Only Emerald

By queen_chigga

70.9K 2.2K 197

"Dasar Lelaki udik tampan sialan! Dia pikir dia siapa berani mengacuhkan ku seperti itu. Lihat saja nanti. Ak... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29

Part 20

1.5K 51 2
By queen_chigga

Setahun kemudian....

"Daffa..!" Panggil Ferdi ditengah kerumunan orang.
Hari ini adalah hari kelulusan Daffa dan Ferdi. Mereka menyelesaikam studi Bisnis dan Manajemennya hanya dalam kurun waktu 3 tahun 10 bulan. Merekapun menyandang gelar cum laude sedangkan Daffa menjadi mahasiswa dengan IP tertinggi di SUNY University tahun ini.

"Hoy!" Jawab Daffa setengah berteriak sambil melambaikan tangan. Ferdi yang telah berhasil menghampirinya langsung merangkul Daffa dengan penuh suka cita.

"We did it, bro.."

"Hahaha.. Yap." Jawab Daffa dengan tawa bahagia "Ibu, ini Ferdi. Teman seperjuanganku yang sering kuceritakan."

Ferdi mengambil tangan ibu Daffa dan menyalimnya dengan sopan.
"Ganteng yaa?" Ucap ibu sambil mengelus punggung Ferdi. "Selamat ya, nak Ferdi." Ibu Daffa tersenyum lembut.

"Makasih bu. Kalau begitu saya permisi lagi ya, bu, Daf. Keluarga saya sedang menunggu." Pamit Ferdi kemudian pergi setelah anggukan kecil dari Daffa.

"Kak Daffa," seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Daffa menoleh. Didapatinya Nadia dan Wina yang masing-masing membawa sebuket bunga.

"Hai."

"Congratulation, kak." Ucap Nadia sambil menyerahkan buket bunga yang ada di tangannya. Sementara Wina terlihat memaksakan seulas senyum kearahnya dan senyum sopan ke ibunya lalu menoleh ke kanan-kiri seperti mencari seseorang.

"Terima kasih, Nadia. Wina." Angguknya kepada kedua orang itu. Ia begitu ingin bertanya keberadaan Emerald namun segera dihentikannya karena sudah merasa tahu apa jawaban mereka. Terlihat Wina menyikut lengan Nadia disampingnya yang dibalas gertakan gigi dan pelototan mata.

"Emm, kak. Liat kak Ferdi?"

"Oh, jadi Ferdi yang dicarinya.."
"Dia sedang menemui keluarganya disana." Jawab Daffa sambil menunjuk ke kanannya.

"Oh baiklah. Kalau begitu, kami permisi dulu kak." Pamit Nadia sementara Wina kembali hanya memberi kode permisi dengan menundukkan kepalanya sebentar kepada Daffa dan Ibunya.

Sepeninggal mereka, ibunya bertanya "mereka temanmu?"

"Temennya Emerald, bu."

"Oh." Ucap ibunya dengan ekspresi sedih. Ibu Daffa sudah tahu apa yang terjadi pada hubungan mereka dan apa dampak yang tertinggal oleh perpisahan itu. Ibu Daffa mengelus punggung anaknya dengan lembut.
"Semua akan baik-baik saja, nak. Kamu sudah berusaha keras."

Ibunya tahu bagaimana perjuangan Daffa selama ini untuk bisa kembali bersama Emma. Dia sibuk membangun bisnisnya sendiri padahal dia sudah mengambil skripsi. Melipatgandakan modal dari tabungannya. Hingga kini bisnis itu menjadi bisnis yang cukup diperhitungkan. Disaat teman-temannya sibuk dengan tugas kuliah, dia sibuk bermain saham, menghabiskan uang yang ia dapat dari bisnisnya itu untuk berinvestasi. Membuat banyak koneksi yang awal mulanya ia dapat dari tempat ia magang selama setahun. Yang ada akhirnya membangun mall pertamanya di sebuah kota kecil yang baru berkembang di sulawesi. Dan sekarang dalam proses merambah ke kota-kota kecil lainnya di Indonesia. Walaupun begitu, ia tetap tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa hingga bisa menyelesaikan skripsinya tepat waktu. Mungkin Daffa bisa dikategorikan sebagai mahasiswa dengan penghasilan terbesar se-Indonesia.
Beberapa tabloid dan majalahpun sempat mengekspos sepak terjangnya di dunia bisnis dengan headline,
'Pengusaha muda Indonesia berparas Pangeran Dubai'
'Green Stone corp. menguasai pasar hari ini.'

