Sorry Not Sorry

By Levitt1806

4.7M 384K 12.9K

"Demi Tuhan, cuma modal rok kembang dibawah lutut yang bahkan uda lusuh dan blus polos yang gue yakin bahkan... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Meet The Casts
Meet The Casts (2)
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Special Part-Happy New Year
Special Part : Letting Go
Part 28
Extra Part : Trapped
Spin Off : Denial
Extra Part : Birthday Present
Extra Part : 4 Years Later
Announcement-Promo
Live Talk
RAIHAN-SYIFA

Special Part-Confession

94.1K 7.3K 145
By Levitt1806

Rio's Point of View

Setiap orang yang kenal gue, pasti mikirnya gue cuma cowok tengil yang hobinya cengengesan gak jelas dan bertindak sesuka hati tanpa mikirin dampaknya. Gue hargai pendapat mereka soal gue. Bodo amat. Asal nggak ngerugiin, bebas aja lo semua mikir gue gimana.

Pertama kali gue ketemu Sekar-waktu itu kami lagi ospek kampus-gue mikir ini cewek beneran tipe gue. Imut-imut kecil gimanaa gitu. Apalagi waktu dia gemeteran karena dikerjain salah satu senior, gue bukannya kasihan malah gemes liat tingkahnya.

As time goes by, rasa tertarik gue ke dia berubah jadi rasa care dan sayang. Gue selalu ada saat dia butuh bantuan. Dia nggak punya kendaraan selama ngampus. Kalau ada hal yang urgent, gue jadi barisan pertama yang menawarkan bantuan.

Semua tentang Sekar gue tahu. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, asal daerah, nama ibu bapaknya, nama adik-adiknya, makanan kesukaannya, film favoritnya, bahkan cowok yang dia taksir pun gue tahu.

Lo semua pasti mau ngetawain gue, kan?

Dari awal gue lihat interaksi dia dengan Pak Kahfi, I know she's into him, deeply. Gue selama ini ya denial aja. Bahkan saat Kak Renata-dosen sekaligus senior gue-curiga dengan mereka berdua, gue belain Sekar mati-matian. Gue bilang aja dia salah sangka. Untungnya dia sedikit percaya sama gue.

Emang, sih, gue nggak sepintar Pak Kahfi yang bahkan uda S3. Dari Birmingham pula. Gue kayak remahan rengginang dibandingin sama dia dari segi akademis. Tapi kalau soal cakep, gue nggak kalah, kok. Gak percaya? Ayo jumpa langsung sama gue. Soal kebaikan, ya elah, gue rela ninggalin praktikum gue begitu dengar kalau Sekar pingsan. Gue dihukum bersihin lab jalan raya seminggu penuh. Sedih nggak tuh?

Sebenarnya, kehadiran Kak Renata sangat menguntungkan gue. Dia dekat dengan Pak Kahfi, Sekar jadi sedikit jaga jarak dengan itu dosen satu. Salut juga gue sama Kak Renata, sebegitu cepatnya Pak Kahfi kepincut sama dia. Gue nggak mau aja bilang ke Kak Renata, entar dia kegeeran lagi.

Dibalik sikap tengil yang melekat di diri gue, gue adalah pendengar yang sangat baik. Makanya banyak temen-temen curhat ke gue. Bahkan Kak Renata pun curhat ke gue, lho. Dia ini kan anaknya sebeneenya jaim banget. Hapal luar kepala gue sama sifatnya.

Kalau Sekar udah curhat, gue dengerin tanpa pernah sela ucapannya. Dia cerita masalah kampus, semuanya. Kecuali soal perasaan tak terbalasnya dia ke Pak Kahfi. She keeps it confidential, gue hargain. Kan gue ceritanya sayang banget sama dia. Gak mau gue paksa-paksa kalau dia emang nggak suka sama gue.

