"Aku anak gundik—meski aku menjadi penerus ayahku," sebut Var saat menyandarkan kepala Silvana ke ceruk lehernya. "Ayahku menikah karena kepentingan politik dengan perempuan yang tidak dia kenal. Wanita itu kemudian memberikannya dua anak perempuan. Ayah menaruh hati pada pengasuh di keluarga Chantallausĕ—keluarga Rife. Karena statusnya yang rendah, ayah menjadikannya gundik sebelum diangkat menjadi selir."
Wanita yang sangat lembut. Sosok yang amat disayangi Var. Kalau saja bukan karena Var, dia bisa saja melarikan diri dari manor yang juga ditinggali istri sah ayahnya. Perlakuan yang diterimanya lebih buruk dari pekerja kasar di sana. Dia bertahan untuk Var.
Istri Ratraukh sangat cemburu pada Vahissa. Ketika Var telah cukup besar untuk mengerti percakapan orang dewasa, Var mengetahui kenyataan jika Vahissa berkali-kali mengalami pendarahan saat mengandung. Ayah Rife pernah berkata bila kelahiran Var adalah suatu keajaiban. Vahissa selamat setelah kematian hampir merenggutnya.
Ayah Rife selalu memberikan pengertian pada Var bila Ratraukh telah melakukan berbagai cara untuk melindungi Vahissa dan dirinya. Namun istri Ratraukh punya pengaruh yang besar, berasal dari keluarganya. Berkatnya, nama Buriand menjadi besar dan sangat disegani di Kith.
Suatu hari, Raja Kith waktu itu mengirim Ratraukh memimpin pasukan ke Hurdu. Dia meninggalkan manor berbulan-bulan. Di sisi lain, anak sulung perempuan Ratraukh menjalin hubungan gelap dengan salah satu pengawal mereka. Vahissa tidak sengaja memergoki mereka. Marah dan takut perbuatannya akan terbongkar, perempuan itu justru menuduh Vahissa yang berselingkuh. Istri Ratraukh tentu saja lebih memercayai putrinya, dibanding wanita yang telah merebut suaminya. Lagipula dia justru senang telah menemukan alasan untuk melenyapkan Vahissa.
"Mereka menyeretnya, dan memangkas habis rambutnya sebelum memerkosanya," papar Var dengan sorot yang kosong. "Pandangannya mencariku sebelum akhirnya membunuh dirinya sendiri."
Silvana melepaskan diri dari rangkulan Var kemudian menatap laki-laki itu dalam raut menyesal. Seharusnya Silvana tidak pernah mengajukan permintaan bodoh itu. Var juga tidak perlu menceritakannya hanya untuk memenuhi janji yang tidak pernah dia sanggupi.
Tersenyum—secara tidak langsung menyampaikan bahwa dirinya tidak butuh dikasihani, Var menarik lembut helaian rambut Silvana yang tersampir melewati bahu.
"Wanita itu telah meninggal sebelum aku sempat memberinya pelajaran," katanya. "Aku pun tidak memiliki alasan mengakui hubungan darah dengan anak dari wanita jahat itu."
"Karenanya kau urung membunuh beruang yang menyerangku..," gumam Silvana pelan.
"Aku merasa seperti melihat pantulanku di cermin."
Masih memasang raut sedihnya, Silvana merunduk. Disertai satu helaan panjang, gadis itu melingkarkan tangannya di tubuh Var dan bersandar lagi di pelukan yang hangat tersebut. Lama mereka saling diam. Silvana tidak ingin kebersamaan mereka cepat berakhir. Sesaat kemudian, dia mendongak mendapati Var tengah memejam sembari memijat pangkal hidungnya.
"Ada apa?" tanya Silvana melihat dahi Var berkerut.
"Aku terlalu berlebihan menggunakan mataku demi mencarimu," jawab laki-laki itu.