Walaupun bisnisnya belum mampu bersanding dengan SUNY corp, Borkhan corp, ataupun Arch corp. Namun perusahaannya masuk dalam daftar 20 perusahaan terbesar se-Indonesia.
Nama Daffa Pratama bahkan masuk dalam 100 pebisnis muda sukses paling berpengaruh di dunia.

Ia berusaha begitu keras. Tanpa kenal lelah. Semua ia lakukan agar layak mendapatkan Emerald kembali.
Ia memiliki sebuah rumah besar nan megah untuk ibu dan adik-adiknya di bilangan jakarta selatan. Bahkan memiliki penthouse pribadi di daerah menteng. Ia menyekolahkan kedua adiknya di luar negeri. Hanya si bungsu yang ada di jakarta sekarang menemani sang ibu.

"Aku tahu, bu." Jawabnya pada sang ibu.

"Kenapa kau tidak menemuinya lagi sekarang?"

"Belum saatnya bu."
"Aku harus menggeser posisi Arch.corp dan SUNY.corp juga untuk bisa bersama Emerald. Ini janjiku." Jawabnya dalam hati pada pertanyaan sang ibu. Sementara ibunya melihat Daffa dengan sedih. Melihat putra semata wayangnya begitu haus status dan kekuasaan sekarang. Hanya untuk berada di samping wanita yang dicintainya.

***

Tok.tok.

"Makan, bos?" Tanya Ferdi dengan hanya memperlihatkan kepalanya dari balik pintu.

"Ya. Sebentar lagi. Masuklah dulu. Aku tak akan menyuruhmu makan duluan karena aku tak ingin makan sendiri." Jawab Daffa tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer.

"Siap, bos."

Beginilah keadaan mereka saat istirahat. Pada saat membangun bisnisnya, Daffa sudah menunjuk Ferdi untuk membantunya sebagai orang kepercayaannya karena Ferdi orang yang cerdas dan cekatan dalam bekerja. Semua usaha yang ia lakukan selama inipun tidak akan selancar ini bila bukan Ferdi yang membantu. Sehingga Ferdi mendapat posisi sebagai general manager di perusahaannya kini.

"Gini nih kalau punya bos jomblo akut. Kemana-mana gua yang nemenin. Lu gak takut dibilang sama karyawan lu kalau lu gay?" Ocehnya setelah menghempaskan tubuhnya ke sofa.

"Bodo amat." Daffa memang tidak peduli apa kata orang yang kerap berbicara di belakangnya.

"Dia gay."

"Dia trauma perempuan."

"Dia tidak mampu 'berdiri'."

"Dia dapat kutukan dari cinta pertamanya."

Begitulah yang selama ini di dengarnya. Dia mendengar itupun dari Ferdi. Namun hanya dianggap angin lalu olehnya. Sama seperti ocehan Ferdi saat ini.

"Bagaimana aku bisa dapat pacar kalau seisi kantor membicarakan 'hubungan' ku denganmu. Mendengarnya saja membuatku merinding." Daffa tahu Ferdi hanya bercanda karena Ferdi bukan tipikal laki-laki yang mudah jatuh cinta atau menebar cinta. Sampai detik ini Daffa belum pernah mendengar Ferdi membicarakan wanita secara spesifik. Mungkin belum ada yang menarik perhatiannya.

"Maaf kalau begitu. Bagaimana kalau aku mentraktirmu makan di restaurant kesukaanmu sebagai wujud rasa bersalahku?" Jawab Daffa setelah 'menyimpan' filenya dan 'menidurkan' komputernya.

"Deal!" Jawabnya langsung sambil mengacungkan kedua jempolnya pada Daffa.

***

"Jadi katakan, dimana kamu ingin magang?" Tanya Danny pada Emma di hadapannya yang sedang sibuk memotong tenderloin steak nya.

"Tidak tahu. Aku, Nadia dan Wina berencana mengundinya." Jawabnya acuh.

"Mengundinya?"

"Yap. Seperti arisan. Kami menuliskan beberapa nama perusahaan lalu menaruhnya dalam guci lalu mengambilnya secara acak."

"Kau kira ini permainan?" Kata Danny tak percaya.

