Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.6K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

57. Anomaly

6.4K 703 30
By Cassigatha19

Silvana berlari dan tidak peduli derap kakinya menggaung di lorong. Dia selalu lebih leluasa berkeliaran di Ruby saat jam pengajaran. Mengherankan tidak ada yang melayangkan protes karena gadis itu hampir tidak pernah masuk ke kelas. Penilaian yang didapatnya berasal dari guru yang menjadwalkan dia mengujikan materi sesekali. Hasilnya mencengangkan: skor paling tinggi di angkatannya.

Tipikal siswa yang langka sekali. Bahkan boleh jadi dia sama menjadi seenaknya seperti siswa Diamond. Namun melihat "kebodohan" yang mereka lihat sesekali dari Silvana, mereka menyimpulkan hal itu tidak mungkin. Dia boleh jadi menguasai tiap materi yang diajarkan di Ruby, tapi caranya mengontrol kekuatan payah sekali. Aura yang terlihat saat Silvana mengancam dewan komite tidak lagi muncul sejak saat itu.

Derian sedang mengulas materi yang ditanyakan sepasang siswa di dekatnya ketika Silvana memberanikan diri menghampiri. Mata Derian sempat melirik pada gadis itu, tapi dia tidak terpengaruh dengan tetap menuntaskan penjelasannya. Barulah ketika sepasang siswa tadi pergi, perhatian Derian tercurah seluruhnya pada Silvana.

"Darimana?" tanya laki-laki itu ditambah senyum yang ramah.

"Arboretum peoni."

"Apakah kau sudah menemui seseorang seperti yang kubilang?"

Silvana mengangguk. "Dia manis sekali. Dia melahap semua makanan yang kubawa. Dan dia suka bermain petak umpet." Meski saat bersembunyi, Silvana bisa langsung menemukan tubuh gempal Nabu yang seperti ikan buntal raksasa itu.

Seperti dugaan Derian, dua orang itu cocok. Nabu yang hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang-orang di luar Harbutari, dan Silvana yang menghabiskan bertahun-tahun masa kanak-kanaknya terus berada di kurungan. Mengendalikan keduanya cukup dengan perhatian kecil.

"Jadi kalian berteman?"

Silvana mengembangkan senyum dilanjutkan dengan tawa kecilnya yang untuk pertama kali dilihat oleh Derian. Aura gadis itu langsung tertangkap matanya. Bukan seperti aura kebanyakan orang-orang di mana Derian akan melihat kilau satu warna saja. Silvana memiliki gradasi layaknya berlian yang memantulkan sinar. Bening sekaligus berwarna. Lembut, tapi di sisi lain nyaris tidak tertembus.

Bagaimana jadinya jika inti kekuatannya tercemar?

"Aku lupa menyinggung guru. Apa guru juga berteman dengannya? Kami janji akan bermain tiap satu minggu di tempat yang sama."

"Tentu saja kami kenal baik," kata Derian. "Kalau tidak, mana mungkin aku mengenalkan kalian."

Supaya nantinya, baik Silvana dan Nabu bisa menjadi pion terkuatnya saat satu demi satu negeri Oltra berjatuhan.

"Sayang sekali, aku harus pergi sekarang. Murid-murid menungguku."

"Saya akan datang ke kelasmu kapan-kapan," balas Silvana. Gadis itu kemudian berbalik pergi dengan setengah berlari. Sebelum sosoknya menghilang ditelan lorong ketika berbelok, dia sempat melambai semangat pada Derian yang masih bergeming.

***

Ruang ritual berada di bawah tanah Cith. Tempat itu hampir-hampir tidak memiliki ventilasi. Suhu dingin membuat tempatnya lembab. Gelap gulita menguasainya ketika tidak digunakan. Saat ini, ratusan lilin telah dinyalakan. Pemangkunya menempel pada dinding. Gemerincing lonceng-lonceng kecil pun mewarnai ritual.

Fiona mengenakan gaun berlapis dengan bros kristal citrine. Perlahan gadis itu kemudian digiring masuk ke dalam kolam. Ajaibnya, air dalam kolam sama sekali tidak membuatnya basah. Kaki Fiona pun bagaikan melayang di permukaan.

