Silver Maiden [Terbit]

由 Cassigatha19

842K 76.6K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... 更多

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

51. The Curse: Brain

8.5K 762 76
由 Cassigatha19

"Hei, apakah kau hantu? Apa kau sudah mati juga sama sepertiku?" Tanpa ada rasa menyinggung sedikit pun, Sira bertanya. Sosok di depannya masihlah bersinar dengan wajah yang sulit terlihat saking silaunya.

Rasa sakit akibat racun wolfsbane telah hilang, tapi tidak dengan perih pada luka di perutnya. Sira membalut luka yang menganga itu menggunakan jubahnya yang lusuh. Paham jika telah diberikan kesempatan sekali lagi untuk hidup, sebisa mungkin gadis itu bersikap amat ramah pada sosok tersebut.

Bagian bawah gaun sampai ujung kaki seseorang itu transparan. Layaknya roh yang keluar dari raga, dia tidak banyak bertingkah. Suaranya lembut sekali-jelas seorang perempuan. Apakah semua roh akan bersinar menyilaukan seperti dirinya? Sira pernah mendengar kisah Gadis Perak dari ibunya, apakah roh itu adalah seseorang yang beliau maksud?

Tidak kunjung mendapat jawaban, Sira tidak menyerah mengajaknya bicara. Gadis itu duduk bersila di atas dedaunan kering sambil memisahkan stroberi liar dari tangkai.

"Apakah kau sedang sedih? Daritadi kau tidak mengatakan apa pun. Aku bisa melakukan sesuatu jika kau menginginkannya."

"... Apa yang hendak kau lakukan sekarang..?" Akhirnya dia berkata meski tidak menjawab pertanyaan Sira.

"Tentu saja menemukan pembunuh ibuku." Setelah memulihkan tubuhnya dalam waktu singkat, hal yang pertama kali Sira lakukan adalah memakamkan wanita malang itu. Tanah masuk ke sela kukunya karena gadis itu menggali dengan tangannya sendiri. "Aku akan masuk ke Gihon. Masuk ke sana adalah impianku.. meski sekarang aku punya tujuan lain. Kuharap dia masih di sana. Akan sangat merepotkan bila mencarinya di seluruh Vighę."

"... Vighę.."

"Kapan kau kembali ke tubuh aslimu? Aku bisa mengajakmu jalan-jalan ke Xerokh."

"... Aku tidak bisa."

"Kenapa tidak?"

"... Aku adalah monster."

Sira terdiam. Ucapan tadi sama sekali tidak dicernanya secara serius. Sebaliknya, gadis itu malah menanggapinya santai-terlalu santai.

"Kenapa kau bisa bilang begitu?"

"... Aku dikurung dan tidak bisa ke mana-mana.. Semua orang berpikir aku berbahaya karena tidak bisa mengontrol kekuatanku.. Dan benar.. aku bisa membuat mereka terluka."

"Tapi kau tidak melukaiku. Kau menolongku," balas Sira.

Hening. Mengira jika penghiburannya tidak berhasil meredam kesedihannya, Sira kembali berucap.

"Ibuku pernah berkata, tidak ada kematian yang sia-sia. Saat malaikat menjemput seseorang ke alam baka, apabila seumur hidupnya berbuat baik, satu permohonannya akan dikabulkan," katanya. "Entahlah denganku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Jadi tidak ada salahnya kalau aku berharap kau bisa mendapatkan kebebasanmu suatu saat nanti." Gadis itu tersenyum lebar seraya menunjukkan deretan gigi.

Harapan Sira menjadi segel setelah kematiannya. Segel sebagai tebusan jiwanya yang musnah. Segel yang paling kuat dan sekaligus paling menyakitkan yang pernah Silvana terima apabila sesuatu memaksanya melepaskan diri. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan siapa pun termasuk Argent Burö.

Sayangnya Sira terlalu naif untuk menyadari, waktu itu dirinya tengah berhadapan dengan monster sesungguhnya.

