Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.6K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

61. Pawns

5.7K 680 32
By Cassigatha19

Hati-hati, Silvana membuka kotak besar berisi banyak kudapan dalam berbagai macam bentuk dan warna. Nabu yang duduk di depannya langsung bertepuk tangan gembira. Seperti biasa Silvana akan membiarkannya meraup semua makanan itu sendirian. Nabu akan mengambilnya lalu bergerak menjauh sambil memunggungi Silvana supaya gadis itu tidak melihat kala topengnya dibuka.

"Apa tidak repot harus memakai topeng begitu?" tanya Silvana. Mereka kini duduk saling berhadapan, bersila. Nabu mengunyah tongkat permen yang menjulur di bawah topeng sehingga tidak perlu melepasnya.

"Tidak," tanggap Nabu singkat.

"Kenapa kau terus memakainya?"

"Kata Cambyses, wajahku seperti kerbau. Dia benci melihatku makan dan selalu memanggilku gendut."

"Siapa Cambyses?"

"Pengawasku di Harbutari," kata Nabu. Suara giginya yang melumat permen keras tadi terdengar sangat jelas. "Cambyses sangat ganteng, tapi selalu suka menggangguku. Dia juga suka mengganggu semua orang di Harbutari. Tapi tidak ada yang berani melawannya. Dia menakutkan jika sedang marah. Pernah dia menggelindingkanku waktu tidak sengaja tidur di atas tangga."

Sejak kapan Harbutari menjelma menjadi tempat bermain begitu?

Menemui Nabu menjadi penawar kemurungan Silvana. Seminggu sekali gadis itu masih membawakannya makanan dengan senang hati. Nabu senang bermain, suka mengomentari banyak hal, termasuk betapa jauhnya ukuran tubuh keduanya. Dan melihat karakter Nabu yang tidak memiliki beban pikiran, Silvana perlahan-lahan menirunya.

Di luar itu, Silvana sama sekali tidak berkomentar mengenai serpihan berlian yang tertanam di dalam perut Nabu. Gadis itu bisa melihatnya jelas—sama halnya dengan Kia yang memiliki berlian terbenam di punggung.

Sore harinya, Silvana kembali ke asrama. Dia membongkar hampir semua kotak yang berada dalam kamar. Setiap buku telah dia baca, masing-masing kanvas telah dipenuhi coretan cat, boneka-boneka kayu yang telah rusak karena dimainkan setiap hari. Silvana melakukannya dengan sengaja dalam beberapa hari ini. Dirinya tengah menunggu sekaligus mempersiapkan diri.

Agendanya masuk pada giliran menemui daftar nama yang dia buat sendiri.

Silvana bersiap dengan membasuh diri, mengenakan pakaian yang tidak kusut, serta menyisir rambut. Tanpa sungkan dia keluar dari Ruby menuju Cith. Sosoknya mencolok di antara siswa lain yang berseragam kuning. Silvana sempat bertanya di mana letak ruang kepala asrama sehingga dia bisa menemui Fiona.

Pertemuan mereka bisa jadi langkah awal Silvana yang bermaksud meninggalkan Gihon.

"Nona Fiona sedang sakit," kata salah seorang asisten Fiona saat ketika Silvana sampai di ruang kepala asrama. "Dia tidak ingin ditemui untuk sementara ini."

Fiona sakit? Sakit apa? Mereka memang jarang bertemu selama hampir dua bulan ini. Silvana menjadi sangat cemas.

"Di mana dia sekarang?" Silvana bersikeras. Siswa tadi juga kukuh tidak akan membiarkannya menemui Fiona. Akhirnya karena perdebatan yang panjang dan tidak ada yang mau mengalah, seseorang harus menengahi. Kebetulan saja Areah yang mengenal Silvana lantas menggiring gadis itu ke kamar Fiona.

"Kepala asrama sedang sakit—maksudku benar-benar sakit," kata Areah yang berwajah keruh. "Kami sulit sekali membujuknya makan dan beristirahat. Dia selalu ketakutan akan bermimpi buruk. Para guru bahkan tidak bisa berbuat banyak. Kami tidak mengerti apa ada yang salah atau tidak.. Dia seperti kena teluh, tapi tidak peduli berapa kali pun ritual penyisiran dilakukan, kami tidak menemukan apa pun."

