Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.7K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

69. The Unforgiven

5.6K 703 125
By Cassigatha19

Tubuh gadis itu dibangkitkan dengan berlian hitam. Berlian hitam yang lahir karena kebencian. Karenanya, seseorang yang dibangunkan lagi merupakan jiwa yang penuh aura yang kelam. Sudah cukup lama dia berdiam, menanti saat yang tepat demi membalas semuanya.

Ghaloth menatap penuh minat padanya yang baru saja menegakkan tubuh. Manik mata safirnya kini terhalang kabut yang buram. Pergerakan sinar di sorotnya juga menciptakan dinding supaya orang lain sulit memaknai apa yang dia pikirkan. Setelah beberapa saat beradaptasi dengan sekitar lalu mengecek semua indera di tubuh, fokusnya beralih pada Ghaloth.

"Apa kau tahu siapa aku?" tanya Ghaloth yang memandangnya penuh selidik serta berkilat antusias.

"Sebegitu sulitnyakah ... menemuiku dengan tubuh aslimu.. guru?" Dia membalas dengan menekankan nada pada panggilan Silvana untuk Ghaloth. Silvana yang amat naif tidak bisa melihatnya. Tapi dia berbeda. Tidak ada teman ataupun sekutu untuknya. Yang ada hanyalah sejauh mana dia bisa memanfaatkan orang lain supaya tujuannya tercapai.

Ghaloth menyeringai. Berlian hitam tidak akan membangkitkan jiwa Silvana yang lembut. Jelas, gadis yang ada di hadapannya kini bukan Silvana. Sorotnya yang kuat dan penuh kecurigaan, membuat Ghaloth senang sekaligus menyadari dirinya harus ekstra hati-hati.

"Kau akan terkejut," ucap Ghaloth melalui mulutnya yang berbisa. "Dengan apa aku harus memanggilmu? Terang saja. Aku tahu kau bukan Putri Burö."

Tanpa melepaskan pandangannya dari Ghaloth, gadis itu menurunkan kaki telanjangnya hingga menapak ke lantai marmer yang dingin. Seorang gadis memang akan didandani menjadi amat cantik di upacara pemakaman. Namun kecantikannya sekarang begitu dingin dan menyeramkan. Dia bisa melakukan apa pun dengan tubuh itu-termasuk menghancurkan semua hal saat ini juga.

"Apa orang-orang menginginkannya kembali? Buat apa ritual kematian yang megah itu, jika dia masih berada di sini sekarang?"

"Di mana dia?" tanya Ghaloth pura-pura penasaran.

"Menghilang," jawab gadis itu yang lantas tersenyum kelam. "Sekarang tubuh ini milikku-hanya milikku. Aku-Quon Burö telah kembali.. untuk menepati janjiku membuat kehancuran tempat ini menjadi kenyataan."

Quon menggenggam tangannya rapat, memunculkan pendaran sinar dari tubuh dan rambutnya. Tapi seketika, arus listrik menerjangnya di saat yang sama. Quon tersentak. Kedua rahangnya saling menekan demi menahan nyeri. Segelnya masih ada meskipun tubuhnya telah melalui kematian. Sekarang setelah Silvana menghilang, tidak ada yang menanggung rasa sakitnya. Efeknya berimbas langsung pada Quon.

"Anak tidak tahu diuntung!" geram Quon mengingat Sira. Siapa yang bisa mengira kalau kematian gadis menyedihkan itu akan menjadi batu sandungan untuknya?

Ghaloth tertawa kecil dan langsung menerima delikan tajam Quon.

"Beruntung sekali aku ada di sini," katanya. "Aku bisa membantumu menghancurkan segel itu dengan mudah."

Quon terdiam lama. Karena hatinya dipenuhi dendam dan prasangka, tentu saja dia tidak bisa langsung percaya. Orang yang menawarkan bantuan biasanya akan mengharap imbalan. Terlebih lagi motif Ghaloth masih belum diketahui. Melihatnya untuk yang pertama kali saja, Quon bisa membayangkan Ghaloth membunuh pemilik asli dari tubuh yang dia tempati sebelum merasuk ke dalamnya.

