Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.7K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

53. Distant

7.2K 735 49
By Cassigatha19

Posisi kursi kedua Diamond, merangkap sebagai kepala Harbutari bukan sebatas label bagi Cambyses. Meski harus dia akui, gelar tersebut meningkatkan keangkuhan dan arogansinya. Menggantikan Dominic, Cambyses juga memantau segala hal di Gihon, walaupun seringkali hanya berperan sebagai pengamat ketika kekacauan terjadi. Setidaknya dia bukan Aipy yang akan menertawakan keributan. Tidak perlu meragukan Cambyses yang jelas memiliki kapasitas otak yang lebih baik dibanding bocah setan itu.

Cambyses hampir selalu berada dalam Harbutari saat tidak sedang mengawasi. Dia jarang—bahkan hampir tidak pernah menampakkan diri di Gihon, selain pada para Diamond lain dan Dominic. Sekeliling tubuhnya tertutup oleh aura sihir sehingga tidak akan terlihat, sama seperti pagoda Harbutari.

Laki-laki itu telah bersiap sebelum matahari menyingsing di ufuk timur. Dia mengenakan jubah putihnya, dengan keliman suar pada pinggiran. Seragam di lapisan dalam berbanding terbalik—berwarna hitam berhias ukiran logam keemasan. Berdiri di depan cermin, dia memperhatikan telapak tangan sebelum memasangkan sarung yang ketat.

Cambyses boleh jadi tidak terlihat dengan mata telanjang, tapi aroma laudanum sangat kental hingga bisa menjadi penanda jejaknya.

Hari ini dia akan mengurus satu hal yang lumayan merepotkan. Sesuatu yang melibatkan Ruby, karena sudah hampir dua minggu lebih kursi kepala asrama dibiarkan kosong. Mereka harus secepatnya mendudukkan seseorang di kursi tersebut. Dan Cambyses berniat turun tangan.

Tidak disangkanya Kia berdiri di ambang pintu Harbutari. Cambyses tersenyum melihatnya memberikan tatapan curiga seperti biasa.

"Untungnya aku bukan orang yang akan mencabut bola matamu karena telah lancang menatapku seperti itu," gurau Cambyses. "Kau ingin menemaniku ke Ruby?"

Cambyses terus melenggang tanpa perlu mendapat jawaban Kia. Sihir yang menyelimuti tubuhnya akhirnya menghilang. Cambyses sengaja. Karena suka atau tidak, dia harus menekankan kehadirannya ketika menginterupsi rapat para siswa komite yang menyebalkan itu. Setelah Lilac membunuh Ramsee, mereka cukup kebingungan memikirkan siapa kandidat yang layak menjadi kepala asrama.

"Anda siapa? Tu-tunggu sebentar! Tidak ada yang boleh masuk ke dalam!"

Perhatian para siswa komite di sana langsung beralih saat pintu dibuka lebar-lebar. Siswa yang berjaga di luar kebingungan. Cambyses membukanya tanpa menyentuh gagang. Tenang, dia melangkah masuk diiringi tatapan aneh.

"Lancang sekali menerobos masuk!" Salah satu siswa membentaknya. Cambyses meliriknya sekilas dan dia seketika diam.

"Jubah putih.. bros diamond.. jangan-jangan.."

Cambyses tersenyum samar saat beberapa dari mereka akhirnya sadar. Dengan santainya laki-laki itu memutar meja berbentuk bingkai persegi panjang. Dia lantas berhenti dan duduk pada kursi yang diletakkan di paling ujung. Kursi yang biasa ditempati Lilac, kursi yang diperuntukkan khusus bagi kepala asrama.

"A-ada alasan apa sampai-sampai siswa Diamond sampai datang ke sini?" tanya salah seorang dari mereka.

"Membantu menemukan jalan keluar untuk para cecunguk yang tidak becus," jawab Cambyses.

Puluhan wajah yang merah padam itu kontan menghujamnya. Bukan rahasia lagi jika para Diamond kabarnya sangat kasar dan suka seenaknya sendiri. Kalimat Cambyses memperkuat dugaan itu. Tentu saja Cambyses bicara sarkas bukan tanpa alasan. Jangan pikir dia tidak tahu andil apa yang para siswa komite Ruby perbuat hingga bencana yang lalu terjadi. Bukan hanya Lilac dan Ramsee, kekacauan itu juga membunuh sembilan siswa Ruby dan lima siswa dari divisi lain.