Mereka akhirnya sampai di muka sebuah pintu berdaun sepasang. Pelan-pelan, Areah membukanya setelah mengetuk dua kali. Tidak ada sahutan dari dalam. Ruangan itu terang benderang, sinarnya berasal dari lentera dengan api putih melalui campur tangan sihir. Silvana dan Areah mendekati ranjang tempat Fiona berbaring. Gadis itu tengah terlelap tapi alisnya terus saja bertaut karena tidak tenang.

Silvana mengulurkan tangannya demi menyentuh kening Fiona. Tiba-tiba saja gadis itu tersentak. Kelopak matanya membuka seketika, disertai sorot nyalang yang penuh ketakutan. Guratan-guratan kemerahan mencemari sklera Fiona. Silvana terperangah. Pandangan Fiona yang berkabut agak menghalanginya mengenali langsung seseorang di dekatnya. Dia bahkan menepis keras tangan Silvana gara-gara itu.

"Ini aku," ucap Silvana. "Ini aku."

Fiona menarik tubuhnya hingga punggungnya menghimpit ke sandaran ranjang. Butuh beberapa detik baginya untuk bisa mengenali Silvana.

"A-apa yang kau lakukan di sini?" Fiona melunak. Ketakutannya sirna, tapi kadar kegelisahannya masih sama.

Tidak langsung menjawab, iris safir Silvana mengamati segala detil rona Fiona secara seksama. Gadis itu tidak berhenti meremas-remas selimut hingga amat kusut. Tangan kanannya dibebat. Fiona yang Silvana ingat selalu rapi dan tampak segar kini terlihat berbanding terbalik. Berat tubuhnya merosot drastis. Tapi bukan itu saja yang mengganggu Silvana. Hal lain yang selanjutnya dia lihat, seketika membuatnya tegang.

"Kau bermimpi buruk?" tanya Silvana yang menatap serius pada Fiona.

Mata Fiona berkedut lemah. Debaran yang menyesakkan di rongga dadanya sangat berpengaruh pada emosinya yang kadang tidak stabil. Fiona telah beberapa kali bersikap keras pada siswa lain, termasuk pada Areah. Dilihatnya Areah menampakkan raut cemas, membuat Fiona merasa tidak nyaman. Dia pun bisa menyimpulkan Areah telah menceritakan segala sesuatunya pada Silvana.

"Aku tidak tahu..," ucap Fiona resah. Dia menutup wajahnya frustrasi. "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi padaku."

Setelah mendengar Fiona memaparkan seluruhnya, Silvana keluar dari Cith dalam keadaan kalut. Meski telah berusaha meyakinkan Fiona kalau segalanya akan baik-baik saja, Silvana mulai meragukannya. Gambaran bayangan yang dia lihat ketika menatap Fiona, menggiringnya pada sesuatu yang buruk. Hal ini sama persis bayangan firasatnya sewaktu di Kith—di mana prajurit-prajurit benteng Var tewas dibantai di perairan dekat pulau Phranoa.

Dalam benaknya, Fiona berbaring tertelungkup dan bersimbah darah. Ada seseorang yang sengaja mencelakainya.

Apa yang harus Silvana lakukan? Kapan hal itu akan terjadi?

"Itu bukan kutukan berlian hitam..," gumam Silvana yang telah berdiri di balkon kamarnya sendiri. "Tubuhnya baik-baik saja, tapi mentalnya melemah karena mimpi buruk itu. Seseorang menerornya, namun tidak terdeteksi ritual penyisiran."

Kia berdiri tepat di belakangnya dan diam seperti patung. Setelah mengawasi Silvana dalam kurun waktu yang lama, gadis itu akhirnya benar-benar memanggilnya. Mata dengan pendar cahaya hijaunya berkilat. Sosok di hadapannya seakan tidak sama dengan Silvana Burö yang Kia kenal. Entah apa yang Var maksudkan dengan meninggalkan gadis itu, yang pasti sekarang, sikap Silvana mulai terarah pada pengendalian diri.

"Jaga dia untukku," pinta Silvana. "Jaga temanku, Kia. Jangan sampai dia terluka. Aku mengandalkanmu."

Tombol perintah itu telah ditekan. Sosok Kia berlalu dengan cepat tanpa Silvana sempat menoleh. Perhatian Silvana saat itu juga beralih pada seseorang yang berdiri di atas bangunan di samping asramanya. Silvana mendongak.