"Apa kau sedang membuat kesepakatan denganku?"

"Percayalah, kita punya pikiran yang sama." Ghaloth menyeringai. "Kau akan bisa berbuat apa pun dengan kekuatanmu, sementara aku bisa mendapatkan keuntungan dari tujuan yang akan kau capai."

"Bagaimana aku bisa memercayaimu?"

Tanpa melepaskan kontak mata keduanya, tangan Ghaloth menyelip ke balik jubah, mengambil sesuatu dari dalam. Quon mengerutkan kening begitu melihat apa yang dia keluarkan. Serpihan berlian yang sebelumnya dirampas dari Kia.

Tiba-tiba saja gadis itu tertawa.

"Ternyata itu kau," ucapnya. "Apa yang akan kau lakukan dengan itu? Jangan bilang kalau akan menggunakannya untuk melepaskan segel laknat ini. Berlian Silvana tidak punya pengaruh apa pun padaku!"

"Bukankah kau meminta jaminan? Sudah kubilang kita punya pikiran yang sama. Ini yang sedang kutawarkan padamu sebagai jaminan: berlian yang jadi kontrol Silvana.. kau tidak bisa menggunakannya bukan?"

Kenapa laki-laki itu bisa tahu? Berlian yang jernih berasal dari Silvana, sedangkan berlian hitam diciptakan oleh Quon. Semua orang bisa menggunakan berlian itu sesukanya. Tapi Silvana tidak akan bisa mengontrol berlian hitam, Quon pun tidak bisa menjamah berlian yang asli.

"Aku tidak butuh kontrol atas anjing Silvana!" Untuk alasan yang belum pasti, Quon membenci Kia, sama seperti dia membenci Argent. Prasangka yang menghantuinya ketika ditidurkan paksa dan terperangkap dalam segel vivarium, menggiringnya menuju ke spekulasi terburuk.

Ghaloth melangkah mendekati gadis itu dalam diam. Untungnya Quon tidak menepis saat Ghaloth meraih telapak tangannya lalu meletakkan serpihan berlian tadi ke atasnya.

"Gadis yang malang..," bisik Ghaloth saat membuat tangan Quon menggenggam berlian itu. Dengan manik matanya yang gelap, dia berhasil mengunci tatapan gadis itu supaya terus melekat. "Aku hanya sedikit memantrainya, jadi kau akan bisa melihat apa pun yang telah disembunyikan dengan baik oleh orang-orang di sekelilingmu."

Alis Quon bertaut. Dia sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang sedang Ghaloth sampaikan padanya.

"Kematian tunanganmu-Mikhail."

Sekujur tubuh Quon menegang begitu mendengar nama laki-laki itu disebut. Pikirannya mengawang selama beberapa detik. Kilas balik ingatan yang menerjangnya berputar begitu cepat. Selama bertahun-tahun ikut merasakan kesakitan yang mendera Silvana, luka yang diakibatkan oleh kematian Mikhail adalah yang paling menyakitkan. Napas Quon memburu, beserta wajahnya yang memerah nanar.

"Aku sedang berbaik hati membuka topeng orang yang telah membunuh Mikhail.." Ghaloth berbisik dengan mulut yang hanya beberapa inci dari telinga Quon. "Saat kau siap.. kita akan membuat Oltra jatuh. Dan ketika itu tiba, jadilah ratuku. Dendammu, akan jadi dendamku juga."

Quon bergeming. Ghaloth tersenyum tanpa gadis itu tahu.

"Tapi sebelumnya.. mari kita hancurkan lebih dulu.. segel yang memasungmu ini."

***

Ini sudah yang kedua kalinya Rife melihat Var yang membisu bagai boneka porselen. Dia nyaris tidak keluar kamarnya di rumah yang mereka tempati sementara di Vighę. Panggilan Rife pun tidak sekali pun digubris. Rife yang tahu penyebabnya pun tidak dapat melakukan apa pun dan hanya bisa mengawasi.

