ingat saat Alex menyerahkan secarik kertas partitur berisi lagunya yang bertajuk Melody Of Your Heart. Kertas itu masih kusematkan di wadah biola. Tanpa lirik, tapi begitu dalam komponen nadanya.

Aku tidak tahu apakah melodi-melodi itu masih bisa menerjemahkan perasaanku atau tidak.

***

Mereka manis sekali bukan?
Semoga kerinduannya terobati.

Eh rindunya sama Nafis?

Sabarlah. ☺ yang penting ceritanya bisa disuguhkan sesuai kehendak insting saya. Kalian tinggal duduk dan menikmati. Cerita ini bakal membekas banget. I promise you.

Continue Reading

You'll Also Like

635K 43K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
173K 11.5K 5
SELESAI ✔️ Sekuel dari Persona. "Berikan aku kesempatan untuk bisa memilikimu sekali lagi." Copyright©2018 by Sirhayani
2.4M 128K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
508K 49.4K 15
[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488] Awalnya, Aksara mengenal satu gadis bernama S...