Ekspresi meremehkan beserta seringai yang ditunjukkan Cambyses tidak berubah. Jubah putih laki-laki itu meliuk ke samping. Sepertinya dia hadir tepat setelah Kia pergi sehingga auranya tidak akan disadari. Namun teruntuk Silvana yang telah jauh lebih peka mengenali pancaran serpihan berlian terbesar yang dibawa Cambyses, gadis itu bisa mengetahui kedatangannya di saat yang sama.

Cambyses memutuskan berhenti bermain kucing-kucingan dengan Silvana. Gadis itu menatapnya lekat seakan mengundangnya supaya berhadapan langsung. Tubuh Cambyses pun kemudian melayang turun dan dalam hitungan detik telah menjulang persis di depan Silvana.

"Ya.. kau jauh lebih terkontrol dari terakhir kali kita bertemu," ucap Cambyses sembari menyilangkan tangan. "Apa kau tahu siapa aku?"

Silvana mengernyit. Tampaknya dia tidak berniat menjawab pertanyaan Cambyses karena justru laki-laki itulah yang bosan menantinya bicara.

"Baiklah, apa yang kau inginkan?" Cambyses menyerah. "Asal kau tahu saja, aku tidak melakukan apa pun tanpa imbalan yang setimpal."

Begitu mulut Silvana membuka, melontarkan kalimat demi kalimat, senyum yang menghiasi bibir Cambyses lenyap. Sementara keheningan menguasai atmosfer keduanya, Silvana tidak disangka-sangka maju selangkah mendekati laki-laki itu. Cambyses bergeming. Silvana meraih pundaknya lantas berjinjit. Bibirnya dan telinga Cambyses hanya berjarak beberapa senti.

"Hati-hatilah," bisik gadis itu amat samar. "Gegabah mencoba mencelakaiku seperti waktu itu.. Aku tidak bisa menjamin berlianku akan membiarkanmu tetap hidup."

Silvana menarik diri. Raut Cambyses tetap datar saat mereka saling berpandangan. Silvana rupanya masih mengingat panah Cambyses yang terlontar persis ke arahnya di hari yang sama saat Lilac meninggal. Var menghalau panah itu demi melindunginya. Namun tidak Cambyses sangka Silvana menyimpan kegeraman sampai-sampai mengancamnya seperti barusan.

Cambyses menyeringai. Pecahan berlian tertanam di tengah-tengah dadanya. Masing-masing Diamond memilikinya. Namun meski mengetahui serpihan berlian itu berasal darinya, Silvana tidak pernah teringat kapan berlian berkekuatan magis itu diambil. Berlian yang berasal dari airmatanya—karena rantai sihir yang menyiksanya habis-habisan. Dengan dalih mengendalikan Silvana, mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak mengambil keuntungan dari gadis itu.

Dominic Foquiz mengetahuinya. Karena pria itulah yang juga ikut andil dalam kungkungan yang memasung Silvana.

"Jangan khawatir." Cambyses terkekeh. "Kurasa kita bisa saling memanfaatkan satu sama lain."

Silvana bergerak menjauh kemudian berbalik masuk ke kamarnya.

"Selamat malam," ucapnya dingin sebelum menutup pintu dan melepas tali yang mengikat tirai.

***

Menjelang sore hari ketika gerbang Gihon baru saja dibuka, Cyde datang dengan menunggangi kuda. Mendapati seseorang yang ditunggunya belum datang, laki-laki itu kemudian turun. Pandangannya terarah ke gedung Ruby. Apabila Silvana melewati ambang pintu depan saja, Cyde akan langsung tahu.

Tidak lama setelah pesta Cith usai, Cyde bisa membayangkan perasaan Silvana hanya dengan mengamati langit abu-abu muram yang menaungi Vighę.

Entah itu suatu keberuntungan atau tidak. Var rupanya memahami benar peringatan yang diberikan Cyde sehingga dia kembali ke Kith, mengambil celah dengan pergi selama dua bulan. Namun terlepas dari itu, Cyde merasa bersalah karena setelahnya dia mendengar Silvana yang jatuh sakit dan mengurung diri di Ruby. Cyde ingin mengunjunginya, tapi terkendala pada aturan larangan untuk laki-laki yang membatasi kunjungan pada asrama perempuan. Cyde pun hanya bisa puas dengan mengirimkan berbagai macam hal untuk gadis itu.