Penglihatan istimewa Var dapat menembus tebalnya dinding. Karena itulah dia bisa menemukan Silvana, meski sayangnya memakan waktu lama. Setelah menyelinap diam-diam tanpa ketahuan, Var juga harus menyisir bangunan asrama Ruby yang luas. Baru kali ini Var menggunakan penglihatan istimewa secara terus menerus dan hampir tanpa jeda. Akibatnya kepalanya sekarang berdenyut menyakitkan.
"Kau bisa tidur di ranjangku," tawar Silvana yang langsung membuat Var mematung.
Sembari mengernyit, Var membalas tatapan Silvana yang mengerjap menunggu reaksinya. Apa menurutnya wajar menawarkan satu-satunya ranjang di kamarnya untuk seorang laki-laki? Atau dia sengaja? Sialan. Var bahkan tidak menemukan modus tersembunyi Silvana. Dia merasa seperti berhadapan dengan seekor anak anjing yang menunggu tongkat mainannya dilempar jauh-jauh.
"Jangan memancingku. Aku harus kembali ke Zaffir. Ini pertama kalinya aku menyelinap keluar seperti pencuri." Seperti Quon. Siapa yang bisa menyangka dorongan terbesar Var bersumber dari ingatannya tentang Quon yang tidak pernah ketahuan sewaktu menyusup diam-diam?
"Tapi kau masih pusing..," balas Silvana ragu. Mendadak sebuah ide terlintas di benaknya. "Bagaimana kalau kau tidur satu jam saja? Lalu aku akan membangunkanmu, dan kau bisa kembali ke Zaffir."
Tanpa menunggu jawaban Var, Silvana bangkit berdiri kemudian mencari-cari kanvas kosong yang tadi dia jatuhkan. Hanya dalam hitungan detik, dia duduk di depan Var sambil menyorongkan kanvas itu padanya.
"Apa?" Alis Var bertaut.
"Sebelum kau muncul tadi, aku sebenarnya mau menggambar wajahmu," ucap gadis itu malu-malu. "Sekarang setelah kau ke sini, aku tidak perlu membayangkan. Aku cukup melihat."
Pandangan Var tertuju pada jemari Silvana yang artistik—penuh warna cat yang bercampur tidak karuan. Omong-omong kamar gadis itu lumayan berantakan. Ditambah lagi wadah-wadah cat dibiarkan berserakan di lantai, bergabung dengan kertas-kertas, kain selimut dan mantel, serta puluhan boneka kayu. Var sempat menginjak salah satu boneka kayu itu. Mungkin bagian kepalanya copot.
Tadinya Var hendak menolak. Hampir saja dia keceplosan berucap sinis pada Silvana—bukan apa-apa, hanya kebiasaan. Tapi membayangkan raut kecewa gadis itu nantinya, Var menurutinya meski setengah hati.
"Hanya satu jam," kata Var yang langsung menerbitkan senyum lebar Silvana. Laki-laki itu tengah duduk bersandar pada dinding dengan tangan menyilang. Kelopak matanya menutup, memanfaatkan waktu istirahatnya yang sebentar.
Var mendengar suara samar sesuatu yang bergesek pada permukaan kanvas. Beberapa saat kemudian, dia terlelap. Sekejap kemudian—jelas-jelas kurang dari satu jam, Var terjaga. Kamar tersebut dikuasai keheningan. Bunyi pulasan Silvana menghilang, karena gadis itu justru tidak sengaja tertidur. Dia tidur dengan masih memangku kanvas bahkan kuas masih menyelip pada ibu jari dan telunjuk.
Pelan-pelan Var merangkak mendekatinya. Diambilnya kanvas beserta kuas tadi dari Silvana. Gadis itu benar-benar menggambar wajahnya yang tengah tertidur. Pada bagian hidung Var terdapat titik hitam yang besar—sepertinya tidak sengaja terkena ujung kuas yang tertekan lama.