Beberapa bulan lalu-gue lupa tepatnya bulan berapa-gue nekatin buat nembak dia. Gue traktir dia makan di salah satu cafe di Senopati. Tapi, nasib sial, gue ditolak. Katanya dia udah nganggep gue sahabat sejati gitu. Klise,kan? Gue tanya apa dia suka sama orang lain, kepalanya nunduk. Gak berani jawab. Fix, dia masih keukeuh dengan perasaannya pada Pak Kahfi.

Galau berat gue saat itu. Gue confess dengan taruhan persahabatan gue dengan dia. Setelah gue nembak dia, dia emang sedikit menjauhi gue. Karena masih sakit hati, gue jauhin balik.

Tapi dasar gue cinta mati sama dia, gue berusaha buka percakapan lagi dengan dia. Gue mau tunjukin ke dia kalau gue nggak berpemikiran picik. Walaupun dia nggak balas cinta gue, persahabatan kami nggak akan rusak.

Waktu dia gak bisa ikut kuis dadakan yang dibuat Kak Renata, hati gue sakit lihat dia berlinangan air mata mohon-mohon ke Kak Renata buat ikut kuis dadakan. Dasar deh itu orang emang sadis banget, dia nggak peduli. Gue marah lho saat itu sama Kak Renata. Bukan cuma marah, gue juga kecewa dengan sikapnya yang nggak profesional. Eh gue malah dimarahin balik. Nasib amat ya Allah.

Ternyata Kak Renata nggak seburuk yang gue kira. Gue akhirnya minta maaf ke dia, sekaligus ucapin terima kasih karena akhirnya gue lulus dengan nilai B. Kayaknya itu orang suka deh sama gue, cuma udah terlanjur sama Pak Kahfi aja. Hehehe. Becanda kali gue.

Sekarang, gue milih fokus aja ke studi gue. Gue belajar mati-matian untuk UAS kali ini. Gue harus sidang tahun depan. Paling lama lima tahun gue uda bertitel ST. Wajib. Kudu. Harus. Soal cinta, gue tetep usaha. Kalau bukan diminta, gue nggak akan berhenti berharap pada Sekar.

Gak terasa, Sekar udah mau sidang aja. Awalnya gue bingung mau kasih apa. Lalu gue ingat percakapan kami waktu itu. Gue langsung pesan satu buket bunga lili putih, diwrap secantik-cantiknya. Gue mikir, ini kesempatan terakhir gue untuk tunjukin ke dia kalau gue serius sama dia. Kemarin dia nolak gue karena dia masih berharap pada Pak Kahfi. Sekarang kan case nya beda. Gak boleh gue sia-siain kesempatan ini.

Maka, gue nawarin untuk anter dia pulang. Gue ajakin makan, dia setuju. Katanya, dia juga mau ngomong sesuatu ke gue. Gue senang bukan main. Gue teriak, diliatin orang-orang yang terus-terusan ngecengin gue, gue nggak peduli.

Sekar pasti akhirnya sadar siapa laki-laki yang pantas untuk dia.

Hari ini gue sengaja nyetir, bawa sedan city bokap. Kan ceritanya Sekar abis sidang, banyak dapat hadiah dari teman-temannya, gue harus sediain space untuk hadiah-hadiah itu, dong.

Gue bawa dia ke Kemang. Dia ketawa terus sepanjang jalan. Gue kan jago ngelawak. Hahahaha. Entahlah, entah emang gue jago banget ngelawak, atau emang sense of humor nya Sekar cuma sekelas beginner.

Sekar sudah melepas blazernya. Kini hanya blus putih dan rok hitam serta flat shoes hitam yang dia pakai. Mirip anak trainee. Tapi tetep cantik, kok. Gue suka banget.

"Aku pesan Kari dan Lemon tea, kamu?" gue menatapnya yang sedikit tenggelam di balik buku menu.

Kalau ngomong sama Sekar, gue pake 'aku-kamu'. Sok manis, ya?

"Sapi lada hitam sama Fruit Punch," jawabnya lalu menyerahkan buku menu pada waitress.