Cyde berjengit begitu melihat Silvana berjalan menghampirinya.

"Aku senang kau mengirim pesan untukku," kata Cyde. "Apa kau baik-baik saja?"

Silvana mengangguk dan tersenyum. Dia membiarkan Cyde merengkuh tubuhnya sebelum mengangkatnya naik ke pelana kuda. Mereka meninggalkan Gihon, melewati Xerokh dan menikmati pemandangan hijau area sekitaran pusat Vighę yang luas meski di bawah tebing-tebing kokoh yang melancip miring ke atas.

Gadis itu meminta turun di tepian sungai setelah tidak sengaja melihat sekelompok rusa yang menikmati air segar di arus sungai Tiberi yang tenang. Silvana hampir selalu tersenyum bahkan sesekali tertawa hingga hati Cyde menghangat kala mengikuti langkah gadis itu. Mungkin karena jarang melatih fisiknya akhir-akhir ini, Silvana menjadi cepat lelah. Cyde yang sadar akan hal itu langsung menuntunnya kembali ke kuda. Mereka berbalik ke Xerokh di mana Cyde dengan senang hati mengajaknya makan malam sebelum gerbang Gihon ditutup.

"Cyde."

"Ya?" Laki-laki itu menoleh ketika Silvana memanggilnya pelan.

Mereka berada di lantai dua rumah kayu yang sedang tidak dihuni. Tidak ada dinding di sana sehingga mereka lebih leluasa mengamati gerak orang-orang yang berlalu lalang.

"Apa yang membuatmu bahagia?"

"Bersamamu."

Silvana mengerjap lalu menoleh ke arah Cyde yang tanpa ragu menjawabnya secara gamblang. Cyde balas memandangnya dengan sorot yang penuh makna. Saat laki-laki itu meraih tangan Silvana lalu menangkupnya erat, Cyde hanya bisa berharap Silvana bisa merasakan ketulusannya kini.

"Aku tidak akan ragu berapa kali pun kau bertanya mengenai perasaanku tentangmu," kata Cyde. Ditariknya telapak tangan Silvana supaya menempel pada dada bidangnya. "Perasaanku telah jauh.. sangat dalam. Sulit rasanya untuk kembali jika segalanya selalu terkait denganmu."

Cyde menyadari sikap gadis itu agak aneh hari ini. Silvana yang biasanya akan menimbang ragu tiap kali Cyde mengajaknya ke suatu tempat. Dia gampang sekali kikuk, juga memperlihatkan wajahnya yang merona saat Cyde sengaja memperlakukannya dengan lembut. Tapi hari ini, Silvana justru meminta bertemu duluan. Gadis itu memang menunjukkan senyum dan tawa manisnya, tapi entah kenapa Cyde merasa Silvana sedang berusaha menjauh darinya.

Semoga firasatnya salah ... Semoga gadis itu benar-benar sedang membuka hati untuknya ...

"Aku mencintaimu," ucap Cyde putus asa saat Silvana balas menatapnya, namun dengan raut yang perlahan membuatnya merasakan kegetiran tak berujung. "Setidaknya beri aku kesempatan untuk membuktikannya padamu."

Pandangan Silvana merosot. Dia berusaha menarik tangannya supaya terlepas dari genggaman Cyde. Begitu jalinan tangan itu terlepas, batin Cyde menjeritkan lagu kehampaan yang lain. Debaran jantungnya membuat laki-laki itu gila.

"Aku tidak meragukanmu, Cyde," kata Silvana pelan. Dia lalu mendongak. Mata sayunya menumbuk tepat pada pupil Cyde yang makin membesar, menyamarkan iris biru pucatnya. "Tapi aku—.." Gadis itu menghela napas dengan berat. "Aku tidak bisa memberi apa yang kau inginkan."

Cyde terdiam. Manik matanya telah menggelap seluruhnya.

"Aku mencintai Var," tegas Silvana yang justru semakin memperburuk situasi hati laki-laki itu. "Ini tidak ada hubungannya dengan Mikhail, ataupun Vighę, ataupun Kith. Dan perasaanku tidak akan berubah meski Kith punya andil soal kematian Mikhail ... karena akupun yakin Var tidak akan pernah terlibat di dalamnya."

Hentikan.