Vighę gempar. Beritanya mungkin juga mengejutkan berbagai pihak sampai keluar negeri. Ranoor dan Raveann bahkan telah mengirim utusan untuk hadir di acara pemakaman terakhir Silvana. Hari ini menginjak hari ketiga sejak gadis itu dinyatakan meninggal.

Pintu ruangan diketuk. Masuk Areah yang secara mengejutkan disusul oleh Kia. Rife makin tercengang melihat laki-laki itu juga tengah menggendong Fiona meski hanya menggunakan satu tangan. Kia menurunkannya, dan gadis itu langsung bergerak menyembunyikan diri di belakangnya.

"Kenapa kalian membawanya ke sini?" Fiona belum pulih benar-Rife sangat tahu itu saat melihat wajahnya yang kuyu dan tubuhnya yang ringkih. Dia bahkan menghindari tatapan Rife dengan langsung bergerak menjauh.

"Upacara pemakamannya tidak akan dilaksanakan," kata Areah tiba-tiba.

Upacara pemakaman? Maksudnya Silvana?

"Apa? Kenapa? Darimana kalian tahu?" tanya Rife bingung.

Biarpun samar, percakapan mereka rupanya terdengar sampai ke telinga Var.

"Nona Fiona bisa merasakannya. Dia masih hidup! Silvana Burö masih hidup!"

Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh bunyi pintu yang dibanting. Var mendadak menghampiri mereka. Tubuh tingginya menjulang, ditambah raut yang berkilat-kilat. Wajar jika laki-laki itu tampak sangat menggebu mendengar kabar yang tidak sengaja dia dengar. Di saat wajah-wajah di depannya menyimpan ekspresi lega yang membuatnya yakin itu bukan kabar bohong belaka, Fiona makin menciut di balik punggung Kia. Betapa tidak, mata kelam Var seketika mengingatkannya pada Ghaloth.

"Di mana dia?" tanya Var yang hampir tidak bisa menahan emosi. Dia ingin bertanya pada Fiona, tapi yang dia hadapi justru Kia. Saking tidak sabarnya, dia nyaris menarik paksa pergelangan tangan Fiona.

Gadis itu memekik dan berteriak. Kia langsung menghalau Var sedangkan Rife mencoba menenangkan laki-laki itu.

"Kendalikan dirimu!" kata Rife. "Dia belum pulih!"

Var harus menelan kegusarannya bulat-bulat. Dia tidak ingin berlaku kasar, tapi saat ini kesabarannya benar-benar diuji.

Silvana masih hidup? Bagaimana bisa? Var telah memastikannya kala itu melihat luka menganga di lehernya. Gadis itu pun tidak bernapas. Tidak ada denyut nadi yang terasa. Fiona bisa jadi salah menduga. Tapi biar bagaimana pun Var ingin memercayai informasi itu benar.

"Di mana kemungkinan besar Silvana jika berada di Vighę?" Alih-alih bertanya, kata-kata Rife lebih condong memberikan Var teka-teki. "Perdana Menteri Burö juga tidak mungkin membiarkannya berkeliaran."

"Tempat tinggalnya?" Areah berceletuk.

Rife mengangguk. "Siapa yang kira-kira tahu letak manor perdana menteri?"

Mereka saling berpandangan, namun pada akhirnya, semua kompak menaruh perhatian pada mata hijau Kia.

***

Cermin besar dengan banyak ukiran pada bingkainya itu memantulkan wajah seseorang di depannya. Seakan-akan ada dua sosok gadis perak-bukan dalam tubuh yang sama. Tangan berkulit salju miliknya mengusap helaian rambut, sedangkan tangan lain memegang sisir.

Quon bisa melihat pandangan para dayang manor yang menyiratkan ketakutan dan kegelisahan. Bukan hanya karena rambut legam gadis itu telah digantikan dengan warna perak, Quon pun memilih warna yang tajam sebagai kode gaunnya hari ini. Gaun yang mengembang dan berat sewarna kirmizi. Quon juga tidak membiarkan rona pucat menghiasi wajahnya sehingga kali ini tanpa ragu mewarnai bibirnya menjadi semerah mungkin.