Var meletakkan kanvas sketsa. Hati-hati dia mengangkat Silvana supaya gadis itu tidak terbangun. Var lalu merebahkannya di atas ranjang, tidak lupa menutup tubuhnya dari ujung kaki sampai dagu. Dia mengusap dahi Silvana pelan sebelum membalikkan badan meninggalkannya. Namun sesaat ketika kakinya hampir mencapai ambang pintu balkon, Var mendekati rak tempat Silvana meletakkan kanvas sketsa Mikhail.
Var menunduk sekilas pada wajah yang tengah tersenyum tersebut, baru kemudian beranjak pergi.
***
Matahari sudah dua jam yang lalu terbit, dan segalanya menjadi terang benderang. Saking terangnya, Silvana membiarkan kepalanya ditindih bantal. Dia pun mengerang ketika mendengar bunyi ketukan berkali-kali di luar pintu. Silvana butuh waktu setelah membuka mata dan menegakkan punggung.
Pukul berapa sekarang? Var tidak ada di mana pun. Jadi laki-laki itu sudah kembali ke Zaffir? Dan siapa yang mengetuk pintu kamarnya kali ini?
Silvana membuka pintunya malas-malasan. Lagi-lagi dia dihadapkan pada tiga siswa Ruby sekaligus yang mengenakan jubah super rapi dan licin. Tanpa basa-basi mereka meminta Silvana hadir ke ruang dewan komite.
"Tolong bersiaplah dengan cepat," kata salah seorang dari mereka. Tidak mungkin mereka akan langsung menyeret Silvana melihat tampilan amburadul gadis itu. Dua orang lainnya lantas membantu Silvana berpakaian serta merapikan rambutnya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Silvana telah duduk di kursi tengah-tengah ruangan. Keadaannya sama persis dengan terakhir kali dia datang ke sana. Para siswa komite tetap melemparkan pandangan tidak puas, dingin, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan.
"Entah ini suatu keberuntungan atau justru kesialan, pengangkatanmu sebagai kepala asrama akan bertepatan dengan pesta ulang tahun Gihon." Salah satu dari mereka memulai topik.
"Bisa jadi Kepala Sekolah sendiri yang akan memimpin pengangkatan." Yang lain menimpali.
"Kami tidak memiliki pilihan lain. Siap atau tidak, kau harus menunjukkan kapasitasmu sebagai kepala asrama Ruby. Cith juga akan mengangkat kepala asrama yang baru karena kepala asrama sebelumnya telah resmi mengundurkan diri."
"Waktunya mungkin terlalu mendadak. Kami tidak berpikir kau siap mewakili Ruby untuk memberi salam pada kepala asrama Cith yang baru. Karenanya perwakilan dari kami yang akan hadir."
"Bahkan kau mungkin tidak perlu melakukan apa pun. Lakukan saja sesuai arahan kami. Jangan bertindak tanpa ada perintah. Kalau hanya itu saja kau mengerti bukan?"
Kening Silvana berkerut. Lagi-lagi mereka memojokkannya. Silvana tidak bisa membalas dulunya karena kalut setelah pertemuannya dengan Cyde. Tapi kini setelah benaknya disegarkan kembali, otak Silvana mampu mencerna dengan tajam.
Awal sewaktu kedatangannya ke Gihon, tidak hanya membaca semua buku yang wajib dipelajari, Silvana juga membaca buku tebal berisi sejarah dan seluk-beluk Gihon. Empat asrama divisi dengan bidang yang berbeda, satu divisi istimewa dengan sebutan Diamond, juga masing-masingnya yang memiliki kepala asrama sebagai simbol perwakilan tiap-tiap asrama.
Para siswa komite di hadapan Silvana jelas-jelas menunjukkan sikap sewenang-wenang. Inikah sumber tekanan yang dihadapi Lilac hingga gadis itu akhirnya tunduk pada kegelapan yang bersarang di hatinya?