Dalga sudah pergi. Lusa Fiona akan resmi diangkat menjadi kepala asrama Cith. Ritual kali ini berfungsi sebagai penyucian. Dengan para siswa dewan komite yang membimbingnya, mereka akan mengarahkan gadis itu melihat gambaran masa depan selama kepengurusannya. Bukan gambaran kejadian, lebih seperti bayangan-bayangan yang bisa dimaknai menjadi berita baik atau yang terburuk sekalipun.

Tongkat-tongkat lonceng tidak lagi digerakkan. Bisikan mantera tidak lagi terdengar. Mereka semua diam saat Fiona membuka mata lebar-lebar, melihat ke permukaan air di bawahnya. Mulanya gadis itu hanya melihat bayangannya sendiri yang terpantul. Namun perlahan-lahan, bercak-bercak hitam timbul pada rona air yang kekuningan.

Kontan jantung Fiona berdetak dua kali lebih kencang. Saking tegangnya sampai-sampai dia tidak sadar telah menahan napas lama. Terkesiap, Fiona tersungkur. Wajahnya pucat diikuti dengan bulir-bulir keringat dingin yang berjatuhan.

Firasat buruk.

"Apa yang kau lihat?" tanya salah seorang anggota dewan komite. Selain Fiona tidak ada yang bisa melihat apa yang telah Fiona saksikan barusan.

Fiona diam sembari menggigit bibir. Bayangan hitam yang dilihatnya, sepertinya berhubungan dengan aura iblis yang dia rasakan beberapa kali terakhir.

Tangan Fiona terkepal. Mendadak gadis itu kembali ke pinggir kolam dengan mata yang menyorot nyalang. Di saat orang selainnya saling bertukar pandang bingung, Fiona tidak ragu melepaskan pancaran kekuatan aslinya seketika. Dalam sekejap dia memunculkan sebilah tongkat sebagai gambaran inti dirinya.

"Apa yang kau lakukan?"

Fiona tidak langsung menjawab. Saat puncak tongkatnya mengayun ke udara, layar kabut bundar terpampang di depan mereka sekarang. Fiona menggertakkan rahang, mencoba memutar kembali bayangan tadi—kali ini lebih kuat dan jelas.

Sialan! Dia menjerit dalam hati. Firasatnya akhir-akhir ini tidak meleset.

Sejak kapan perisai pelindung Gihon mampu diterobos untuk yang kedua kalinya? Terlebih lagi, Fiona sadar jika dirinya sekali lagi berhadapan dengan seseorang yang membawa anomali. Hanya saja orang ini tidak sama dengan Quon.

Dia lebih jahat.

Lebih mengerikan.

Dan memiliki kekuatan mematikan bila kembali ke tubuh aslinya.

***

Var mencelupkan sehelai kain putih ke air dalam baskom. Sambil mendesis menahan nyeri, laki-laki itu memerasnya hingga setengah tuntas. Dia lalu menekan luka menganga di lengannya menggunakan kain basah tersebut.

Setelah lebih dari satu jam bergumul dengan orang seperti Cyde, apa yang mereka harapkan? Salah satunya lebih unggul dengan luka yang minim? Oh, yang benar saja. Keduanya sama-sama berantakan. Entah setan apa yang merasuki Cyde hingga habis-habisan menghajar Var. Emosi Cyde juga entah kenapa menular pada Var. Keduanya seperti bertarung seolah hanya satu di antara mereka yang dibiarkan hidup di luar kerangkeng arena.

Baik Cyde dan Var sama-sama merasa tidak puas.

Wajah Var babak belur, dan sesaat sebelum kerangkeng itu dibuka, dirinya sudah susah payah berdiri. Pedang yang dia pakai untuk menyangga bahkan sempat meleset hingga laki-laki itu nyaris jatuh tengkurap.

Keadaan Cyde juga tidak kalah mengenaskan. Seragam dari pinggang sampai ke bahu kanan Cyde koyak dan tidak lagi berbentuk. Pada tulang pipinya telah dipenuhi warna merah gelap. Peluhnya mengalir menganak sungai.

Sampai akhir tidak ada yang mau mengalah. Mereka pun terpaksa mengakhiri duel karena seorang guru datang dan memaksa kerangkeng itu dienyahkan.

