Complementary Heart

By shellyyyls

21.4K 5.4K 4.5K

Aku baru menyadari bahwa kehadiran seseorang akan membawaku pada sebuah kenangan lama. Hidup yang biasanya m... More

Prolog
Di Mana Anak Itu?
Seseorang Di Dalam Gudang
Bertemu Kembali
Permintaan Kepala Sekolah
Ciput
Kecurigaan
Putusin Aja!
UKS
Hujan di Sore Hari
Bagai Udara yang Tidak Bisa Diganggam
Khawatir?
Impian?
Yogurt Strawberry
Disuatu Malam
Manis?
Seseorang Di Atas Gedung
Kalah?
Kenapa Nangis?
Dia, Siapa?
Hal Ini Lebih Penting
Aku Di Sini

Pria Asing

534 73 31
By shellyyyls

"Victor?"

Setelah sadar dengan apa yang ia lihat. Erika lantas berteriak panik. Dengan langkah yang tak jelas harus ke mana ia sibuk mendorong pintu yang saat ini sudah terkunci. Bibirnya sedari tadi sibuk mengucapkan kata 'Victor jangan lakukan hal bodoh itu' berulang kali.

Sekuat apapun Erika mencoba mendorong pintu itu. Pintu itu tidak akan pernah terbuka. Ia berteriak kencang. Mengacak rambutnya frustrasi. Harus bagaimana dia sekarang? Erika pun menjauh dari pintu, mendongak atas.

"VICTOR!" panggilnya kencang. Namun, sia-sia, anak laki-laki itu tidak mendengar panggilannya.

Erika tahu gedung ini lumayan tinggi, tapi di saat sepi seperti ini suara pelan pun akan terasa kencang, karena memang terasa sangat sunyi saat ini. Jadi bagaimana mungkin Victor tidak mendengar suaranya?

"Erika, Erika," panggil Haru dengan napas terengah. "Di samping gedung ini ada tangga, kayanya itu tangga darurat. Kita masuk lewat sana."

Setelah mendengar penjelasan Haru, seperti mendapatkan sepercik cahaya di tengah gelapnya malam, Erika lantas berlari ke arah yang Haru tunjukan. Gadis itu melangkah cepat menaiki anak tangga, seakan tidak terpengaruh dengan banyaknya anak tangga yang akan ia lewati.

Sekuat apa pun seseorang menaiki anak tangga. Akhirnya ia lelah juga. Setelah menaiki anak tangga cukup banyak, membuat napas Erika sudah tidak beraturan. Tapi ia harus cepat, bagaimana pun ia harus menghentikan aksi nekat Victor itu.

Haru membuka pintu yang ada di ujung tangga. Sepertinya ini pintu yang menghubungkannya ke tempat Victor berdiri tadi. Setelah pintu itu terbuka, bola mata Haru dan Erika langsung menangkap seseorang yang kini tengah berdiri di ujunng gedung. Itu Victor. Tidak salah lagi. Pakaian yang anak laki-laki itu kenakan masih sama seperti yang Erika lihat di taman siang tadi.

Dengan cepat Haru berlari. Meraih tubuh Victor dan langsung menariknya dari atas sana. Membuat dirinya terjatuh bersamaan dengan Victor yang ia tarik paksa dari pinggir gedung.

Erika berteriak kencang saat melihat tubuh Kakaknya bersama Victor terguling di hadapannya. Dengan cepat gadis itu berlari. Menghampiri Victor dan Haru yang saat ini tengah terbaring di sana.

"Victor," teriak Erika panik. Ia pun langsung membalikan tubuh Victor.

"Woy, lo gila ya?!" Teriak Victor kencang. Anak laki-laki itu membalikan tubuhnya. "Kenapa lo nar—" belum sempat Victor menuntaskan ucapannya. Tiba-tiba saja perkataannya terputus saat mendapati seseorang yang tak pernah ia duga muncul di hadapannya. "Ciput?"

"Kamu gila ya?!" Teriak Erika lagi. Nada suaranya terdengar sedikit bergetar, bersamaan dengan buliran air yang mulai keluar dari kelopak matanya.

Ternyata mendapati Victor bertingkah seperti tadi membuat dirinya jauh lebih takut ketimbang saat dirinya ada dikegelapan. "Kamu mau bunuh diri?"

"Hah?"

Haru bangkit. Ikut menghampiri Victor yang saat ini terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. "Lo bodoh ya? Ga semua masalah kelar kalau lo bunuh diri."

"Siapa yang bunuh diri?" tanya Victor dengan polosnya.