Memikirkannya saja membuat kemarahan Silvana tersulut.
"Lalu apa maksud kalian memaksaku datang ke sini?" Tiba-tiba saja gadis itu berucap yang kontan saja mendapatkan perhatian penuh semua orang di ruangan tersebut.
Bayangkan, gadis yang terakhir kali diam ketakutan dan linglung, sekarang untuk pertama kalinya menyambung obrolan mereka dengan tenang. Bukan kalimat persetujuan sebagai tanda dia tunduk pada perintah, sebaliknya, Silvana terdengar ingin memancing reaksi para siswa komite lebih jauh.
Silvana ingat tatapan-tatapan seperti yang dia dapatkan saat ini. Quon juga menerimanya dari siswa senior yang berlaku seenaknya. Asal usul yang tidak jelas, tanpa marga, tanpa latar belakang keluarga yang berpengaruh. Para siswa komite itu pastilah sedang meremehkannya. Bagaimana mungkin divisi Ruby yang terkenal punya hubungan baik dengan semua pihak ternyata menyimpan kebusukan semacam ini?
"Apa?" Satu dari mereka mengernyit—menodong Silvana agar mengulangi ucapan yang dinilai lancang.
"Jika hanya untuk memerintahku, seharusnya cukup dengan surat. Kalian bahkan tidak menyuruhku melakukan apa pun, jadi untuk apa buang-buang waktu untuk pertemuan sia-sia ini?" Mata safir Silvana menyala nyalang, menggilir satu per satu siswa senior di depannya.
Mereka tertegun. Semuanya kompak memikirkan hal yang sama: gadis itu bahkan belum diangkat sebagai kepala asrama tapi telah berani menegur mereka. Sialnya, ucapan Silvana benar. Sesungguhnya mereka hanya ingin memastikan kembali karakter yang direkomendasikan Cambyses hanyalah siswa urakan yang tidak berguna. Suatu keberuntungan malah apabila kepala asrama kali ini hanya bergerak layaknya boneka benang.
"Tidak ada pertemuan yang sia-sia. Berani sekali kau mendikte komite sementara kau belum resmi diangkat menjadi kepala asrama."
"Aku tidak menginginkan posisi itu," balas Silvana yang kontan menambah keterkejutan mereka. "Menolak atau tidak, aku tidak rugi apa pun. Pertanyaan terbesarku adalah.. mengapa dewan komite yang terhormat tidak mempertimbangkan siswa lain yang lebih memiliki kemampuan daripada aku yang diharapkan sangat mudah dikendalikan seperti meniup kicir mainan?"
"Satu lagi kata keluar dari mulutmu—.."
"Sengaja?" Tidak sedikitpun menggubris ancaman barusan, Silvana tetap menyerang mereka. "Karena tidak ada satu pun dari kalian yang sempat meraih posisi ini?"
"Tutup mulut lancangmu itu!!"
Silvana diam. Masih bergeming di atas kursi, dia melihat bagaimana para siswa komite itu mulai tersulut kekesalan. Jantung Silvana mulai berdebar-debar tegang. Tidak bisa dipungkiri dia merasa was-was sambil merutuki apa yang telah diucapkannya tadi. Dia merasa sedih mengingat hal yang Lilac alami. Orang-orang itulah yang menyebabkannya—meski tidak secara langsung.
Keberaniannya timbul berkat Var. Siapa sangka laki-laki itu menutupi kesedihannya dengan amarah yang mudah meledak-ledak? Silvana mempelajari satu hal lagi darinya.
"Aku tidak menginginkan posisi yang bisa diatur sesukanya. Silakan cari orang lain," kata Silvana pelan sambil meremas kuat keliman jubahnya. Tapi baru saja dia bangkit berdiri dan hendak melangkah keluar, daun pintu itu tiba-tiba menutup. Hantamannya membuat Silvana terperanjat kaget.