Pintu kamar Var diketuk. Masuklah Rife yang mengerjap terkejut melihat Var yang tengah telanjang dada. Selesai duel kemarin, Var kembali ke kamarnya sendiri setelah menolak dipapah. Rife tahu jika laki-laki itu terluka cukup parah, namun saat itu Var masih mengenakan seragam lengkap sehingga guratan lukanya tidak tampak. Sekarang begitu Rife menyelonong masuk kamar, barulah dia bisa meneliti tiap titik memar, goresan, dan luka menganga di badan Var yang padat.

"Kau yakin tidak mau mampir ke Emerald?" tanya Rife.

Sembari menatap Rife dengan sorot yang sukar diartikan, Var mengenakan kembali bajunya. Kontak mereka terputus saat Var harus mengaitkan tali baju lapis tebal dan jubah.

"Tunggu. Kau mau pergi?" Rife mengernyit. "Ke mana?"

"Jika kau melihatnya kemarin, kau akan tahu kalau dia bisa saja mematahkan pedangku," gumam Var datar. Rife tahu laki-laki itu sedang kesal. Tapi ajaibnya, Var tidak berkata sinis. Daripada membiarkan raut kesal menghiasi wajahnya, ekspresi Var lebih cocok dibilang.. penasaran.

Karena apa?

"Jadi kau akan ke Xerokh?"

"Di mana pun aku bisa menemukan pandai besi."

"Baiklah. Aku ikut."

Hanya lewat sehari namun Var bertingkah tidak terjadi apa-apa kemarin. Tentu saja orang akan bisa membayangkan apa yang telah diperbuat laki-laki itu begitu melihat wajahnya. Tapi selebihnya, tampilan Var normal setelah dibalut jubah yang lebar. Mereka pergi menunggangi kuda masing-masing.

Sesampainya di sebuah tempat pandai besi, Rife membiarkan Var masuk sendiri ke dalam sedangkan dirinya memegangi tali kekang Nii dan kudanya sendiri. Sementara Var menyelesaikan urusannya dengan pandai besi, Rife mengambil sebutir apel yang dia selipkan di kantung pelana kuda. Baru satu gigitan masuk ke mulut, seseorang bertanya.

"Apa pedangnya rusak?"

"Mm. Sepertinya begitu. Hampir," jawab Rife sembari mengangguk-angguk.

"Apa dia habis berkelahi?"

"Semacam itu."

"Dia pasti kesal sekali."

Rife kembali mengangguk membenarkan ucapannya. Tapi sedetik kemudian, laki-laki itu tertegun. Dengan siapa dia bicara? Sontak dia menoleh ke samping di mana seseorang bertudung berdiri di sebelahnya. Seorang gadis. Dia juga balas menoleh pada Rife lalu tersenyum.

"Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Rife terkejut. Dia pun celingukan ke sana kemari, mencari Fiona atau Kia yang biasanya akan menyertai gadis itu. Rife menambah deretan segelintir nama yang tahu identitas asli gadis itu.

"Ah, aku sendirian," jawab Silvana tanpa beban.

"Kau bisa tersesat bahkan menghilang!"

"Jangan khawatir, aku sudah hafal jalan." Silvana tersenyum yakin. Sifatnya yang selalu memperhatikan segala hal dengan antusias sangat membantunya. Dia langsung familiar dengan pusat Vighę tersebut karena Var telah beberapa kali mengantarnya bolak-balik dari Gihon ke Riget.

Punggung Rife miring ke belakang. Alisnya bertaut melihat sesuatu yang tengah dibawa Silvana dalam sebuah tas yang lusuh. Tas itu menggembung dengan isinya yang berjejalan.

"Apa itu?" tanya Rife.

"Buku, manisan, kotak-kotak cat, parfum, sisir, dan syal."

"Kau membeli semua itu?"

Silvana mengerjap menatap Rife. Rencana awal Silvana mulanya hanya mencari sekotak manisan zaitun untuk Nabu. Tapi saat berkeliling Xerokh, gadis itu tergoda dengan banyaknya kios yang menjual beraneka macam barang. Sebelum keluar dari Gihon, Kia menemuinya. Silvana menolak ditemani hingga kening Kia berkerut ragu. Tapi sebagai gantinya, Silvana menodong uang pada laki-laki itu. Silvana terlalu naif untuk memahami istilah pemerasan. Dia berpikir telah meminta secara "baik-baik".