Dia tampak begitu cantik.

Tetapi juga mengerikan.

Tidak memedulikan kegemparan di manor sewaktu dia kembali, Quon masuk ke sana tanpa secuil keraguan. Matanya menajam ketika Argent menjadi orang terdepan yang menyambutnya di pintu masuk. Raut syok dan ketakutan pria itu telah memperlihatkan semuanya. Saat pandangan keduanya tersambung, Quon tidak menerima kehangatan seperti yang biasa didapatkan Silvana. Tapi apa pedulinya? Cepat atau lambat semuanya akan mati.

"Ikut ke ruanganku. Kita harus bicara," kata Argent saat Quon hanya baru selangkah memasuki bangunan besar dan mewah tersebut.

"Tidak," tolak Quon tanpa keraguan sedikitpun-seakan-akan dia telah lama terbiasa membangkang. "Simpan semua kata-katamu nanti. Banyak juga yang ingin kukatakan, tapi tidak sekarang. Aku lelah. Aku akan beristirahat."

Quon tertawa kecil mengingat rupa Argent kemarin. Pria itu bergeming menyedihkan, seperti patung yang baru selesai dipahat, tapi pada akhirnya menjadi karya yang gagal.

Ada apa dengan dirinya? Quon sadar dirinya telah mengalami perubahan. Biasanya gadis itu hanya bersikap dingin dan sinis menanggapi orang yang tidak dia sukai. Tapi entahlah. Kini Quon senang menertawakan ketidakberdayaan mereka dengan pikiran-pikiran gelap yang melayang.

Mereka akan mati.

Quon akan melenyapkan mereka satu per satu.

"Tuan Putri." Salah seorang dayang menghampirinya kemudian menunduk sekilas. "Seseorang ingin menemui tuan putri."

"Siapa?"

"Dia bilang namanya Varoscar Buriand."

Quon membelalak. Sisir yang dipegangnya langsung dihantamkan ke meja rias, membuat si Dayang terperanjat kaget. Emosi ketidaksukaan tercetak jelas di wajahnya.

Memang, cepat atau lambat Quon harus menghadapi laki-laki itu. Var mungkin adalah kelemahan Silvana yang paling utama. Quon akui jika dia lumayan tertarik pada Var. Setelah menghancurkan satu lengan Kia, Quon merutuki dirinya yang telah terlanjur berbicara banyak. Sekarang dia pun membenci dirinya yang dulu-pribadi yang masih berbagi perasaan dengan Silvana. Tapi biar bagaimana pun sekarang, Silvana telah hilang. Tubuh itu menjadi milik Quon sepenuhnya.

Mulanya tidak mudah untuk masuk ke sana. Prajurit penjaga manor tersebut menghadang Var yang hanya ditemani Kia. Akan tetapi begitu Kia mengeluarkan aura mengancam dalam dirinya, mereka bergerak mundur. Saking megahnya manor itu, Var mungkin bisa menyamakannya dengan istana Kith. Mulanya Var akan membandingkannya dengan manor Buriand, tapi urung mengingat dirinya telah membelah tempat itu menjadi dua bagian.

Kedatangan mereka disambut tatapan-tatapan mengintimidasi dari penghuni manor yang kebanyakan merupakan dayang, pengawal dan pelayan laki-laki. Terlihat jelas kalau mereka tidak menyukai orang asing. Hal yang menarik perhatian Var selanjutnya adalah ketika dia melihat seseorang yang berdiri di salah satu balkon di lantai atas.

Argent Burö tengah melemparkan pandangan pada Var dalam diam. Entah apa yang dia pikirkan. Sepertinya pria itu berniat mengabaikannya dengan berbalik pergi begitu Var sadar jika tengah diperhatikan.

Meski upacara pemakaman telah dibatalkan, nyatanya mereka sekarang tengah dihadapkan dengan suasana yang mencekam. Var dan Kia pun melewati ambang pintu depan tanpa halangan.