Meski marah, mereka tidak akan berani membalas perkataan Cambyses.

"Jadi.." Punggung laki-laki itu melekat penuh pada sandaran kursi. Dua kakinya diletakkan menyilang di atas meja. "Daftar sampah seperti apa yang bisa kalian tawarkan padaku untuk menggantikan kepala asrama yang sudah kalian sia-siakan?"

Salah satu siswa berdehem. Dia memundurkan kursi sambil membawa beberapa lembar kertas. Tidak salah lagi dalam berkas itu berisi daftar nama kandidat yang akan mereka pilih untuk menjadi kepala divisi. Berjalan cepat menghampiri Cambyses, dia tiba-tiba berteriak ketika kertas itu terbakar. Dalam sekejap berubah menjadi abu yang mengotori lantai.

"Aku sangat.. tidak menyukainya," kata Cambyses pelan. Mereka pun tidak perlu menebak siapa yang sudah memusnahkan daftar yang sudah susah payah mereka kumpulkan itu. "Hanya karena kepala asrama sebelumnya tidak bertindak sesuai keinginan kalian, lantas dengan mudah kalian menyingkirkannya."

"Apa anda memiliki usul yang lebih baik?" Seseorang memberanikan diri bertanya karena geram.

"Itulah kenapa aku datang kemari."

"Jadi dengan kata lain, nama selain yang anda ajukan tidak akan pernah dipertimbangkan sedari awal?"

Lumayan mirip dengan nepotisme. Mereka mencurigai Cambyses demikian. Hal itu tentu saja menyalahi aturan.

"Astaga, apa terlihat seperti itu?" tanggap Cambyses pura-pura terkejut. Tapi di detik selanjutnya, seringai licik dia tampakkan. "Ya. Aku tengah bermain kotor."

"Tuan Dominic tidak akan membiarkan ini!"

"Ups! Kalian tidak berpikir aku akan diam saja tanpa ada jaminan bukan?" Laki-laki itu menyilangkan tangan. "Adukan yang tadi, maka aku juga akan mengeluarkan kartu sendiri."

Semuanya diam.

"Dewan komite seharusnya mengawal kepala asrama, bukan justru menindasnya, memerah sampai tidak ada gunanya, lalu mengganti dia dengan yang baru seperti membuang barang rongsokan. Haruskah aku menyinggung soal diskriminasi pada keturunan Larөa supaya cerita ini lebih dramatis?"

Dewan komite lebih menyukai kepala asrama laki-laki, bukannya tunduk pada perempuan seperti Lilac yang terlalu sering membaur di antara siswa lain dengan tangan terbuka. Lilac hanya menunjukkan dominasinya di saat-saat tertentu, menjadikannya kurang cocok mengemban posisi itu. Satu lagi tambahan: Lilac memiliki latar belakang keluarga bangsawan yang tidak terlalu berpengaruh, apalagi di negeri yang kecil seperti Larөa.

"Berani sekali kalian memperlihatkan hal menjijikkan ini padaku," kata Cambyses menyiratkan kemarahan.

Hening. Bagaikan pencuri yang tertangkap basah, sebagian berharap terjadi gempa yang membelah tanah hingga bumi bisa menelan mereka saat ini juga. Cambyses memang tidak akan melakukan sesuatu pada mereka di Gihon. Tapi di luar itu? Siapa tahu dia tengah membangun sarang ular.

Tiba-tiba saja laki-laki itu tertawa. Bukan tawa yang menyenangkan meski Cambyses berniat melonggarkan suasana yang kaku kini.

"Aku hanya ke sini membawa satu nama. Kenapa kalian bersikap seolah aku akan membantai kalian?" candanya benar-benar tidak sesuai situasi.

"Kalau begitu sebutkan nama yang anda inginkan supaya kami bisa segera memberitahunya."

Senyum Cambyses mengembang lebar. "Vana. Dia siswa baru. Mungkin kalian mengenalnya."

Mereka saling berpandangan dengan alis bertaut karena sama sekali tidak menduga nama itu disebut. Posisi kepala asrama seharusnya diberikan pada siswa yang hendak beranjak ke tingkat akhir, bukan siswa baru. Siswa komite senior jelas tidak mengenalnya. Tapi selain mereka, Cambyses tersenyum melihat wajah-wajah bingung dan terkejut itu.