Hening di antara kami begitu si mbak waitress meninggalkan meja. Sekar malah melarikan matanya ke seisi kafe, ntah nyari siapa, atau karena dia udah keki gak tau mau ngapain lagi. Mungkin karena gue diem kali, ya. Selama ini kan yang initiate convo diantara kita ya gue.

Gimana, ya? Tadi kan dia yang bilang mau ngomong sesuatu. Pengen gitu sekali-kali dia yang ngomong duluan. Menyedihkan ya gue, tapi ya, kali aja ini terakhir gue bisa ngobrol berdua gini sama dia.

Gue ketuk-ketukkan jari gue di atas meja. Ini kode keras, Sekar Kinasih!

"Ehmm... Rio, aku mau—"

Ucapan Sekar harus terpotong karena waitress mengantarkan pesanan mereka. Gue harus menahan geram, padahal tadi Sekar mau ngomong, lho.

"Kamu mau bilang apa?" gue desak dia untuk ngomong sekarang, padahal dia baru aja mau menyeruput fruit punch.

Dia tersenyum, manis banget. "Kamu nggak sabaran banget. Tumben," katanya lalu terkekeh.

Gue jadi garuk-garuk kepala yang bahkan nggak gatal karena menahan malu. Aduh, emang cewek ini paling bisa bikin gue bingung mau ngomong apa.

"Yaudah, makan aja dulu, deh," balasku lesu lalu menyicipi kari.

"Kamu kan tadi katanya mau ngobrol sama aku makanya ngajak makan dulu," Sekar menyahuti.

Oke, lo jual gue beli, Sekar.

Gue letakin sendok yang udah gue genggam ke atas piring kembali. Gue tatap matanya, mencoba mengunci pandangannya. Dia nggak boleh lirik sana lirik sini, cukup gue aja.

Sekar kayaknya ngerti. Dia pun balas menatapku dengan tatapan polos seperti biasa. Dia nggak tahu aja dampak dari tatapan polosnya itu. Bikin gue keringet dingin tahu.

"Mungkin aku udah pernah bilang ini ke kamu sebelumnya, kamu juga udah pernah jawab," kata gue hati-hati. Wajahnya Sekar sedikit tegang. Berarti dia tahu apa yang mau gue bilang. Lalu,"aku ingin mencoba peruntunganku sekali lagi. Boleh?"

Dia mengangguk kaku.

"Aku tahu alasan kamu menolakku waktu itu kenapa, dan aku juga tahu siapa pria itu. Tapi, Sekar, aku juga tahu kamu pasti dapat berpikir jernih. Kamu nggak akan merusak kebahagiaan orang lain hanya karena perasaan sepihakmu, kan?"

Lagi, Sekar mengangguk.

"Aku disini, menawarkan diri padamu untuk membantu menghilangkan pria yang mungkin sudah bertahun-tahun mengisi hati kamu. Beri aku kesempatan, Sekar. Aku bisa membuatmu bahagia. Kamu nggak perlu berusaha untuk lupain dia, biar aku yang menghapus kenanganmu dengan dia, biar kuganti semua dengan hanya kebersamaanmu dan aku. Kamu mau melakukannya, Sekar?"

Great. Itu kalimat termelow yang pernah gue ucapin di dua puluh dua tahun hidup gue. Kenapa gue terdengar ngemis banget, ya?

Tapi, beban di hati gue selama ini jadi sedikit terangkat akibat pengakuan gue barusan. Kayak gue merasa, I just did a very good jod. Gue puas, lahir dan batin.

Gue lirik Sekar, dia diam seribu bahasa, dan sekarang kepalanya tertunduk. Gue benci lihat Sekar yang begini.

Cibiran lolos dari bibir gue. Gue kira Sekar yang tadi di kampus bilang mau ngomong sesuatu ke gue, akan bilang kalau dia akhirnya sadar cuma gue cowok yang paling mengerti dia. Tapi, dia nggak usah ngomong pun, gue tahu jawabannya.