Kosong. Seakan tidak ada siapa pun yang berada di dalam manor-kebalikan dari halaman luar tadi.

Bunyi ketukan hak sepatu langsung mengalihkan perhatian Var. Dari puncak tangga, gadis itu turun perlahan, menyeret bawahan gaun merahnya yang menjuntai. Jarum jam seolah berhenti berdetak. Fokus Var tercurah penuh pada sosok Silvana yang kini berada persis beberapa langkah di depannya. Ah, bukan. Melihat tampilannya saja, Var bisa langsung tahu jika gadis itu bukan Silvana.

"Mengejutkan," komentar Quon seraya bersedekap. "Baru kali ini mereka membiarkan orang tidak dikenal masuk ke kediaman Burö. Dan kau.." Pandangan tajamnya kemudian beralih pada Kia. "Bukankah kau seharusnya bunuh diri saja setelah mengorbankan nyawa tuanmu hanya supaya makhluk sepertimu hidup?"

Kia bergeming. Meski tidak ditampakkannya karena terus diam, Var tahu kalau laki-laki itu tengah menegang.

"Aku tidak keberatan mencabik semua bagian tubuhmu sampai hancur dan tak berbentuk.."

"Hentikan," potong Var geram. Ucapannya seketika mendorong Quon menoleh padanya.

"Seingatku kau orang Kith," kata Quon tanpa mengacuhkan mata Var yang memerah nanar. "Mata-mata. Raja Kith, atau Jenderalnya yang tidak ingin disalahkan karena kematian Mikhail pasti mengirimmu untuk ini. Sama dengan orang-orang munafik itu, apa kau juga sedang menipuku? Sengaja kemari supaya kau bisa mengatur apa yang akan kulakukan? Kalau benar, maka kau salah. Aku bukan gadis menyedihkan itu! Apa yang terjadi di antara kalian berdua tidak ada sangkut pautnya denganku!!"

Suara gadis itu naik berkali-kali lipat, menegaskan karakternya yang beringas dan tidak mudah berkompromi. Terlepas dari itu, Var benar-benar tidak mengerti apa yang menyebabkannya berprasangka sejauh itu padanya.

Var tidak membalas. Dibiarkannya Quon meracau lebih dulu supaya Var tahu jalan pikirannya.

Iris biru gadis itu terantai pada manik kelam Var. Segala emosi berkecamuk di sana. Mungkinkah karena ingatan tubuh Silvana, makanya Quon tampak tidak tenang saat berhadapan dengan Var?

"Pergilah." Keningnya agak berkerut saat berbisik mengucapkannya. "Pergilah sejauh mungkin. Lari dan abaikan semuanya. Lupakan Silvana. Dia sudah tidak ada sekarang. Sekarang tubuh ini milikku. Kau harus lari karena aku akan melenyapkan semuanya. Kau pun tidak terkecuali jika berniat menghalangiku, Varoscar."

"Apa yang membuatmu ingin melenyapkan semuanya?" Selama ini Var selalu tergelitik mencari tahu motif gadis itu sesungguhnya dengan menghasilkan berlian hitam yang membuat kekacauan di mana-mana-bahkan melibatkan Sira sampai ajal menjemputnya. Apakah benar karena kematian Mikhail saja?

"Kau tidak tahu apa-apa," tanggap Quon memiringkan kepala. "Apa kau memercayai keceriaan yang ditunjukkan Silvana? Apa kau sungguh-sungguh percaya dia akan meraih kebahagiaan denganmu?"

Berani sekali dia mempertanyakan perasaan keduanya di saat dia sendiri yang berniat menghancurkannya.

"Dan sekarang kau seperti menyalahkanku karena telah mengambil alih tubuhnya." Quon tiba-tiba tertawa. "Tapi tahukah.." Langkahnya gontai, mencari sandaran dan berakhir di cekungan dinding jendela. "Tanpa aku, Silvana sudah pasti lenyap sedari awal."

"Apa maksudnya?"