***

Di saat perhatian semuanya terarah ke sumber cahaya keperakan yang gadis itu buat, Lilac diam-diam menggerakkan tangan. Dia masih memegang pedangnya meski tubuhnya sendiri telah roboh pada Var. Pedang laki-laki itu bisa jadi telah menembus perutnya, namun layaknya sebuah boneka, dia akan bergerak jika kendalinya masih dipegang orang lain.

Var tersentak. Badannya menegang kala ujung pedang Lilac ganti menikam bagian lambung laki-laki itu. Rahang Var menggertak. Tanpa membiarkan rasa sakit itu mengalahkan otak warasnya, dia justru makin memperdalam tusukan pedangnya pada Lilac. Sekarang darah keduanya tercampur. Luka fatal yang didapat Lilac tidak seberapa dibanding rasa sakit yang melanda Var kini.

Tangan Silvana mengerat, baik pada pertengahan busur dan tali yang dia tarik. Panah telah siap dilepaskan. Bidikannya terhalang oleh Var, tapi di saat genting seperti ini dia tidak memiliki pilihan lain.

Silvana melepaskan segelnya-cukup bagi gadis itu untuk merasakan ribuan jarum yang melesak menembus semua tulang di sekujur tubuh. Sebelum matanya berkabut total, dia harus menembak sebelum terlambat. Beban pikirannya memuncak sampai-sampai darah mengalir lewat hidung.

"Jangan ambil dia dariku..!" ujarnya lirih melalui sorotnya yang nanar. "Aku tidak akan meleset!"

Panah melesat. Membelah udara, gesekannya menyebabkan percikan cahaya keperakan yang semakin terang.

Pupil Lilac semakin gelap saat dia menarik lagi pedangnya dari tubuh Var. Laki-laki itu menggeram dan terdorong mundur. Saat itulah ujung panah menghujam telak ke tenggorokan Lilac. Dia lantas berteriak. Mulutnya membuka sambil mendongak ke atas. Dari mulut itu keluar asap kehitaman yang pekat.

Wujud berlian hitam menyublim. Perlahan aura kelamnya menghilang, membaur dengan udara-bersamaan dengan luruhnya tudung perisai merah yang mengurung mereka semua di tempat itu.

Lilac tidak lagi berteriak. Punggungnya menghempas ke atas tanah. Pedang Var terlepas, sedangkan panah masih berdiri menancap di lehernya. Iris gadis itu berangsur normal, tapi hal itu sama sekali bukan pertanda yang baik. Kesadaran dan semua inderanya kembali berfungsi, membuatnya harus merasakan fase sekarat yang amat menakutkan.

Kaki Silvana tidak bisa lagi menopang tubuh. Gadis itu terduduk lemas dengan tetes darah yang masih mengalir melalui lubang hidung. Paru-parunya begitu menyesakkan. Pandangannya semakin memburam meski dia berusaha tetap sadar dengan menyangga tubuh menggunakan kedua tangan.

Cambyses mengedarkan tatapan ke sekeliling dan tersenyum melihat perisai kungkungan telah luruh. Kepalanya berhenti mengitar saat melihat Silvana. Rambut keperakannya belum sirna, hanya saja tidak semenyilaukan tadi. Cahayanya meredup. Mungkin perlu beberapa saat lagi supaya segelnya kembali bekerja.

Laki-laki itu menyeringai samar.

"Tugas Diamond adalah.." Dia berucap saat memunculkan busur dan anak panah sekaligus dengan posisi siap menembak. "Melenyapkan sesuatu yang berpotensi sebagai ancaman yang berbahaya di Gihon."

Di tengah rasa sakitnya, Var menangkap sinyal lain yang tidak kalah berbahaya. Kontan dia menoleh mencari sumbernya. Pandangannya kemudian mengarah ke atas, tepatnya ke tempat Cambyses berada. Laki-laki itu tengah mengarahkan panah ke Silvana!

Secepat yang dia bisa, Var melakukan lompatan terjauh. Silvana mengerjap melihat Var yang tiba-tiba menjulang di sampingnya, bersamaan dengan panah Cambyses yang terlontar.