"Makan, Sekar. Kalau dingin nggak enak," ucap gue akhirnya.

Gue pun menyantap kari pesanan gue. Tadi pas gue cicipin enak, kok sekarang rada hambar, ya?

Hening. Lagi-lagi. Sudahlah.

"Rio," Sekar memanggil gue pelan.

Gue mendongak, menatapnya. Dia lalu melanjutkan, "I thank you, alot. Kamu baik banget selama ini sama aku. Nggak pamrih. Kamu juga nggak pernah maksa aku untuk membalas perasaan kamu. Tapi, sebulan belakangan ini aku sadar, aku akan jadi cewek yang jahat banget kalau terus berpura-pura nggak terjadi apa-apa diantara kita."

Sekar mengambil nafas sejenak. Gue terpaku mendengar rentetan kata yang diucapkannya. Gak pernah nih Sekar ngomong sebegini banyak, dalem pula.

"Kemarin itu aku bilang, aku uda nganggap kamu sahabat aku banget, I meant it. Dan, semakin aku tahu bahwa kamu tetap baik padaku setelah penolakanku, semakin aku nggak mau kehilangan kamu sebagai sahabat. Mungkin kamu pikir aku egois, tapi, aku benar-benar nyaman punya teman sebaik kamu."

Dapat gue rasakan bahu Sekar gemetaran. Apa sebegini merasa bersalahnya dia sama gue?

"Please stop it, Sekar. Nggak usah kamu bilang, aku paham," gue nekat genggam tangan dia. Matanya siap mengeluarkan air mata. "Kamu nggak usah merasa bersalah. Jangan merasa terbebani dengan perasaan aku ke kamu. Aku nggak suka lihat kamu yang begini. Just focus on your scholarship, aku nggak akan berubah. I'm still your best friend."

Sekar menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya sudah tumpah. Kayaknya kami kini jadi tontonan pengunjung kafe yang lain.

"Mungkin aku nggak berhak ngomong ini ke kamu," ucap Sekar sambil mengelap air matanya dengan tangan, "kalau kamu merasa tersiksa, silakan aja jauhin aku. Jangan tunggu sampai aku bila balas perasaan kamu. Aku nggak bisa mastiin kapan waktu itu datang. Melupakan Pak Kahfi saja sulit, but I'll try hard dan aku yakin aku pasti bisa lupain itu. Dan kamu, selesaikan studi kamu, kejar mimpi kamu, kamu bisa melakukannya, kan?"

"Sekar, sudah berapa kali aku bilang—"

Sekar menguatkan genggaman tangannya pada gue. "Please, demi aku, Rio. Biarkan kita fokus pada prioritas kita masing-masing, kalau suatu saat akan ada kabar baik di antara kita, aku nggak akan menyangkalnya. Kamu bisa percaya padaku, kan?"

Saat Sekar dengan pipi yang sudah basah oleh air mata mengutarakan semua yang dia rasakan ke gue selama ini, termasuk rasa bersalahnya, gue akhirnya menyadari satu hal.

Gue harus berhenti mengejar dan membiarkan takdir bermain peran saat ini.

Berat, tapi akhirnya penantian gue berakhir sampai disini.

Continue Reading

You'll Also Like

21.2K 2.5K 8
Pria itu mengatakan pada Kepala Pelayan disampingnya "Aku membenci anak-anak, Jadi jangan bertanya tentang keturunan lagi padaku, karena aku akan men...
11.6K 1.3K 12
(1st Book of the Sense Trilogy) Stella Indriana tidak pernah mengenal rasa takut. Dia tidak pernah takut pada film horror, serangga menjijikkan, pent...
4M 431K 36
Nadiana, hampir 30 tahun tapi masih belum menemukan lelaki idamannya. Semakin kesini, cari laki-laki yang lebih tua dan matang darinya semakin sulit...
123K 985 67
Rekomendasi cerita wattpad. Disini kebanyakan ceritanya genre romance, office romance, chicklit, metropop.