Degup jantungnya makin tidak karuan saat dia berbalik lagi. Seseorang dari komite siswa yang kentara tidak menyukai Silvana, melangkah cepat menghampiri gadis itu. Satu tamparan melayang dan sukses mendarat di pipi.
Sakit sekali. Rasa perih dan ngilu seketika menjalar ke pusat otak.
"Dia benar," ucap gadis yang menampar Silvana. "Kau memang harus dijinakkan lebih dulu."
Kabut kilau keunguan muncul di tangannya yang menjulur, seperti akan mencekik Silvana. Siswa komite yang lain terlihat terkejut dan juga tampak tidak setuju dengan tindakannya yang kasar. Tapi mereka justru diam.
"Aku akan bermain dengan ingatanmu sedikit..," bisik gadis itu sewaktu menempelkan jari telunjuknya ke tengah dahi Silvana. Silvana sendiri nyaris tidak bergerak karena lehernya dijerat.
Entah sihir apa yang tengah gadis itu rapalkan untuknya, Silvana hanya bisa mengartikannya sebagai ancaman.
Hentikan.
Napas Silvana mulai sesak. Ditambah lagi, sesuatu membuat pandangannya memburam.
"Le-lepas.. lepaskan aku!" Silvana meronta. Gadis tadi masih tidak bergeming, bahkan makin mengeratkan cekikannya. "SIALAN! LEPASKAN KATAKU!!"
Seolah terkena setrum bertegangan tinggi, gadis tadi menjerit. Tubuhnya terdorong mundur meski Silvana tidak melakukan apa pun. Dia lantas rebah, punggungnya membentur lantai. Hantaman tadi tidak hanya mengenainya. Gelombang tidak berwujud itu bahkan menggeser meja kubus yang berat. Tidak mungkin angin karena jendela di sana meski berongga namun dalam keadaan tertutup.
Rongga dada Silvana naik turun. Mata safirnya menatap nyalang pada mereka semua.
"Sekali lagi.. aku melihat hal semacam ini di Ruby..," gumamnya penuh penekanan. "Aku akan membuat perhitungan dengan kalian semua."
Tenggorokan para siswa komite seakan tersumbat. Tidak ada yang berani berucap barang sepatah kata pun. Ketegangan tetap mendominasi keadaan di sana ketika Silvana berbalik. Tangan gadis itu rupanya gemetar kala membuka pintu.
Kenapa.. Silvana bertanya-tanya dalam hati. Kenapa kekuatannya tidak sengaja keluar bahkan tanpa mengusik kuncian segel?
***
Di ruang bawah tanah Harbutari, Cambyses berdiri diam sambil menyilangkan tangan. Di hadapannya sisa-sisa makanan tampak menggunung hingga tempat itu pantas disebut ruang pembuangan limbah. Seseorang yang seharusnya ada di sana sekarang menghilang lagi. Cambyses menggigit bibir. Laki-laki itu meradang—sesuatu yang sebenarnya jarang dia tunjukkan. Kesal dan jengkel bercampur jadi satu.
"Dia pasti akan kembali besok pagi bukan?" ujarnya pada Kia. "Kenapa sampai sekarang aku tidak tahu ke mana dia jika tiba-tiba menghilang seperti ini?!"
Jawabnya ada di arboretum peoni antara Ruby dan Harbutari, dengan pohon ara dekat tugu pipih pada pinggiran. Oleh campur tangan seseorang, Cambyses tidak akan bisa menemukan orang itu apabila bersembunyi di antara semak-semaknya.
Seseorang yang bertubuh besar dan tambun layaknya monster—divisi Diamond, kursi ketiga.
Kurang lebih, dia sama berbahayanya dengan Silvana Burö.
.
.
.
"Just a second we're not broken just bent
and we can learn to love again
It's in the stars
it's been written in the scars on our hearts."
.
Song: Give Me a Reason – Pink