"Ada masalah?" Cambyses berakting tidak tahu apa pun.

"Ah, tidak. Mungkin kami salah tapi.. ada anak baru yang bernama sama. Hanya saja dia.. punya banyak masalah meski baru sebentar di sini."

"Masalah apa?" Siswa komite menimpali.

"Dia tidak pernah datang ke kelas pengajaran. Presensinya selalu kosong dan dipenuhi catatan merah. Kabarnya dia membuat onar di ruang tata boga sampai dapurnya porak poranda. Dan terakhir, dia terlibat perkelahian dengan siswa Zaffir. Karena itu guru menyuruhnya menulis seratus halaman surat pernyataan permintaan maaf."

Cambyses tertawa lagi—kali ini lebih keras sampai perutnya terasa sakit.

"Jinakkan dia kalau kalian bisa," ucap laki-laki itu mengakhiri kehadirannya. Bersamaan saat Cambyses menutup pintu, dia bisa mendengar para siswa komite yang saling adu mulut. Kalau saja Cambyses masih berada di dalam lebih lama, mungkin dia akan meledakkan tempat itu sekaligus orang-orang di dalamnya.

Cambyses baru saja keluar dari gedung pertemuan saat seseorang melangkah lewat persis di belakangnya. Sejenak, laki-laki itu terdiam. Perasaan aneh merambat sampai-sampai tengkuknya meremang. Dia berbalik, menoleh ke kanan dan ke kiri persimpangan di sana. Nihil. Cambyses tidak lagi merasakan keberadaannya. Padahal dia yakin sekali seseorang berada di dekatnya beberapa detik barusan.

Aura yang tidak disukainya. Sosok yang sama dengan yang dirasakan Fiona.

Tidak ingin berlama-lama ada di sana, Cambyses pergi.

Seseorang lantas keluar dari persembunyiannya, di balik pilar. Pakaian gelapnya masih sama seperti saat pertemuan pertamanya dengan Silvana Burö, juga Ren yang mulanya berniat meninggalkan Gihon.

Derian.

Fiona tidak main-main kala mengakui gadis itu ketakutan setengah mati hanya dengan merasakan keberadaannya.

***

Lama tidak menampakkan diri, Kia mendatangi balkon kamar Silvana. Laki-laki itu kemudian menggiringnya keluar Gihon. Silvana sempat bertanya namun Kia hanya diam. Kia juga sama sekali tidak membatinkan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Seseorang rupanya telah menunggu mereka di gerbang depan.

Silvana menatapnya. Pandangannya beralih ke bahu laki-laki itu. Seingatnya dia juga terluka karena Lilac juga nyaris membunuhnya.

Tersenyum, Cyde menarik tangannya dari balik punggung. Dia tengah menggenggam seikat lili putih yang segar lalu menyodorkannya pada Silvana.

"Untukku?" Silvana menerimanya seraya membalas senyum Cyde. "Terimakasih.."

"Kau boleh pergi, Kia," kata Cyde.

Silvana menoleh ke belakang dan menatap tanya pada Kia. Laki-laki itu masih diam. Dipatuhinya perintah Cyde kemudian beranjak dari pandangan keduanya.

"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat..," ucap Cyde. Seekor kuda jantan hitam menjulang di sebelahnya dan siap mengantar mereka ke mana pun. Laki-laki itu mendudukkan Silvana di depan, sementara dirinya memegang tali kekang di balik punggung Silvana.

Mereka melewati keramaian Xerokh kemudian melintasi jalan berbatu yang mengarah ke Tiberi. Cyde tidak bicara karena membiarkan gadis itu memperhatikan sekeliling. Cyde cukup peka untuk tahu jika Silvana sangat menyukai hijaunya dedaunan pohon yang menghampar, jernihnya air yang mengalir, juga gerak kuda yang mereka tunggangi. Terlebih untuk Cyde, gadis itu tengah bersamanya.

"Ke mana kita pergi?" Akhirnya Silvana bertanya karena penasaran.

"Tempat dulunya aku sering menemuimu," jawab Cyde yang saat ini harus ekstra hati-hati menggiring kudanya masuk ke hutan pinggiran Tiberi. Jalan bebatuan di sana basah akibat hujan semalam.