Di tengah-tengah obrolan mereka, Var keluar dari tempat pandai besi. Sama dengan ekspresi Rife di awal, laki-laki itu pun mengernyit mendapati Silvana ada di Xerokh. Dia juga mengedarkan pandangan ke sekeliling guna mencari sosok Kia atau Fiona.

Dua orang itu lebih cocok disebut seperti pengasuh omong-omong.

"Var! Wajahmu mengerikan sekali!" komentar Silvana yang kontan membuat Rife mengulum bibir—menahan tawa. Tangan gadis itu terulur ke atas demi menyentuh wajahnya. Var yang biasa akan langsung berkelit. Tapi laki-laki itu nyatanya bergeming meski Silvana menyentuh bagian yang memar dengan hati-hati. "Haruskah kita mencari obat?"

"Tidak perlu," jawab Var pendek. Dia mengambil alih tali kekang Nii dari Rife.

Nii melangkah mendekati Silvana lalu mendekatkan lubang hidungnya yang besar guna menghirup aroma di rambut gadis itu. Silvana tertawa geli.

"Kalian mau ke mana lagi?" tanya Silvana sambil mengusap-usap leher Nii.

"Kembali ke Gihon," putus Var. Tubuhnya merasa letih, padahal hanya menempuh perjalanan pendek—itupun dengan menunggangi Nii. Apa karena luka-luka sialan itu?

Silvana mengernyit menatap Var. Ekspresinya menyimpan kekecewaan, entah kenapa. Namun selang sedetik kemudian, kedua sudut bibirnya menarik seulas senyum.

"Kalau begitu hati-hatilah," katanya.

"Kau tidak ikut bersama kami?" tanya Rife yang memandangnya heran.

Silvana menggeleng. "Aku masih ingin jalan-jalan. Sampai jumpa lagi!"

Var hendak mengucapkan sesuatu tapi gadis itu terlanjur berlari pergi sambil melambai ke arah mereka. Tubuh yang ramping itu perlahan mengecil dan menghilang ditelan keramaian orang-orang yang bersliweran di Xerokh. Padahal cahaya matahari telah berpendar redup dan sebentar lagi malam. Apa bijak membiarkan gadis itu berkeliaran dan hinggap di sembarang tempat seperti kelelawar?

"Kupikir kita harus menyusulnya," gumam Rife yang diam-diam direspon persetujuan Var meski di dalam hati.

Sementara itu Silvana telah berlari jauh mendatangi sebuah bangunan yang tampak terang di bagian dalam. Tempat itu sangat berbeda dengan rumah-rumah lain di deretannya. Tiap-tiap pilar dan tiang dibalut kain berwarna-warni. Dinding kayunya berlukis ornament bunga. Orang-orang yang berkunjung ke sana tampak bergembira. Mereka bahkan sampai terbahak dengan ujung hidung yang memerah. Silvana mendengar alunan musik dari dalam dan beberapa orang yang bernyanyi.

Kabaret.

Silvana ingin masuk ke dalam. Namun pikirannya yang selalu resah tiap melihat gerombolan yang banyak itu langsung membuatnya ragu.

Tiba-tiba ujung tudungnya ditarik. Silvana terkesiap. Matanya melebar melihat Var dan Rife yang menjulang di sisi kanan dan kirinya.

"Apa yang kau lakukan?" Var mengernyit. Dia ganti menatap kabaret di depan mereka dan sama sekali tidak menyukai tempat itu.

Kabaret merupakan tempat hiburan yang umum ada di mana-mana. Kebanyakan tamunya adalah para prajurit yang penat atau pedagang yang sedang ingin menghabiskan uang untuk bersenang-senang. Tentu saja tempat itu harus dipoles indah untuk menarik pengunjung. Baik Var dan Rife juga cukup tahu jika tempat itu rawan sebagai sarang prostitusi.

Var tidak berminat masuk ke dalam, namun Rife pelan-pelan tergoda.

"Maukah.. menemaniku ke dalam?" pinta Silvana ragu-ragu sekaligus menatap Var penuh harap. "Ini kali pertamaku melihat tempat seindah dan menyenangkan seperti ini. Sebentar saja tidak apa-apa."