"Lo?" timpal Haru. "Lo berdiri di situ mau bunuh diri kan?"

"Gue?" Victor menunjuk dirinya sendiri. "Gue bunuh diri?"

"Udah deh, Victor. Berhenti bersikap kaya gini. Kamu tuh ga seharusnya kaya tadi, kalau mau bertindak tuh pikir dulu, semua orang khawatir nyariin kamu."

"Ciput?" panggil Victor. "Kok lo nangis?"

"Eh?" sadar dengan sesuatu yang di ucapkan Victor tadi, Erika buru-buru menghapus air matanya.

"Siapa yang mau bunuh diri sih, gue tuh lagi menikmati angin malam. Otak gue tuh rasanya mau pecah gara-gara tadi sore. Makanya gue berdiri di situ."

"Jadi kamu bukannya mau bunuh diri?" tanya Erika sekali lagi.

"Ya engga lah, gue masih mau hidup. Jalan gue masih panjang, ya kali bunuh diri."

Mendengar ucapan Victor tadi. Membuat Erika dan Haru langsung menghela napas panjang. Ternyata dugaan dan kekhawatiran mereka salah. Tapi syukurlah, ternyata Victor jauh lebih dewasa dan tidak melakukan hal yang akan mengancam nyawanya di saat anak laki-laki itu sedang mengalami masalah.

"Terus lo ngapain ada di sini?" Victor mengalihkan pandangannya. "Sama Kakak lo lagi."

"Aku tuh nyariin kamu," jawab Erika kesal. "Tadi kata Vichi kamu kabur dari rumah. Makanya aku minta temenin Kak Haru buat cari kamu. Ternyata kamu ada di atas gedung ini."

Melihat hal ini membuat Victor seperti mendapatkan jarum di tangah jerami. Keberuntungan memang masih ada dipihaknya.

"Karena sekarang lo ada di sini, boleh ga kalau gue numpang tidur di rumah lo? Semalam aja. Biasanya gue tidur di kantor Om Willy. Tapi sekarang pintunya udah di kunci. Gue ga tau harus tidur di mana malam ini."

❇❇❇

"Atha, Ayah berangkat kerja dulu ya. Jagain Mama sama dedek. Jangan nakal."

Pria berkemeja biru yang dibalut jas berwarna hitam itu mengusap pucuk kepala anaknya lembut.

"Tapi kan dedek masih di dalam perut Mama, ngapain juga Atha jagain dedek yang belum lahir," balas anak laki-laki itu acuh. "Udah ah, Atha mau main dulu."

Anak laki-laki itu berniat pergi, tapi tidak bisa saat pria di hadapannya menahan pergelangan tangannya. "Atha, ini masih pagi loh. Masa kamu mau main jam segini."

"Aku kan lagi liburan, Ayah. Jadi gapapa dong main jam segini, lagi pula aku udah janjian sama Kak Vicky mau naik sepeda keliling kompleks. Udah ah, Atha mau main dulu," anak itu berlari pelan menghampiri sepedanya. Melambaikan tangan ke arah Ayahnya. "Dah Ayah ..."

"Victor," panggil Erika pelan.

Gadis itu saat ini sedang berada di kamar kakaknya, membangunkan Victor yang sejak semalam menginap di rumahnya.

"Victor, bangun. Udah siang." Erika mengguncangkan tubuh anak laki-laki itu pelan.

Erika menghentikan guncangannya. Ia mengamati Victor sejenak. Anak laki-laki itu terlihat gusar. Meskipun matanya masih terpejam, namun sedari tadi Victor terus bergumam tidak jelas. Ia kira Victor sudah bangun, tapi ternyata belum. Apa Victor sedang mengalami mimpi buruk?

"Victor!" teriak Erika kencang. Sontak membuat Victor langsung terbangun dari tidurnya.

Victor terperanjat kaget saat sebuah suara terdengar tepat di telinganya, sontak membuat dirinya langsung mengangkat tubuhnya dari atas tempat tidur.

Victor menoleh, mendapati Erika yang kini tengah berdiri di sampingnya. "Ah..." ucap Victor kesal sambil mengacak rambutnya. "Kenapa bangunin gue sih. Ganggu tau. Lo tau ga sih, tadi tuh gua lagi mimpi..."

Victor seketika terdiam. Pandangannya beralih, menatapi ruangan yang tampak aneh di penglihatannya.

"Gue di mana?" tanyanya bingung.

"Oh, kamu di kamarnya Kak Haru," jawab Erika. "Udah cepet bangun. Ini udah siang tau, sana mandi dulu. Aku tunggu di meja makan. Pasti kamu lapar kan."