Panah Cambyses bukan panah biasa. Bunyinya saat melesat mirip racauan lava yang memburai dari inti kawah. Var yang penuh amarah kemudian mencurahkan semua kekuatan pada pedangnya. Api biru yang berkobar semakin membesar. Dalam sekali tebasan yang dahsyat, dia berhasil menghalau panah itu.

Cambyses tertegun-antara tidak percaya dan kesal. Tidak mungkin. Siapa laki-laki itu hingga dia bisa melihat Cambyses? Seharusnya tidak ada yang bisa melihatnya-bahkan kepala asrama sekali pun.

Cyde yang melihat serangan tadi sempat bertanya-tanya apa yang sebenarnya dihalau Var. Pandangan Var mengarah ke satu arah, dengan tubuhnya menjadi tameng Silvana. Sedikit banyak mencerna situasi, Cyde pun terdorong mengarahkan panah ke puncak bangunan.

Cambyses mengerjap begitu panah Cyde melesat padanya. Berdecap, laki-laki itu lantas enyah. Sosoknya menghilang bagaikan uap yang menyatu dengan udara.

Var oleng. Dia seketika ambruk. Silvana menahannya dan hanya bisa menangis tanpa suara membiarkan laki-laki itu rebah di pangkuannya.

Dalga menghampiri Lilac dengan gemetaran. Dia mendekap gadis itu serta mendapati Lilac yang sama dengan gadis yang selama ini dia kenal. Namun sorotnya putus asa, getir dan ketakutan.

"Maaf..," ucap Lilac pelan. "Maaf.. Dalga."

Dalga tidak berkata apa-apa. Dipeluknya erat gadis itu hingga tubuh keduanya melekat rapat. Dan ketika akhirnya kelopak mata gadis itu menutup, mereka berdua diselimuti kebisuan panjang.

***

Bangsal perawatan Emerald menjadi penuh sesak. Para siswa yang terluka datang ke sana untuk mendapat pengobatan. Fiona mengalami cedera di kepala setelah kejatuhan puing pilar yang hancur. Untunglah lukanya tidak seberapa. Sembari memantau siswa Cith yang lain, Fiona juga tidak sengaja bertemu dengan Rife dan Areah. Sendi di pergerangan Rife retak karena melindungi Areah yang hampir tertimpa atap yang roboh.

Semua orang membicarakan kejadian yang baru saja lewat beberapa jam lalu. Betapa menakutkannya serangan Lilac yang tidak diragukan lagi berniat melenyapkan mereka semua. Gadis itu kerasukan. Para guru menyayangkan hal ini tanpa mencari tahu lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi.

Para siswa Ruby tampak sangat murung. Terlepas dari fakta kepala asrama mereka yang hilang kendali, mereka masihlah menganggap sosok Lilac yang sudah sepatutnya dikenang.

Terutama karena gadis itu dinyatakan meninggal.

Mereka juga membicarakan soal serangan yang dilayangkan untuk meredam kekacauan beberapa waktu lalu. Pancaran kekuatan Cyde dan Dalga sangat dikenal, termasuk milik Var yang berkembang pesat. Laki-laki itu bisa jadi ksatria yang akan langsung diakui komite Zaffir setelah Cyde keluar dari Gihon. Namun di luar itu, mereka bertanya-tanya siapa pemilik cahaya putih menyilaukan yang meluruhkan perisai kurungan akhirnya.

Karena waktu itu mereka semua tersudut di pojok gedung demi berlindung, tidak ada yang bisa melihat jelas sosok gadis yang berada di balkon paling atas tersebut. Tapi Fiona bisa merasakannya. Dia khawatir menerka di mana Silvana berada.

Fiona bergiliran menilik satu per satu kamar rawat yang penuh. Kemudian saat keluar dari bilik di pertengahan, seseorang bersetelan hitam lewat di sebelahnya. Saat itu di luar bangsal juga tidak kalah ramai. Banyak siswa yang bersliweran mencari kenalan mereka. Dan ketika seseorang berbaju hitam itu bersisian dengan Fiona, gadis itu mendadak tegang. Nyeri menusuk-nusuk ulu hatinya hingga dia langsung jatuh karena lemas.