"Menemuiku?" Silvana mengerutkan kening. Sejauh dirinya mengingat, tidak ada kata "sering" yang cocok mendeskripsikan pertemuannya dengan Cyde.

Cyde rupanya membawa gadis itu ke telaga Tiberi yang masih sangat memukau dengan keindahan permukaan airnya yang jernih juga memantulkan bayangan hijau dedaunan pohon yang rindang. Silvana terkurung lebih dari setahun di tempat itu, namun bukan berarti dia mengingat di mana persisnya kurungannya diletakkan.

Cyde turun dari kuda lebih dulu kemudian membantu Silvana beringsut. Sementara laki-laki itu duduk di atas batu besar di tepi telaga, Silvana mencelupkan kakinya di air yang dingin.

"Indah sekali di sini," ucap Silvana yang tersenyum. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau sering kemari?"

"Aku kemari setelah memetik lili, lalu merangkainya.. seperti yang tengah kau bawa," jawab Cyde dengan pandangan menerawang. "Lalu memberikannya padamu.. supaya kau tidak merasa sendirian di sini."

Silvana terdiam. Perasaannya menjadi tidak menentu. Dia sama sekali tidak paham apa yang tengah laki-laki itu bicarakan.

"Aku.. di sini..?"

Seulas senyum terbit lagi di bibir Cyde. Diraihnya tangan Silvana kemudian menuntun gadis itu sedikit lebih ke tengah telaga yang tidak begitu dalam. Langkahnya berhenti. Genggaman Cyde mengerat hingga Silvana bisa merasakan kehangatan yang sedang laki-laki itu bagi untuk dirinya.

"Aku tidak akan memaksa kau mengingat masa-masa yang sedih itu," ujar Cyde. "Aku hanya ingin kau tahu.. setidaknya, aku selalu berusaha menjagamu. Ke mana pun mereka membawamu.. juga aku yang tidak pernah lupa untuk menyempatkan diri datang ke sini. Berharap kesedihanmu sirna kala terjaga nantinya, kemudian melihatku."

Ada semburat penat yang tersimpan dalam nada getir Cyde. Senyumnya masam saat memandang lurus ke depan.

"Ketahuilah, aku pun merasa sangat kehilangan sewaktu mendengar berita kematian Pangeran Mikhail. Kami juga sangat mengkhawatirkanmu.."

Tatapan keduanya tersambung. Cyde merasa bersalah melihat genangan air di pelupuk mata Silvana. Tapi Cyde tidak bisa memikirkan cara lain. Menyinggung kematian Mikhail adalah satu-satunya jalan baginya untuk mengingatkan Silvana supaya menjauh dari semua hal tentang Kith—termasuk Varoscar.

"Kau belum melupakannya, bukan? Kau sangat mencintai Pangeran Mikhail, begitu pun sebaliknya," kata Cyde halus. Namun efek dari kata-kata itu berbanding sebaliknya untuk Silvana. Cyde tengah menggunakan cara yang kasar demi menarik gadis itu dari Var. "Pangeran Mikhail dibunuh di Kith.. sampai sekarang tidak diketahui siapa yang berani-beraninya merebut dia darimu."

Kith. Negeri asal Var.

Cyde ganti menggenggam kedua tangan Silvana lalu menariknya sampai ke wajah sendu laki-laki itu.

"Karena itu kumohon.. jauhi dia," ucap Cyde. "Kita tidak akan pernah tahu apa yang mereka pikirkan terhadapmu. Kau masih Putri Vighę, dengan atau tanpa Pangeran Mikhail. Hanya kau yang kami punya. Apa kau tahu betapa aku menyalahkan diri sewaktu kau menghilang di Raveann? Tapi apa? Kami justru menemukanmu di Kith.. dalam keadaan terluka."

"A-aku.." Anehnya lidah Silvana mendadak kelu. Sulit baginya untuk menyangkal ucapan Cyde, karena semua pernyataan laki-laki itu tidak salah.

"Apa kau tidak merasa aneh dengan terus terlibat dengannya sewaktu di Kith? Haruskah aku mengingatkanmu siapa sebenarnya Varoscar?"

Dia putra Jenderal Ratraukh Buriand—tangan kanan Raja Kith. Apabila Raja Kith merupakan dalang di balik pembunuhan Mikhail, maka Var.. laki-laki itu bisa jadi mengetahui sesuatu atau justru terlibat.