"Aku tidak mau diatur lagi. Aku ingin bebas, Cyde ... Tanpa mengabaikan Vighę, aku juga tidak akan menyerah demi kembalinya Var padaku."

Jangan sebut namanya.

"Aku minta maaf," ucap gadis itu benar-benar menyesal. Air menggenang di pelupuk matanya. Dia hampir menangis, tapi semua kalimat yang dilontarkannya menunjukkan ketegaran yang luar biasa. "Sungguh, maafkan aku.."

"Cukup!"

Tiba-tiba Cyde menggapai leher Silvana. Gadis itu tersentak karena Cyde menarik tubuhnya kasar. Demi meredam penolakan Silvana, Cyde sampai mencengkeram pergelangan tangannya hingga dia mengerang. Satu inci yang bertahan di antaranya keduanya hampir saja menghilang. Wajah Silvana berpaling hingga bibir Cyde hanya menyentuh pipi gadis itu.

Cyde membeku.

"Lepas.. lepaskan aku, Cyde..," pinta Silvana berulang-ulang namun Cyde tidak kunjung mengendurkan cengkeramannya.

Silvana makin meronta dan terus berusaha menjauhkan tubuh kekar Cyde darinya. Langkahnya terpaksa mundur karena laki-laki itu terus berusaha memeluknya erat. Silvana tetap mencoba melepaskan diri, tapi tidak sadar mereka ada di penghujung tangga. Cyde pun menggiring gadis itu supaya menghimpit ke salah satu pilar, tapi Silvana mengelak.

Tiba-tiba kaki gadis itu terperosok—sialnya di detik yang sama ketika dia berhasil lepas dari rengkuhan Cyde. Silvana terkesiap dan memekik tertahan. Sensori Cyde pun seakan dibangunkan paksa, kesadarannya ditampar saat itu juga hingga kewarasannya kembali berfungsi. Tersentak, dia kontan mengulurkan tangannya demi meraih tubuh Silvana yang meluncur jatuh sepersekian detik.

Tangan Cyde gagal menyelamatkannya. Tubuh gadis itu berguling keras, membentur satu per satu pijakan tangga hingga akhirnya berhenti di dasar.

Jantung Cyde seakan berhenti. Dunianya berhenti berputar.

Silvana menutup matanya—tidak bergerak.

***

Kabut kehijauan yang bersinar keluar dari tangan Kia yang mengusap atas kepala Fiona. Tangis gadis itu seketika berhenti. Tubuh rampingnya merosot jatuh namun Kia dengan sigap mengangkatnya. Laki-laki itu membaringkan Fiona kembali ke ranjangnya. Tangan Kia terkepal kuat.

Dalam keheningan, Kia membuka lebar-lebar pintu kamar tersebut. Manik mata zamrudnya menyorot nyalang ke sekeliling. Kegelapan yang kini dia lihat, merupakan kegelapan yang sama yang telah menertawakan dan memojokkan Fiona hingga nyaris melukai dirinya seperti tadi. Gadis itu bisa saja terlempar dari atas balkon jika bukan karena Kia yang menangkapnya.

Sayangnya, guna-guna Derian juga tidak tertangkap oleh mata Kia.

Karena kini sepasang tangan penuh guratan luka itu merayap tepat di belakang punggungnya.

.

.

.

"Well bless my soul

You're a lonely soul

Cause you wont let go

Of anything you hold."

.

.

Song: Say (All I Need) - OneRepublic

Continue Reading

You'll Also Like

9K 2K 72
Amazing cover by @hayylaaa Kehidupan masa lalu masih belumlah berakhir. Malah kini menghampiri dalam wujud mimpi demi mimpi, menyampaikan pesan. Yan...
17.8K 3.7K 90
Gadis itu tak bersalah, tetapi darah penyihir dalam tubuhnya secara tidak langsung memaksanya bersembunyi bak buronan demi bertahan hidup. Berawal d...
586K 91.5K 28
[Fantasy & (Minor)Romance] Carmelize selalu berakhir bermimpi tentang sebuah kerajaan setiap malam. Hanya ada satu orang yang bisa melihatnya, yaitu...
16.6K 3.6K 31
Blurb: Florence dan Axel terpaksa masuk ke sekolah asrama karena kesalahan yang mereka lakukan, sehingga membuat orang tua mereka marah besar. Saat p...