Pandangan gadis itu entah kenapa menghipnotis Var. Tanpa melepaskan kontak matanya dengan Silvana, dia bisa menyadari gerak Rife yang memunculkan tanda silang dengan kedua tangannya. Var setuju, tempat itu bukan tempat yang cocok untuk Silvana. Tapi begitu melihat sorot gadis itu menunggu jawabannya, Var jadi goyah.

Tiba-tiba dia menarik kerah Rife dan bergerak sedikit menjauh dari Silvana.

"Ap-apa?" Rife tergagap karena wajah Var tampak sangat serius.

"Jangan pernah memberitahunya tempat apa sebenarnya itu," kata Var. "Untuk sekarang, biarkan dia masuk ke dalam sebentar. Aku tidak akan melepaskan dia dari pengawasanku."

"Kau gila."

Setidaknya itu lebih baik daripada Var harus melihat raut kecewa dan sedih gadis itu.

"Semuanya mungkin akan lebih mudah kalau dia terlahir menjadi anak-anak biasa seusianya. Tapi karena keistimewaan yang dia punya, keberadaannya menjadi serupa mangsa. ... Dia lalu dikurung dalam istana.."

Samar-samar Var mengingat kembali paparan Quon lebih dari setahun lalu di hutan Tiberi. Di antara mereka berdua, Var menyadari kemiripan. Lama-lama perasaan itu semakin melekat dalam benaknya yang selalu merasa aneh pada kehadiran Silvana. Ditambah lagi.. puluhan keping teka-teki yang belum Var rekatkan hingga menjadi satu gambaran yang utuh.

Keberadaan Ren saat Quon meninggal, alasan gadis itu bunuh diri, juga kegelapan yang merasuki Lilac.

Var belum berniat mengoreknya lebih jauh karena sekarang tanpa disadarinya, dia lebih mementingkan keinginan gadis itu supaya terpenuhi.

Dan kala senyum Silvana merekah lebar, Var sungguh merasa ini lebih dari cukup.

***

Ren menyusuri lorong yang gelap di Ruby saat lewat tengah malam. Langkahnya tidak bersuara sehingga tidak ada satu pun yang menyadari kehadirannya sewaktu menyelinap beberapa kali di sana. Laki-laki itu pada akhirnya berhenti di muka sebuah pintu. Bunyi berderit muncul sebagai penanda kedatangannya. Di dalam ruangan, kegelapan menguasai.

"Ren.." Derian menyebut namanya setengah berbisik. "Aku terlalu meremehkan gadis ini."

Siapa? Ren mengernyit. Apakah Silvana? Bukankah Derian sendiri yang bilang akan mengurus gadis itu tanpa menimbulkan kecurigaan?

"Dia bisa menimbulkan masalah. Tidak kusangka kepekaannya jauh lebih berkembang—melebihi Dalga."

Hening sesaat.

Angin dingin menerobos masuk dari celah jendela saat Derian berbisik dalam nada yang kelam. Sosoknya menyatu dengan kegelapan sehingga Ren tidak bisa melihatnya secara jelas.

"Ren..," ucapnya. "Bunuh kepala asrama Cith yang baru.. atau aku yang akan melenyapkannya sendiri dengan tanganku."

.

.

.

"Humanity's lost face

Let's understand its grace

Each day one at a time

Each life including mine."

.

Song: A Different Beat - Boyzone

Continue Reading

You'll Also Like

13.5K 2.1K 41
Bagaimana jika sebuah buku diary tua yang sangat kusam menyedotmu masuk ke dalamnya? |•| [The Lost Series; Book 1 : Indonesia] Caya tidak mengerti me...
14.4K 3.7K 62
Menjadi Penunggang Naga adalah hal paling menyenangkan! Begitulah dugaan Cassidy pada awalnya. | • | Setelah sekian lama tinggal di New Orleans sebag...
167K 23.2K 73
"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** A...
57.2K 9.4K 35
[Fantasy & (Minor)Romance] Ruby tidak pernah tahu bahwa kolong tempat tidurnya mempunyai ruangan rahasia. Keinginan konyolnya waktu belia, rupanya di...