Senyum Victor seketika mengembang. Ia pun mencubit kedua pipi Erika. "Uh, pengertian banget sih. Tau aja kalau gue lapar."

Erika sesegera mingkin menyingkirkan jemari Victor dari pipinya. "Ih apaan sih," ucap Erika sebal sambil memegangi pipinya. Entah mengapa tiba-tiba terasa hangat di sana.

Dengan cepat Erika berbalik. Tidak mau jika Victor melihat pipinya memerah nanti.

Selesai membersihkan diri, Victor langsung keluar dari kamar Haru. Melangkah ke meja makan, yang sudah terdapat Erika di sana. Gadis itu tengah duduk sendirian di salah satu kursi.

"Kok lo sendirian sih? Bokap, nyokap sama Kakak lo mana?"

"Eh?" Erika sedikit terkejut dengan pertanyaan Victor tadi. Nyokap? Erika terdiam sesaat, sebelum ia menjawabnya.

"Mereka semua udah ke resto."

Victor cuma mengangguk samar mendengar jawaban Erika. Sepertinya anak itu tidak tertarik dengan jawaban yang sebenarnya dari pertanyaannya tadi. Ia lebih menikmati nasi gorengnya saat ini.

"Kenapa kamu kabur dari rumah?" tanya Erika

"Siapa yang kabur?" balas Victor. "Gue bukannya kabur. Tapi gue diusir."

"Eh?"

"Ga usah kaget gitu, biasa aja kali," balas Victor saat kunyahannya tertelan.

Erika terdiam. Menatapi Victor yang seperti beda dari biasanya. Anak laki-laki itu memang masih bersikap konyol, tapi ada sesuatu yang aneh dari raut wajahnya.

"Mau cerita?" tawar Erika pelan. "Aku bisa jadi pendengar yang baik."

❇❇❇

Satu tamparah kencang berhasil mengenai pipi anak laki-laki itu. Ringisan kecil terdengar dari mulutnya. Merasakan sesuatu yang hangat dan panas menjara di sana. Anak laki-laki itu tertawa sinis. Mengangkat kembali kepalanya, menatap pria yang kini sibuk mengatur nafasnya.

"Papa kenapa sih?!" ucap Victor kesal. "Victor udah ikutin semua kemauan Papa, tapi apa yang papa lakuin? Bahkan papa sendiri aja ingkar sama janjinya sendiri. Papa tuh ga adil!"

"Cukup!" balas Wildan kencang. Membuat Chintia yang berniat untuk memisahkan anak dan suaminya itu kembali mundur.

"Papa tau ga sih? Papa tuh selalu beda-bedain Victor sama Vicky, Vichi," ucap Victor geram. Wajahnya sudah memerah, menahan ermosi yang masih bergejolak di dalam dadanya. "Apapun yang Vicky dan Vichi mau pasti Papa dukung, sedangkan Victor? Udah kayak anak angkat aja di sini."

"Victor!" mendengar perkataan anaknya tadi membuat Chintia sudah tidak tahan lagi. Ia pun mendekat, meraih tubuh anaknya. "Kamu ga boleh ngomong kaya gitu."

"Udah mama diam aja, mama ga usah ikut campur. Victor ga mau Mama di marahin Papa gara-gara Victor," ucap Victor lembut, seraya melepaskan lengan Chinta dari bahunya.

"Kamu tuh gak tau diuntung, harusnya kamu itu ikutin apa kata papa. Jangan main tinju lagi, kamu itu harus fokus belajar, kamu—"

"Emang ada yang salah kalau Victor mau jadi atlet? Emang seberapa rendah altet itu di mata Papa?"

Vichi meraih lengan Victor. "Udah bang."

"Apa sih," ucap Victor kasar seraya melepaskan lengan Vichi dari lengannya. "Udah lo diam aja, ga usah ikut-ikutan."

"Terserah." Wildan sudah tidak tahan lagi. Pria itu menatap tajam mata anaknya. "Kalau kamu mau terus tinju-tinjuan, kamu bisa pergi dari rumah ini!"

"Papa?!"

Chintia kaget bukan main saat suaminya itu mengucapkan katanya yang seharusnya tidak pernah diucapkan. Begitu juga dengan Vicky dan Vichi mereka berdua berseru kaget sambil menatap satu sama lain dengan tatapan tidak percaya.

Victor menyandarkan kepalanya ke atas bahu Erika. Membuat gadis itu seketika tercengang. Setelah sarapan tadi mereka berdua pindah ke ruang keluarga. Mendengarkan cerita Victor di sana.