"Astaga, kau tidak apa-apa? Kenapa kau tidak masuk saja?" Salah seorang siswa Emerald memandangnya cemas.

Fiona membeku.

Siapa? Siapa yang berada di dekatnya barusan? Merasakan keberadaannya saja, Fiona ngeri setengah mati.

Buru-buru gadis itu menoleh. namun sejauh matanya mengedar, Dia hanya melihat para siswa yang berlalu lalang.

Orang itu ...

Iblis.

***

Setelah beberapa jam memantau kesibukan di Emerald serta kekacauan yang masih dibersihkan di Ruby, Cambyses kembali ke Harbutari. Melewati pintu utamanya yang megah-berukiran phoenix dan naga emas, juga penuh dengan batu-batuan permata, laki-laki itu tidak naik ke atas corong seperti biasa. Ruangan yang dia tuju berada di bawah tanah, persis di bawah Harbutari.

Mendapati bangunan itu masih utuh tanpa kerusakan sedikit pun, Cambyses lega karena Kia rupanya berhasil menahan diri. Derit gerbang menjerit ketika didorong menggunakan dua tangan sekaligus. Suasana yang mulanya temaram menjadi terang benderang. Cambyses menjentikkan jarinya hingga kobaran api di obor bertambah besar.

Kia membuka mata. Iris hijaunya berserobok dengan mata hazel Cambyses. Menerima tatapan tajam Kia, Cambyses hanya menyeringai hambar.

"Halo, Clao. Lama tidak bertemu," sapa Cambyses tanpa mengalihkan tatapannya dari Kia.

Clao tidak disangka-sangka muncul di belakang laki-laki itu. Geraknya tidak menghasilkan suara barang secuil pun. Dia baru saja datang jadi tidak tahu menahu perihal Kia yang entah kenapa dikurung di sana. Cambyses hanya merantai tangannya tanpa menyiksanya. Apakah dia sedang melakukan sesuatu melalui ini atau hanya bermain-main seperti biasa?

"Ke mana saja kau beberapa bulan ini?" tanya Cambyses-lagi-lagi tidak menoleh.

"Hurdu," jawab Clao singkat.

"Apa yang kau lakukan di sana?"

"Mencari celah untuk membunuh Raja Hurdu."

Tiba-tiba saja Cambyses tertawa nyaring. Suaranya menggaung di semua sudut ruang.

Menjadi Kepala Harbutari, atau ketua divisi Diamond yang berisi tujuh kursi istimewa membuat Cambyses mengetahui segalanya. Dia tertawa mendengar kenyataan jika Clao dan Aipy tunduk di bawah kaki orang yang sama. Setelah Aipy mati menyusul Delaphine, hanya ada lima kursi yang ditempati-satu pemilik kursi tidak aktif. Cambyses juga yakin Silvana tidak tahu menahu perihal ini jika Dominic tidak memberitahunya lebih dulu.

Satu lagi orang yang tersisa. Ke mana dia? Memikirkannya saja membuat Cambyses sebal.

"Salazar benar-benar tidak sabaran." Laki-laki itu terkekeh. Clao heran melihatnya begitu tenang padahal setahunya Cambyses tidak berbuat apa pun soal ini. Atau jangan-jangan laki-laki itu bertindak diam-diam tanpa ketahuan? "Setelah gagal menerobos Raveann dengan bantuan Kith, akhirnya dia beralih ke Ranoor? Dan untuk itu dia harus menjadi raja. Kasihan sekali Raja Hurdu. Dia benar-benar telah membesarkan ular."

Clao diam. Dia melihat Cambyses melangkah ke depan, mendekat ke kurungan Kia. Telunjuk tangan kanannya menyentuh sel. Seketika sangkar tersebut sirna, termasuk untaian rantai yang memasung Kia supaya tidak bergerak. Keduanya saling berhadapan-Cambyses dengan senyum penuh makna, dan Kia yang diam bak arca pajangan.