"Sebelumnya kami berbagi tubuh-itu benar. Tapi, Silvana hanya memiliki separuh ingatan dari yang keseluruhan kami miliki. Aku menghapus ingatan-ingatan penderitaannya, bayangan-bayangan yang buruk, serta para iblis yang menyembunyikan keburukan mereka dalam topeng cenayang penyegelan.

"Dengan alasan segel yang mengekangku melemah, mereka memutuskan melakukannya lagi. Tubuh kami remuk ... Baru saja tersegel, kami tidak bisa bergerak-bahkan untuk merangkak."

Di dalam jeruji emas, gadis kecil itu berusaha menyeret tubuhnya yang dalam keadaan terbaring. Peluh dan air mata melumuri wajahnya. Jemarinya gemetar, meraih salah satu pipa besi terdekat.

Darah membekas pada lantai yang Silvana lewati. Tapi yang jauh lebih mengerikan adalah butiran-butiran berlian yang berserakan di sekelilingnya seperti kerikil sungai yang tidak berharga.

Argent memalingkan wajahnya dari ini. Praktek "tambang" itu terus berlanjut.

"Saat kami sendirian, hanya ada satu dua orang yang diperbolehkan menemui-hanya untuk menyuapi makan, atau memandikan. Tapi apa kau tahu sesekali mereka akan sengaja memecahkan gelas dan mengiris kaki atau tanganku..? Kemudian sebagai alasan, mereka akan berkata aku sendiri yang melakukannya."

Sorot Quon berubah kosong. Tiba-tiba dia merasa letih setelah memaparkan keseluruhannya pada Var.

"Masih ingatkah kisah tentang rubah kecil yang kuceritakan padamu?" tanyanya. "Seseorang 'memberiku' teman. Teman. Menunggu saat yang tepat, dia mengambilnya lagi dariku."

Argent membunuh anak rubah Silvana.

"Dia tidak melakukannya sekali, tapi dua kali." Rahang gadis itu menggertak murka. Beberapa detik, dia memejamkan mata, mengingat pertemuan pertamanya dengan Mikhail. "Rasa sayang kami bahkan lebih besar.. dari yang pernah kami berikan pada rubah itu."

Bukan cuma Silvana yang mencintai Mikhail Irridu-Hăgil I. Rasa itu juga tertanam dalam kalbu Quon.

"Dia mengambilnya lagi. Lagi! MENGAMBILNYA SEAKAN BISA MEMBERIKANKU YANG BARU!!"

Quon telah membuka gambaran yang hendak disampaikan Ghaloth untuknya melalui berlian yang telah tercemar. Keresahannya telah menjadi kenyataan.

Figur ayah yang mengklaim akan selalu menjaganya, memberikan hadiah-hadiah yang terus dinanti-nantikan Silvana, adalah otak di balik kematian putra Thadurin II.

Dan dengan napas yang memburu, tatapan Quon nyalang mengarah pada Kia yang membeku di tempat.

"Sekarang aku tahu kenapa aku begitu membencimu," katanya dengan nada bergetar. "Karena sebesar apa pun aib yang telah kau perbuat, Silvana akan selalu membelamu."

Adalah Kia, pemilik dari panah yang menembus jantung Mikhail, pembunuh yang mereka cari-cari selama ini.

.

.

.

"The cruel bond of love

I cannot stop its not the way

Regret that comes at the end

Finally leaves, and it is hatred."

Continue Reading

You'll Also Like

167K 23.2K 73
"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** A...
10.1K 1.2K 46
"Mereka menembak saudariku, ayahku, ibuku, para pelayan setiaku, dan aku sendiri." Tsarevich Alexei Nikolaevich - [Juli 17, 1918]. . [Fiksi-Sejarah M...
27.6K 2.3K 35
New York adalah salah satu dari beberapa kota yang mengalami hal mengerikan. Invasi makhluk bertangan empat yang datang bersama satelit tak-diketahui...
29.8K 3.2K 40
Sekadar candaan suami istri yang diracik dengan: Bahan bumbu: • 250 gram bubuk baper • 1/2 sdm saus teriyak[i]an ciye-ciye • 3 siung rayuan gombal •...