"Apa gue salah?" tanya Victor. "Gue salama ini udah usaha. Disuruh belajar, oke gue belajar. Disuruh les, oke gure les. Gue juga menuhin semua permintaan bokap, tapi kenapa dia ga punya rasa kasihan sedikit aja sama gue. Gua tau, gue ga bisa dapet lima besar, tapi apa peringkat itu lebih penting? Seengganya gue kan udah usaha."

Erika masih diam. Entah mengapa bibirnya terasa kaku. Ia menoleh ke arah Victor sejenak. Tanpa sadar tangannya beralih, mengusap bahu Victor pelan.

Bersamaan dengan itu, Erika merasakan seperti terlempar ke tiga tahun lalu. Di saat ia benar-benar bertekat untuk meraih impiannya. Namun, di saat itu pula kejadian yang teramat pahit terpaksa merenggut semuanya, membuat Erika sangat membenci impiannya itu.

Tapi saat ini, Victor berbeda dengan dirinya. Anak laki-laki itu seakan terasingkan. Erika tidak mengerti dengan jalan pikiran Wildan. Setahunya Victor sudah berusa keras, bahkan bisa dibilang ia melihat dan merasakan keseriusan dan tekat kuat anak laki-laki itu. Namun, tetap saja orang tuanya tidak mendukungnya.

"Usaha keras, pasti tidak akan pernah mengkhianati," ucap Erika. "Sekeras apa pun batu, kalau ia terus saja tersiram air. Lama-lama akan retak bahkan hancur. Sekeras apa pun tembok yang di bangun Ayah kamu, saat dia melihat keseriusan dan usaha kamu. Pasti dia akan meruntuhkan tembok itu, dan melangkah membangun tembok baru untuk mendukungmu."

Victor terdiam. Ia mengangkat wajahnya, memandangi wajah Erika beberapa saat. Senyumnya terukir di sana.

"Tumben bijak," kata Victor. Ia meregangkan tangannya. "Boleh peluk ga?"

"Eh?"

Belum sempat Erika menjawab, Victor ternyata sudah mendekap tubuh gadis itu.

❇❇❇

Victor terpaksa pulang ke rumahnya. Sebenarnya ia malas, apa lagi saat mengingat Wildan ada di rumah. Kejadian kemarin malam masih membekas di pikirannya. Jika saja Mamanya tidak menelphone dirinya dan tidak memohon dirinya untuk segera pulang, ia tidak akan pernah pulang.

Victor memakirkan motornya di halaman rumahnya. Turun dari motornya lantas melangkah ke dalam rumahnya. Ia menghela napas panjang sebelum membuka pintu rumahnya.

Baru saja ia berjalan selangkah dari pintu. Semua orang yang ada di dalam rumahnya langsung menoleh ke arahnya. Victor diam. Seperti seorang perampok yang ketahuan mencuri, membuat dirinya seketika membeku di tempat.

Seorang berkemeja hitam melangkah, memanggil nama yang sama ini ia rindukan.

"Atha?"

Victor yang berada tepat di depan pria itu seketika terdiam. Darinya mengerut. Menatap pria itu bingung. Pria di hadapannya ini bertumbuh tinggi, mungkin lebih tinggi dari dirinya. Rambutnya terlihat rapi, seperti sengaja ditata untuk datang ke sini. Ia mengalihkan pandangannya, mencari seseorang yang tadi dipanggil oleh orang itu. Tapi sia-sia, tidak ada orang lain di sana. Hanya ada dirinya.

"Om-nya, panggil saya?" tanya Victor canggung. "Tapi nama saya bukan, Atha. Saya Victor," lanjutnya sambil memperkenalkan diri. Ia melangkah mendekati pria itu, menjulurkan tangannya.

Pria itu kaku mengangkat tangannya. Terasa berat namun membahagiakan.

"Saya Victor, Om. Bukan, Atha," ulang Victor lagi. "Om-nya siapa ya?"





***

Hai, maaf lama updatenya.

Btw, aku lagi di landa kegalauan nih. Entah menagapa kayanya cerita ini kurang greget gitu. Iya ga sih?

Jadi ragu buat lanjutinnya. Menurut kalian gimana? Lanjut atau engga nih?

Komentarnya di tunggu ya.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 45.6K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
7.1M 297K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
301K 13.7K 28
Valerie Grazella Margaretta adalah gadis yang bebas melakukan apapun semau dia. Pakai rok mini? Boleh. Mabuk? boleh. Punya banyak pacar? Kenapa tidak...