"Aku tahu, Danny. Ini memang bukan lelucon. Tapi aku juga sedang bingung. Papa menyuruh kami untuk magang di SUNY. Bertiga! Nadia dan Wina sih dengan senang hati menerimanya. Tapi aku? Pasti para karyawan akan berdumel dibelakang kami nantinya. Aku tidak suka. Itukan bakal jadi calon perusahaanku. Aku tak ingin dapat pandangan buruk dari mereka. Lagipula aku ingin benar-benar belajar. Dan tidak ingin belajar di kandangku sendiri." Terang Emma.

"Kalau begitu, melamarlah di perusahaanku." Tawar Danny.

"Big no! Aku kesana hampir setiap hari dan melengang kesana-kemari sesuka hati layaknya taman bermain dan sekarang kau menjadikanku sebagai anak trainee disana? Itu bahkan lebih buruk dari kandang sendiri." Jawab Emma sambil menggeleng tidak setuju.

Danny mengusap wajahnya kasar. Namun berusaha tetap tenang. Emma selalu punya cukup alasan untuk menolaknya. Begitupun kali ini.

"Lalu, apa saja pilihan yang kalian ambil?"

"Chander, Dwijaya, Akiesera, Sedayu, Borkhan......" Ucapnya menggantung sebelum melanjutkan "...... Green Stone." Sambil melirik dengan waspada ke arah Danny.

"Itu hanya pilihan Danny. Dengarkan aku. Aku tahu Wina dan Nadia akan memasukkan Arch dan SUNY juga ke dalam list tanpa sepengetahuanku. Karena kami sudah melakukan tanda tangan kontrak dan harus membayar denda yang tidak sedikit kalau kami menolak. Bahkan kami akan melakukannya di depan dosen dan  penasihat hukum masing-masing keluarga. Bayangkan? betapa serius dan konyolnya mereka. Dan aku akan menjadi yang pertama mengambil lot. Jadi bisa kamu bayangkan kecilnya kemungkinan itu aku akan memilih perusahaan itu?" Jelas Emma sebelum Danny sempat berkomentar jauh.

"Ya. Seperdelapan. Sekitar 12,5%. Itu angka yang sangat cukup untuk menguasai pasar."

Emma seperti menelan kembali kata-kata yang ingin ia keluarkan tadi. Memutar matanya jengah.

"Aku membicarakan peluang dengan matematika dasar, Dan. Bukan dengan pasar saham." Tak ada kata yang keluar dari keduanya. Hanya saling menatap satu sama lain. Berusaha untuk saling mengirim pemikirannya agar dapat sepemahaman.

"Kumohon percaya padaku. Sudah satu tahun lebih berlalu Danny. Dia sudah bukan siapa-siapa lagi. Aku mengajakmu makan siang diluar seperti ini agar bisa bicara dengan leluasa tanpa dilihat karyawan dikantormu. Aku sedang berusaha menjaga sikap. Karena siapa tahu saja lot ku bertuliskan perusahaanmu." Emma berusaha menenangkan Danny yang mulai protektif padanya dengan mengusap punggung tangannya lembut.

Danny menghembuskan nafas pasrah ketika Emma menyunggingkan senyum yang selalu berhasil membuatnya lemah. Dia tidak akan pernah menang dari senyuman itu. Namun Danny tidak keberatan. Dia justru ingin menjaga senyum itu tidak hilang dari wajah cantik Emma.

"Baiklah. Tapi aku juga ingin hadir saat kau mengambil lot." Kata Danny akhirnya.

"Call." Jawab Emma menjabat tangan Daffa dengan kedua tangannya. Emma tertawa senang melihat Danny yang kembali tersenyum melihatnya. Sementara tidak jauh dari tempatnya, sepasang mata sedang mengamati pasangan kekasih itu dari balik partisi kayu. Sehingga tak seorangpun yang menyadari kalau mereka sedang diperhatikan. Sepasang mata itu melihat tawa Emma dengan tatapan nanar. Tawa yang sudah lama sekali tak dilihatnya. Dan tawa itu bukan untuknya. Tawa itu bukan lagi miliknya.
Betapa perihnya menahan rindu yang begitu lama menetap dalam hati.
Melihatnya kini bahagia dengan orang lain membuatnya gemetar. Ingin rasanya ia berlari kesana dan menarik wanitanya itu kedalam pelukannya. Namun ia sadar. Ia tak berdaya. Ia belum berhak. Ia belum cukup kuat untuk membawanya kembali ke sisinya.

"Emerald, sayangku.." Ucapnya lirih.

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 180K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
317K 1K 10
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
737K 115K 43
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
2.1M 157K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...