"Aku bisa menjadi sandaranmu. Aku akan selalu melindungimu bahkan jika nyawaku taruhannya." Cyde berbisik saat mendekatkan wajahnya ke pelipis gadis itu. "Aku mencintaimu. Aku sangat.. sangat mencintaimu."

Cyde mengucapkannya berulang-ulang seolah ingin Silvana meresapi tiap penggal emosi yang dicurahkan laki-laki itu. Silvana bergeming saat Cyde mendekapnya erat. Keduanya tetap tidak bergerak, sampai akhirnya Cyde merasakan tangan Silvana terangkat—balas memeluknya.

***

Rife dan Areah datang mengunjungi Var. Tabib berkata laki-laki yang selalu terlihat senewen itu diperbolehkan kembali ke asramanya hari ini. Var sebenarnya sudah merasa kembali ke kondisi prima beberapa hari yang lalu, tapi para tabib di Emerald benar-benar membuatnya jengkel. Dengan berbagai alasan yang—Var curiga—sengaja dibuat-buat, mereka berhasil menahannya beberapa hari.

Var lega karena akhirnya dia bisa kembali ke Zaffir. Otot-ototnya berubah kaku karena telah banyak hari terlewat dengan dirinya yang hanya menghabiskan waktu berdiam di bangsal. Tapi di sisi lain, Var juga merasa gusar. Sudah hampir seminggu Silvana tidak lagi datang berkunjung.

"Kau butuh dipapah? Bisa saja, asal jangan minta Areah memapahmu. Oh, jangan lupa, tanganku masih sakit, jadi jangan harap aku akan merangkulmu." Sungguh, ingin sekali Var menendang Rife kalau saja tidak ada Areah di sana.

Beberapa menit Rife dan Areah saling bicara dan menimpali tanpa Var berniat menyambung. Var bergeming ketika akhirnya melihat sosok yang dia nantikan itu muncul di ambang pintu bangsal ruangannya. Gadis itu balas menatap Var ragu-ragu lalu melangkah pelan mendekat seakan dirinya tidak ingin menarik perhatian orang selain mereka.

"Kalian bisa kembali sekarang. Aku masih akan tinggal sebentar lagi di sini," kata Var pada Rife dan Areah.

Tahu jika Var tengah meminta ruang privasi, Rife dan Areah menurut. Sebelum pergi, mereka sempat menyapa Silvana.

"Kau sudah sembuh..," ucap gadis itu—bukan pertanyaan seperti seharusnya.

"Ya." Var membalas. Keningnya berkerut melihat Silvana yang tidak kunjung menatapnya. Gadis itu justru menunduk dan memandang ke arah lain—sengaja. "Ke mana saja kau akhir-akhir ini?"

"Di asrama," jawab Silvana pendek. Baru saja Var akan melontarkan kalimat tanya lain, dia lebih dulu berkata, "Kalau begitu, selamat beristirahat di kamarmu sendiri."

Apa-apaan?

Var hampir meraih dagu Silvana tapi gadis itu tiba-tiba tersentak dan bergerak mundur. Kegugupan Silvana kian menjadi.

"Ada apa?" tanya Var akhirnya. "Apa ada masalah?"

Silvana menggeleng lemah. Lirih, dia berbisik amat pelan, "Seharusnya aku tidak ke sini.."

Buru-buru gadis itu berbalik dan langsung berlari pergi.

Var terpaku. Dia meremas jari-jari tangan kanannya yang mengiba.

Kenapa Silvana menolak sentuhannya?

.

.

.

"You only need the light when it's burning low

Only miss the sun when it starts to snow

Only know you love her when you let her go."

.

Song: Let Her Go – Passenger

Continue Reading

You'll Also Like

266K 16.4K 24
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
29.8K 3.2K 40
Sekadar candaan suami istri yang diracik dengan: Bahan bumbu: • 250 gram bubuk baper • 1/2 sdm saus teriyak[i]an ciye-ciye • 3 siung rayuan gombal •...
9K 2K 72
Amazing cover by @hayylaaa Kehidupan masa lalu masih belumlah berakhir. Malah kini menghampiri dalam wujud mimpi demi mimpi, menyampaikan pesan. Yan...
336K 30.7K 42
I. Chapter One Cara Nicole hanyalah gadis biasa yang menjadi kunci kedamaian Dixie Mirror. Dunia Cermin itu terhubung dengannya melalui cermin yang...