"Apakah kau penasaran apa yang terjadi?" tanya Cambyses. "Gadis itu melepaskan segel di Ruby dan menghancurkan kutukannya sendiri."

Kia berkedip terkejut. Perubahan air mukanya terlihat amat jelas bagi Cambyses yang suka mempermainkan laki-laki satu itu.

"Aku tidak akan menyangkal jika kau menebak bahwa aku membencinya. Tapi akhir-akhir ini aku mengakui kalau telah terkesan. Menyusul dengan sentimenku yang memudar, kurasa aku mulai menyukainya."

Lagi-lagi Cambyses mengutarakan kalimatnya yang mengambang-tidak jelas apa maksudnya. Tapi satu hal yang pasti: apa pun rencana laki-laki itu bukan untuk tujuan yang baik.

"Bahkan aku juga menaruh perhatian pada seseorang di sisinya.." Beberapa detik, kalimat Cambyses menggantung. Pandangannya tidak mengarah ke mana pun sementara benaknya mengingat kembali sosok Var yang jadi penghalang serangannya pada Silvana.

Cambyses tidak berniat membunuh Silvana Burö meski dia benar-benar tidak ingin gadis itu mengklaim posisinya di Harbutari. Keisengannya cukup keterlaluan kali ini, tapi Cambyses tidak peduli. Gadis itu terluka atau tidak, sama sekali bukan hal yang akan menyita perhatiannya. Dia hanya mengetes segel gadis itu.

Darimana Silvana mendapatkan segel sekuat itu? Sebelum terbangun, Silvana terkurung oleh segel Argent dengan bantuan Dominic dan Thadurin II. Segel yang menidurkan gadis itu dalam waktu yang panjang, tetapi sifatnya tidak bisa mengikat. Sekali hancur, Silvana akan terbebas sepenuhnya. Tapi kali ini, segel gadis itu memulihkan diri berkali-kali.

Terlepas jika Silvana amat kesakitan dan menderita karenanya, Cambyses berspekulasi apabila segel itu juga melindunginya di saat yang sama. Bahkan berkat itu, Silvana bisa berkeliaran ke mana pun.

Seperti rajawali yang mengudara di langit kekuasaannya.

"Kau ingin menemuinya? Silakan," kata Cambyses pada Kia disambut kerutan di kening laki-laki itu. "Aku percaya kau akan menjaganya, meski dengan taruhan nyawamu. Kenapa aku peduli?"

Hening. Baik Clao dan Kia menegang saat Cambyses berbalik pergi melewati mereka-dengan satu kalimat penutup.

"Karena tidak peduli suka atau tidak, dia adalah calon istriku."

.

.

.

"With you, I fall

It's like I'm leaving all my past and silhouettes up on the wall

With you, I'm a beautiful mess

It's like we're standing hand and hand with all our fears up on the edge."

.

Song: Sad Song - We The Kings ft Elena Coats
.
.
.
.
.
Fyi, stop put your wondering whenever-I'll-update comments in my works. That ruins my mood instead of boosting it. Not just me, please don't do it against other author. Appreaciate them with commenting the name of his/her chara you're interested in or the plot they're created.
They are human, and not being paid by wattpad, also not a typing robot.

Bloody moody author, Agatha

继续阅读

You'll Also Like

16.6K 3.6K 31
Blurb: Florence dan Axel terpaksa masuk ke sekolah asrama karena kesalahan yang mereka lakukan, sehingga membuat orang tua mereka marah besar. Saat p...
175K 11.3K 21
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
29.8K 3.2K 40
Sekadar candaan suami istri yang diracik dengan: Bahan bumbu: • 250 gram bubuk baper • 1/2 sdm saus teriyak[i]an ciye-ciye • 3 siung rayuan gombal •...
586K 91.5K 28
[Fantasy & (Minor)Romance] Carmelize selalu berakhir bermimpi tentang sebuah kerajaan setiap malam. Hanya ada satu orang yang bisa melihatnya, yaitu...